Selasa, 26 Februari 2019

STSD 13_04

“Ah, sudahlah,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil menggeliat dan menjelujurkan kedua kakinya di amben bambu tempat tidurnya, “Mengenang masa lalu tentu tak akan ada habis-habisnya. Biarlah masa lalu tetap menjadi kenangan, sedangkan masa depan adalah harapan,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Kemudian sambil memejamkan kedua matanya dan menyilangkan kedua tangannya di dada dia melanjutkan, “Aku tadi sebenarnya sudah begitu penat menunggu kedatangan kalian berdua. Sekarang aku akan melanjutkan mimpiku yang sempat terputus. Masih cukup waktu untuk sekedar memejamkan mata,” kembali Ki Jayaraga berhenti sejenak. Setelah menguap lebar-lebar dan menutupinya dengan salah satu tangannya, Ki Jayaraga pun kemudian melanjutkan kata-katanya kembali, “Biarlah orang berkerudung itu tetap menjadi rahasia Ki Waskita”
Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan tersenyum mendengar kata-kata guru Glagah Putih itu. Sahut Ki Waskita kemudian, “O, silahkan Ki. Semoga masih bisa mimpi indah di sisa malam ini. Siapa tahu, di alam mimpi nanti Ki Jayaraga akan bertemu dengan orang berkerudung itu.”
“Ah!” Ki Jayaraga yang sudah memejamkan kedua matanya itu masih sempat tertawa pendek. Sementara Ki Bango Lamatan hanya tersenyum kecut.
“Tapi aku tidak akan mengejarnya,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil tetap memejamkan matanya, “Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membujuknya agar dengan suka rela dia mau membuka kerudungnya.”
Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan berpandangan sejenak mendengar gurauan Ki Jayaraga. Namun Ki Waskitalah yang kemudian bertanya, “Tapi bagaimana jika setelah membuka kerudungnya, ternyata dia seorang perempuan yang masih muda dan sangat cantik?”
“Aku akan mengawininya,” sahut Ki Jayaraga acuh sambil memutar tubuhnya menghadap dinding.
“Ah!” tawa kedua orang tua itupun meledak sehingga terdengar kembali sampai di regol depan banjar padukuhan induk.
“Ah, sudahlah,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil tetap menghadap dinding, “Bagaimana aku bisa bermimpi jika kalian tetap saja mengajakku berbicara.”
Kedua orang tua itu tersenyum. Berkata Ki Waskita kemudian, “Baiklah Ki Jayaraga, kami berdua juga akan beristirahat.”
“Silahkan, silahkan,” sahut Ki Jayaraga hampir tak terdengar di antara suara desah nafasnya yang mulai terdengar dalam irama pelan dan teratur.
Kedua orang tua itu sejenak masih saling berpandangan. Namun setelah Ki Waskita memberi isyarat kepada Ki Bango Lamatan, kedua orang tua itupun dengan perlahan segera beranjak dari tempat  duduk mereka.
“Aku akan tidur sampai Matahari naik sepenggalah,” desis Ki Waskita kemudian sambil berjalan menuju pembaringannya.
Ki Bango Lamatan tidak menanggapi. Setelah menguap lebar-lebar dia pun segera menjatuhkan dirinya di amben bambu sebelah Ki Waskita. Terdengar amben bambu itu berderak-derak tertimpa tubuh Ki Bango Lamatan yang tinggi besar.
Ki Jayaraga yang terlihat mulai terlelap itu memang sempat membuka kedua matanya sekejap mendengar suara amben bambu yang berderak-derak. Namun selanjutnya guru Glagah Putih itu pun sudah kembali memejamkan kedua matanya dan terbuai dalam alam mimpi.
Dalam pada itu, langit sebelah timur mulai terlihat bayangan cerah sinar Matahari pagi yang perlahan tapi pasti menjenguk cakrawala. Suasana alam yang semula diliputi kegelapan perlahan menjadi terang. Burung-burungpun mulai berkicau bersahut sahutan di dahan-dahan pepohonan yang rendah. Sementara sekelompok tupai tampak berloncat-loncatan dari dahan ke dahan sambil memperdengarkan lengkingan-lengkingan merdu mereka seakan menyambut sinar Matahari yang pertama kali menyentuh bumi.
Di kediaman Ki Gede Matesih, tampak Ratri dengan tergesa-gesa keluar dari biliknya. Sejenak dipandanginya ruang tengah yang luas itu untuk beberapa saat. Rasa-rasanya dia menangkap sebuah getaran yang aneh yang menyelinap ke dalam lubuk hatinya.
“Aneh,” berkata Ratri kemudian dalam hati sambil mengedarkan pandangan matanya ke seluruh ruangan, “Sepertinya aku merasakan sesuatu yang kurang dalam ruang tengah ini. Tapi aku tidak tahu apakah itu?”
Untuk beberapa saat Ratri masih berdiri termangu-mangu. Dikerahkan seluruh daya ingatnya untuk mencoba menjawab pertanyaan dalam hatinya itu.
“Mengapa ruangan ini terasa asing bagiku?” pertanyaan itu hilir mudik dalam benaknya, “Sepertinya aku tidak melihat sesuatu yang biasanya aku lihat setiap pagi di ruangan ini.”
Tiba-tiba Ratri bagaikan terbangun dari sebuah mimpi buruk. Bayangan seseorang yang sudah sangat dikenalnya melintas cepat dalam benaknya.
“Mbok Pariyem?!” seru Ratri tiba-tiba dengan suara sedikit tertahan, “Ya, mbok Pariyem. Setiap pagi mbok Pariyem selalu membersihkan ruangan ini. Setelah aku terbangun dan keluar bilik, mbok Pariyem selalu menyambutku dengan sebuah senyuman sambil memandangku dengan pandangan yang penuh kasih sayang.”
Berpikir sampai disitu, Ratri segera bergegas melintasi ruang tengah menuju ke pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur.
“Mungkin mbok Pariyem bangun kesiangan,” desis Ratri dalam hati sambil mempercepat langkahnya, “Semalam mungkin dia terlalu lelah dan letih mencari aku yang menghilang, sehingga sampai saat ini mungkin dia belum bangun. Aku akan ke biliknya.”
Ketika Ratri kemudian sampai di depan pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur, segera saja jari-jari yang lentik itu membuka pintu.
Namun alangkah terkejutnya anak gadis satu-satu Ki Gede Matesih itu. Di tengah tengah dapur yang cukup luas itu, beberapa pembantu perempuan Ki Gede tampak sedang duduk dengan gelisah di atas amben yang cukup besar. Begitu mereka melihat Ratri tiba-tiba saja  muncul dari balik pintu, serentak mereka segera berdiri dan kemudian dengan tergesa-gesa menghambur ke arahnya.
“Nimas Ratri, di manakah mbok Pariyem?” bertanya salah seorang yang bertubuh gemuk sesampainya di depan Ratri.
“Ya nduk. Di mana mbok Pariyem? Kami tidak tahu harus berbuat apa tanpa ada perintah dari mbok Pariyem,” sela perempuan yang berbadan kekurus-kurusan.
“Ya,ya. Kami sedari tadi belum melihatnya,” seorang perempuan parobaya menyahut, “Aku sudah mencoba melongok di biliknya. Tapi biliknya kosong.”
“Geledeg di biliknya pun kosong, tidak ada selembar pakaian mbok Pariyem yang tersisa,” kembali yang lain menyahut.
“Jangan jangan dia sengaja meninggalkan rumah Ki Gede,” timpal yang lain, “Tapi mengapa dia pergi tanpa pesan? Terutama kepada kita yang telah bersama-sama ikut membantu rumah tangga Ki Gede ini?”
Pertanyaan bertubi-tubi dari para perempuan pembantu rumah Ki Gede itu benar-benar membuat Ratri bagaikan membeku di tempatnya. Berbagai perasaan bergolak dalam dadanya. Apa yang disampaikan perempuan-perempuan itu benar-benar telah membekukan jantungnya.
“Mbok Pariyem..?” desah Ratri tanpa sadar dengan suara yang lirih dan bergetar. Hanya kata-kata itu yang terucap dari bibir mungil memerah delima itu. Selanjutnya pandangan matanya pun mulai berkunang-kunang.  Ketika sebuah desah kembali terdengar dari bibir mungilnya, tubuhnya pun limbung ke samping.
Jika saja salah satu perempuan pembantu Ki Gede yang berdiri paling dekat tidak segera memeluknya, tentu tubuh Ratri sudah terjatuh di lantai dapur.
“Nimas Ratrii..!!” serentak perempuan-perempuan pembantu Ki Gede Matesih itupun menjerit keras sambil berusaha meraih tubuh Ratri yang limbung dalam pelukan salah satu dari mereka.
“Nduk, sadar..nduk.. nyebut..nyebut!” beberapa perempuan itu tampak berusaha membisikkan doa-doa ke telinga Ratri. Sementara yang lainnya dengan susah payah berusaha membopong Ratri dan membaringkannya di amben besar yang terletak di tengah-tengah ruangan dapur.
Beberapa orang segera memijit-mijit telapak kaki dan pelipis putri satu-satunya Ki Gede Matesih itu. Sedangkan yang lain telah mengambil minyak kelapa yang masih baru dan kemudian  dicampur dengan bawang merah yang telah dilumatkan terlebih dahulu.
“Bawalah kesini,” pinta seorang perempuan parobaya meminta minyak kelapa yang telah dicampur dengan lumatan bawang merah itu.
Seseorang segera mengangsurkan sebuah mangkuk yang berisi ramuan minyak kelapa dan bawang merah. Dengan cekatan perempuan parobaya itupun kemudian mengoleskan ramuan itu ke pelipis dan telapak kaki Ratri. Sementara perempuan-perempuan pembantu rumah Ki Gede yang lain segera ikut merubung dan membantu memijit-mijit kaki, tangan serta pundak Ratri.
“Pergilah ke regol depan,” tiba-tiba perempuan parobaya itu menghentikan pijitannya dan menoleh ke arah perempuan yang duduk di sebelahnya, “Beritahu pengawal yang sedang jaga untuk melaporkan kejadian ini kepada Ki Gede.”
“Tapi Ki Gede belum pulang,” sahut perempuan yang bertubuh agak gemuk itu dengan serta merta.
“Makanya aku minta engkau memberitahu salah satu pengawal untuk menyusul Ki Gede!” sela perempuan parobaya itu dengan suara sedikit keras.
Perintah itu tidak perlu diulangi lagi. Dengan bergegas perempuan pembantu Ki Gede yang bertubuh agak gemuk itu segera bangkit dan dengan setengah berlari meninggalkan dapur menuju ke regol depan.
Dalam pada itu Matahari telah memanjat kaki langit sebelah timur semakin tinggi. Walaupun sinarnya masih belum menggatalkan kulit, namun udara mulai terasa hangat dan badan pun mulai dibasahi oleh bulir-bulir keringat.

Di tengah padang perdu di sebelah selatan gunung Tidar tampak tiga ekor kuda dipacu dengan tergesa-gesa. Walaupun ketiga penunggangnya itu sudah berusaha membuat kuda-kuda mereka melaju dengan kencang, namun gerumbul-gerumbul perdu yang tumbuh berserakan telah menghambat laju kuda-kuda mereka.

Senin, 25 Februari 2019

STSD 13_03

Dalam pada itu, di dalam bilik banjar padukuhan induk, ketiga orang tua itu ternyata masih meneruskan perbincangan mereka.
“Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Jayaraga kemudian setelah tawa mereka mereda, “Apakah Ki Bango Lamatan mengenal juga guru Ki Rangga Agung Sedayu, Kiai Gringsing atau yang lebih dikenal sebagai orang bercambuk? Beliau adalah salah satu angkatan tua yang sudah meninggalkan kita. Namun kedahsyatan ilmunya sampai sekarang masih dikenang. Pada saat terjadi perang tanding antara orang bercambuk melawan orang yang disebut Kakang Panji, sebuah nama yang selalu membayangi pemerintahan Pajang pada waktu itu, mereka berdua telah mengeluarkan berbagai jenis ilmu yang saat ini sudah sangat jarang kita temui.”
Ki Waskita yang mendengar pertanyaan guru Glagah Putih itu tampak terkejut. Namun dengan cepat segera dihapusnya kesan itu dari wajahnya. Sedangkan Ki Bango Lamatan tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam.
Setelah terlebih dahulu menarik nafas panjang, barulah Ki Bango Lamatan kemudian menjawab sambil menggelengkan kepalanya, “Aku tidak mengenal kehidupan pribadinya secara utuh. Aku hanya mendengar kedahsyatan ilmunya yang disadap dari sebuah perguruan yang pernah berjaya di masa akhir kerajaan Majapahit. Itu pun menurut penuturan Kecruk Putih yang bergelar Panembahan Cahya Warastra,” Ki Bango Lamatan berhenti sebentar untuk sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun kedahsyatan ilmunya itu telah aku rasakan sendiri walaupun secara tidak langsung.”
Hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Jayaraga mengerutkan kening mereka dalam-dalam. Bertanya Ki Jayaraga kemudian, “Maksud Ki Bango Lamatan?”
Ki Bango Lamatan menarik nafas panjang terlebih dahulu untuk meredakan dadanya yang tiba-tiba saja terasa pepat. Kenangan pahit itu memang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidupnya.
“Pada awalnya aku mendapat tugas dari Panembahan Cahya Warastra atau Kecruk Putih untuk menemui dan sekaligus membujuk orang bercambuk itu agar bersedia bergabung dengannya, atau setidak-tidaknya tidak berpihak atau mengambil peran baik kepada Mataram maupun Madiun,” jawab Ki Bango Lamatan kemudian memulai ceritanya.
“Kecruk Putih yang mana? Yang terbunuh oleh Ki Patih Mandaraka ataukah saudara kembarnya yang mampu mateg aji Brahala Wuru namun yang mampu dijinakkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu?” Ki Waskita yang beberapa saat hanya diam saja kemudian dengan serta merta menyahut.
Ki Bango Lamatan tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Ki Waskita. Berbagai kenangan dengan saudara kembar Panembahan Cahya Warastra itupun melintas sekilas dalam benaknya.
“Tentu saja Kecruk Putih yang sebenarnya, Ki,” jawab Ki Bango Lamatan kemudian, “Saudara kembar Kecruk Putih itu tidak begitu mengenal keadaan di tanah Jawa ini. Waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu jauh di tanah seberang.”
Hampir bersamaan kepala kedua orang tua itu terangguk-angguk. Sejenak kemudian suasana menjadi sepi. Ketiga orang tua itu pun tampaknya sedang terombang-ambing oleh kenangan masa lalu yang mengasyikkan.
“Bagaimana cerita selanjutnya, Ki? Apakah Ki Bango Lamatan berhasil menjumpai orang bercambuk itu?” bertanya Ki Jayaraga kemudian memecah kesepian.
“Ya, aku berhasil menjumpainya di tepian kali opak,” jawab Ki Bango Lamatan sambil menganggukkan kepalanya.
“Apa jawab orang bercambuk itu, Ki?” desak Ki Jayaraga yang terlihat sangat penasaran itu.
Kembali Ki Bango Lamatan menarik nafas panjang. Ada segores luka yang masih membekas di jantungnya walaupun kini luka itu telah sembuh berkat nasihat dan petunjuk tentang kawruh kehidupan dari Ki Ajar Mintaraga. Namun bekas luka itu tidak akan pernah hilang sepanjang hayat masing dikandung badan.
“Bagaimana, Ki?” kembali terdengar Ki Jayaraga mengajukan sebuah pertanyaan begitu dilihatnya Ki Bango Lamatan justru termenung sejenak.
Ki Bango Lamatan tersenyum mendengar pertanyaan orang yang pernah malang melintang dalam bayang-bayang kehidupan kelam itu. Jawabnya kemudian, “Aku terlalu yakin dengan kemampuanku dan menganggap kemampuan orang bercambuk itu masih selapis di bawahku. Walaupun sebenarnya sebelum berangkat menunaikan tugas, Panembahan Cahya Warastra telah mewanti-wanti jangan sampai aku melukai hatinya ataupun membuatnya gusar.”
Kembali kedua orang tua itu tampak mengerutkan kening mereka dalam-dalam. Dalam hati mereka berdua menduga bahwa Ki Bango Lamatan tentu telah membuat Kiai Gringsing itu tersinggung dan dengan ilmunya yang sangat tinggi telah mengusir Ki Bango Lamatan.
“Apakah orang bercambuk itu kemudian menjadi tersinggung dan mengusir Ki Bango Lamatan?” akhirnya pertanyaan yang menggumpal dalam dada Ki Jayaraga itu pun terlontar keluar.
Namun jawaban Ki Bango Lamatan justru telah membuat kedua orang itu itu terheran-heran.
Sambil menggeleng lemah, Ki Bango Lamatan pun kemudian menjawab, “Tidak, Ki. Orang bercambuk itu tidak berbuat apa-apa kepadaku. Justru muridnya yang bernama Agung Sedayu itulah yang telah mampu mematahkan kesombonganku selama ini.”
“He?!” serentak kedua orang itu pun berseru tertahan dengan nada penuh keheranan.
Untuk sejenak bilik di ruang dalam banjar padukuhan itu menjadi sunyi. Ki Waskita dan Ki Jayaraga benar-benar tidak habis mengerti. Ki Bango Lamatan dapat dikatakan termasuk golongan angkatan tua pada saat itu, walaupun tentu saja belum dapat disejajarkan dengan Kiai Gringsing. Namun penjelasan Ki Bango Lamatan yang baru saja mereka dengar benar-benar di luar nalar.
“Seingatku sebelum pecah perang antara Mataram dengan Madiun kemampuan Angger Agung Sedayu belum menyamai gurunya, walaupun sudah dapat dikatakan jarang ada tandingannya,” berkata Ki Waskita kemudian perlahan seolah ditujukan kepada dirinya sendiri.
“Ada satu kelebihan yang dimiliki oleh Ki Rangga Agung Sedayu,” tiba-tiba saja Ki Bango Lamatan menyela, “Selain berilmu tinggi, Ki Rangga selalu menggunakan otaknya dalam mengatasi setiap permasalahan yang timbul, baik dalam pertempuan maupun di luar pertempuran.”
“Ki Bango Lamatan benar,” sahut Ki jayaraga dengan serta merta. Sedangkan Ki Waskita hanya mengangguk-anggukkan kepalanya karena Ki Waskita sudah membuktikan sendiri. Betapa kemampuan otak Ki Rangga memang sangat cemerlang. Hanya dalam waktu semalam mampu menghafal isi kitab peninggalan perguruan Ki Waskita yang dipinjamkan kepadanya.

“Jarang ada yang memiliki kemampuan seperti itu,” berkata Ki Waskita dalam hati, “Pada awalnya aku mengira Angger Agung Sedayu hanya akan membaca dan menghafal salah satu dari sekian banyak jenis ilmu yang terdapat dalam kitab itu. Namun ternyata dia justru  membaca dan menghafal seluruh isi kitab itu dan memahatkannya di dinding-dinding hatinya untuk di kemudian hari, satu persatu dipelajari dan ditekuninya sampai tuntas.”

Selasa, 12 Februari 2019

STSD 13_02

Kedua orang tua itu sejenak terdiam sambil menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Waskita masih tetap pada pendiriannya untuk tidak membuka jati diri orang berkerudung itu. Berbagai dugaan pun hilir mudik dalam benak mereka. Namun sesungguhnya, mereka berdua walaupun tidak terucapkan telah menebak sebuah nama, terutama Ki Jayaraga.
“Nah,” berkata Ki Waskita kemudian begitu melihat kedua sahabatnya itu sepertinya telah dapat menerima penjelasan serta alasan-alasan yang dikemukakannya, “Aku kira penjelasanku tentang orang berkerudung itu sudah cukup. Aku tidak perlu mengungkap jati diri orang berkerudung itu dengan sebenar-benarnya. Aku juga tidak perlu menyebut sebuah nama ataupun gelar. Kalian berdua bebas untuk menebaknya.”
“Ki Waskita,’” tiba-tiba Ki Bango Lamatan menyela, “Sebenarnyalah aku tidak mempunyai gambaran yang pasti tentang orang berkerudung itu,” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak untuk sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun menurut panggraitaku, orang berkerudung itu pasti dari golongan angkatan tua yang masih tersisa dengan kemampuan ilmu yang ngedab-edabi. Aku kira hanya tinggal beberapa orang saja saat ini.”
“Sejauh manakah Ki Bango Lamatan mengenal golongan yang disebut angkatan tua itu?” sahut Ki Jayaraga kemudian. Sementara Ki Waskita hanya dapat menahan nafas mendengar pertanyaan Ki Jayaraga.
Sejenak Ki Bango Lamatan termenung. Berbagai kenangan hilir mudik dalam benaknya. Kenangan masa-masa muda yang penuh dengan tantangan namun mengandung harapan setinggi langit.
“Bagaiman Ki Bango Lamatan?” desak Ki Jayaraga  membangunkan lamunan orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu.
Ki Bango Lamatan tersenyum mendengar pertanyaan Ki Jayaraga yang terkesan sedikit penasaran. Sambil tetap tersenyum Ki Bango Lamatanpun kemudian menjawab, “Sampai saat ini,  aku masih mengenal beberapa orang yang dapat dikatakan sebagi golongan   angkatan tua itu.”
Hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Jayaraga mengerutkan kening mereka dalam-dalam. Ki Waskita lah yang kemudian mengajukan pertanyaan, “Siapakah yang Ki Bango Lamatan maksud?”
Kembali Ki Bango Lamatan terseyum penuh arti. Jawabnya kemudian, “Di antara golongan angkatan tua yang masih ada itu sekarang ada di sini, walaupun sudah cukup sepuh, akan tetapi masih menyimpan ilmu yang pilih tanding dan dahsyat tiada taranya.”
Kembali kedua orang tua itu mengerutkan keningnya. Namun Ki Jayaraga yang memang senang bergurau itu akhirnya menimpali, “Ya, aku juga mengenali mereka. Salah satunya sekarang sudah benar-benar tua bangka. Tergeletak di atas amben tak berdaya. Dengan penyakit tua yang mulai menggerogoti usianya. Tinggal menunggu kapan waktunya tiba. Dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa.”
“Ah!” Ki Bango Lamatan dan Ki Waskita pun tidak mampu menahan tawa mereka.
“Lain halnya dengan Ki Waskita,” lanjut Ki Jayaraga kemudian sambil memandang Ki Waskita dengan sebuah senyuman yang menggoda, “Ki Waskita adalah salah satu angkatan tua yang sampai sekarang masih mampu menjaga kebugaran tubuhnya. Itu terbukti di usianya yang sudah senja, masih mampu mengawini dan membahagiakan seorang janda.”
“Ah!” kali ini tawa ketiga orang tua itu begitu kerasnya sehingga sampai terdengar di regol depan banjar padukuhan induk.
Para pengawal yang sedang bertugas jaga pun menjadi saling pandang sejenak. Namun merekapun segera tersenyum sambil mengangguk-angguk.
“Orang-orang aneh,” salah satu pengawal menyelutuk, “Bukannya tidur, mereka malah bergurau. Apakah orang-orang tua itu tidak merasa lelah atau mengantuk setelah berkeliaran hampir sepanjang malam?”
“Tentu tidak,” seorang yang berperawakan kurus menyahut, “Mereka orang-orang luar biasa. Tentu mereka sudah kalis dari segala rasa payah dan kantuk yang biasa menghinggapi orang-orang kebanyakan seperti kita ini.”
Pengawal yang lain tidak menanggapi. Namun tampak kepala mereka saja yang terangguk-angguk.
Namun tiba-tiba seorang pengawal yang lain berdesis perlahan, “Tentu mereka sedang mengenang masa-masa muda mereka yang gemilang. Menjelajahi Tanah ini dari ujung ke ujung. Dengan berbekal kemampuan ilmu  yang tinggi, memungkinkan mereka untuk berbuat apa saja menurut sekehendak hati mereka.”
“Ah, tentu tidak,” pengawal yang berperawakan kurus itu kembali menyahut, “Mereka tentu berasal dari perguruan yang beraliran putih. Pantang bagi mereka untuk berbuat sewenang wenang dengan mengandalkan ketinggian ilmu mereka. Aku justru yakin mereka itu orang-orang yang senang tapa ngrame, mendarma baktikan ilmu mereka kepada sesama dengan tanpa pamrih. Sehingga apa yang telah mereka perbuat di masa lalu, masih dapat kita rasakan sampai saat ini.”
“Engkau benar,” sela pemimpin pengawal jaga yang bertubuh tinggi besar dan sedikit berewokkan, “Mereka telah membantu Perdikan Matesih menghancurkan Padepokan Sapta Dhahana. Mereka membantu kita benar-benar dengan tanpa pamrih. Itu terlihat dari cara mereka bersikap dan berbicara kepada kita. Mereka orang-orang yang berilmu tinggi dan sangat berjasa terhadap Perdikan Matesih. Namun mereka berbicara dan bersikap kepada kita sebagaimana apa adanya. Tidak mau menunjukkan bahwa mereka mempunyai kelebihan dari kita, baik dari segi kemampuan maupun jasa yang telah mereka perbuat.”

Kembali tampak kepala para pengawal jaga itu terangguk-angguk. Dalam hati, mereka tak henti-hentinya mengagumi sepak terjang orang-orang tua itu.

Minggu, 10 Februari 2019

STSD 13_1

(Sebelumnya mbah man mohon maaf. Jilid 13 belum bisa disusun menjadi sebuah buku. Mungkin nanti setelah selesai hajatan tanggal 20 Feb 2019, baru bisa disusun yang lebih baik. Gambar juga belum dipesan. Namun agar para Cantrik sedikit terhibur, mbah man memberanikan diri wedar bagian - bagian awal jilid 13. Jika nanti keterusan sampai selesai, berarti pada CanMen silahkan membukukan sendiri. Matur suwun)
nb: terima kasih yang setunggi-tingginya atas tali asih dari para CanMen. Baik untuk mendukung berlanjutnya cerita ini ataupun tali asih untuk hajatan mbah man. Sekali lagi matur suwun.

13_1

Tiba-tiba tampak wajah Ki Waskita menjadi bersungguh-sungguh. Setelah menarik nafas panjang terlebih dahulu, barulah Ki Waskita kemudian menjawab dengan suara pelan namun penuh tekanan.
“Baiklah,” berkata Ki Waskita kemudian sambil beringsut setapak dari tempat duduknya, “Kita ini ibaratnya memang seperti saudara sekandung, namun bagaimanapun juga aku harus mengemban amanah yang telah dibebankan di pundakku oleh orang berkerudung itu.”
Sejenak Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan saling berpandangan. Mereka berdua belum dapat menerka ke arah mana pembicaraan ayah Rudita itu.
“Maksud Ki Waskita?” sela Ki Bango Lamatan kemudian dengan nada sedikit tidak sabar.
Kembali Ki Waskita menarik nafas panjang. Jawabnya kemudian, “Memang benar bahwa pertemuanku dengan orang berkerudung di bawah pohon sadeng itu telah membuka jati diri orang tersebut dengan sangat jelasnya. Aku mengenal dia sebagaimana dia juga mengenal aku,” Ki Waskita berhenti sejenak untuk sekedar membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi kering. Lanjutnya kemudian, “Namun ada satu hal yang aku tidak mampu untuk mengkhianati sebuah janji. Apapun alasannya, aku akan tetap memegang teguh sebuah janji, walaupun harus nyawa sebagai taruhannya.”
“Ah!” hampir bersamaan kedua orang tua itu tertawa pendek.
“Rasa-rasanya aku seperti sedang mendengarkan kisah asmara Panji Asmorobangun dengan Dewi Sekartaji,” sahut Ki Jayaraga di antara tawanya.
“Tentu tidak, Ki,” sela Ki Waskita cepat begitu melihat Ki Bango Lamatan terlihat akan membuka mulutnya, “Aku berkata sebenarnya. Orang berkerudung itu telah mewanti-wanti kepadaku untuk tidak membuka jati dirinya kepada siapapun, kecuali..”
Tiba-tiba Ki Waskita menghentikan ucapannya sehingga membuat kedua orang tua itu menjadi heran dan diliputi oleh rasa penasaran.
“Kecuali siapa Ki?” desak kedua orang itu bersamaan dengan nada yang tidak sabar.
Setelah kembali menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang tiba-tiba saja menjadi pepat, Ki Waskita pun kemudian menjawab dengan suara perlahan namun sangat jelas terdengar di telinga kedua orang tua itu, “Kecuali kepada calon pewaris tahta Mataram Raden Mas Rangsang.”
“He?!,” hampir bersamaan kedua orang tua itu berseru tertahan. Sejenak kemudian tampak kedua orang tua itu saling berpandangan dengan kerut merut di dahi.  
“Apakah dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa orang berkerudung itu ada hubungan yang erat dengan Raden Mas Rangsang?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian setelah mereka sejenak terdiam.
“Mungkin, itu sangat mungkin, Ki,” desis Ki Jayaraga sambil memandang tajam ke arah Ki Waskita dan memiringkan tubuhnya.
Namun ternyata Ki Waskita justru telah membuang pandangannya ke langit-langit bilik yang tampak kusam.
“Ki Waskita,” desak Ki Jayaraga kemudian, “Apakah Ki Waskita dapat memberi sedikit pencerahan hubungan antara orang berkerudung itu dengan Raden Mas Rangsang?”
Ki Waskita menarik nafas panjang sebelum menjawab. Setelah memandang kedua orang tua itu ganti berganti, barulah dia menjawab, “Ada atau tidak ada hubungan antara orang berkerudung itu dengan Raden Mas Rangsang, aku kira tidak perlu dibahas terlalu mendalam.”
“Ah!” desah kedua orang itu hampir bersamaan. Ki Jayaraga pun tanpa sadar telah kembali tidur menelentang sambil menatap langit-langit yang terbuat dari ayaman bambu yang sangat kasar dan terlihat sedikit kotor.
“Ki Waskita telah membawa kita ke dunia teka-teki yang tak berkesudahan,” desis Ki Jayaraga kemudian sambil pandangannya tetap menatap langit-langit, “Aku secara pribadi sebenarnya sudah mempunyai sebuah nama yang dapat aku jadikan dasar untuk menebak siapakah sebenarnya orang berkerudung itu.”
Ki Bango Lamatan yang duduk di ujung amben itu pun ikut berdesis, “Aku juga, Ki. Mungkin dugaan kita jatuh pada orang yang sama, namun tidak menutup kemungkinan dugaan kita pun akan berbeda.”
“Silahkah saja kalian berdua menebak menurut penalaran kalian masing-masing,” sahut Ki Waskita cepat, “Namun yang aku harapkan, simpan saja nama itu untuk kalian sendiri. Aku sudah disumpah untuk tidak menyebut sebuah nama pun.”
“Bagaimana dengan ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh orang berkerudung itu, Ki?” sela Ki Jayaraga sambil kembali memiringkan tubuhnya menghadap ke arah ayah Rudita itu, “Bukankah menyebut ciri-ciri kewadagan tidak dilarang? Misalnya cara berpakainnya ataupun senjata khusus yang dimilikinya serta tentu saja bentuk tubuh orang berkerudung itu sendiri.”
“Aku kira untuk bentuk tubuh dan ciri-ciri kewadagan orang berkerudung itu Ki Bango Lamatan sudah cukup paham. Dia bersamaku sepanjang malam mengejar orang aneh itu,” jawab Ki Waskita dengan serta merta.
“Tentu tidak, Ki,” sela Ki Bango Lamatan cepat, “Jarak antara kita dengan orang berkerudung itu cukup jauh dan terlihat dia selalu berusaha menyamarkan dirinya, baik dalam tingkah laku, suara maupun wajah yang tertutup secarik kain dan kepala yang berkerudung hitam.”
“Tetapi bukankah Ki Bango Lamatan telah melihat sendiri bentuk kewadagan orang itu? Tinggi besarkah atau pendek dan sebagainya,” Ki Waskita cepat menanggapi ucapan Ki Bango Lamatan.
“Engkau benar, Ki,” kembali Ki Bango Lamatan menyahut, “Namun bukankah Ki Waskita telah diijinkan untuk bertemu dengannya pada jarak yang sangat dekat?” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dan juga Ki Waskita tadi mengatakan bahwa Ki Waskita benar-benar mengenal orang itu sebagaimana orang berkerudung itu mengenal Ki Waskita. Nah, jika Ki Waskita tidak berkeberatan, sebutkanlah ciri-ciri khusus yang dimiliki orang berkerudung itu. Kami berdua tidak menuntut Ki Waskita untuk menyebut sebuah nama, namun dengan menyebut sebuah ciri khusus yang terdapat pada diri orang berkerudung itu, kami berdua akan mendapat ancar-ancar yang jelas untuk mengetahui jati diri orang itu.”
Namun ternyata jawaban Ki Waskita sangat mengejutkan kedua orang tua itu.

Sambil menggeleng lemah dan tersenyum masam, Ki Waskita pun kemudian menjawab, “Itu aku rasa tidak perlu, Ki. Biarlah kalian berdua menebak pada nama yang sama ataupun berbeda, itu tidak akan bermasalah. Tetaplah pada tebakan kalian masing-masing. Waktulah nanti yang akan membuktikan.”