Selasa, 26 Februari 2019

STSD 13_04

“Ah, sudahlah,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil menggeliat dan menjelujurkan kedua kakinya di amben bambu tempat tidurnya, “Mengenang masa lalu tentu tak akan ada habis-habisnya. Biarlah masa lalu tetap menjadi kenangan, sedangkan masa depan adalah harapan,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Kemudian sambil memejamkan kedua matanya dan menyilangkan kedua tangannya di dada dia melanjutkan, “Aku tadi sebenarnya sudah begitu penat menunggu kedatangan kalian berdua. Sekarang aku akan melanjutkan mimpiku yang sempat terputus. Masih cukup waktu untuk sekedar memejamkan mata,” kembali Ki Jayaraga berhenti sejenak. Setelah menguap lebar-lebar dan menutupinya dengan salah satu tangannya, Ki Jayaraga pun kemudian melanjutkan kata-katanya kembali, “Biarlah orang berkerudung itu tetap menjadi rahasia Ki Waskita”
Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan tersenyum mendengar kata-kata guru Glagah Putih itu. Sahut Ki Waskita kemudian, “O, silahkan Ki. Semoga masih bisa mimpi indah di sisa malam ini. Siapa tahu, di alam mimpi nanti Ki Jayaraga akan bertemu dengan orang berkerudung itu.”
“Ah!” Ki Jayaraga yang sudah memejamkan kedua matanya itu masih sempat tertawa pendek. Sementara Ki Bango Lamatan hanya tersenyum kecut.
“Tapi aku tidak akan mengejarnya,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil tetap memejamkan matanya, “Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membujuknya agar dengan suka rela dia mau membuka kerudungnya.”
Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan berpandangan sejenak mendengar gurauan Ki Jayaraga. Namun Ki Waskitalah yang kemudian bertanya, “Tapi bagaimana jika setelah membuka kerudungnya, ternyata dia seorang perempuan yang masih muda dan sangat cantik?”
“Aku akan mengawininya,” sahut Ki Jayaraga acuh sambil memutar tubuhnya menghadap dinding.
“Ah!” tawa kedua orang tua itupun meledak sehingga terdengar kembali sampai di regol depan banjar padukuhan induk.
“Ah, sudahlah,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil tetap menghadap dinding, “Bagaimana aku bisa bermimpi jika kalian tetap saja mengajakku berbicara.”
Kedua orang tua itu tersenyum. Berkata Ki Waskita kemudian, “Baiklah Ki Jayaraga, kami berdua juga akan beristirahat.”
“Silahkan, silahkan,” sahut Ki Jayaraga hampir tak terdengar di antara suara desah nafasnya yang mulai terdengar dalam irama pelan dan teratur.
Kedua orang tua itu sejenak masih saling berpandangan. Namun setelah Ki Waskita memberi isyarat kepada Ki Bango Lamatan, kedua orang tua itupun dengan perlahan segera beranjak dari tempat  duduk mereka.
“Aku akan tidur sampai Matahari naik sepenggalah,” desis Ki Waskita kemudian sambil berjalan menuju pembaringannya.
Ki Bango Lamatan tidak menanggapi. Setelah menguap lebar-lebar dia pun segera menjatuhkan dirinya di amben bambu sebelah Ki Waskita. Terdengar amben bambu itu berderak-derak tertimpa tubuh Ki Bango Lamatan yang tinggi besar.
Ki Jayaraga yang terlihat mulai terlelap itu memang sempat membuka kedua matanya sekejap mendengar suara amben bambu yang berderak-derak. Namun selanjutnya guru Glagah Putih itu pun sudah kembali memejamkan kedua matanya dan terbuai dalam alam mimpi.
Dalam pada itu, langit sebelah timur mulai terlihat bayangan cerah sinar Matahari pagi yang perlahan tapi pasti menjenguk cakrawala. Suasana alam yang semula diliputi kegelapan perlahan menjadi terang. Burung-burungpun mulai berkicau bersahut sahutan di dahan-dahan pepohonan yang rendah. Sementara sekelompok tupai tampak berloncat-loncatan dari dahan ke dahan sambil memperdengarkan lengkingan-lengkingan merdu mereka seakan menyambut sinar Matahari yang pertama kali menyentuh bumi.
Di kediaman Ki Gede Matesih, tampak Ratri dengan tergesa-gesa keluar dari biliknya. Sejenak dipandanginya ruang tengah yang luas itu untuk beberapa saat. Rasa-rasanya dia menangkap sebuah getaran yang aneh yang menyelinap ke dalam lubuk hatinya.
“Aneh,” berkata Ratri kemudian dalam hati sambil mengedarkan pandangan matanya ke seluruh ruangan, “Sepertinya aku merasakan sesuatu yang kurang dalam ruang tengah ini. Tapi aku tidak tahu apakah itu?”
Untuk beberapa saat Ratri masih berdiri termangu-mangu. Dikerahkan seluruh daya ingatnya untuk mencoba menjawab pertanyaan dalam hatinya itu.
“Mengapa ruangan ini terasa asing bagiku?” pertanyaan itu hilir mudik dalam benaknya, “Sepertinya aku tidak melihat sesuatu yang biasanya aku lihat setiap pagi di ruangan ini.”
Tiba-tiba Ratri bagaikan terbangun dari sebuah mimpi buruk. Bayangan seseorang yang sudah sangat dikenalnya melintas cepat dalam benaknya.
“Mbok Pariyem?!” seru Ratri tiba-tiba dengan suara sedikit tertahan, “Ya, mbok Pariyem. Setiap pagi mbok Pariyem selalu membersihkan ruangan ini. Setelah aku terbangun dan keluar bilik, mbok Pariyem selalu menyambutku dengan sebuah senyuman sambil memandangku dengan pandangan yang penuh kasih sayang.”
Berpikir sampai disitu, Ratri segera bergegas melintasi ruang tengah menuju ke pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur.
“Mungkin mbok Pariyem bangun kesiangan,” desis Ratri dalam hati sambil mempercepat langkahnya, “Semalam mungkin dia terlalu lelah dan letih mencari aku yang menghilang, sehingga sampai saat ini mungkin dia belum bangun. Aku akan ke biliknya.”
Ketika Ratri kemudian sampai di depan pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur, segera saja jari-jari yang lentik itu membuka pintu.
Namun alangkah terkejutnya anak gadis satu-satu Ki Gede Matesih itu. Di tengah tengah dapur yang cukup luas itu, beberapa pembantu perempuan Ki Gede tampak sedang duduk dengan gelisah di atas amben yang cukup besar. Begitu mereka melihat Ratri tiba-tiba saja  muncul dari balik pintu, serentak mereka segera berdiri dan kemudian dengan tergesa-gesa menghambur ke arahnya.
“Nimas Ratri, di manakah mbok Pariyem?” bertanya salah seorang yang bertubuh gemuk sesampainya di depan Ratri.
“Ya nduk. Di mana mbok Pariyem? Kami tidak tahu harus berbuat apa tanpa ada perintah dari mbok Pariyem,” sela perempuan yang berbadan kekurus-kurusan.
“Ya,ya. Kami sedari tadi belum melihatnya,” seorang perempuan parobaya menyahut, “Aku sudah mencoba melongok di biliknya. Tapi biliknya kosong.”
“Geledeg di biliknya pun kosong, tidak ada selembar pakaian mbok Pariyem yang tersisa,” kembali yang lain menyahut.
“Jangan jangan dia sengaja meninggalkan rumah Ki Gede,” timpal yang lain, “Tapi mengapa dia pergi tanpa pesan? Terutama kepada kita yang telah bersama-sama ikut membantu rumah tangga Ki Gede ini?”
Pertanyaan bertubi-tubi dari para perempuan pembantu rumah Ki Gede itu benar-benar membuat Ratri bagaikan membeku di tempatnya. Berbagai perasaan bergolak dalam dadanya. Apa yang disampaikan perempuan-perempuan itu benar-benar telah membekukan jantungnya.
“Mbok Pariyem..?” desah Ratri tanpa sadar dengan suara yang lirih dan bergetar. Hanya kata-kata itu yang terucap dari bibir mungil memerah delima itu. Selanjutnya pandangan matanya pun mulai berkunang-kunang.  Ketika sebuah desah kembali terdengar dari bibir mungilnya, tubuhnya pun limbung ke samping.
Jika saja salah satu perempuan pembantu Ki Gede yang berdiri paling dekat tidak segera memeluknya, tentu tubuh Ratri sudah terjatuh di lantai dapur.
“Nimas Ratrii..!!” serentak perempuan-perempuan pembantu Ki Gede Matesih itupun menjerit keras sambil berusaha meraih tubuh Ratri yang limbung dalam pelukan salah satu dari mereka.
“Nduk, sadar..nduk.. nyebut..nyebut!” beberapa perempuan itu tampak berusaha membisikkan doa-doa ke telinga Ratri. Sementara yang lainnya dengan susah payah berusaha membopong Ratri dan membaringkannya di amben besar yang terletak di tengah-tengah ruangan dapur.
Beberapa orang segera memijit-mijit telapak kaki dan pelipis putri satu-satunya Ki Gede Matesih itu. Sedangkan yang lain telah mengambil minyak kelapa yang masih baru dan kemudian  dicampur dengan bawang merah yang telah dilumatkan terlebih dahulu.
“Bawalah kesini,” pinta seorang perempuan parobaya meminta minyak kelapa yang telah dicampur dengan lumatan bawang merah itu.
Seseorang segera mengangsurkan sebuah mangkuk yang berisi ramuan minyak kelapa dan bawang merah. Dengan cekatan perempuan parobaya itupun kemudian mengoleskan ramuan itu ke pelipis dan telapak kaki Ratri. Sementara perempuan-perempuan pembantu rumah Ki Gede yang lain segera ikut merubung dan membantu memijit-mijit kaki, tangan serta pundak Ratri.
“Pergilah ke regol depan,” tiba-tiba perempuan parobaya itu menghentikan pijitannya dan menoleh ke arah perempuan yang duduk di sebelahnya, “Beritahu pengawal yang sedang jaga untuk melaporkan kejadian ini kepada Ki Gede.”
“Tapi Ki Gede belum pulang,” sahut perempuan yang bertubuh agak gemuk itu dengan serta merta.
“Makanya aku minta engkau memberitahu salah satu pengawal untuk menyusul Ki Gede!” sela perempuan parobaya itu dengan suara sedikit keras.
Perintah itu tidak perlu diulangi lagi. Dengan bergegas perempuan pembantu Ki Gede yang bertubuh agak gemuk itu segera bangkit dan dengan setengah berlari meninggalkan dapur menuju ke regol depan.
Dalam pada itu Matahari telah memanjat kaki langit sebelah timur semakin tinggi. Walaupun sinarnya masih belum menggatalkan kulit, namun udara mulai terasa hangat dan badan pun mulai dibasahi oleh bulir-bulir keringat.

Di tengah padang perdu di sebelah selatan gunung Tidar tampak tiga ekor kuda dipacu dengan tergesa-gesa. Walaupun ketiga penunggangnya itu sudah berusaha membuat kuda-kuda mereka melaju dengan kencang, namun gerumbul-gerumbul perdu yang tumbuh berserakan telah menghambat laju kuda-kuda mereka.

10 komentar :

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.