Dalam pada itu, begitu Rara
Anjani melangkah keluar pintu, kegelapan yang pekat segera menyergapnya. Namun Rara Anjani bukanlah perempuan kebanyakan. Dengan menajamkan
indera penglihatannya, Rara Anjani tanpa ragu-ragu segera mengayunkan
langkahnya menuju ke sebelah Pakiwan, ke sebuah pohon nangka yang tumbuh menjulang
tinggi.
“Untung aku tadi menggunakan
pakaian rangkap,” desis Rara Anjani dalam hati sambil tersenyum kecil, “Sekarang
aku dapat dengan bebas mencegat Ki Rangga dengan memakai pakaian khususku.”
Namun sebelum Rara Anjani
sempat melepaskan pakaian luarnya, tiba-tiba pandangan matanya yang tajam
menangkap sesuatu yang aneh sedang bergerak di dahan rendah dari pohon nangka
itu.
Sejenak Rara Anjani
mengerutkan keningnya. Bayangan hitam itu mirip seekor kera yang cukup besar
sedang bergelantungan di dahan yang rendah. Dengan tenangnya bayangan itu
berayun-ayun tanpa menimbulkan suara. Seolah-olah bayangan itu terpisah dari
alam sekitarnya.
Rara Anjani masih terdiam di
tempatnya. Dia benar-benar tidak mengerti sedang berhadapan dengan makhluk apa.
Ketika dia sedang berusaha mempertajam pandangan matanya, tiba-tiba saja makhluk
itu menjatuhkan dirinya ke tanah dan menggeliding ke arahnya.
Hampir saja Rara Anjani
menjerit. Untung kesadaran masih menguasai nalarnya. Dengan gerak naluriah, Rara
Anjani pun bergerak mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak.
Sejenak makhluk yang aneh
itu diam melingkar di atas tanah yang lembab. Tidak terlihat gerakan sama
sekali kecuali hanya terdengar samar-samar tarikan nafas yang halus dan
teratur.
“Siapa?” bertanya Rara
Anjani menguatkan hatinya. Seumur hidup Rara Anjani memang belum pernah melihat
atau pun bertemu hantu. Namun kali ini penalarannya yang sedikit buram telah mengarah kesana.
Tidak terdengar jawaban dari
benda yang lebih mirip dengan sebongkah batu padas itu. Ketika dengan
memberanikan diri Rara Anjani mencoba maju selangkah, benda itu pun segera
berguling menjauh dengan jarak yang sama.
Rara Anjani benar-benar menjadi
tidak sabar. Ada sedikit rasa gusar yang menyelinap di dalam dadanya. Dia merasa
dipermainkan oleh seseorang yang barangkali ingin menggagalkan rencananya untuk
mencegat Ki Rangga Agung Sedayu.
“Siapapun Ki Sanak, aku
merasa tidak punya urusan,” geram Rara Anjani. Sebagai perempuan yang telah mempelajari
olah kanuragan jaya kawijayan, harga dirinya merasa terusik. Lanjutnya kemudian
dengan suara sedikit membentak, “Pergilah! Atau aku akan menyingkirkan ujudmu
yang sangat tidak menarik ini dari hadapanku secara paksa!”
Agaknya kali ini ujud yang
mirip sebongkah batu padas itu menanggapi kata-kata Rara Anjani. Tiba-tiba ujud
itu terlihat melunak dan melumer menjadi sebentuk seperti selembar kain panjang
yang teronggok begitu saja di atas tanah.
Namun sebelum Rara Anjani menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya,
tiba-tiba saja makhluk aneh itu melenting tinggi dan kemudian hilang dalam
rimbunnya pepohonan di halaman belakang Ndalem Kapangeranan.
Jantung Rara Anjani
benar-benar hampir terlepas dari tangkainya. Ketika baru saja dia menarik nafas lega,
tiba-tiba terdengar suara tertawa lirih hanya selangkah di belakangnya.
Dengan cepat Rara Anjani
segera memutar tubuhnya. Tampak hanya
selangkah di hadapannya berdiri seorang yang sangat pendek dan berwajah tua
bangka.
Berdesir dada Rara Anjani. Dengan
cepat dia segera mengambil jarak mundur beberapa langkah. Walaupun dia adalah
salah satu perempuan perkasa yang menguasai olah kanuragan jaya kawijayan,
namun menghadapi seseorang yang sangat aneh di malam yang pekat itu, tidak
urung membuat jantungnya bergetar juga.
“Maafkan aku Rara,”
terdengar makhluk pendek itu bersuara mirip suara kanak-kanak, “Sengaja aku
mengganggumu malam ini, karena terdorong oleh rasa tanggung jawabku sebagai
pemomong para trah Mataram sejak Panembahan Senapati masih bergelar Mas Ngabehi
Loring Pasar sampai dengan saat ini cucunda Raden Mas Rangsang telah diwisuda
sebagai Pangeran Pati.”
Degub di dalam dada Rara
Anjani semakin kencang. Menurut pengenalannya selama ini di Ndalem Kapangeranan,
tidak pernah ditemui pemomong Pangeran Pati yang berujud seperti yang sekarang
ini berdiri di hadapannya. Maka jawabnya kemudian, “Ki Sanak jangan ngayawara. Aku
mengetahui seluruh penghuni Ndalem Kapangeranan
ini sampai para pekatik dan jajar, emban dan pelayan,” Rara Anjani
berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Tidak ada penghuni Ndalem Kapangeranan yang
mempunyai ujud seperti Ki sanak ini. Apakah maksud Ki sanak yang sebenarnya?”
Tiba-tiba makhluk pendek itu
mengambil ujudnya seperti batu kembali dan menggelinding menjauh. Katanya kemudian
sambil tertawa lirih, “Aku adalah pemomong para calon Raja Mataram sejak raden
Sutawijaya masih muda. Karena pada saat itu aku merasa ajalku sudah dekat, aku
kemudian minta ijin untuk bertapa di lereng Merapi. Ternyata permohonanku
dikabulkan dan aku menjadi mrayang dan diberi gelar Kiai Dandang Wesi yang bertugas
memomong dan menjangkungi calon pewaris tahta Mataram turun temurun.”
Rara Anjani mengerutkan
keningnya dalam-dalam. Cerita makhluk tu sama sekali tidak mengena di hatinya. Maka
katanya kemudian, “ Aku tidak mengerti dengan cerita Ki Sanak dan aku juga
tidak melihat adanya hubungan antara diriku pribadi dengan cerita Ki Sanak.”
Makhluk yang sekarang
mengambil ujud seperti batu padas itu terdengar tertawa. Jawabnya kemudian, “Rara adalah selir
dari Pangeran Pati. Apakah aku masih harus menjelaskan hubungannya dengan
tugasku?”
Kembali Rara Anjani mengerutkan
keningnya. Jawabnya kemudian, “Memang benar aku adalah selir Pangeran Pati. Namun
Ki sanak adalah pemomong Pangeran Pati jika memang pengakuan Ki Sanak dapat
dipercaya,” Rara Anjani berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Nah, silahkan
Ki Sanak mengurusi momongan Ki sanak dan jangan ikut campur dengan urusanku, karena kita sama sekali tidak ada
sangkut pautnya.”
Selesai berkata demikian
Rara Anjani sudah bersiap melangkah pergi kalau saja tidak didengarnya makhluk
itu berkata perlahan namun telah membuat sekujur tubuh Rara Anjani menggigil.
“Apa tanggapan orang jika
selir dari momonganku telah bertemu dengan laki-laki lain di tempat dan waktu
yang tidak sewajarnya?”
Bagaikan disambar petir di
siang bolong, Rara Anjani pun terperanjat bukan alang kepalang. Ternyata makhluk
aneh itu telah mengetahui rencana rahasianya untuk menemui Ki Rangga Agung
Sedayu.
“Rara,” kembali terdengar
makhluk itu berbicara, namun kini terdengar nada suaranya sangat sareh, “Rara
telah bersuami. Apapun yang terjadi, hargailah suami Rara. Betapapun Rara masih
mencintai laki-laki itu, namun Rara sudah menjadi milik suami Rara, Pangeran
Pati yang suatu saat nanti jika waktunya telah tiba akan menggantikan kedudukan
Ayahandanya sebagai Raja Mataram.”
Jika saja ada batu-batu
padas yang berguguran dari lereng bukit dan menimpa dadanya satu persatu,
niscaya tidak akan sedahsyat rasa sakit yang mendera dadanya saat itu begitu
mendengar kata-kata makhluk aneh itu yang secara langsung telah menyadarkan dirinya
akan kedudukannya sekarang ini.
“Nah, kembalilah ke bilikmu
Rara,” kembali makhluk aneh itu berkata dengan suara yang berat dan dalam, “Apa
kata Pangeran Pati nantinya jika mendapatkan bilikmu kosong?”
Kalimat terakhir dari
makhluk aneh itu benar-benar telah membuka penalaran Rara Anjani yang semula
buram sedikit demi sedikit menjadi terang.
“Terima kasih Ki Sanak,”
jawab Rara Anjani lirih hampir tak terdengar, “Ki Sanak telah berhasil
menyadarkan aku akan perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh perempuan
yang sudah bersuami.”
Terdengar sebuah tarikan
nafas yang berat dari makhluk itu sebelum akhirnya dia melenting tinggi dan hilang
di dalam rimbunnya dedaunan.
Sepeninggal makhluk aneh
itu, Rara Anjani pun dengan kepala tunduk telah berjalan kembali memasuki
Ndalem Kapangeranan melalui pintu dapur.
Matur nuwun Mbah Man, semakin seru .....
BalasHapusAlhamdulillah...
BalasHapussudah hadir satu rontal
matur suwun......
matur suwun mBah....
BalasHapuskiai Dandang Wesi njedul maneh...sedelo maneh dolanan hantu2an
Mbah Man mengajak bernostalgia pada saat pembukaan Alas Mentaok ....hantu dari Kerajaan Kajiman ....hehehe
HapusMatur suwun sanget Mbah Man....🙏🙏
Matur nuwun mbah Man ...
BalasHapuswah muncul Kyai Dandang Wesi asli, bukan yg menyamar seperti jaman membuka alas Mentaok ...
kulo menika kemutan crito2 kaleh rencang, salajengipun kulo asring mestani bilih rakyat jelata rikala jaman kerajaan menika kados malaekat amargi panampinipun rakyat kala rumiyin menika menapa ingkang pun dawuh aken priyagung kedah pun lampahi kanti rilo mboten pun gagas menika leres menapa mboten sanajan kadang mboten sarujuk.
BalasHapusKados dene ingkang pun westani triman, menika ganjaran ingkang ageng menapa maleh pun tambahi pangkat saking prajurit biasa pun dadosaken Demang, menapa malih tumenggung.
Matur nuwun mbah_man, waduuh tambah penasaran....
BalasHapusMatur-nuwun mBah-Man, atas rontalnya. Baru saja membaca ulang ADBM,pembukaan alas Mentaok buku 54....
BalasHapusmatur nuwun sanget mbah man .....wedaran tombo penasaran .... makin buat penasaran .. tensi tinggi ...
BalasHapusmatur nuwun mbah ...
Dicek saja ke dokter tensinya Ki DP...
HapusTerima Kasih Mbah Man
BalasHapus