Senin, 31 Juli 2017

woro2 STSD jilid 06

@ cantrik mentrik ingkang dahat kinurmatan

sehubungan dengan padatnya kegiatan mbah man, penerbitan STSD jilid 06 agak tertunda.
diusahakan minggu ini selesai, mohon dimaafkan
matur suwun

salam,
mbah man

Jumat, 07 Juli 2017

Lanjutan JJYT 01

Sejenak kemudian keempat tamu-tamu itupun segera melintasi halaman padepokan yang luas untuk kemudian menaiki pendapa ditemani oleh Widarba dan Wregu. Sementara kuda-kuda mereka telah ditambatkan di sebelah kanan pendapa.

“Silahkan,” berkata Widarba kemudian sambil mempersilahkan tamu-tamunya mengambil tempat duduk di atas tikar pandan yang putih bersih. Setelah tamu-tamunya duduk, barulah Widarba dan Wregu mengikuti duduk menghadap ke arah tamu-tamunya.

Sebagaimana suba sita yang berlaku di kehidupan bebrayan, Widarba pun terlebih dahulu menanyakan keselamatan tamu-tamunya selama dalam perjalanan sebelum  memulai pembicaraan.

“Nah,” berkata Widarba selanjutnya, “Jika Ki Putut Gagar Mayang tidak berkeberatan, kami ingin mengetahui serba sedikit tentang perguruan Blarak Sineret di kaki gunung Sindara itu.”

Tampak Putut Gagar Mayang menarik nafas panjang sambil berpaling ke arah adik-adik seperguruannya. Namun agaknya mereka telah menyerahkan persoalan itu sepenuhnya kepada kakak seperguruan mereka.

“Baiklah Ki Widarba,” jawab Putut Gagar Mayang kemudian sambil menggeser duduknya setapak ke depan, “Perguruan Blarak Sineret memang terhitung perguruan yang masih baru, sehingga wajar jika kalian belum pernah mendengarnya.”

Hampir bersamaan Widarba dan Wregu mengangguk-angguk. Bertanya Widarba kemudian, “Siapakah yang menjadi pemimpin perguruan Blarak Sineret sekarang ini?”

“Kiai Sarpa Sri,” jawab Putut Gagar Mayang dengan serta merta.

Jika ada guntur meledak di langit di siang hari itu, tentu Widarba tidak akan sekaget mendengar jawaban Putut Gagar Mayang.

“Kiai Sarpa Sri?” seru Widarba dengan jantung yang berdebaran. Sedangkan Wregu yang duduk di sebelahnya hanya dapat mengerutkan keningnya dalam-dalam.

Bagi Wregu nama Kiai Sarpa Sri memang belum didengarnya sehingga tidak berpengaruh sama sekali. Namun sebaliknya bagi  Widarba, nama Kiai Sarpa Sri sudah tidak asing lagi di telinganya. Nama yang selalu menggetarkan dadanya jika setiap kali dia teringat akan nama itu.

“Apakah Ki Widarba mengenal nama itu?” bertanya Putut Gagar Mayang kemudian begitu melihat raut wajah Widarba berubah tegang.

Namun sebelum Widarba menjawab, terdengar pintu pringgitan berderit perlahan. Serentak orang-orang yang sedang berada di pendapa itupun segera berpaling. Tampak  seseorang yang sudah sangat dikenal oleh Widarba dan Wregu muncul dari balik pintu.

“Ki Surapada,” tanpa sadar Widarba dan Wregu berdesis dengan nada suara sedikit terkejut sambil bangkit berdiri. Keempat tamu itupun tanpa sadar telah ikut berdiri.

Namun tampak keempat tamu itu mengerutkan kening mereka dalam-dalam sambil memandang ke arah Ki Surapada yang masih berdiri di depan pintu pringgitan. Nama Ki Surapada memang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Mereka hanya mengenal satu nama Ki Dipasura di perguruan Sari Pati sesuai dengan petunjuk  guru mereka.

Agaknya Ki Surapada dapat membaca keheranan di wajah para tamunya. Maka katanya kemudian sambil berjalan mendekat, “Perkenalkan Ki Sanak semua, aku Ki Surapada, pemimpin perguruan Sari Pati yang baru sepeninggal Ayahanda Dipasura beberapa tahun yang lalu.”


“O,” serentak keempat tamu itu segera membungkukkan badan mereka sambil mengangguk dalam-dalam. Berkata Putut Gagar Mayang kemudian mewakili kawan-kawannya, “Maafkan kami Ki Surapada, jika kami belum mengenal pemimpin baru padepokan Sari Pati ini. Sejauh pengetahuan kami, perguruan Sari Pati  masih dibawah kepemimpinan Ki Dipasura.”