“Nah, aku akan memulai
sebuah cerita yang cukup menarik,” berkata Ki Patih selanjutnya sambil
mengayunkan langkahnya perlahan-lahan, “Cerita ini bermula saat Kanjeng Sunan menyerahkan
Ki Bango Lamatan sebagai pengawal pribadi Pangeran Pati,” Ki Patih berhenti
sejenak. Dihirupnya udara dini hari yang sejuk untuk memenuhi rongga dadanya.
Lanjutnya kemudian, “Selain Ki Bango lamatan, ternyata Kanjeng Sunan juga
menyarankan seseorang yang menyebut dirinya Ki Tanpa Aran untuk menjadi
penasehat dan sekaligus pembimbing Pangeran Pati dalam hal kawruh lahir maupun
batin yang berhubungan dengan kehidupan bebrayan.”
Kedua orang itu tampak
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Ki Rangga lah yang kemudian bertanya,
“Ampun Ki Patih, siapakah sebenarnya orang yang menyebut dirinya Ki Tanpa Aran
itu?”
“Itulah yang aku sendiri
juga belum mengetahuinya,” jawab Ki Patih, “Sejauh yang aku ketahui, menurut
keterangan Pangeran Pati, dia adalah murid dan juga sekaligus sahabat Kanjeng
Sunan.”
Mendengar jawaban Ki Patih, Ki
Rangga hanya dapat menarik nafas panjang dengan wajah kecewa. Keterangan itu
juga yang dia dapatkan dari Pangeran Pati, tidak lebih dan tidak kurang.
“Ampun Ki Patih,” sekarang
giliran Ki Waskita yang mengajukan pertanyaan, “Apakah Ki Patih pernah bertemu
muka dengan Ki Tanpa Aran itu?”
Ki Patih menggeleng.
Jawabnya kemudian, “Dia selalu menghindar untuk bertemu muka denganku. Pernah
suatu saat aku perintahkan Pangeran Pati menghadap dengan membawa serta Ki
Tanpa Aran itu. Namun selalu saja ada alasan darinya untuk menghindari
pertemuan denganku.”
Hampir bersamaan Ki Waskita
dan Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Bertanya Ki Rangga kemudian, “Ampun
Ki Patih. Apakah Ki Patih mempunyai sebuah dugaan tentang diri orang yang
bernama Ki Tanpa Aran itu?”
Ki Patih menarik nafas
dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Ki Rangga. Dipandanginya langit yang
terlihat bersih tanpa awan selembar pun. Berjuta bintang tampak
berkerlap-kerlip menghiasi langit.
“Aku hanya menduga-duga
saja,” akhirnya Ki Patih menjawab pertanyaan Ki Rangga, “Namun dugaanku ini
belum berdasar. Maka untuk itulah aku mencoba memancingnya dengan isyarat
khusus ini,” Ki Patih berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku masih ingat
pada saat terjadi pertentangan Pajang dengan Jipang. Telah muncul orang yang
mengaku bernama Kiai Pager Wesi dari goa susuhing angin di sebelah utara gunung
Merbabu yang berpihak kepada Kadipaten Jipang dan mengancam akan membunuh
Adipati Pajang. Perguruan-perguruan yang mendukung Pajang pun telah bersiap
untuk menghadapinya. Kita telah sepakat menggunakan sebuah isyarat khusus dalam
menyusun kekuatan. Bukankah Ki Waskita juga mengenal isyarat khusus ini
walaupun agak sedikit berbeda?”
KI Waskita tersenyum sambil
mengangguk-angguk mendengar pertanyaan Ki Patih. jawabnya kemudian, “Sendika Ki
Patih. Memang pada saat itu perguruan-perguruan yang mendukung Pajang telah
bersepakat untuk menghadapi bersama jika para penghuni Goa susuhing angin di sebelah
utara gunung Merbabu itu akan melaksanakan ancamannya,” Ki Waskita berhenti
sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dan ternyata Raden Pamungkas dari perguruan
Windujati lah yang terlebih dahulu bertindak sehingga Kiai Pager Wesi dan para
pengikutnya menarik diri dari perselisihan itu.”
Ki Rangga yang mendengar
perguruan Windujati disebut telah berpaling ke arah Ki Waskita. Sengaja Ki
Waskita menggunakan nama Raden Pamungkas agar muridnya itu tidak mengetahui
bahwa Kiai Gringsing lah yang dimaksud oleh Ki Waskita.
Ki Patih tersenyum mendengar
Ki Waskita menyebut nama Raden Pamungkas. Tanpa sadar Ki Patih berpaling ke
arah Ki Rangga yang hanya dapat mengerutkan keningnya dalam-dalam.
“Aku menduga Ki Tanpa Aran
ini adalah tokoh sakti di masa lalu,” lanjut Ki Patih kemudian, “Entah dia
berasal dari masa Demak lama atau pada saat Pajang mengalami benturan dengan
Jipang. Semoga saja kehadirannya di masa kini akan memberikan manfaat kepada
Mataram di masa mendatang.”
Kembali Ki Waskita
dan Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepala mereka. Bagi Ki Rangga cerita masa
lalu itu hanya diketahuinya sepotong-sepotong, tidak utuh dan runut.
Pengetahuannya tentang jati diri gurunya pun sangat terbatas. Sesuai dengan
kitab peninggalan gurunya, bahwa ilmu yang mereka warisi adalah bersumber pada
sebuah perguruan yang pernah mempunyai nama besar di akhir masa pemerintahan
kerajaan Majapahit, perguruan Windujati.
Untuk sejenak suasana
menjadi sunyi. Hanya terdengar langkah-langkah ketiga orang itu menapaki jalan
tanah berbatu-batu. Tanpa terasa langkah mereka telah mendekati gerbang kota.
Beberapa oncor yang dipasang di kanan kiri gerbang sinarnya tampak menerangi jalan masuk yang dijaga ketat oleh
beberapa prajurit.
Agaknya para prajurit jaga
itu telah melihat ketiga orang yang berjalan perlahan-lahan menuju ke arah pintu
gerbang. Serentak beberapa prajurit segera berloncatan menghadang jalan.
Namun alangkah terkejutnya
para prajurit itu begitu mengenali salah satu dari ketiga orang yang sedang
berjalan menuju ke pintu gerbang itu adalah ki Patih Mandaraka.
“Segera laporkan kepada Ki
Lurah Adiwaswa,” bisik salah seorang prajurit itu kepada kawannya.
Tanpa diperintah dua kali,
prajurit itu pun segera meloncat dan berlari ke arah gardu penjagaan yang
berada di sisi dalam gerbang.
“Ada apa?” bertanya Ki Lurah
Adiwaswa yang sedang duduk di dalam gardu sambil menikmati jenang alot dan
wedang sere hangat.
“Ki Lurah,” berkata prajurit
itu dengan nafas setengah memburu, “Ki Patih Mandaraka!”
“He?!” bagaikan tersengat kalajengking
sebesar ibu jari kaki, Ki Lurah terloncat dari tempat duduknya sambil
membentak, “Jangan main-main. Mana ada Ki Patih dini hari begini datang ke
gerbang kota?”
“Mereka bertiga,” jawab
prajurit itu sambil menunjuk ke arah jalan yang membujur di luar gerbang.
Malam memang masih cukup
gelap walaupun sudah mendekati fajar. Namun pandangan tajam Ki Lurah Adiwaswa
segera melihat bayangan tiga orang yang
berjalan dengan perlahan menuju gerbang kota.
“Dari mana Ki Patih sepagi
ini?” gumam Ki Lurah sambil bergegas mengayunkan langkahnya.
Setibanya di depan gerbang,
ki Lurah segera memimpin para prajurit jaga untuk berbaris menyambut kehadiran
Ki Patih.
Ki Patih yang melihat
kesiap-siagaan para prajurit penjaga gerbang kota tersenyum. Begitu mereka
bertiga tinggal tiga langkah saja dari pintu gerbang, Ki Lurah pun segera
memberi aba-aba penghormatan.
“Terima kasih,” jawab Ki
Patih sambi tersenyum. Sementara Ki Rangga yang mengenal Ki Lurah Adiwaswa
telah mengerutkan keningnya.
“Ki Lurah bertugas di sini?”
bertanya Ki Rangga.
“Ya Ki Rangga,” jawab Ki Lurah, “Sepulang dari Lemah Cengkar,
aku dipindah-tugaskan untuk menjaga keamanan kota Raja.”
Ki Rangga
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan Ki Patih yang tidak begitu mengenal Ki
Lurah justru telah bertanya, “Di mana Ki Lurah tinggal?”
“Ampun Ki Patih, hamba masih
tinggal di barak prajurit,” jawab Ki Lurah sambil membungkuk hormat.
“He?” hampir bersamaan
ketiga orang itu berseru heran.
“Berapa umur Ki Lurah?” Ki
Patih bertanya kemudian.
Untuk sejenak lidah ki Lurah
bagaikan kelu. Namun pertanyaan Ki Patih itu pun akhirnya dijawab, “Hampir tiga
puluh, Ki Patih.”
Ki Patih tertawa pendek. Katanya kemudian, “Sudah lebih dari cukup untuk membangun sebuah keluarga,” Ki
Patih berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah Ki Lurah belum mempunyai
calon.”
Mendapat pertanyaan seperti
itu Ki Lurah hanya dapat menundukkan kepalanya. Sementara para prajurit yang berada
di pintu gerbang itu tampak dengan sekuat tenaga berusaha untuk menahan senyum
mereka.
Ki Patih agaknya menyadari hal
itu. Maka katanya kemudian sambil menepuk pundak ki Lurah, “Bersabarlah dan
berdoalah. Semoga Yang Maha Agung segera memberikan jodoh Ki Lurah seorang
perempuan yang cantik dan setia.”
“Dari keluarga yang terpandang
dan kaya raya,” tambah Ki Rangga sambil tersenyum.
“Anak tunggal yang tidak
punya saudara,” Ki Waskita yang sedari tadi diam saja telah ikut bicara.
“Yang kedua orang tuanya
sudah tua renta, sehingga warisan segera jatuh ke tangannya,” Ki Patih menambahkan.
Seketika meledaklah tawa di tempat itu.
Matur nuwun mbah Man ...
BalasHapusTerima kasih mbah Man
BalasHapusMatur suwun Mbah_man, makin penasaran dgn ki tanpa aran...
BalasHapusMatur nuwun wedarannya Mbah_Man...
BalasHapusMatur-nuwun mBah-Man, atas Wedaranipun.Sehat slalu,Aamiin.
BalasHapusMatur nuwun Ki Haji Panembahan Mandaraka .....
BalasHapusMatur nuwun sanget mbah man .... mau pulang mampir dulu Taman Bacaan ... sudah ada sambungan cerita ... mantaaap mbah man ...
BalasHapusPintar juga mbah Man melucu ys.
BalasHapusPintar juga mbah Man melucu ys.
BalasHapusKi Lurah Adiwaswa diam seribu bahasa sambil menundukkan mukanya.....
BalasHapusHehehe....diam seribu bahasa termasuk bahasa isyarat, dengan gaya barbagai macam suku bangsa,sambil menundukan muka tapi kepalanya tetap tegak....karena mukanya hanya topeng dan bisa dicantoli di tiang sebagai hiasan....hihihi
HapusAnjani wae dadekke putri triman nggo ki adiswa
BalasHapusNah setuju mas Aryo menunggu putri triman lanjutan dari Ki RAS, semoga Ki RAS dan Nyi Sekar Mirah selalu cekcok keluarganya dengan kehadiran Rara Anjani...hehehe
HapusSudah bisa balik dengan cinta pertamanya malah mlirik yang lain, coba kurang apa Nyi Pandan Wangi...
1. cantik setia sabar walaupun sudah janda,
2. Dari keluarga terpandang dan kaya raya
3. Anak tunggal tidak bersaudara
4. Bapaknya tua renta tapi kaya karena pemilik Tanah Perdikan Manoreh, dan bersahabat dengan KTA bukan masalah hutang tapi membimbing Karwuh lahir dan bathin.....bukan begitu Ki Gembleh......hehehe
Matur nuwun sanget Mbah Man ....untuk episode 12 - 13 🙏🙏
BalasHapusMatur nuwun Ki Rangga,Ki Waskita, Ki Patih atas doanya dan guyonanne.....hehehe
Dapat istri cantik,dari keluarga terpandang dan kaya rasa,anak tunggal, camernya sudah tua renta dan berteman akrab dengan KTA, dan berpesan ....calon mantu tolong rawatlah anakku dan KTA sampai tuntas itu warisanmu..nggih bapake saya akan rawat dengan baik dan semoga saya bisa belajar banyak dengan KTA...bagus..bugus..itu baru canlon mantu karena semua yang kumiliki ini berkat KTA...kau pasti kenal dengan KTA itu....oh kenal sekali bapake...Kiai Tanpa Aran kan? ....bukan itu tauuu!!! ...Tapi Kredit Tanpa Angunan...nah itulah warisan yang akan kuberikan padamu....jadi...jadi...warisannya hutang....sreet mblayuuuu...
Ah mendingan cari istri yang biasa biasa saja tapi cantik, tidak usah kaya raya tapi cukup makmur, tidak anak tunggal juga tidak apa asal adik kakaknya tidak ngerusui, bapaknya tua renta juga tidak apa apa asal pensiunan Jendral dan banyak colleganya....hehehe
Opo maneh ki KTA Perjuangan : Kredit Tanpa Angsuran
HapusHehehe.....Kredit Tanpa Angsuran syarat syaratnya dapat makan 2 kali tidurnya dibalik jeruji besi...dan harus mau kerja rodi....😆😆
HapusSemangaaaat ki Adiwaswa ..... tak kancani kalau mau ketemu ki tanpa agunan itu ... wkwkwkwkwk lg butuhhhhh ....
BalasHapusWeh...buat beli gerobak lagi Ki DP??😆
Hapuswkwkwkwkwkwk gerobak tempe mendoan
HapusHadir, Jum'at Barakah ..... tetap semangat !
BalasHapusWah jebul ki adiwa masih bujangan. Pasti doa ki patih, ki rangga dan ki waskita dikabulkan buat ki adiwa.
BalasHapus...Alhamdulillah....
HapusBeberapa celotehan usulan ternyata telah mendapatkan perhatian dari Mbah_Man ( mohon maaf...GR mbah...)
1. RAS segera diberi tiga bitang emas...
2. Anjani mendapat KTP Mataram....walaupun ada pemuda yang terpaksa merana-merene ....
3. Ki Lurah yang telah "me-mantankan - diri" winisudo malih.....
4. ....masih ugungan satu lagi mbah....mecungulnya Trah Bre Pandan Alas.....(...bukankah masih keturunan Madjapahit ?...)
Jadi akan tambah regeng dan gayeng...Trah Sutowijoyo ....Trah Seda Lepen.....Trah Pandan Alas....Trah Sadewa....Trah Manoreh....Trah Sangkal Putung .....
.....ngapuntene Mbah_Man....matur sanget nuwun...salam hormat.
Hehehe....itulah Ki HRG berkat ilmu Tolak Keriput alias ilmu awet muda yang dipelajari dari Ki Lurah Wira Sembada yang sebenarnya di berikan ke Ki RAS, karena Ki RAS tidak mau meminum ramuan Ilmu Tolak Keriput, ya dari pada mubajir maka ilmu itu dimanfaatkan oleh Ki Lurah ingak inguk sehingga Mbah Man sedikit meleset untuk memperkirakan umur Ki Lurah yang masih kelihatan ganteng dan sempat menerima lirikan Anjani....hehehe
HapusNggih Ki Dik Har....lah wong sudah pensiun malah njebul malih dengan status mesih enom...hehehe
HapusMbah Man dalam penutupan episode 13 tidak meninggal misteri lagi.....karena mereka bertiga tertawa terbahak bahak....mungkin episode ke 14 perlu waktu lama karena Ki Patih dan Ki Waskita sedang sakit perut akibat banyak tertawa....hehehe
....masih ada misteri buesaaar yang terselip Ki....kapan resepsinya???.....apakah semua camen akan mendapat undangan???.....
Hapus....hehehe.....ndelik sik ah.....
geng enjang....
Sugeng enjang ki adiwa, ki dik har, ki dp, ki jokowo dan semua cantrik semoga ada wedaran hari ini
HapusSugeng dalu Ki Hrg., tuwin sedoyo CAMEN.
HapusSemoga kita semuanya senantiasa mendapatkan Rahmat dan Hidayah Allah SWT. Aamin.
Alhamdulillah bisa hadir hari ini. Barokalloh pada para hadirin. Maturnuwun Mbah_Man atas kucuran rontal" sampean, sehat selalu ya Mbah_Man.
BalasHapusMinggu minggu nglangut
BalasHapusNgLaut mawon ki..dolanan pasir
HapusPanase pol..,dalam rumah 35, klo di pantai bisa 40 lebih...
BalasHapusminggu malem mampir taman bacaan nunggu wedaran .... semoga mbah man sehat sehat saja ...
BalasHapusJadwal wedaran : pakem terakhir
BalasHapusSenin, Selasa, Kamis
Mohon maaf jadwal wedaran agak berubah dikarenakan Ki Patih dan Ki Waskita masih kurang sehat, mungkin episode selanjutnya agak melongkap dengan hadirnya tokoh misterius yang menamakan KTA terungkap, dan mungkin canmen yang penasaran akan hilang dan sedikit gembira dan tidak usah tertawa tapi berserulah..."Wooow" ternyata KTA itu adalah KTM (Ki Tanu Metir)....bukan begitu Ki Gembleh....begitulah tapi lebih dikenalnya Kiai Gringsing...mungkin lho??...seru Ki Gembleh.....hehehe
HapusNgapunten Mbah Man...🙏🙏
Nuwun sewu Ki Gembleh sudah hatamkah baca ADBM Ki SHM,
Kulo masih meliput di lereng merapi untuk memantau pembebasan Sekar Mirah di padepokan Tambak Wedi dan sedang mewancarai Kiai Gringsing dengan cara apa yang akan ditempuh untuk menyelamatkan Sekar Mirah demikian liputan dari lereng merapi....hehehe
matur nuwun mbah-man, kalih nenggo sak lajengipun
BalasHapusHadir ..... tetap semangat !
BalasHapusTerima Kasih Mbah Man
BalasHapusSangat senang sekali, sebagai anak jawa lali dusune, sy sangat terhibur dengan ADBM, dikenalkan oleh alm bapak saat sy masih SD, eehhh jadi senang dengan Agung Sedayu n geng dilanjut mbah Man dan ikut ndeprok saja
BalasHapusMasukkan komentar Anda...mbah man minta kiriman stds jili 14 halaman 2,3 matur sembah nuwun mbah man
BalasHapus