“Ah, sudahlah,”
berkata Ki Jayaraga kemudian sambil menggeliat dan menjelujurkan kedua kakinya
di amben bambu tempat tidurnya, “Mengenang masa lalu tentu tak akan ada
habis-habisnya. Biarlah masa lalu tetap menjadi kenangan, sedangkan masa depan
adalah harapan,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Kemudian sambil memejamkan kedua
matanya dan menyilangkan kedua tangannya di dada dia melanjutkan, “Aku tadi
sebenarnya sudah begitu penat menunggu kedatangan kalian berdua. Sekarang aku
akan melanjutkan mimpiku yang sempat terputus. Masih cukup waktu untuk sekedar
memejamkan mata,” kembali Ki Jayaraga berhenti sejenak. Setelah menguap
lebar-lebar dan menutupinya dengan salah satu tangannya, Ki Jayaraga pun
kemudian melanjutkan kata-katanya kembali, “Biarlah orang berkerudung itu tetap
menjadi rahasia Ki Waskita”
Ki Waskita dan Ki
Bango Lamatan tersenyum mendengar kata-kata guru Glagah Putih itu. Sahut Ki
Waskita kemudian, “O, silahkan Ki. Semoga masih bisa mimpi indah di sisa malam
ini. Siapa tahu, di alam mimpi nanti Ki Jayaraga akan bertemu dengan orang
berkerudung itu.”
“Ah!” Ki Jayaraga
yang sudah memejamkan kedua matanya itu masih sempat tertawa pendek. Sementara Ki
Bango Lamatan hanya tersenyum kecut.
“Tapi aku tidak akan
mengejarnya,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil tetap memejamkan matanya, “Aku
akan berusaha sekuat tenaga untuk membujuknya agar dengan suka rela dia mau membuka
kerudungnya.”
Ki Waskita dan Ki
Bango Lamatan berpandangan sejenak mendengar gurauan Ki Jayaraga. Namun Ki
Waskitalah yang kemudian bertanya, “Tapi bagaimana jika setelah membuka
kerudungnya, ternyata dia seorang perempuan yang masih muda dan sangat cantik?”
“Aku akan
mengawininya,” sahut Ki Jayaraga acuh sambil memutar tubuhnya menghadap
dinding.
“Ah!” tawa kedua
orang tua itupun meledak sehingga terdengar kembali sampai di regol depan
banjar padukuhan induk.
“Ah, sudahlah,”
berkata Ki Jayaraga kemudian sambil tetap menghadap dinding, “Bagaimana aku
bisa bermimpi jika kalian tetap saja mengajakku berbicara.”
Kedua orang tua itu
tersenyum. Berkata Ki Waskita kemudian, “Baiklah Ki Jayaraga, kami berdua juga
akan beristirahat.”
“Silahkan, silahkan,”
sahut Ki Jayaraga hampir tak terdengar di antara suara desah nafasnya yang mulai
terdengar dalam irama pelan dan teratur.
Kedua orang tua itu sejenak
masih saling berpandangan. Namun setelah Ki Waskita memberi isyarat kepada Ki
Bango Lamatan, kedua orang tua itupun dengan perlahan segera beranjak dari tempat duduk mereka.
“Aku akan tidur
sampai Matahari naik sepenggalah,” desis Ki Waskita kemudian sambil berjalan menuju
pembaringannya.
Ki Bango Lamatan tidak
menanggapi. Setelah menguap lebar-lebar dia pun segera menjatuhkan dirinya di
amben bambu sebelah Ki Waskita. Terdengar amben bambu itu berderak-derak
tertimpa tubuh Ki Bango Lamatan yang tinggi besar.
Ki Jayaraga yang
terlihat mulai terlelap itu memang sempat membuka kedua matanya sekejap
mendengar suara amben bambu yang berderak-derak. Namun selanjutnya guru Glagah
Putih itu pun sudah kembali memejamkan kedua matanya dan terbuai dalam alam
mimpi.
Dalam pada itu, langit sebelah timur
mulai terlihat bayangan cerah sinar Matahari pagi yang perlahan tapi pasti
menjenguk cakrawala. Suasana alam yang semula diliputi kegelapan perlahan
menjadi terang. Burung-burungpun mulai berkicau bersahut sahutan di dahan-dahan
pepohonan yang rendah. Sementara sekelompok tupai tampak berloncat-loncatan
dari dahan ke dahan sambil memperdengarkan lengkingan-lengkingan merdu mereka seakan
menyambut sinar Matahari yang pertama kali menyentuh bumi.
Di kediaman Ki Gede Matesih, tampak Ratri
dengan tergesa-gesa keluar dari biliknya. Sejenak dipandanginya ruang tengah
yang luas itu untuk beberapa saat. Rasa-rasanya dia menangkap sebuah getaran
yang aneh yang menyelinap ke dalam lubuk hatinya.
“Aneh,” berkata Ratri kemudian dalam hati
sambil mengedarkan pandangan matanya ke seluruh ruangan, “Sepertinya aku
merasakan sesuatu yang kurang dalam ruang tengah ini. Tapi aku tidak tahu
apakah itu?”
Untuk beberapa saat Ratri masih berdiri
termangu-mangu. Dikerahkan seluruh daya ingatnya untuk mencoba menjawab pertanyaan
dalam hatinya itu.
“Mengapa ruangan ini terasa asing
bagiku?” pertanyaan itu hilir mudik dalam benaknya, “Sepertinya aku tidak
melihat sesuatu yang biasanya aku lihat setiap pagi di ruangan ini.”
Tiba-tiba Ratri bagaikan terbangun dari
sebuah mimpi buruk. Bayangan seseorang yang sudah sangat dikenalnya melintas
cepat dalam benaknya.
“Mbok Pariyem?!” seru Ratri tiba-tiba dengan
suara sedikit tertahan, “Ya, mbok Pariyem. Setiap pagi mbok Pariyem selalu membersihkan
ruangan ini. Setelah aku terbangun dan keluar bilik, mbok Pariyem selalu menyambutku
dengan sebuah senyuman sambil memandangku dengan pandangan yang penuh kasih
sayang.”
Berpikir sampai disitu, Ratri segera
bergegas melintasi ruang tengah menuju ke pintu yang menghubungkan ruang tengah
dengan dapur.
“Mungkin mbok Pariyem bangun kesiangan,”
desis Ratri dalam hati sambil mempercepat langkahnya, “Semalam mungkin dia terlalu
lelah dan letih mencari aku yang menghilang, sehingga sampai saat ini mungkin dia
belum bangun. Aku akan ke biliknya.”
Ketika Ratri kemudian sampai di depan
pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur, segera saja jari-jari yang
lentik itu membuka pintu.
Namun alangkah terkejutnya anak gadis
satu-satu Ki Gede Matesih itu. Di tengah tengah dapur yang cukup luas itu,
beberapa pembantu perempuan Ki Gede tampak sedang duduk dengan gelisah di atas
amben yang cukup besar. Begitu mereka melihat Ratri tiba-tiba saja muncul dari balik pintu, serentak mereka segera
berdiri dan kemudian dengan tergesa-gesa menghambur ke arahnya.
“Nimas Ratri, di manakah mbok Pariyem?”
bertanya salah seorang yang bertubuh gemuk sesampainya di depan Ratri.
“Ya nduk. Di mana mbok Pariyem? Kami
tidak tahu harus berbuat apa tanpa ada perintah dari mbok Pariyem,” sela
perempuan yang berbadan kekurus-kurusan.
“Ya,ya. Kami sedari tadi belum melihatnya,”
seorang perempuan parobaya menyahut, “Aku sudah mencoba melongok di biliknya.
Tapi biliknya kosong.”
“Geledeg di biliknya pun kosong, tidak
ada selembar pakaian mbok Pariyem yang tersisa,” kembali yang lain menyahut.
“Jangan jangan dia sengaja meninggalkan
rumah Ki Gede,” timpal yang lain, “Tapi mengapa dia pergi tanpa pesan? Terutama
kepada kita yang telah bersama-sama ikut membantu rumah tangga Ki Gede ini?”
Pertanyaan bertubi-tubi dari para
perempuan pembantu rumah Ki Gede itu benar-benar membuat Ratri bagaikan membeku
di tempatnya. Berbagai perasaan bergolak dalam dadanya. Apa yang disampaikan
perempuan-perempuan itu benar-benar telah membekukan jantungnya.
“Mbok Pariyem..?” desah Ratri tanpa sadar
dengan suara yang lirih dan bergetar. Hanya kata-kata itu yang terucap dari
bibir mungil memerah delima itu. Selanjutnya pandangan matanya pun mulai
berkunang-kunang. Ketika sebuah desah
kembali terdengar dari bibir mungilnya, tubuhnya pun limbung ke samping.
Jika saja salah satu perempuan pembantu
Ki Gede yang berdiri paling dekat tidak segera memeluknya, tentu tubuh Ratri
sudah terjatuh di lantai dapur.
“Nimas Ratrii..!!” serentak
perempuan-perempuan pembantu Ki Gede Matesih itupun menjerit keras sambil
berusaha meraih tubuh Ratri yang limbung dalam pelukan salah satu dari mereka.
“Nduk, sadar..nduk.. nyebut..nyebut!”
beberapa perempuan itu tampak berusaha membisikkan doa-doa ke telinga Ratri.
Sementara yang lainnya dengan susah payah berusaha membopong Ratri dan
membaringkannya di amben besar yang terletak di tengah-tengah ruangan dapur.
Beberapa orang segera memijit-mijit
telapak kaki dan pelipis putri satu-satunya Ki Gede Matesih itu. Sedangkan yang
lain telah mengambil minyak kelapa yang masih baru dan kemudian dicampur dengan bawang merah yang telah dilumatkan
terlebih dahulu.
“Bawalah kesini,” pinta seorang perempuan
parobaya meminta minyak kelapa yang telah dicampur dengan lumatan bawang merah
itu.
Seseorang segera mengangsurkan sebuah
mangkuk yang berisi ramuan minyak kelapa dan bawang merah. Dengan cekatan
perempuan parobaya itupun kemudian mengoleskan ramuan itu ke pelipis dan
telapak kaki Ratri. Sementara perempuan-perempuan pembantu rumah Ki Gede yang
lain segera ikut merubung dan membantu memijit-mijit kaki, tangan serta pundak
Ratri.
“Pergilah ke regol depan,” tiba-tiba
perempuan parobaya itu menghentikan pijitannya dan menoleh ke arah perempuan
yang duduk di sebelahnya, “Beritahu pengawal yang sedang jaga untuk melaporkan
kejadian ini kepada Ki Gede.”
“Tapi Ki Gede belum pulang,” sahut
perempuan yang bertubuh agak gemuk itu dengan serta merta.
“Makanya aku minta engkau memberitahu
salah satu pengawal untuk menyusul Ki Gede!” sela perempuan parobaya itu dengan
suara sedikit keras.
Perintah itu tidak perlu diulangi lagi.
Dengan bergegas perempuan pembantu Ki Gede yang bertubuh agak gemuk itu segera
bangkit dan dengan setengah berlari meninggalkan dapur menuju ke regol depan.
Dalam pada itu Matahari telah memanjat
kaki langit sebelah timur semakin tinggi. Walaupun sinarnya masih belum
menggatalkan kulit, namun udara mulai terasa hangat dan badan pun mulai
dibasahi oleh bulir-bulir keringat.
Di tengah padang perdu di sebelah selatan
gunung Tidar tampak tiga ekor kuda dipacu dengan tergesa-gesa. Walaupun ketiga
penunggangnya itu sudah berusaha membuat kuda-kuda mereka melaju dengan
kencang, namun gerumbul-gerumbul perdu yang tumbuh berserakan telah menghambat
laju kuda-kuda mereka.