Dalam pada itu, Ki Waskita
yang sedang bertempur di halaman belakang sekilas telah mendengar umpatan Kiai
Damar Sasangka.
“Syukurlah,” berkata Ki
Waskita dalam hati begitu menyadari Ki Rangga telah mendapat kesempatan untuk
menghindar dari medan, “Dengan aji pengangen-angen, hantu api sebesar gardu
perondan itu tidak akan banyak berpengaruh
terhadap wadag angger Sedayu.”
Namun ternyata dugaan Ki
Waskita itu tidak sepenuhnya benar. Tiba-tiba saja pemimpin perguruan Sapta
Dhahana itu telah merentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke angkasa seolah
olah ingin membakar langit. Sejenak kemudian, api yang menyelimuti sekujur
tubuhnya itu berkobar semakin dahsyat dan semakin membesar.
“Ki Rangga!” tiba-tiba
terdengar teriakan menggelegar di sela-sela suara api yang bergemeretak
mengerikan, “Aku tahu engkau berada tidak jauh dari tempat ini. Aku tidak tahu
ilmu apalagi yang akan engkau pamerkan kepadaku. Namun semua itu tidak akan
banyak berarti. Ilmu semumu sudah aku ketahui kelemahannya. Segala usahamu akan
sia-sia. Engkau hanya mengulur-ulur waktu untuk menunda kematianmu saja!”
Namun belum selesai Kiai
Damar Sasangka mengatupkan mulutnya, sebuah bayangan seolah muncul begitu saja
dari kegelapan dan berdiri beberapa langkah saja di hadapannya.
“He..?!” seru Kiai Damar
Sasangka terkejut bukan alang kepalang. Tanpa sadar dia telah mundur selangkah.
Namun keterkejutan Kiai
Damar Sasangka itu hanya sekejab. Sejenak kemudian, suara tawanya pun menggelegar
memenuhi udara malam di atas padepokan Sapta Dhahana.
“Apakah Ki Rangga sudah
kehabisan ilmu untuk dipamerkan kepadaku?” bertanya Kiai Damar Sasangka
kemudian di sela sela tawanya, “Dengan dibantu oleh dua bayangan semu saja
engkau tidak mampu mengalahkan aku. Apalagi sekarang hanya sebuah bayangan
semu. Apakah engkau sudah berputus asa Ki Rangga?”
Bayangan semu Ki Rangga itu
tidak menjawab. Sejenak bayangan itu tampak menggerak-gerakkan tubuhnya. Beberapa
saat kemudian tampak bayangan semu Ki Rangga itu seperti membengkak dan terus
membengkak dan akhirnya menjadi sebesar tiga kali lipat dari ujudnya semula.
Untuk beberapa saat Kiai
Damar Sasangka tertegun. Ujud semu Ki Rangga yang hanya satu namun berukuran
tiga kali lipat dari ujud aslinya itu ternyata telah mendebarkan jantungnya.
Dia belum dapat meraba ilmu sejenis apakah yang akan diperlihatkan oleh
lawannya.
“Semacam ilmu bertiwikrama,”
membatin Kiai Damar Sasangka dengan jantung yang berdebaran, “Namun mengapa dia
mengambil ujud semu? Dengan ujud semu memang dia dapat berubah ujud menjadi sebesar
gunung sekali pun. Tetapi di manakah ujud aslinya sekarang ini?”
Pertanyaan itu
berputar-putar di dalam benak Kiai Damar Sasangka sampai akhirnya dia dapat
mengambil kesimpulan sendiri.
“O, inilah agaknya kelebihan
ilmu Ki Rangga ini,” kembali Kiai Damar Sasangka berkata dalam hati sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Dia berusaha menghindari benturan langsung
antara ujud wadag aslinya dengan ilmuku. Dia berusaha bersembunyi di balik ilmu
semunya ini. Namun aku yakin, aku akan dapat menemukan persembunyiannya.
Sementara ujud semu ini tentu dalam pengendalian penuh Ki Rangga dari jarak
yang tidak seberapa jauh dari tempat ini.”
Berpikir sampai disitu,
pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu segera bersiap kembali untuk melanjutan
pertempuran. Tanpa membuang waktu lagi, Kiai Damar Sasangka segera berteriak menggelegar
sambil kedua tangannya terangkat ke atas tinggi-tinggi. Sejenak kemudian, api
yang menyelimuti tubuhnya pun menjadi semakin berkobar nggegirisi.
Agaknya ujud semu raksasa Ki
Rangga itu telah terpancing dengan gerakan lawan dan berusaha mendahului . Dengan
cepat disilangkan kedua tangannya di depan dada. Sejenak kemudian dari sepasang
mata ujud semu raksasa Ki Rangga meluncur seleret cahaya kebiru-biruan menembus
tebalnya selimut api yang melindungi tubuh lawannya dan langsung menembus dada
meremas jantung.
Terdengar seruan keras dari
balik gumpalan api yang menyala-nyala itu. Namun bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja dari gumpalan api itu
meluncur berpuluh-puluh lidah api yang langsung mengurung dan menyelimuti sekujur tubuh ujud
semu raksasa Ki Rangga.
Ki Waskita yang sempat
sekilas mengamati medan pertempuran Ki Rangga dan Kiai Damar Sasangka menjadi terkejut bukan alang kapalang. Tanpa
sadar dia telah meloncat ke belakang sambil berteriak keras, “Ngger..! Engkau
telah terpancing.! Jangan benturkan ilmumu ngger..!”
Namun semuanya sudah
terlambat. Kiai Damar Sasangka yang dengan cerdik membiarkan dirinya diserang
terlebih dahulu oleh bayangan semu Ki Rangga telah berhasil meraba tempat
persembunyian Ki Rangga.
Sedangkan Ki Waskita yang
meloncat ke belakang sambil memperhatikan arena pertempuran Ki Rangga ternyata telah
lengah. Seleret lidah api dari lawannya telah menggores lengan kirinya.
“Gila!” teriak orang tua itu
kesakitan sambil meloncat mengambil jarak. Terasa betapa lengan bajunya telah
hangus terbakar sementara kulit lengannya
terkelupas.
Dalam pada itu selagi Ki
Waskita berusaha menghindari serangan susulan lawannya, orang tua itu kembali
mendengar Kiai Damar Sasangka berteriak keras.
Sebenarnyalah Kiai Damar
Sasangka dengan sangat cerdik telah mengetahui sumber pancaran ilmu lawannya.
Sebagaimana usahanya terdahulu dalam menghindari serangan lawan melalui sorot
matanya, Kiai Damar Sasangka segera berguling menjauh. Begitu dia merasa sudah
terlepas dari garis serang sorot mata lawannya, tiba-tiba saja tubuhnya
melenting tinggi dan hinggap di atas dinding padepokan.
Pemimpin perguruan Sapta
Dhahana itu hanya memerlukan waktu sekejap untuk mengamati keadaan di luar
dinding. Begitu tampak olehnya sebuah bayangan kepala seseorang yang menyembul
di antara semak belukar di bawah sebatang pohon keluwih, tubuhnya yang
berbentuk gumpalan api sebesar gardu perondan itu pun bagaikan tatit segera meluncur
deras menghantam bayangan di bawah pohon keluwih itu.
Dalam pada itu, malam memang masih
menyisakan kegelapan, namun ayam-ayam jantan di padukuhan padukuhan telah
berkokok bersahut-sahutan menyambut datangnya sang fajar. Di Menoreh, Sekar
Mirah sedang tidur terlelap karena hampir semalaman Bagus Sadewa rewel dan
menangis tanpa tahu sebab musababnya. Baru menjelang dini hari tadi, anak semata wayangnya
itu bisa tidur dengan tenang.
Namun baru saja Sekar Mirah
terlena beberapa saat, dia telah dikejutkan oleh sebuah mimpi yang mengerikan.
“Kakaang..!” teriak Sekar
Mirah tiba-tiba sambil terlonjak dari tempat tidurnya. Dengan jantung yang
berdentangan, sepasang matanya nanar mengawasi keadaan di sekelilingnya.
Sementara sekujur tubuhnya telah menjadi gemetar dan bersimbah keringat serta
nafas yang memburu.
Damarpati yang selalu
menemani Sekar Mirah dan tidur beralaskan tikar di lantai bilik ikut terkejut.
Dengan cepat dia segera bangkit berdiri dan menghampiri istri ki Rangga Agung
Sedayu itu.
“Mbokayu,” seru Damarpati
sambil mengguncang-guncang lengan Sekar Mirah, “Ada apa, mbokayu..!?”
Sekar Mirah belum dapat
berkata sepatah katapun. Mulutnya rasa-rasanya terkunci dan lidahnya kelu. Apa
yang dilihatnya di alam mimpi benar-benar telah mengguncang hatinya.
“Kakaang..,” hanya sepatah
kata itulah yang bisa terucap dari bibir yang pucat dan gemetar.
Agaknya Damarpati segera
tanggap. Dengan cepat dia berlari ke sudut bilik. Dituangkannya air kendi yang
segar ke dalam cawan. Dengan langkah sedikit tergesa cawan itu pun kemudian
diangsurkannya kepada Sekar Mirah.
"Minumlah mbokayu," berkata Damarpati kemudian.
Dengan kedua tangan yang
gemetar, Sekar Mirah menerima cawan itu. Betapa sulitnya air minum itu menembus
kerongkongannya. Rasa-rasanya ada batu sebesar kepalan tangan orang dewasa yang
menyumbat kerongkongannya.
Namun akhirnya sedikit demi
sedikit air minum itu pun kemudian mampu membasahi kerongkongangnya.
“Ada apa mbokayu?” bertanya
Damarpati kemudian perlahan sambil menerima cawan dari tangan Sekar Mirah, “Apakah
mbokayu bermimpi buruk?”
Sejenak Sekar Mirah mencoba
melonggarkan dadanya dengan cara menarik nafas dalam-dalam beberapa kali. Ketika
dirasakan jantungnya sudah tidak begitu melonjak-lonjak lagi, barulah Sekar
Mirah mengangukkan kepalanya.
“Ya, Damarpati,” jawab Sekar
Mirah perlahan sambil mengangguk, “Aku baru saja tertidur sejenak ketika tiba-tiba
saja mimpi tu datang. Sebuah mimpi yang sangat mengerikan.”
Damarpati mengerutkan
keningnya. Tanyanya kemudian, “Kalau aku boleh tahu, apakah mimpi mbokayu itu?”
Kembali Sekar Mirah menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian sambil berpaling ke arah Bagus Sadewa yang tidur
lelap di sebelahnya, dia menjawab lirih, “Aku melihat dalam mimpi, Kakang Agung
Sedayu sedang terjebak dalam sebuah hutan yang sedang terbakar dengan
dahsyatnya. Aku mencoba berteriak-teriak memanggilnya, namun bayangan kakang
Sedayu telah hilang ditelan api yang berkobar-kobar.”
Sampai disini Sekar Mirah
sudah tidak kuasa lagi menahan isaknya. Sejenak kemudian tangis Sekar Mirahpun
terdengar tersendat-sendat di antara suara riang kicau burung yang mulai terdengar
menghiasai udara pagi.
“Mbokayu,” berkata lirih
Damarpati kemudian mencoba menghibur sambil memeluk lengan Sekar Mirah, “Lebih baik
kita berdoa untuk keselamatan Ki Rangga. Selain itu kita dapat menghadap Ki
Gede Menoreh atau Kakekku untuk mohon petunjuk.”
Sekar Mirah tidak menjawab. Hanya
anggukan kepalanya saja yang tampak di antara sedu sedannya.
(Jika para CanMen menikmati cerita ini dan berkenan donasi, diucapkan beribu terima kasih. semoga mendapat balasan yang melimpah dan barokah, amiin)
Kok digantung mbah
BalasHapusBiar cepat kering...
HapusHujan terus, ga bisa kering.
Hapusmatur-nuwun mBah-Man..
BalasHapusmatur nuwun mbah man atas wedarannya ....
BalasHapusMohon no rek mbah man bisa diposting disini ?
BalasHapusdi halaman bawah, Ki
HapusRek mbah Putri
matur suwun sakderengipun
Ngapunten ndherek nambah info
HapusBlog ini dibuka dlm mode penuh atau mode web ki SS
Beberapa pesawat ponsel tdk dpt membuka tampilan penuh, meski di geser paling bawah tdk terlihat halaman bawah yg sebenarnya.
Mungkin demikian tambahan info
Nuwun
Nah . . . Nyi Sekar Mirah terbangun dari mimpi buruknya . . . berdebar kencang jantungnya mendapatkan wedaran sekilas dari Mbah Man.
BalasHapusApalagi para CanMen belum sempat bangun dari deburan ombak andrenalin yang memburu . . . duuuar pet . . . merconnya mbledhos separo.
Wah hebat tenan cara memelihara ketegangan. Terima kasih Mbah Man.
Cantrik siap menunggu mercon mbledhos lagi.
Wah nunggu mercon mbledhos terlalu lama, tunggu tahun baru atau ada yang mantenan....mendingan nunggu bola api sebesar gardu perondaan...dah pasti liwat....hehehe
HapusBola api sebesar gardu perondaan dengan penuh keyakinan bakalan semakin berkobar ditandai dengan mercon blanggur mbledhos yang suara nyamenggelagar sampai Korea Utara.
HapusMengejutkan dunia permisilan . . .
gemetar tangan ingin membalas meluncurkan misil Gerdu Dahana antar benua . . . kemana ?
Masih bingung
Hadir, matur nuwun Mbah Man, semakin mendebarkan, untuk donasi seperti biasa digabung dengan grup WA ADBMers dengan kolektor Nyi Sutji Sinto Rahayu ..... tetap semangat !
BalasHapusWeh enak yo ono grup WA ADBMrrs dadi kiriman bisa tersalur rata....seperti pribahasa "Berat sama dipikul ringan sama dijingjing"😆
HapusKalau ada yang berkenan untuk buat lagi grup WA STSDers...mungkin lebih enak untuk saling kirim barengan....seperti bahasaperi'ne : "Dijinjing sama ringan dipikul sama berat"...agar lebih semangat lagi..ting!!!!
lah wong membere STSD kuwi poro AdBMers owk ki.....
HapusOh ngono toh Mas Aryo ADBMers iku terusane STSDers..😆😆
HapusMatur nuwun infone Ki, saya hanya tertarik dengan bahasaperi ko enak yo guyub dan berketetapan rutin dan cukup lumayan kalau barengan dengan ketentuan yang tetap...hehehe
Karena saiki carane Hit n Run kalau ono rezeki pasti Hit tapi kalau sepi Run..Run...wae ...hehehe ngaputen Ki 🙏🙏🙏
Matur nuwun mbah man
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man🙏
BalasHapusOno artis anyar jenengane Damarpati????...apakah anak dari Kiai Damar Sasangka????....
HapusDamaroati itu artis yang masih pra remadja Ki Adiwa......ingat kan ...pada waktu Ki Swandaru Geni perang tanding di Kademangan Sankal Putung ?.....
Hapus.....hehehe......
...matur sanget nuwun Mbah_Man......
Wah lupa sepetinya Ki Dik Har...kira2 dijilid ADBM berapa ya????.....
HapusMatur nuwun infone Ki...👍👍
Di TADBM menjelang jilid akhir Ki Adiwa.......perang tanding karena rebutan sinden cantik......terluka parah......ditolong kakeknya Nimas Damarpati......trus mengantarkan Pandanwangi menengok Ki Gede Manoreh yang sakit....
Hapus.......coba di tanyakan kepada Nyi Pandanwangi yang sudah lama tak mecungul.....
....hehehe......
Njeh matur suwun Ki Dik Har iku di jilid 405 tahun 2014,
HapusDamarpati yang bertarung dengan Putut Luarsa dan kemudian diambil alih oleh Ki Gede....ahh...perlu baca ulang sepertinya ....wes lemot memorine....hehehe
...tapine hati - hati Ki.....jangan berani - beraninya melirik.....itu nanti calon penggantinya Rara Andjani setelah serah terima tanggungan...... menjadi selir....hehehe.....
BalasHapusYg sdh jelas jd adik seperguruannya roro wulan
HapusDan yang belum jelas jadi istri kedua Glagah Putih????...
HapusWkwkwk.....
HapusRatri juga belum jelas
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusjoss mbah Man... semakin seru...
HapusSdh bbrp X komén, cempulek nyong rung matur kesuwun aring mbah mandrake & ki dalang atas wedarannya
BalasHapusPangapunten & matur kesuwun pisan maning
Terus mbah...
BalasHapusTerus mbah...
BalasHapusmaturnuwun dobelannya
HapusTerima Kasih Mbah Man
BalasHapus