Kamis, 30 Maret 2017

JEJAK-JEJAK YANG TERLUPAKAN (Terusan NSSI)

JEJAK-JEJAK YANG TERLUPAKAN (Terusan NSSI)
Sinopsis

Diterimanya Karebet kembali di lingkungan keprajuritan Demak telah menimbulkan berbagai tanggapan, baik yang senang maupun yang tidak senang. Bahkan tidak sedikit yang mencemooh. Salah satunya adalah Tumenggung Prabasemi. Merasa tidak mungkin bersaing dengan Karebet untuk memenangkan hati Putri Sekar Kedaton, Tumenggung Prabasemi pun memilih menyingkir dan kembali memperdalam ilmunya untuk suatu saat melepaskan dendam yang semakin hari semakin menggunung.

Sementara pemerintahan Demak di bawah Sultan Trenggana mulai memikirkan untuk mempersatukan tanah Jawa dari ujung sampai ke ujung. Mahesa Jenar yang telah kembali menyandang pangkat keprajuritan, atas jasa-jasanya dalam menemukan keris pusaka Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten telah dianugrahi pangkat Tumenggung. Bersama Gajah Alit dan Paningron, mereka ditugasi untuk menjajagi kekuatan di wilayah Bang Wetan
Sedangkan Rara Wilis yang ditinggal suaminya menunaikan tugas, lebih senang ditemani oleh kakeknya, Ki Ageng Pandan Alas.  Dengan senang hati Ki Ageng Pandan Alas pun memenuhi permintaan cucunya untuk tinggal di Demak dan sekaligus  menanti saat-saat yang membahagiakan dengan akan lahirnya buah cinta kasih Mahesa Jenar dan Rara Wilis, yang sekaligus akan menjadi cicitnya.

Di tanah Perdikan Banyubiru, Ki Ageng Sora Dipayana ternyata lebih senang meninggalkan kemewahan dunia dan menyepi di tempat yang tidak seorang pun boleh mengetahuinya. Sedangkan perdikan Banyubiru kembali dipimpin oleh Ki Ageng Gajah Sora yang dibantu oleh anak laki-laki satu-satunya, Arya Salaka. Sementara Pamingit, yang dulunya dipimpin oleh  Ki Ageng Lembu Sora, semenjak kematian Sawung Sariti, lebih senang mengundurkan diri dan menyerahkan Pamingit kepada kakaknya, Ki Ageng Gajah Sora.

Waktu terus bergulir. Ki Kebo Kanigara dan Endang Widuri memilih tinggal di Karang Tumaritis memimpin para Cantik, Putut, dan Jejanggan serta para Endang, menggantikan Panembahan Ismaya yang telah jengkar dan tidak diketahui rimbanya.

Persoalan muncul ketika padepokan Karang Tumaritis kedatangan seseorang yang mengaku bernama Jaka Pamungkas. Ki Kebo Kanigara dengan senang hati menerima Jaka Pamungkas sebagai bagian dari padepokan Karang Tumaritis. Jaka Pamungkas yang umurnya lebih tua  di banding dengan Karebet, namun sedikit lebih muda  dari Mahesa Jenar  itu sebentar saja telah menjadi akrab dengan Endang Widuri.

Sementara itu langit Demak mulai tertutup mendung tebal. Harya Penangsang yang merasa berhak atas tahta, telah menyusun dan menghimpun kekuatan untuk menggulingkan  Demak. Para Wali yang mempunyai peran sebagai Penasehat Kerajaan pun telah berselisih pendapat tentang siapa yang sebenarnya berhak menduduki tahta.

Akhir Maret 2017
Padepokan Sekar Keluwih


Mbah Man

Selasa, 28 Maret 2017

kiriman STSD 03

Yth para Can Men

STSD 03 sudah terkirim,
bagi para CanMen yang belum dapat, silahkan kirim email lagi ke mbah man
alamat emai: s_sudjatmiko@yahoo.com.au

matur suwun
mbah man

woro woro

para CanMen YTH,

insyaAlloh jika tidak ada aral melintang, nanti malam satu buku STSD jilid3 akan dikirim
Mohon siap-siap dengan emailnya.
matur suwun

Mbah man
nb: matur suwun atas kesabarannya menunggu

Selasa, 14 Maret 2017

Woro-woro

Para CanMen Yth,

Dengan selesainya STSD jilid 02, maka mbah man akan mengambil cuti selama 2 minggu
Untuk STSD jilid 03, rencananya InsyaAlloh akan diwedar sekaligus 1 buku (masih dalam proses)
bagi yang berminat silahkan email ke alamat: s_sudjatmiko@yahoo.com.au
Untuk gandhok Gagak Seta dhi Mas Satpam, otomatis akan mendapat jatah 1 buku jilid 03,
untuk wedaran tiap hari, diserahkan atas kebijaksanaan Mas Satpam. Bagi CanMen yang sudah mendapat jilid 03, mohon tidak mengganggu wedaran Mas Satpam dengan spoilernya.
Di Gandhok mbah man tidak akan ada wedaran, namun silahkan bergojek dan memberikan sumbangsih cerita.
yang terakhir, pemesanan buku jilid 03 ini tidak ada hubungannya dengan donasi, silahkan jika berkenan, jika tidak karena suatu kerepotan juga tidak masalah.
Matur suwun

padepokan sekar keluwih
Sungon, Sidoarjo

mbah man

Senin, 13 Maret 2017

STSD 02_26

Sejenak kemudian, pandangan mata Eyang Guru yang melebihi orang kebanyakan itu segera menangkap dan mengenali sesosok tubuh yang sedang berjalan dalam kegelapan. Eyang Guru pun menarik nafas dalam-dalam untuk mengurangi getar di dalam dadanya.

“Marilah Raden,” berkata Eyang Guru kemudian, “Kita temui Ki Kebo Mengo. Sekalian kita bicarakan rencana kita untuk ke padepokan Sapta Dhahana nanti menjelang tengange.”

Raden Surengpati masih ragu-ragu sejenak. Namun ketika pandangan matanya sudah mampu menangkap dan mengenali sesosok tubuh yang berjalan mendekat itu, wajah Raden Surengpati pun menjadi cerah. Sambil tersenyum dan mengangguk-angguk, dia segera mengikuti langkah Eyang Guru.

Dalam pada itu di banjar padukuhan, Ki Rangga yang sedang dalam puncak samadinya itu ternyata telah terganggu oleh sesuatu hal yang belum dimengertinya. Sehingga perlahan-lahan pemusatan nalar dan budi Ki Rangga pun mulai memudar seiring dengan kesadaran yang mulai memenuhi otaknya. Sejenak kemudian Ki Rangga pun telah terjaga dari samadinya dan tersadar sepenuhnya.

“Apa yang sebenarnya telah terjadi, ngger?” pertanyaan itulah yang pertama kali didengar oleh Ki Rangga begitu dia membuka kedua matanya.

Sambil bangkit dan kemudian duduk bersila, Ki Rangga berpaling ke arah Ki Waskita yang duduk di sebelahnya. Jawabnya kemudian, “Ki Waskita, aku merasakan sesuatu yang aneh telah terjadi dalam samadiku.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Angger sedang dalam puncak samadi ketika tiba-tiba saja aku menyadari angger sepertinya mengalami sedikit gangguan dan kemudian samadi angger pun telah badar.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sambil menggeser duduknya menghadap penuh ke arah Ki Waskita, Ki Rangga pun kemudian menceritakan pengalaman yang didapatkannya selama dalam puncak samadinya.

“Ketika aku sedang berhadapan dengan orang yang menyebut dirinya Ki Kebo Mengo,” demikian Ki Rangga memulai ceritanya, “Panggraitaku telah menangkap adanya gerakan dari dua orang yang sedang berada di sekitar tempat itu.”

“Apakah angger mengenali mereka?” potong Ki Waskita dengan nada sedikit tidak sabar.

“Ya, Ki,” jawab Ki Rangga, “Aku mengenal salah satu dari mereka adalah orang yang pernah berselisih denganku di kediaman Ki Gede Menoreh beberapa saat yang lalu.”

Mendengar penjelasan Ki Rangga, Ki Waskita pun segera teringat dengan peristiwa yang terjadi di kediaman Ki Gede Menoreh. Maka tanya Ki Waskita kemudian, “Apakah yang angger maksud itu adalah salah satu pengikut Trah Sekar Seda Lepen yang menyebut dirinya Eyang Guru?”

“Benar, Ki,” sahut Ki Rangga dengan serta merta. Lanjutnya kemudian, “Dan yang satunya adalah  orang yang selama ini menghantui tanah Perdikan Matesih, Raden Mas Harya Surengpati.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Tanya Ki Waskita kemudian, “Bagaimana angger bisa mengetahuinya?”

“Aku mendengar Eyang Guru menyebut namanya,” jawab Ki Rangga, “Namun ternyata mereka berdua tidak ikut melibatkan diri dengan Ki Kebo Mengo. Eyang Guru lebih memilih menuju ke banjar padukuhan.”

Sejenak wajah Ki Waskita menegang. Berbagai tanggapan telah muncul dalam benaknya. Namun sebelum Ki Waskita bertanya lebih jauh, ternyata Ki Rangga  segera memberi penjelasan.

“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian, “Ternyata Eyang Guru itu telah mengetahui kelemahan aji pengangen-angen. Dengan sangat yakin Eyang Guru berencana untuk mendapatkan wadagku yang sedang dalam puncak samadi dan kemudian dengan sangat mudahnya dia akan membunuhku.”

Ki Waskita menarik nafas panjang mendengar keterangan Ki Rangga. Untuk beberapa saat ayah Rudita itu termenung. Memang di dunia ini tidak ada yang sempurna. Kesempurnaan itu hanya milik Yang Maha Kuasa dari segala yang berkuasa di muka bumi ini. Aji pengangen-angen pada dasarnya adalah sebuah aji sang sangat ngedab-edabi, namun mempunyai satu kelemahan, yaitu justru terletak pada wadag orang yang menguasai ilmu itu sendiri.

Kembali Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Bertanya Ki Waskita selanjutnya, “Apakah angger kemudian memutuskan untuk meninggalkan Ki Kebo Mengo dan  mengejar mereka berdua?”


Ki Rangga tidak segera menjawab. Untuk beberapa saat Ki Rangga masih mencoba menilai apa yang telah dilakukannya beberapa saat yang lalu.

bersambung ke  STSD 03

Sabtu, 11 Maret 2017

STSD 02_25

“Ki Rangga Agung Sedayu?” hampir bersamaan kedua orang itu berdesis perlahan namun terdengar suara mereka bergetar seiring dengan degup jantung mereka yang tiba-tiba saja telah melonjak-lonjak tak terkendali.

“Bagaimana mungkin?” terdengar Eyang Guru kembali berdesis sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam, “Apakah Ki Kebo Mengo sedemikian mudahnya dapat ditundukkan oleh  Ki Rangga?”

“Belum tentu,” sergah Raden Surengpati dengan dada berdebaran. Pandangan matanya tak pernah lepas dari ujud bayangan Ki Rangga yang berdiri beberapa tombak di depannya, “Ki Kebo Mengo adalah orang kepercayaan Kakangmas Wirasena. Aku yakin ujud bayangan semu Ki Rangga lah yang melarikan diri.”

“Melarikan diri?” ulang Eyang Guru dengan nada keheranan, “Melarikan diri karena kalah beradu ilmu dengan si Kerbau bodoh itu?”

Sejenak merah padam wajah Raden Surengpati. Namun dengan cepat kesan itu dihapus dari wajahnya. Katanya kemudian, “Maksudku, Ki Rangga mungkin mengetahui gerak-gerik kita dan memutuskan untuk mengejar kita berdua.”

Eyang Guru sejenak tertegun. Jika memang benar Ki Rangga telah mengetahui gerak-gerik dirinya dan Raden Surengpati, tentu agul-agulnya Mataram itu telah mencapai tingkat yang nyaris sempurna dalam menguasai panggraitanya untuk melacak keberadaan seseorang.

Namun selagi kedua orang itu menduga-duga apa sebenarnya yang telah terjadi dengan Ki Kebo Mengo, tiba-tiba saja bayangan semu Ki Rangga perlahan-lahan menghilang bagaikan asap yang tertiup angin kencang.

“He?!” hampir bersamaan keduanya berseru tertahan. Detak jantung mereka yang semula mulai tenang kini melonjak-lonjak kembali.

“Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” bertanya Raden Surengpati dengan kening yang berkerut-merut. Sementara Eyang Guru yang berdiri di sebelahnya segera menundukkan kepalanya serta menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Eyang Guru hanya memerlukan waktu sekejab untuk menilai keadaan di sekelilingnya. Sejenak kemudian, Eyang Guru pun telah mengangkat wajahnya serta mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada.

“Ki Rangga telah pergi,” desis Eyang Guru kemudian sambil menarik nafas panjang.

Raden Surengpati yang berada di sebelahnya berpaling. Dengan nada sedikit ragu-ragu, Raden Surengpati pun kemudian bertanya, “Pergi? Mengapa?”

Kembali Eyang Guru menarik nafas dalam. Jawabnya kemudian, “Entahlah. Aku tidak dapat menduga permainan apakah yang sedang ditunjukkan oleh Ki Rangga? Namun yang jelas, ilmu Ki Rangga dari hari ke hari rasa-rasanya semakin tinggi dan mumpuni. Aku khawatir, jika tidak segera dihentikan, cita-cita Trah Sekar Seda Lepen hanya akan tinggal mimpi belaka.”

Berdesir dada Raden Surengpati. Namun di dalam hatinya masih ada sepercik harapan. Jika Kakandanya mampu menarik Kiai Damar Sasangka untuk bergabung, mereka akan mempunyai kekuatan yang setara bahkan mungkin lebih tinggi dibanding dengan kekuatan Mataram.

“Sudahlah,” berkata Eyang Guru kemudian membuyarkan lamunan Raden Surengpati, “Lebih baik kita kembali saja. Aku mempunyai rencana untuk pergi ke gunung Tidar selepas tengange. Ada yang harus segera kita bicarakan dengan Raden Wirasena dan para penghuni perguruan Sapta Dhahana itu.”

Selesai berkata demikian tanpa menunggu tanggapan Raden Surengpati, Eyang Guru segera melangkahkan kaki kembali menuju ke perdikan Matesih. Sementara Raden Surengpati dengan tergesa-gesa segera mengikuti di belakangnya.

Demikianlah akhirnya, kedua orang itu telah memutuskan untuk kembali ke Tanah Perdikan Matesih. Agaknya Eyang Guru telah memperhitungkan untung ruginya jika harus berhadapan dengan kelima orang yang sedang bermalam di dukuh Klangon itu. Jika dugaan Raden Surengpati benar bahwa Ki Juru Mertani ada di antara kelima orang itu, Trah Sekar Seda Lepen harus benar-benar berhitung cermat dalam mengukur kekuatan mereka.

Sejenak kemudian kedua orang itu telah menyusuri jalan dukuh Klangon yang sepi. Kali ini mereka tidak melewati halaman-halaman rumah yang sepi serta meloncati pagar-pagar yang tinggi. Mereka menyusuri jalan sebagaimana biasanya, tidak harus dengan cara sembunyi-sembunyi.

Namun belum ada sepenginang sirih mereka berdua berjalan, pendengaran Eyang Guru yang lebih tajam dibanding Raden Mas Harya Surengpati telah menangkap desir lembut dari arah yang berlawanan sedang menuju ke tempat mereka.

Segera saja Eyang Guru menghentikan langkahnya.

“Ada apa?” bertanya Raden Surengpati sambil ikut menghentikan langkahnya.

Eyang Guru tidak segera menjawab. Langkah itu memang masih cukup jauh, namun pendengaran Eyang Guru yang luar biasa tajamnya telah mampu menangkapnya.

“Eyang Guru,” kembali Raden Surengpati bertanya, “Apakah Eyang Guru melihat sesuatu yang mencurigakan?”

Eyang Guru menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu sebelum menjawab. Katanya kemudian setengah berbisik, “Yang datang kemudian ini menurut pengamatanku juga termasuk orang yang mumpuni menilik desir langkahnya yang sangat lembut. Namun aku yakin ini bukan bayangan semu Ki Rangga. Sebuah bayangan semu tidak dapat dikenali desir langkahnya, karena dia hanya berupa sebuah bayangan.”

“Karena itulah kehadiran bayangan semu Ki Rangga beberapa saat tadi tidak dapat diketahui oleh Eyang Guru,” sahut Raden Surengpati.

“Benar Raden,” jawab Eyang Guru, “Aku dapat mengenalinya jika bayangan itu sudah berujud. Namun jika dia menghilang, aku yakin tidak ada seorang pun yang akan mampu untuk melacaknya. Itulah sebabnya ilmu Ki Rangga itu benar-benar tidak ada duanya. Jika Ki Rangga mampu mematangkannya, seorang diri saja dia akan mampu menggulung jagad.”


Raden Surengpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara suara desir langkah itu telah menjadi semakin dekat sehingga kini adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu pun sudah mampu mendengarnya.

Kamis, 09 Maret 2017

STSD 02_24

Sejenak kemudian kedua orang itu harus berjalan menjauhi lingkaran pertempuran antara Ki Rangga melawan ki Kebo Mengo. Sesekali mereka berdua harus meloncati pagar halaman yang cukup tinggi  dan melintasi halaman-halaman yang sepi.

“Eyang Guru,” berkata Raden Surengpati kemudian sambil terus mengikuti langkah Eyang Guru, “Selain  berita dari telik sandi sore tadi, aku juga menerima berita dari orang-orangnya gegedug dukuh salam yang biasa dipanggil dengan sebutan Ki Lurah itu,” Raden Surengpati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Menurut orang-orangnya Ki Lurah, salah satu dari kelima orang itu ada yang mempunyai kemampuan bermain sihir. Kejadian itu mereka alami ketika mereka sedang mengumpulkan derma di sekitar kali Krasak. Salah satu dari kelima orang itu telah menyumbangkan berbagai perhiasan emas dan sebuah keris berpendok emas. Namun ternyata  mereka telah menjadi korban permainan sihir.”

Eyang Guru tidak menjawab. Sambil berjalan terbungkuk-bungkuk dia dengan cepat melintasi halaman sebuah rumah yang tampak kosong, tidak ada seberkas sinar pun yang terlihat menembus keluar dari sela-sela dinding rumah yang terbuat dari bambu itu.

“Eyang Guru?” Raden Mas Harya Surengpati mengulangi pertanyaannya dengan suara sedikit keras.

“Aku sudah dengar, Raden!” sahut Eyang Guru dengan nada sedikit kesal tanpa menghentikan langkahnya, “Aku tidak peduli siapa kelima orang itu, dan sampai setinggi apa kemampuan mereka, kecuali Ki Rangga Agung Sedayu. Permainan sihir bagiku tak lebih dari sebuah permainan kanak-kanak.”

Raden Surengpati menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan detak jantung di dalam dadanya yang tiba-tiba saja melonjak-lonjak.  Sebenarnya dia ingin menyampaikan sesuatu yang menurut pertimbangannya sangat penting. Namun agaknya Eyang Guru sama sekali tidak peduli. Sifat orang yang disebut Eyang Guru itu memang agak aneh. Karena usianya yang sudah sangat tua, kadang-kadang dia menjadi sedikit pikun dan mudah tersinggung serta menjengkelkan.

Tidak terasa kedua orang itu sudah cukup jauh meninggalkan medan pertempuran antara Ki Kebo Mengo melawan Ki Rangga Agung Sedayu. Ketika kedua orang itu telah melintasi sebuah halaman yang cukup luas dari sebuah rumah yang cukup bagus, keduanya pun kemudian memutuskan untuk kembali ke jalur jalan padukuhan Klangon kembali.

“Eyang Guru,” bertanya Raden Surengpati kemudian sekali lagi untuk menyampaikan sesuatu yang membebani hatinya, “Bagaimana kita harus menghadapi orang-orang di banjar padukuhan itu? Mereka berlima dan kita hanya berdua saja.”

Eyang Guru menghentikan langkahnya sebelum mencapai regol halaman rumah itu. Jawabnya kemudian sambil memutar tubuhnya, “Raden, sudah aku katakan sedari tadi. Aku tidak peduli dengan kelima orang itu, kecuali Ki Rangga Agung Sedayu. Bagiku tidak ada kekuatan orang-orang Mataram yang perlu diperhitungkan kecuali hanya Ki Rangga Agung Sedayu.”

“Bagaimana dengan Ki Juru Mertani?” desak Raden Surengpati.

Untuk sejenak Eyang Guru justru terdiam. Hanya sepasang matanya saja yang menatap tajam ke arah Raden Surengpati. Namun pada akhirnya Eyang Guru itu pun menjawab juga, “Ki Juru Mertani dikenal karena olah pikirnya saja yang sangat cerdas. Perhitungan-perhitungannya  selalu  berdasarkan atas penalaran serta pengalaman yang diperolehnya sehingga menjadi sangat tajam dan terpercaya. Namun kemampuan ilmu olah kanuragannya sendiri aku tidak yakin sedahsyat dan sebanding dengan Mas Karebet yang kemudian menjadi Sultan di Pajang, walaupun dapat dikatakan mereka pernah menimba ilmu dari sumber   yang sama.”

Sekarang giliran Raden Surengpati yang termenung. Berbagai pertimbangan telah bergolak di dalam dadanya. Namun akhirnya Raden Surengpati pun menyampaikan juga apa yang selama ini membebani hatinya,  “Eyang Guru, aku justru mencurigai salah satu dari mereka adalah Ki Juru Mertani sendiri.”

“He?!” bagaikan disengat ribuan kalajengking Eyang Guru terperanjat mendengar kata-kata Raden Surengpati, “Apa pertimbangan Raden?”

Raden Mas Harya Surengpati menarik nafas dalam dalam sambil melemparkan pandangan matanya ke kejauhan. Jawabnya kemudian dengan perlahan, “Aku hanya menduga-duga saja sesuai dengan cerita orang-orangnya Ki Lurah gegedug dukuh Salam.  Di antara kelima orang itu ada seseorang yang tampak sudah sangat tua namun terlihat masih kuat dan sehat. Orang tua itulah yang dikatakan mampu bermain sihir. Mungkin saja orang tua itu adalah Ki Juru Mertani.”

Sejenak Eyang Guru bagaikan membeku di tempatnya. Bagaimana pun juga, dugaan akan kehadiran Ki Juru Mertani di antara kelima orang itu harus diperhitungkan. Jika semula dia menganggap hanya Ki Rangga yang perlu mendapat perhatian, kini dugaan adanya Ki Juru Mertani yang ikut bermalam di banjar padukuhan Klangon itu telah membuat jantung tuanya berdetak semakin cepat.

“Apa boleh buat!’ geram Eyang Guru pada akhirnya, “Kita akan melihat kekuatan mereka terlebih dahulu. Jika memang orang tua dari Sela yang tak tahu diri itu ada di antara mereka, kita harus segera membuat hubungan dengan Kiai Damar Sasangka dan Raden Wirasena.”

Raden Surengpati mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menghela nafas panjang. Segala kemungkinan memang harus diperhitungkan agar jangan sampai justru mereka sendiri yang akan terjebak dalam lingkaran kekuatan yang tidak mampu mereka atasi.

“Marilah,” berkata Eyang Guru kemudian sambil memutar tubuhnya, “Kita akan melihat kekuatan kelima orang itu terlebih dahulu sebelum menentukan langkah kita selanjutnya.”

Raden Mas Harya Surengpati tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk sambil melangkah mengikuti Eyang Guru.

Sejenak kemudian mereka berdua segera meneruskan langkah mendekati regol halaman yang terlihat diselarak dari dalam. Setelah mengangkat selarak pintu regol itu terlebih dahulu, keduanya pun segera mendorong pintu regol dan melangkahkan kaki  mereka keluar menuju ke jalur jalan padukuhan Klangon.


Namun alangkah terkejutnya mereka berdua. Jantung kedua orang itu bagaikan terlepas dari tangkainya begitu kaki mereka melangkah ke jalur jalan padukuhan Klangon. Beberapa tombak di hadapan mereka, tampak bayangan seseorang dengan sengaja sedang berdiri menunggu sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Senin, 06 Maret 2017

STSD 02_23

Sejenak kedua orang itu terdiam. Perhatian mereka kembali tertuju kepada Ki Kebo Mengo yang tampak mulai mempersiapkan diri untuk kembali menyerang bayangan semu Ki Rangga Agung Sedayu. Namun kali ini Ki Kebo Mengo tampak masih  berputar-putar saja dan belum mulai menyerang. Agaknya dia sedang membuat perhitungan-perhitungan dengan mencoba untuk memancing lawannya agar menyerang terlebih dahulu.

“Ki Kebo Mengo hanya membuang-buang waktu saja,” desis orang tua renta itu kemudian begitu melihat Ki Kebo Mengo mulai bergerak berputar-putar.

“Eyang Guru,” berkata orang yang di sebelahnya itu kemudian, “Dimana kah sebenarnya kelemahan ilmu Ki Rangga itu?”

“Raden,” jawab orang tua renta yang ternyata adalah Eyang Guru, “Sangat sulit untuk mengalahkan sebuah bayangan semu. Jika ingin menghancurkan ilmu itu, kita harus menghancurkan sumbernya.”

Orang yang dipanggil Raden itu mengerutkan keningnya. Dengan nada sedikit ragu dia kemudian bertanya, “Maksud Eyang Guru, kita langsung menyerang ujud asli Ki Rangga? Tapi  bukankah kita tidak tahu di mana dia sekarang ini sedang bersembunyi?”

Eyang Guru tersenyum menanggapi pertanyaan orang yang dipanggilnya Raden itu. Jawabnya kemudian, “Memang agak rumit dan membutuhkan waktu untuk melacak keberadaan ujud asli Ki Rangga. Harus melalui benturan ilmu yang berkali-kali. Namun sekarang kita tidak perlu melakukan itu. Kita dapat langsung mencari ujud asli Ki Rangga dan langsung membunuhnya.”

Kembali orang yang dipanggil Raden itu memandang ke arah Eyang Guru dengan sorot mata ragu-ragu.

Agaknya Eyang Guru tidak mau berteka-teki terlalu lama. Maka katanya kemudian, “Marilah kita menuju ke banjar padukuhan Klangon. Aku yakin bayangan semu itu dipancarkan dari arah sana. Bukankah menurut berita telik sandi kita, ada lima orang asing yang sedang bermalam di banjar padukuhan Klangon?” Eyang Guru berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku yakin Ki Rangga sekarang ini sedang dalam puncak samadinya. Jika kawan-kawannya yang lain mungkin melindunginya, itu menjadi tugasku untuk menyingkirkan mereka. Sementara Raden dapat membunuh Ki Rangga dengan sangat mudahnya. Tubuh Ki Rangga akan sangat lemah tanpa perlindungan sama sekali ketika sedang dalam puncak samadinya.”

Orang yang dipanggil Raden itu menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika dilihatnya Eyang Guru mulai melangkahkan kakinya meninggalkan tempat ini, dengan bergegas dia pun segera mengikuti langkah orang tua itu.

“Kita berjalan agak melingkar agar tidak terpantau oleh Ki Rangga,” berkata Eyang Guru kemudian sambil menyusup gerumbul liar di sisi jalan.

“Bagaimana dengan Ki Kebo Mengo?” bertanya orang yang dipanggil Raden itu sambil ikut berjalan merunduk-runduk.

Sejenak Eyang Guru menegakkan tubuhnya untuk melihat keadaan Ki Kebo Mengo yang terlihat mulai terlibat dalam pertempuran. Jawabnya kemudian, “Biarlah untuk sementara Ki Kebo Mengo meladeni bayangan semu Ki Rangga. Dengan demikian Ki Rangga akan lengah dan tidak menyadari bahwa bahaya sedang menuju ke tempat samadinya.”

“Eyang Guru,” bertanya kembali orang yang dipanggil Raden itu, “Apa yang akan terjadi jika Ki Rangga menyadari bahwa bahaya sedang mengancam jiwanya?”

“Dia akan menghentikan samadinya sehingga kita akan berhadapan langsung dengan wadag Ki Rangga, dan itu akan sama berbahayanya dengan bayangan semunya itu,” sahut Eyang Guru cepat.

Orang yang dipanggil Raden itu mengerutkan keningnya sambil mengikuti kembali langkah Eyang Guru. Agaknya masih ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Maka tanyanya kemudian, “Bayangan semu Ki Rangga memang tidak dapat tersentuh, namun ujud wagadnya berbeda, kita dapat menyentuh bahkan melukainya. Apa sebenarnya yang perlu kita takutkan?”

Eyang Guru sekilas berpaling ke belakang sambil tertawa perlahan. Jawabnya kemudian, “Raden Surengpati, dalam ujud aslinya Ki Rangga memiliki ilmu kebal yang sangat sulit untuk ditembus. Selain itu Ki Rangga telah menguasai ilmu kakang pembarep  dan adi wuragil yang hampir sempurna. Maksudku, kedua ujud semunya itu akan mempunyai kekuatan yang  sama dengan aslinya sehingga jika Ki Rangga mengetrapkan ilmu itu, kita akan bertempur seperti melawan tiga orang Ki Rangga sekaligus.”

Berdesir dada Raden Mas Harya Surengpati. Begitu dahsyatnya ilmu-ilmu yang tersimpan dalam diri Ki Rangga Agung Sedayu itu.

“Pantas Ki Rangga menjadi agul-agulnya Mataram,” berkata Raden Surengpati dalam hati, “Jika Eyang Guru saja menghindari bertemu langsung dengan Ki Rangga, siapa lagi di antara kita yang akan mampu menahan agul-agulnya Mataram itu?”

Tiba-tiba Raden Mas Harya Surengpati teringat akan Kakandanya yang sampai saat ini masih belum hadir di antara para pengikutnya.


“Kakangmas Wirasena sedang membuat hubungan dengan perguruan Sapta Dhahana,” berkata Raden Surengpati dalam hati sambil terus berjalan mengikuti langkah Eyang Guru, “Jika perguruan Sapta Dhahana tidak berkeberatan membantu perjuangan kami, tentu Kiai Damar Sasangka pemimpin perguruan Sapta Dhahana akan mampu mengimbangi kemampuan Ki Rangga Agung Sedayu.”

Minggu, 05 Maret 2017

STSD 02_22

Namun alangkah terkejutnya Ki Kebo Mengo begitu mendapatkan bayangan lawannya sama sekali tidak bergerak untuk menghindar. Serangannya yang berlandaskan pada kekuatan penuh itu menembus bayangan lawannya bagaikan menerjang angin saja. Ki Kebo Mengo justru telah terdorong oleh kekuatannya sendiri. Sejenak kemudian Ki Kebo Mengo harus menguasai lontaran tubuhnya sendiri yang meluncur dengan deras ke depan.

Disaat tubuh Ki Kebo Mengo itu terhuyung-huyung ke depan karena pengaruh dorongan kekuatannya sendiri, tiba-tiba saja bayangan Ki Rangga dengan cepat berbalik dan kali ini sebuah hantaman yang cukup  keras kembali telah melanda punggung Ki Kebo Mengo.

Tubuh Ki Kebo Mengo yang sedang terhuyung ke depan itu bagaikan mendapat dorongan dua kali lipat dari kekuatannya sendiri. Akibatnya benar-benar telah membuat tubuh Ki Kebo Mengo  kehilangan keseimbangan sebelum akhirnya jatuh terjerembab di atas tanah yang mulai basah oleh embun malam.

“Setan, demit, iblis, gendruwo, tetekan!” sumpah serapah pun meluncur dari mulut Ki Kebo Mengo. Sambil berguling ke samping kanan untuk menghindari kemungkinan serangan susulan lawan, dengan sigap Ki Kebo Mengo pun segera melenting berdiri.

Sambil mengusap wajahnya yang penuh dengan debu, terdengar Ki Kebo Mengo menggeram, “Ki Rangga, aku mengakui kedahsyatan ilmumu, namun jangan berbangga dulu. Rahasia ilmu petak umpetmu ini sebentar lagi akan kau temukan dan kebesaran nama Ki Rangga Agung Sedayu, agul-agulnya Mataram hanya akan tinggal nama saja.”

Tampak bayangan itu seolah menarik nafas panjang. Berkata bayangan itu kemudian, “Terima kasih atas pujian Ki Kebo Mengo. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu Ki Kebo Mengo menemukan rahasia ilmuku.”

“Tutup mulutmu!” bentak Ki Kebo Mengo sambil kembali melontarkan serangan. Namun kali ini Ki Kebo Mengo tidak ingin mengulangi kesalahannya. Serangannya yang meluncur deras itu hanya sekedar sebagai pancingan saja.

Diam-diam dalam hati Ki Kebo Mengo tersenyum gembira begitu melihat bayangan lawannya diam tak bergerak. Dengan demikian Ki Kebo Mengo berharap kejadian sebelumnya akan berulang. Serangannya hanya akan menembus bayangan kosong. Pada saat tubuhnya meluncur ke depan, begitu kakinya menginjak tanah, dia sudah berencana untuk melenting  ke samping sehingga jika bayangan lawannya itu balik menyerangnya, dia sudah siap untuk membenturkan ilmunya.

“Bayangan semu Ki Rangga akan menampakkan kekuatannya jika dia menyerang,” demikian Ki Kebo Mengo mengambil kesimpulan di dalam hati, “Jika aku ingin menyentuhnya sebagaimana menyentuh bentuk wadagnya, aku harus membenturkan kekuatanku justru pada saat dia menyerang.”

Berbekal keyakinan itulah Ki Kebo Mengo tidak mengerahkan kekuatan penuh pada saat dia menyerang. Kakinya yang terjulur lurus mengarah dada itu meluncur tanpa kekuatan penuh.

Namun yang terjadi kemudian kembali membuat Ki Kebo Mengo harus mengumpat dengan umpatan sekotor-kotornya. Agaknya bayangan lawannya itu mampu mengetahui kekuatan yang tersimpan dalam serangannya berdasarkan desir angin yang mendahuluinya. Dengan mengerahkan kekuatan yang cukup besar, bayangan Ki Rangga itu justru telah membenturkan kekuatannya dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Akibatnya serangan  Ki Kebo Mengo bagaikan membentur dinding baja setebal satu jengkal. Tubuh Ki Kebo Mengo pun terlempar ke belakang dan melayang bagaikan selembar daun kering yang tertiup angin puyuh, sebelum akhirnya jatuh bergulingan di atas tanah.

Entah sudah untuk ke berapa kalinya Ki Kebo Mengo mengeluarkan umpatan yang sangat kasar. Dadanya rasa-rasanya bagaikan meledak mendapatkan dirinya menjadi bulan-bulanan lawannya. Sambil melenting berdiri dan kemudian berdiri di atas kedua kakinya yang renggang, Ki Kebo Mengo mulai menilai  kekuatan ilmu lawannya yang ternyata sangat ngedab-edabi itu.

“Hem,” desah Ki Kebo Mengo dalam hati sambil mencoba menguasai gejolak di dalam dadanya, “Ternyata ilmu Ki Rangga benar-benar ngedab-edabi. Jika dalam waktu dekat aku belum bisa menemukan kelemahannya, aku hanya akan menjadi bulan-bulanan saja seperti seekor tikus pithi di tangan seekor kucing yang garang.”

Untuk beberapa saat Ki Kebo Mengo tidak tahu harus berbuat apa. Dari pengalamannya melakukan serangan sebanyak dua kali, semuanya berakhir dengan kegagalan yang memalukan. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, apa yang telah terjadi itu merupakan aib yang akan mencoreng nama besarnya.

“Pantas bayangan Ki Rangga ini hanya menunggu serangan,” kembali Ki Kebo Mengo berkata dalam hati, “Disitulah letak kunci rahasianya. Dia hanya menunggu lawan untuk menyerangnya dan kemudian dia akan menjebak lawannya dengan kemampuan ilmunya yang mampu mengelabuhi itu.”

Dalam pada itu, selagi Ki Kebo Mengo masih menduga-duga rahasia di balik aji pengangen-angen Ki Rangga Agung Sedayu, dua pasang mata tampak sedang mengawasi mereka dari tempat yang cukup jauh.

“Raden,” bisik seseorang yang tampak sudah sangat tua renta namun terlihat sangat sehat dan kuat, “Aku pernah menghadapi dan merasakan langsung kedahsyatan ilmu Ki Rangga Agung Sedayu itu. Ilmu itu kelihatannya merupakan perkembangan dari ilmu bayangan semu. Sudah sangat jarang orang yang mampu menguasai ilmu itu untuk saat ini. Selama ini memang pernah ada cerita tentang kesaktian tokoh-tokoh di masa lalu. Mereka itu dapat berada di beberapa tempat dalam waktu yang bersamaan. Namun apakah mereka itu juga mempunyai kekuatan yang sama dengan ujud aslinya, itu yang belum pernah aku dengar.”

Orang yang berdiri di sebelahnya tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Cerita itu memang pernah aku dengar, salah satunya adalah Maha Patih Gajah Mada. Bahkan menurut cerita yang tidak jelas sumbernya, Panembahan Senapati juga mampu melakukan hal itu walaupun kebenarannya sangat meragukan.”


“Raden benar,” sahut orang tua itu, “Memang pernah tersebar cerita tentang Panembahan Senapati yang mampu berada di beberapa tempat di saat yang bersamaan. Namun aku cenderung menganggap itu cerita ngayawara dari orang-orang Mataram sendiri yang sengaja ingin membesar-besarkan nama Panembahan Senapati.”

Sabtu, 04 Maret 2017

STSD 02_21

Namun akhirnya bayangan itu tampak menganggukkan kepalanya.

Berdesir dada Ki Kebo Mengo begitu menyadari sekarang ini dia sedang berhadapan dengan agul agulnya Mataram, walaupun hanya dalam bentuk ujud semu.

“Ujud semu tidak akan mempunyai pengaruh apapun selain menyesatkan pandangan sehingga penalaran pun akan menjadi buram,” berkata Ki Kebo Mengo dalam hati, “Ilmu ini sebenarnya tidak lebih dari permainan kanak-kanak. Manakala aku mampu memecahkan rahasianya, aku akan dapat menemukan tempat persembunyiannya dan sekaligus menghancurkannya.”

Ketika keyakinan itu mulai tumbuh di dalam hatinya, Ki Kebo Mengo pun mulai menggeser kedudukannya, siap untuk melancarkan serangan penjajagan.

Namun tiba-tiba sepercik keragu-raguan muncul kembali di dalam dadanya.

“Bayangan semu tidak akan mampu melukai dan dilukai. Jadi untuk apa aku harus bertempur melawan bayangan semu?” tiba-tiba pertanyaan itu menyelinap di dalam hatinya.

Untuk beberapa saat Ki Kebo Mengo justru hanya berdiri termangu-mangu. Berbagai pertimbangan bergolak di dalam dadanya.

“O,” gumam Ki Kebo Mengo dalam hati. Akhirnya sebuah kesadaran rasa-rasanya telah mengencerkan otaknya yang beku, “Aku tahu maksud Ki Rangga dengan menampilkan bayangan semunya ini. Ki Rangga berharap aku terpancing untuk bertempur sampai tenagaku terkuras habis. Pada saat itulah ujud aslinya akan muncul dan kemudian  menangkapku dengan sangat mudahnya.”

Sejenak Ki Kebo Mengo menarik nafas dalam-dalam. Kesimpulan terakhir ini agaknya yang masuk akal. Namun jika memang demikian keadaannya, yang dapat dilakukannya hanyalah menunggu kemunculan ujud asli lawannya.

“Lebih baik aku meneruskan perjalananku ke banjar padukuhan,” berkata Ki Kebo Mengo dalam hati, “Jika aku tidak mampu menemukan persembunyian Ki Rangga di sekitar tempat ini, kemungkinannya dia telah mampu melontarkan ilmu bayangan semunya itu dari jarak jauh, dari banjar padukuhan Klangon.”

Berpikir sampai disitu, tanpa menghiraukan ujud semu lawannya, Ki Kebo Mengo pun segera mengayunkan langkahnya meninggalkan tempat itu.

“Ki Kebo Mengo,” tiba-tiba saja terdengar suara bayangan itu memanggilnya, “Berhentilah! Urusan kita belum selesai. Mengapa engkau begitu tergesa-gesa pergi?”

Namun Ki Kebo Mengo tidak menjawab, bahkan berpaling pun tidak. Tekadnya sudah bulat untuk tidak melayani permainan lawannya. Tujuannya hanya satu, segera sampai di banjar padukuhan Klangon dan membuat perhitungan dengan ujud asli Ki Rangga Agung Sedayu.

“Ki Kebo Mengo!” kembali terdengar bayangan itu berteriak memanggilnya, kali ini lebih keras, “Berhentilah atau aku akan menghentikanmu dengan caraku!”

Namun Ki Kebo Mengo benar-benar sudah bulat tekadnya untuk segera menyingkir dari tempat itu. Dia benar-benar sudah muak dengan permainan yang disangkanya hanya pantas dilakukan oleh orang-orang yang baru saja belajar loncat-loncatan dalam olah kanuragan.

Ketika melihat Ki Kebo Mengo sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan sebuah teriakan peringatan, bayangan itu melesat menghantam punggung Ki Kebo Mengo.

Ki Kebo Mengo terkejut bukan buatan ketika merasakan ada sebuah sambaran angin yang cukup deras mengarah ke punggung. Namun semua itu sudah terlambat bagi ki Kebo Mengo untuk memutar tubuh. Yang mampu dilakukan oleh ki Kebo Mengo kemudian adalah dengan tergesa-gesa mengetrapkan ilmu pertahanan dirinya, walaupun tidak sempat sampai ke puncak untuk melindungi punggungnya.

Benturan yang terjadi kemudian memang tidak terlalu keras. Apa yang ingin ditunjukkan oleh Ki Rangga hanyalah sebatas pengetahuan bagi lawannya, bahwa ujud semu yang sedang dihadapinya bukanlah ujud semu sebagaimana biasanya.

Yang terdengar kemudian adalah sebuah umpatan yang sangat kotor dari mulut Ki Kebo Mengo. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah ke depan, walaupun tidak sampai terjatuh. Namun kenyataan yang dihadapinya itulah yang telah membuat jantungnya hampir meledak. Ternyata bayangan semu Ki Rangga mempunyai kemampuan sebagaimana ujud wadag aslinya, mampu menyentuh bahkan melukai sasarannya.

Begitu pengaruh tenaga lontaran lawannya itu telah menghilang, dengan cepat Ki Kebo Mengo berbalik. Sejenak dipandanginya ujud semu Ki Rangga yang hanya berdiri beberapa langkah saja di hadapannya.

“Sebuah ilmu iblis!” geram Ki Kebo Mengo sambil menahan gejolak di dalam dadanya, “Dari mana engkau dapatkan ilmu iblis itu, he?!”

“Sudahlah Ki Kebo Mengo,” jawab bayangan itu, “Bukankah engkau tadi sudah mengatakan tidak suka berbantah? Menyerahlah. Engkau akan aku hadapkan keoada Ki Jagabaya dukuh Klangon untuk mempertanggung-jawabkan segala perbuatanmu.”

“Diam..!” bentak Ki Kebo Mengo dengan raut wajah merah padam, “Tidak seorang pun yang akan mampu menangkap Ki Kebo Mengo, agul-agulnya Mataram pun tidak. Apalagi ki Jagabaya dukuh Klangon. Bersiaplah Ki Rangga, aku akan segera menemukan kelemahan ilmumu. Dan disaat itulah harapanmu untuk menghirup udara esok pagi sudah tidak ada lagi.”


Selesai berkata demikian, tanpa didahului oleh sebuah ancang-ancang, Ki Kebo Mengo begitu saja melontarkan tubuhnya menerjang bayangan semu Ki Rangga.

Jumat, 03 Maret 2017

STSD 02_20

Ketika melihat bayangan itu sama sekali tidak bergerak, Ki Kebo Mengo menjadi gusar. Dengan segera diayunkan langkahnya mendekat.

Ketika jarak Ki Kebo Mengo dengan pohon tempat bayangan itu berdiri  tinggal tiga langkah, tiba-tiba bayangan itu hilang begitu saja bagaikan sinar sebuah dlupak yang padam karena tertiup angin kencang.

“Iblis!” teriak Ki Kebo Mengo sambil meloncat ke depan. Tangannya terayun deras menghantam batang pohon sebesar pelukan orang dewasa itu.

Akibatnya adalah sangat dahsyat. Pohon itu memang tetap berdiri tegak, hanya batangnya saja yang tampak bergetar hebat. Namun seluruh daun-daunnya telah rontok dan berguguran jatuh ke tanah bagaikan baru saja dilanda angin puting beliung.

“Aji rog-rog asem,” tiba-tiba terdengar suara perlahan beberapa langkah saja di belakang Ki Kebo Mengo yang sedang asyik menikmati hasil kedahsyatan ilmunya.

Bagaikan disengat seribu kalajengking, Ki Kebo Mengo pun terlonjak kaget. Dengan cepat dia segera memutar tubuhnya. Tampak seseorang yang berperawakan sedang namun tegap telah berdiri beberapa langkah saja di hadapannya.

Sejenak Ki Kebo Mengo bagaikan membeku di tempatnya, namun itu hanya sekejap. Sesaat kemudian terdengar tawanya yang berderai-derai memecah kesunyian malam.

“O, alangkah sombongnya,” katanya kemudian disela-sela suara tertawanya, “Seseorang telah dengan deksura mencoba mempermainkan Ki Kebo Mengo. Hanya orang-orang yang mempunyai nyawa rangkap tujuh sajalah, yang berani mempermainkan Ki Kebo Mengo.”

Namun jawaban bayangan itu justru sangat menyakitkan. Berkata bayangan itu kemudian, “Ki Sanak benar, aku memang mempunyai nyawa rangkap tujuh. Namun aku hanya memerlukan satu nyawa saja untuk menangkap orang yang bernama Kebo Mengo.”

“Tutup mulutmu!” bentak Ki Kebo Mengo dengan muka merah padam, “Jangan hanya bersembunyi di balik bayangan semu, tidak akan ada artinya bagiku. Keluarlah, kita akan bertempur secara jantan.”

Namun jawaban bayangan itu kembali terdengar menyakitkan di telinga Ki Kebo Mengo, “Sudah aku katakan Ki Sanak, aku hanya memerlukan satu nyawa saja untuk menangkap Ki Kebo Mengo, dan inilah yang aku sebut dengan satu nyawaku itu. Aku tidak perlu menghadirkan wadagku untuk sekedar menangkap seekor kerbau!”

“Gila!” kembali Ki Kebo Mengo membentak, “Untuk apa aku melayani sebuah bayangan semu yang tak berarti? Aku tahu Ki Sanak sedang bersembunyi di sekitar tempat ini dan aku akan menemukanmu. Hanya membutuhkan waktu tidak lebih lama dari mijet wohing ranti untuk menemukan persembunyianmu.”

Selesai berkata demikian Ki Kebo Mengo segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menundukkan wajahnya. Namun yang terjadi kemudian adalah sangat mengejutkan Ki Kebo Mengo itu sendiri. Panggraitanya telah menemukan getaran orang yang dicarinya itu berada tidak jauh di hadapannya.

“Hem!” geram Ki Kebo Mengo sambil mengurai kedua tangan dan mengangkat wajahnya. Dipandangi bayangan semu yang berdiri beberapa langkah di hadapannya itu dengan raut wajah yang terheran-heran. Menurut panggraitanya, yang berdiri di hadapannya sekarang ini bukanlah hanya sebuah bayangan semu belaka, namun benar-benar seseorang dalam ujud yang sebenarnya.

“Aneh,” berkata Ki Kebo Mengo dalam hati, “Seumur hidup aku belum pernah menjumpai ilmu sejenis ini. Namun aku yakin, sebenarnya ini hanya sejenis ilmu untuk bersembunyi sebagaimana ilmu halimunan atau sejenisnya. Aku pasti akan dapat menemukan kelemahannya.”

Berpikir sampai disitu, Ki Kebo Mengo segera maju selangkah. Katanya kemudian, “Baiklah Ki Sanak, kita akan bertempur. Aku tidak peduli lagi berapa nyawa yang akan Ki Sanak pergunakan untuk melawanku. Namun yang jelas, aku telah mengetahui kelemahan ilmumu ini, sebuah ilmu untuk bersembunyi. Di mana pun Ki Sanak bersembunyi, aku pasti akan menemukannya.”

Bayangan itu tampak menarik nafas dalam-dalam. Entah apa yang sedang ada dalam benaknya. Namun yang jelas bayangan itu segera mundur selangkah sambil berkata, “Ki Kebo Mengo, sebenarnya aku bukan orang yang suka dengan keributan. Aku menghadang Ki Kebo Mengo di tempat ini hanya untuk menuntut pertanggung-jawaban Ki Kebo Mengo atas rajapati yang baru saja terjadi.”

Terkejut Ki Kebo Mengo mendengar ucapan bayangan itu. Sebenarnya bukan kebiasaan Ki Kebo Mengo untuk berlama-lama berbantah. Dia tidak peduli siapa orang yang akan dibunuhnya dan atas dasar apa dia melakukan pembunuhan itu. Baginya membunuh itu memang sudah menjadi kebiasaan dan kadang cukup menyenangkan. Namun bayangan itu telah menyebut rajapati yang baru saja terjadi. Dengan demikian Ki Kebo Mengo dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa yang sekarang berdiri di hadapannya itu, apapun bentuknya tentulah salah satu dari orang yang sedang bermalam di banjar padukuhan Klangon.

Maka dengan suara berat dan dalam, Ki Kebo Mengo pun kemudian berdesis, “Apakah aku sedang berhadapan dengan agul-agulnya Mataram Ki Rangga Agung Sedayu?”


Bayangan itu sejenak termangu-mangu. Ada sedikit keseganan untuk menyebut namanya. Justru karena dia selalu berusaha menghindari kesan  yang  berlebihan jika seseorang mengetahui jati dirinya. 

STSD 02_19

Dalam pada itu, hujan deras yang sempat turun  beberapa saat tadi  telah berhenti dan hanya menyisakan titik-titik air hujan yang sesekali masih menetes dari langit. Sepeninggal ketiga orang itu, Ki Waskita dan Ki Rangga pun segera kembali ke dalam banjar.

“Ngger,” berkata ki Waskita kemudian begitu mereka berdua telah duduk bersila kembali di ruang dalam, “Sedari tadi aku merasakan sepertinya ada sebuah kegelisahan yang sedang membebani pikiranmu.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil membetulkan letak duduknya. Jawabnya kemudian dengan setengah berbisik, “Ki Waskita, aku mempunyai firasat, sepertinya  orang itu akan kembali lagi.”

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Juga sambil berbisik, Ki Waskita pun kemudian bertanya, “Mengapa angger mempunyai dugaan seperti itu?”

“Entahlah Ki Waskita,” jawab Ki Rangga sambil menggeleng perlahan, “Namun ada baiknya jika aku mencoba untuk melacak keberadaannya lagi.”

“Ya, ngger,” sahut Ki Waskita cepat, “Mumpung malam masih panjang. Sebaiknya angger mengetrapkan aji pengangen-angen untuk melacak keberadaan orang itu.”


Untuk sejenak Ki Rangga tertegun. Tanyanya kemudian, “Apakah itu perlu Ki Waskita?”

“Ya ngger,” jawab Ki Waskita mantap, “Dengan demikian angger tidak hanya melacak keberadaan pembunuh itu, namun jika memungkinkan angger sekalian dapat melumpuhkannya.”

Sejenak Ki Rangga termangu-mangu. Mengetrapkan aji pengangen-angen  bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan pemusatan nalar dan budi sampai ke titik yang tertinggi. Selain itu, selama Ki Rangga dalam puncak semedinya, raganya akan sangat lemah, selemah selembar daun yang tergeletak di atas tanah.

Agaknya Ki Waskita dapat membaca keragu-raguan Ki Rangga. Maka katanya kemudian sambil tersenyum, “Jangan khawatir, ngger. Selama engkau dalam puncak samadimu, aku akan menjaga ragamu dengan taruhan nyawaku sendiri."

Ki Rangga tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk.

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Rangga segera membaringkan dirinya di atas tikar yang terbentang di tengah-tengah ruangan itu. Kedua tangannya segera bersilang diatas dada. Beberapa saat kemudian, terdengar aliran nafas Ki Rangga semakin lama semakin halus dan pelan. Ki Rangga pun telah memasuki puncak samadinya. Sementara Ki Waskita dengan sabar dan penuh kewaspadaan duduk bersila berjaga di samping Ki Rangga.

Dalam pada itu, begitu hujan reda, seseorang tampak bangkit dari duduknya di bawah sebatang pohon yang rindang. Pohon itu terletak di pinggir jalan menuju banjar padukuhan. Kira-kira diperlukan waktu se pemakan sirih untuk berjalan dari tempat itu sampai ke banjar padukuhan Klangon.

“Semoga saja berita yang aku terima dari Raden Wirasena itu benar,” berkata orang itu dalam hati sambil menegakkan tubuhnya. Ditengadahkan wajahnya untuk melihat langit yang kelam. Lanjutnya kemudian, “Salah satu dari kelima orang yang bermalam di banjar itu adalah Senapati pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh, Ki Rangga Agung Sedayu.”

Untuk beberapa saat orang itu tampak termenung. Dilemparkan pandangan matanya ke kejauhan yang tampak  hitam kelam tanpa batas.

“Jika apa yang aku dengar selama ini memang benar, tentu orang yang bernama Ki Rangga Agung Sedayu itu pasti mengetahui kehadiranku beberapa saat tadi,” gumam orang itu kemudian sambil melangkahkan kakinya, “Namun jika apa yang diberitakan orang-orang selama ini ternyata terlalu dilebih-lebihkan, agul-agulnya Mataram itu pasti akan kebingungan mendapatkan orang di balik dinding itu tiba-tiba saja sudah tak bernyawa.”

Sambil mengayunkan langkahnya, tampak bibir orang itu menyunggingkan sebuah senyuman, senyum  yang menandakan kemenangan yang seolah-olah sudah berada di dalam genggaman tangannya.

“Tidak perlu Raden Wirasena sendiri yang turun tangan,” kembali orang itu berangan-angan, “Cukup Ki Kebo Mengo yang akan mrantasi semua penghalang.”

Namun tiba-tiba panggraita  orang yang bernama Ki Kebo Mengo itu merasakan akan kehadiran seseorang di tempat itu.

Dengan segera dia menghentikan langkahnya. Dalam sekejap Ki Kebo Mengo telah memusatkan nalar dan budinya dengan menyilangkan kedua tangannya di dada. Sejenak kemudian, panggraitanya telah menangkap bayangan seseorang yang sedang berdiri melekat pada sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan hanya beberapa langkah saja dari tempatnya berdiri.

“Keluarlah Ki Sanak,” berkata Ki Kebo Mengo kemudian dengan suara yang berat dan dalam sambil mengurai kedua tangannya yang bersilang di dada, “Tidak ada gunanya Ki Sanak bersembunyi lagi. Aku tidak pernah mengampuni para pengecut yang beraninya hanya main petak umpet. Aku lebih senang membunuh dari pada berbantah yang tidak ada ujung pangkalnya.”

Namun jantung Ki Kebo Mengo itu bagaikan tersulut bara api dari tempurung kelapa. Bayangan yang melekat pada sebatang pohon itu sama sekali tidak bergerak. Seakan-akan tidak menanggapi apa yang telah dikatakan oleh Ki Kebo Mengo.

“Hem,” geram Ki Kebo Mengo sambil berusaha menajamkan pandangan matanya. Untuk beberapa saat Ki Kebo Mengo menjadi ragu-ragu sendiri dengan pengamatannya.


“Siapa berani mempermainkan Ki Kebo Mengo, he?!” teriak Ki Kebo Mengo dengan suara menggelegar. Untunglah jalan yang menuju ke banjar padukuhan itu keadaannya sangat sepi. Beberapa rumah letaknya  berjauhan serta tempat Ki Kebo Mengo berhenti itu adalah tanah kosong yang membujur sepanjang jalan dan belum didirikan sebuah bangunan pun di atasnya.