nb: terima kasih yang setunggi-tingginya atas tali asih dari para CanMen. Baik untuk mendukung berlanjutnya cerita ini ataupun tali asih untuk hajatan mbah man. Sekali lagi matur suwun.
13_1
Tiba-tiba
tampak wajah Ki Waskita menjadi bersungguh-sungguh. Setelah menarik nafas
panjang terlebih dahulu, barulah Ki Waskita kemudian menjawab dengan suara
pelan namun penuh tekanan.
“Baiklah,”
berkata Ki Waskita kemudian sambil beringsut setapak dari tempat duduknya, “Kita
ini ibaratnya memang seperti saudara sekandung, namun bagaimanapun juga aku
harus mengemban amanah yang telah dibebankan di pundakku oleh orang berkerudung
itu.”
Sejenak
Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan saling berpandangan. Mereka berdua belum dapat
menerka ke arah mana pembicaraan ayah Rudita itu.
“Maksud
Ki Waskita?” sela Ki Bango Lamatan kemudian dengan nada sedikit tidak sabar.
Kembali
Ki Waskita menarik nafas panjang. Jawabnya kemudian, “Memang benar bahwa
pertemuanku dengan orang berkerudung di bawah pohon sadeng itu telah membuka
jati diri orang tersebut dengan sangat jelasnya. Aku mengenal dia sebagaimana
dia juga mengenal aku,” Ki Waskita berhenti sejenak untuk sekedar membasahi kerongkongannya
yang tiba-tiba saja menjadi kering. Lanjutnya kemudian, “Namun ada satu hal
yang aku tidak mampu untuk mengkhianati sebuah janji. Apapun
alasannya, aku akan tetap memegang teguh sebuah janji, walaupun harus nyawa
sebagai taruhannya.”
“Ah!” hampir
bersamaan kedua orang tua itu tertawa pendek.
“Rasa-rasanya aku
seperti sedang mendengarkan kisah asmara Panji Asmorobangun dengan Dewi
Sekartaji,” sahut Ki Jayaraga di antara tawanya.
“Tentu tidak, Ki,”
sela Ki Waskita cepat begitu melihat Ki Bango Lamatan terlihat akan membuka
mulutnya, “Aku berkata sebenarnya. Orang berkerudung itu telah mewanti-wanti
kepadaku untuk tidak membuka jati dirinya kepada siapapun, kecuali..”
Tiba-tiba Ki Waskita
menghentikan ucapannya sehingga membuat kedua orang tua itu menjadi heran dan
diliputi oleh rasa penasaran.
“Kecuali siapa Ki?”
desak kedua orang itu bersamaan dengan nada yang tidak sabar.
Setelah kembali
menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang tiba-tiba saja
menjadi pepat, Ki Waskita pun kemudian menjawab dengan suara perlahan namun
sangat jelas terdengar di telinga kedua orang tua itu, “Kecuali kepada calon
pewaris tahta Mataram Raden Mas Rangsang.”
“He?!,” hampir
bersamaan kedua orang tua itu berseru tertahan. Sejenak kemudian tampak kedua
orang tua itu saling berpandangan dengan kerut merut di dahi.
“Apakah dengan
demikian kita dapat menyimpulkan bahwa orang berkerudung itu ada hubungan yang
erat dengan Raden Mas Rangsang?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian setelah
mereka sejenak terdiam.
“Mungkin, itu sangat
mungkin, Ki,” desis Ki Jayaraga sambil memandang tajam ke arah Ki Waskita dan memiringkan tubuhnya.
Namun ternyata Ki Waskita
justru telah membuang pandangannya ke langit-langit bilik yang tampak kusam.
“Ki Waskita,” desak
Ki Jayaraga kemudian, “Apakah Ki Waskita dapat memberi sedikit pencerahan
hubungan antara orang berkerudung itu dengan Raden Mas Rangsang?”
Ki Waskita menarik
nafas panjang sebelum menjawab. Setelah memandang kedua orang tua itu ganti berganti,
barulah dia menjawab, “Ada atau tidak ada hubungan antara orang berkerudung itu
dengan Raden Mas Rangsang, aku kira tidak perlu dibahas terlalu mendalam.”
“Ah!” desah kedua
orang itu hampir bersamaan. Ki Jayaraga pun tanpa sadar telah kembali tidur
menelentang sambil menatap langit-langit yang terbuat dari ayaman bambu yang
sangat kasar dan terlihat sedikit kotor.
“Ki Waskita telah
membawa kita ke dunia teka-teki yang tak berkesudahan,” desis Ki Jayaraga kemudian
sambil pandangannya tetap menatap langit-langit, “Aku secara pribadi sebenarnya
sudah mempunyai sebuah nama yang dapat aku jadikan dasar untuk menebak siapakah
sebenarnya orang berkerudung itu.”
Ki Bango Lamatan yang
duduk di ujung amben itu pun ikut berdesis, “Aku juga, Ki. Mungkin dugaan kita
jatuh pada orang yang sama, namun tidak menutup kemungkinan dugaan kita pun
akan berbeda.”
“Silahkah saja kalian
berdua menebak menurut penalaran kalian masing-masing,” sahut Ki Waskita cepat,
“Namun yang aku harapkan, simpan saja nama itu untuk kalian sendiri. Aku sudah
disumpah untuk tidak menyebut sebuah nama pun.”
“Bagaimana dengan
ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh orang berkerudung itu, Ki?” sela Ki
Jayaraga sambil kembali memiringkan tubuhnya menghadap ke arah ayah Rudita itu,
“Bukankah menyebut ciri-ciri kewadagan tidak dilarang? Misalnya cara
berpakainnya ataupun senjata khusus yang dimilikinya serta tentu saja bentuk
tubuh orang berkerudung itu sendiri.”
“Aku kira untuk
bentuk tubuh dan ciri-ciri kewadagan orang berkerudung itu Ki Bango Lamatan
sudah cukup paham. Dia bersamaku sepanjang malam mengejar orang aneh itu,”
jawab Ki Waskita dengan serta merta.
“Tentu tidak, Ki,”
sela Ki Bango Lamatan cepat, “Jarak antara kita dengan orang berkerudung itu
cukup jauh dan terlihat dia selalu berusaha menyamarkan dirinya, baik dalam
tingkah laku, suara maupun wajah yang tertutup secarik kain dan kepala yang
berkerudung hitam.”
“Tetapi bukankah Ki
Bango Lamatan telah melihat sendiri bentuk kewadagan orang itu? Tinggi besarkah
atau pendek dan sebagainya,” Ki Waskita cepat menanggapi ucapan Ki Bango
Lamatan.
“Engkau benar, Ki,”
kembali Ki Bango Lamatan menyahut, “Namun bukankah Ki Waskita telah diijinkan
untuk bertemu dengannya pada jarak yang sangat dekat?” Ki Bango Lamatan berhenti
sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dan juga Ki Waskita tadi mengatakan bahwa Ki
Waskita benar-benar mengenal orang itu sebagaimana orang berkerudung itu mengenal
Ki Waskita. Nah, jika Ki Waskita tidak berkeberatan, sebutkanlah ciri-ciri
khusus yang dimiliki orang berkerudung itu. Kami berdua tidak menuntut Ki
Waskita untuk menyebut sebuah nama, namun dengan menyebut sebuah ciri khusus
yang terdapat pada diri orang berkerudung itu, kami berdua akan mendapat
ancar-ancar yang jelas untuk mengetahui jati diri orang itu.”
Namun ternyata
jawaban Ki Waskita sangat mengejutkan kedua orang tua itu.
Sambil menggeleng
lemah dan tersenyum masam, Ki Waskita pun kemudian menjawab, “Itu aku rasa
tidak perlu, Ki. Biarlah kalian berdua menebak pada nama yang sama ataupun
berbeda, itu tidak akan bermasalah. Tetaplah pada tebakan kalian masing-masing.
Waktulah nanti yang akan membuktikan.”
Dibaca sambil minum coklat.
BalasHapusMatur suwun Mbah Man.
matur sembah nuwun Mbah Man
BalasHapusMatur sembah nuwun Mbah Man,,, semoga selalu di kasih kesehatan aamiin,,,
BalasHapusAlhamdulillah
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man