Minggu, 10 Februari 2019

STSD 13_1

(Sebelumnya mbah man mohon maaf. Jilid 13 belum bisa disusun menjadi sebuah buku. Mungkin nanti setelah selesai hajatan tanggal 20 Feb 2019, baru bisa disusun yang lebih baik. Gambar juga belum dipesan. Namun agar para Cantrik sedikit terhibur, mbah man memberanikan diri wedar bagian - bagian awal jilid 13. Jika nanti keterusan sampai selesai, berarti pada CanMen silahkan membukukan sendiri. Matur suwun)
nb: terima kasih yang setunggi-tingginya atas tali asih dari para CanMen. Baik untuk mendukung berlanjutnya cerita ini ataupun tali asih untuk hajatan mbah man. Sekali lagi matur suwun.

13_1

Tiba-tiba tampak wajah Ki Waskita menjadi bersungguh-sungguh. Setelah menarik nafas panjang terlebih dahulu, barulah Ki Waskita kemudian menjawab dengan suara pelan namun penuh tekanan.
“Baiklah,” berkata Ki Waskita kemudian sambil beringsut setapak dari tempat duduknya, “Kita ini ibaratnya memang seperti saudara sekandung, namun bagaimanapun juga aku harus mengemban amanah yang telah dibebankan di pundakku oleh orang berkerudung itu.”
Sejenak Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan saling berpandangan. Mereka berdua belum dapat menerka ke arah mana pembicaraan ayah Rudita itu.
“Maksud Ki Waskita?” sela Ki Bango Lamatan kemudian dengan nada sedikit tidak sabar.
Kembali Ki Waskita menarik nafas panjang. Jawabnya kemudian, “Memang benar bahwa pertemuanku dengan orang berkerudung di bawah pohon sadeng itu telah membuka jati diri orang tersebut dengan sangat jelasnya. Aku mengenal dia sebagaimana dia juga mengenal aku,” Ki Waskita berhenti sejenak untuk sekedar membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi kering. Lanjutnya kemudian, “Namun ada satu hal yang aku tidak mampu untuk mengkhianati sebuah janji. Apapun alasannya, aku akan tetap memegang teguh sebuah janji, walaupun harus nyawa sebagai taruhannya.”
“Ah!” hampir bersamaan kedua orang tua itu tertawa pendek.
“Rasa-rasanya aku seperti sedang mendengarkan kisah asmara Panji Asmorobangun dengan Dewi Sekartaji,” sahut Ki Jayaraga di antara tawanya.
“Tentu tidak, Ki,” sela Ki Waskita cepat begitu melihat Ki Bango Lamatan terlihat akan membuka mulutnya, “Aku berkata sebenarnya. Orang berkerudung itu telah mewanti-wanti kepadaku untuk tidak membuka jati dirinya kepada siapapun, kecuali..”
Tiba-tiba Ki Waskita menghentikan ucapannya sehingga membuat kedua orang tua itu menjadi heran dan diliputi oleh rasa penasaran.
“Kecuali siapa Ki?” desak kedua orang itu bersamaan dengan nada yang tidak sabar.
Setelah kembali menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang tiba-tiba saja menjadi pepat, Ki Waskita pun kemudian menjawab dengan suara perlahan namun sangat jelas terdengar di telinga kedua orang tua itu, “Kecuali kepada calon pewaris tahta Mataram Raden Mas Rangsang.”
“He?!,” hampir bersamaan kedua orang tua itu berseru tertahan. Sejenak kemudian tampak kedua orang tua itu saling berpandangan dengan kerut merut di dahi.  
“Apakah dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa orang berkerudung itu ada hubungan yang erat dengan Raden Mas Rangsang?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian setelah mereka sejenak terdiam.
“Mungkin, itu sangat mungkin, Ki,” desis Ki Jayaraga sambil memandang tajam ke arah Ki Waskita dan memiringkan tubuhnya.
Namun ternyata Ki Waskita justru telah membuang pandangannya ke langit-langit bilik yang tampak kusam.
“Ki Waskita,” desak Ki Jayaraga kemudian, “Apakah Ki Waskita dapat memberi sedikit pencerahan hubungan antara orang berkerudung itu dengan Raden Mas Rangsang?”
Ki Waskita menarik nafas panjang sebelum menjawab. Setelah memandang kedua orang tua itu ganti berganti, barulah dia menjawab, “Ada atau tidak ada hubungan antara orang berkerudung itu dengan Raden Mas Rangsang, aku kira tidak perlu dibahas terlalu mendalam.”
“Ah!” desah kedua orang itu hampir bersamaan. Ki Jayaraga pun tanpa sadar telah kembali tidur menelentang sambil menatap langit-langit yang terbuat dari ayaman bambu yang sangat kasar dan terlihat sedikit kotor.
“Ki Waskita telah membawa kita ke dunia teka-teki yang tak berkesudahan,” desis Ki Jayaraga kemudian sambil pandangannya tetap menatap langit-langit, “Aku secara pribadi sebenarnya sudah mempunyai sebuah nama yang dapat aku jadikan dasar untuk menebak siapakah sebenarnya orang berkerudung itu.”
Ki Bango Lamatan yang duduk di ujung amben itu pun ikut berdesis, “Aku juga, Ki. Mungkin dugaan kita jatuh pada orang yang sama, namun tidak menutup kemungkinan dugaan kita pun akan berbeda.”
“Silahkah saja kalian berdua menebak menurut penalaran kalian masing-masing,” sahut Ki Waskita cepat, “Namun yang aku harapkan, simpan saja nama itu untuk kalian sendiri. Aku sudah disumpah untuk tidak menyebut sebuah nama pun.”
“Bagaimana dengan ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh orang berkerudung itu, Ki?” sela Ki Jayaraga sambil kembali memiringkan tubuhnya menghadap ke arah ayah Rudita itu, “Bukankah menyebut ciri-ciri kewadagan tidak dilarang? Misalnya cara berpakainnya ataupun senjata khusus yang dimilikinya serta tentu saja bentuk tubuh orang berkerudung itu sendiri.”
“Aku kira untuk bentuk tubuh dan ciri-ciri kewadagan orang berkerudung itu Ki Bango Lamatan sudah cukup paham. Dia bersamaku sepanjang malam mengejar orang aneh itu,” jawab Ki Waskita dengan serta merta.
“Tentu tidak, Ki,” sela Ki Bango Lamatan cepat, “Jarak antara kita dengan orang berkerudung itu cukup jauh dan terlihat dia selalu berusaha menyamarkan dirinya, baik dalam tingkah laku, suara maupun wajah yang tertutup secarik kain dan kepala yang berkerudung hitam.”
“Tetapi bukankah Ki Bango Lamatan telah melihat sendiri bentuk kewadagan orang itu? Tinggi besarkah atau pendek dan sebagainya,” Ki Waskita cepat menanggapi ucapan Ki Bango Lamatan.
“Engkau benar, Ki,” kembali Ki Bango Lamatan menyahut, “Namun bukankah Ki Waskita telah diijinkan untuk bertemu dengannya pada jarak yang sangat dekat?” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dan juga Ki Waskita tadi mengatakan bahwa Ki Waskita benar-benar mengenal orang itu sebagaimana orang berkerudung itu mengenal Ki Waskita. Nah, jika Ki Waskita tidak berkeberatan, sebutkanlah ciri-ciri khusus yang dimiliki orang berkerudung itu. Kami berdua tidak menuntut Ki Waskita untuk menyebut sebuah nama, namun dengan menyebut sebuah ciri khusus yang terdapat pada diri orang berkerudung itu, kami berdua akan mendapat ancar-ancar yang jelas untuk mengetahui jati diri orang itu.”
Namun ternyata jawaban Ki Waskita sangat mengejutkan kedua orang tua itu.

Sambil menggeleng lemah dan tersenyum masam, Ki Waskita pun kemudian menjawab, “Itu aku rasa tidak perlu, Ki. Biarlah kalian berdua menebak pada nama yang sama ataupun berbeda, itu tidak akan bermasalah. Tetaplah pada tebakan kalian masing-masing. Waktulah nanti yang akan membuktikan.”

4 komentar :

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.