Sabtu, 31 Desember 2016

STSD 01_04

Demikianlah untuk beberapa saat mereka yang berada di ruang dalam Kepatihan itu masih membicarakan masalah seputar rencana keberangkatan mereka besuk pagi.

Ketika Ki Patih sudah merasa cukup memberikan pengarahan kepada kelima orang itu, Ki Patih pun segera menutup pertemuan itu dan mempersilahkan mereka untuk beristirahat di tempat yang telah disediakan.

Dalam pada itu malam hampir mencapai puncaknya ketika kelima orang itu keluar dari ruang dalam  Istana Kepatihan. Hampir tidak ada satu pun yang mengeluarkan suara. Masing-masing sedang tenggelam dalam angan-angan mereka sehubungan dengan tugas yang telah diberikan oleh Ki Patih.

Ketika mereka telah tiba di halaman samping kanan Istana Kepatihan, tiba-tiba saja Ki Bango Lamatan telah menghentikan langkahnya. Ki Rangga dan kawan-kawannya pun segera saja ikut menghentikan langkah mereka.

“Ki Rangga,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian, “Aku bermalam di Ndalem Kapangeranan. Pangeran Pati telah berkenan menerima suwitaku untuk menjadi pengawal pribadinya.”

“Syukurlah,” berkata Ki Rangga, “Tenaga Ki Bango Lamatan sangat dibutuhkan untuk perkembangan Mataram di masa mendatang.”

“Aku hanya berusaha untuk  yang terbaik, Ki Rangga,” jawab Ki Bango Lamatan kemudian. Sementara orang-orang yang ada di sekitarnya hanya mengangguk-angguk tanpa menanggapi sepatah kata pun.

“Aku mohon diri,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian.

“Silahkan, silahkan..” hampir bersamaan orang-orang yang berada di tempat itu menjawab.

Demikianlah sejenak kemudian mereka segera berpisah menuju ke tempat masing-masing. Ki Bango Lamatan menuju ke Ndalem Kapangeranan sedangkan Ki Rangga dan kawan-kawannya menuju ke gandok sebelah kanan istana Kepatihan.

Namun baru saja Ki Rangga menutup pintu biliknya, pendengarannya yang tajam telah mendengar desir langkah yang menuju ke biliknya.

Sejenak Ki Rangga menunggu. Ketika kemudian terdengar ketukan perlahan di pintu biliknya, dengan tanpa meninggalkan kewaspadaan, Ki Rangga pun segera melangkah mendekati pintu sambil bertanya, “Siapa?”

“Aku Ki Rangga, prajurit jaga dari Ndalem Kapangeranan,” terdengar jawaban seseorang dari balik pintu bilik.

KI Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil mengangkat pintu selarak. Sejenak kemudian dari pintu yang terbuka muncul seorang prajurit lengkap dengan tanda jaga Ndalem Kapangeranan.

“Ada apa?” bertanya Ki Rangga kemudian.

“Mohon maaf mengganggu istirahat Ki Rangga,” jawab prajurit itu sambil mengangguk dalam-dalam, “Aku diperintah Pangeran Pati untuk menjemput Ki Rangga. Pangeran Pati sedang menunggu kehadiran Ki Rangga di Ndalem Kapangeranan.”

Sebuah desir tajam segera saja menggores jantung Ki Rangga. Bukan masalah Pangeran Pati itu yang akan menjadi persoalan jika dia diperintah untuk menghadap, namun keberadaan seorang perempuan muda yang memiliki kecantikan luar biasa yang kini tinggal di Ndalem Kapangeranan itu yang akan membebani hatinya, Rara Anjani.

“Apakah Ki Rangga sudah siap?” pertanyaan prajurit jaga itu telah menyadarkan Ki Rangga.

Sejenak Ki Rangga tanpa sadar telah memandang tajam ke arah prajurit jaga itu. Dengan serta merta prajurit jaga itu pun segera menundukkan wajahnya.

“Baiklah, aku sudah siap,” jawab Ki Rangga kemudian sambil melangkah keluar dan menutup pintu bilik.

Demikianlah kedua orang itu segera turun ke halaman Istana Kepatihan yang luas. Setelah terlebih dahulu keluar dari regol penjagaan istana Kepatihan, untuk sejenak mereka harus menyusuri lorong yang menghubungkan istana Kepatihan itu dengan Ndalem Kapangeranan.

Setelah melewati beberapa penjagaan yang sangat ketat, tanpa kesulitan yang berarti Ki Rangga dan prajurit jaga itu pun telah sampai di depan Ndalem Kapangeranan.

“Silahkan Ki Rangga,” berkata prajurit jaga itu mempersilahkan Ki Rangga menaiki tlundak pendapa. Sementara seorang pelayan dalam telah berdiri menunggu di ujung tangga.

“Pangeran Pati berkenan menerima Ki Rangga di ruang dalam,” berkata pelayan dalam itu kemudian sambil mengiringi langkah Ki Rangga menyeberangi pendapa yang luas menuju ke pintu pringgitan.

Sejenak kemudian Ki Rangga pun telah duduk bersila di ruang dalam. Sementara pelayan dalam yang mengantarkannya itu dengan bergegas segera masuk ke ruang tengah untuk melaporkan kehadiran Ki Rangga kepada Pangeran Pati.


Sambil menunggu kehadiran Pangeran Pati, Ki Rangga Agung Sedayu harus berkali-kali menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan gejolak di dalam dadanya. Bayangan perempuan cantik yang kini telah menjadi selir Pangeran Pati itu benar-benar telah  meresahkan hatinya.

STSD 01_03

Sejenak kemudian, ruang dalam Kepatihan itu pun kembali sunyi. Hanya terdengar suara angin di luar gedung Kepatihan yang bertiup kencang sehingga membuat atap gedung Kepatihan itu berderak-derak.

“Ampun Ki Patih,” tiba-tiba Ki Waskita berkata sambil menghaturkan sembah, “Orang yang mengaku pengikut Trah Sekar Seda Lepen yang pernah membuat onar di kediaman Ki Gede Menoreh itu juga mampu mengungkapkan ilmunya melalui pusaran angin bercampur lidah api. Bahkan ketika orang itu telah menghentakkan ilmunya, yang terpancar dari ilmunya benar-benar berupa badai api yang siap melumat apapun yang menghalanginya.”

“Ya, aku sudah mendapat laporan tentang itu,” sahut Ki Patih cepat, “Namun orang yang disebut Eyang Guru itu ternyata  telah melarikan diri begitu Ki Rangga hadir. Agaknya dia ketakutan begitu melihat cambuk di tangan Ki Rangga.”

Orang-orang yang hadir di ruang itu tersenyum mendengar kelakar Ki Patih, kecuali Ki Rangga Agung Sedayu. Dengan cepat dia segera menghaturkan sembah sambil berkata, “Ampun Ki Patih, yang membuat orang yang disebut Eyang Guru itu melarikan diri adalah suara derap kaki kuda Ki Gede Menoreh dan rombongannya yang sudah mencapai regol halaman, bukan hamba. Karena sesungguhnya hamba belum melakukan apa-apa.”

“Engkau benar Ki Rangga,” jawab Ki Patih sambil tersenyum penuh arti, “Bukankah engkau memang hanya berbaring saja di tempat tidur ketika pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu membuat ontran-ontran?”

“Ah,” desah Ki Rangga sambil menundukkan kepala, sementara KI Waskita justru telah tertawa. Sedangkan yang lain hanya dapat mengerutkan kening mereka dalam-dalam karena tidak tahu apa yang maksud oleh Ki Patih.

“Bukankah Kakang Agung Sedayu masih sakit pada waktu itu?” pertanyaan itu telah berputar-putar dalam benak Glagah Putih. Sementara Ki Jayaraga hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sedikit banyak dia mulai dapat meraba ilmu yang sedang ditekuni oleh kakak sepupu muridnya itu.

 “Nah, sekarang aku akan memberikan tugas kepada kalian,” berkata Ki Patih kemudian, “Sebenarnya Ki Rangga dan Glagah Putih saja yang mendapat tugas ini langsung dari Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati.”

Tanpa sadar kelima orang yang menghadap Ki Patih itu telah mengangkat kepala mereka dengan jantung yang berdebaran.

“Namun atas saran Pangeran Pati, dan juga pertimbanganku sendiri, Ki Bango Lamatan juga aku libatkan dalam tugas ini.” Ki Patih melanjutkan penjelasannya.

Bagaikan disengat ribuan kalajengking, Ki Rangga dan kawan-kawannya terlonjak kaget, terutama Ki Rangga Agung Sedayu. Nama Bango Lamatan tentu saja tidak asing di telinga Ki Rangga karena memang mereka berdua pernah bertemu. Sedangkan yang lainnya  mengenal nama itu sebagai pengikut setia Panembahan Cahya Warastra.

Serentak keempat orang itu berpaling ke belakang, kearah seorang yang berperawakan tinggi besar dengan jambang dan kumis yang hampir menutupi separuh wajahnya. 

Sejenak Ki Rangga mengerutkan keningnya dalam-dalam. Bango Lamatan yang dulu tidak memelihara kumis dan jambang, namun agaknya sekarang dia lebih senang memeliharanya sehingga orang yang pernah mengenalnya akan kesulitan untuk mengenalinya kembali.

Memang pada saat mereka berempat memasuki ruang dalam Kepatihan beberapa saat yang lalu, di dalam ruangan itu telah hadir seseorang yang hampir seluruh wajahnya tertutup kumis dan jambang yang lebat. Orang itu selalu menundukkan wajahnya sehingga wajahnya sulit untuk dikenali.

Sementara Ki Bango Lamatan yang duduk di belakang sendiri ketika namanya disebut, hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menyembah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Agaknya Ki Patih dapat membaca wajah-wajah yang penuh tanda tanya itu. Maka katanya kemudian, “Ki Bango Lamatan telah menyediakan dirinya untuk membela tetap tegak dan berkibarya panji-panji Mataram di seluruh pelosok negeri ini,” Ki Patih berhenti sebentar. Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Bango Lamatan, Ki Patih bertanya, “Bukankah begitu, Ki Bango Lamatan?”

Dengan penuh rasa takdim, Ki Bango Lamatan pun menyembah sambil berdesis perlahan, “Sendika Ki Patih,”

Hampir bersamaan, Ki Rangga dan kawan-kawannya pun telah menarik nafas dalam-dalam. Agaknya sesuatu telah terjadi pada diri orang kedua di perguruan Cahya Warastra itu setelah pasukan Panembahan Cahya Warastra dihancurkan oleh pasukan Mataram.

“Nah, tugas kalian adalah memutus hubungan  perguruan Sapta Dhahana dengan orang yang mengaku sebagai trah Sekar Seda Lepen itu sebelum semuanya berkembang menjadi besar,” berkata Ki Patih kemudian yang membuat jantung kelima orang itu tergetar.  “Namun kalian tidak diijinkan  membawa pasukan segelar sepapan untuk menghancurkan perguruan itu. Carilah upadaya agar kalian mendapatkan ikannya tanpa harus membuat keruh air di sekelilingnya.”

Jantung kelima orang itu menjadi semakin berdebaran. Agaknya Ki Patih menghendaki cara lain dalam melumpuhkan perguruan Sapta Dhahana dan itu bukan suatu pekerjaan yang mudah.

“Karena beratnya tugas ini, aku juga mohon kepada Ki Waskita dan Ki Jayaraga untuk menemani Ki Rangga,” berkata Ki Patih selanjutnya sambil tersenyum  dan memandang ke arah kedua orang tua itu, “Atas nama Mataram aku hanya dapat mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Sungguh, aku pun secara pribadi rasa-rasanya ingin bergabung dan mengulang kembali masa-masa muda, menjelajahi hutan dan ngarai. Menuruni lembah dan bukit, mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah tersentuh oleh tangan manusia.”

Ki Waskita dan Ki Jayaraga sejenak saling pandang. Ki Waskita lah yang kemudian menghaturkan sembah sambil berkata, “Ampun Ki Patih, kami yang tua-tua ini sesungguhnya merasa takut jika keberadaan kami nantinya hanya menjadi beban. Namun sesungguhnya kami pun juga merasa sangat kesepian jika hanya duduk-duduk saja di beranda menunggu waktu berlalu, karena memang kami tidak mempunyai pekerjaan yang dapat mengikat kami. Sehingga  jika  tenaga kami yang sudah rapuh ini memang masih dibutuhkan,  kami siap untuk membantu Ki Rangga.”

“Ah,” Ki Patih tertawa pendek, “Tenaga Kalian berdua memang terlihat rapuh sebagaimana orang tua kebanyakan. Namun aku yakin, Ki Waskita masih mampu membakar hutan dengan tatapan matanya, sedangkan Ki Jayaraga masih mampu meledakkan bukit  hanya dengan ujung jarinya.”

Semua yang hadir di ruangan itu tersenyum mendengar kelakar Ki Patih. Dengan cepat Ki Jayaraga beringsut ke depan sambil menyembah. Katanya kemudian, “Ampun Ki Patih sebenarnya hamba sudah dihinggapi penyakit tua, tidak bisa menunjuk ke sasaran dengan tepat karena tangan hamba selalu gemetar. Hamba takut jika harus meledakkan bukit kecil di sebelah istana Kepatihan ini, justru istana ini yang akan hancur.”

“Ah,” kini semua yang hadir di ruang dalam Kepatihan itu tertawa.

“Nah,” berkata Ki Patih kemudian setelah tawa mereka mereda, “Mataram tidak mungkin menyerang padepokan Sapta Dhahana secara terbuka sebelum ada bukti keterlibatan mereka dalam usaha makar yang diprakarsai oleh orang-orang yang mengaku trah Sekar Seda Lepen. Untuk itulah aku telah mempertimbangkan masak-masak dengan memilih cara ini. Semoga Yang Maha Agung selalu meridhoi setiap langkah kita untuk menuju perdamaian di seluruh penjuru negeri Mataram.”

Hampir bersamaan kelima orang itu telah menarik nafas dalam-dalam. Sebuah tugas yang memerlukan kesabaran dan ketabahan. Selain tidak boleh menggunakan kekuatan prajurit, tidak menutup kemungkinan di padepokan Sapta Dhahana nantinya mereka akan menghadapi kekuatan yang jauh diluar  dugaan mereka .


“Persoalan yang sedang berkembang di gunung Tidar tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Namun jauhkan kesan keterlibatan Mataram dalam peristiwa ini sebelum ada bukti yang nyata tentang usaha mereka untuk menggulingkan Mataram.” Titah Ki Patih kemudian.

Jumat, 30 Desember 2016

STSD 01_02

“Sudahlah,” berkata Ki Patih kemudian memecah kesunyian, “Biarlah urusan itu dibicarakan oleh keluarga besar kedua wilayah itu. Mataram akan menunggu setiap keputusan yang telah disepakati.,“ Ki Patih berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sekarang aku ingin mendengar laporan tentang perjalanan Glagah Putih beberapa pekan yang lalu ke Bukit Tidar.”

Glagah Putih yang disebut namanya segera bersingsut ke depan. Sambil menyembah, Glagah Putih pun segera memberikan laporannya.

“Mohon ampun Ki Patih,” berkata Glagah Putih kemudian, “Rencana perjalanan kami ke bukit Tidar memang sempat tertunda beberapa hari sehubungan dengan meninggalnya Ki Swandaru,” Glagah Putih berhenti sejenak. Kemudian lanjutnya, “Gunung Tidar selama ini ternyata sedang dalam pengamatan para petugas sandi. Kami telah mengadakan hubungan dengan para petugas sandi di sana. Akhir-akhir ini perguruan Sapta Dhahana yang berada di lereng gunung Tidar sedang giat menjalin hubungan dengan segolongan orang yang mengaku  sebagai Trah Sekar Seda Lepen.”

Tampak Ki Patih menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar laporan Glagah Putih. Sekilas wajah Ki Patih tampak sedikit muram. Sedangkan orang-orang yang hadir di ruangan itu tampak saling pandang dengan kening yang berkerut-merut.

Ki Waskita yang duduk di sebelah kiri Ki Rangga memberanikan diri untuk mengajukan pendapatnya, “Ampun Ki Patih.  Bukankah orang-orang yang mengaku pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu pernah membuat keributan di kediaman Ki Gede Menoreh beberapa saat yang lalu? Agaknya berita kebangkitan keturunan dari Pangeran Sekar itu bukan berita ngaya wara.”

“Benar, Ki Waskita,” jawab Ki Patih, “Aku memang sudah mendapat laporan sebelumnya, namun aku ingin Glagah Putih di dampingi Ki Jayaraga untuk menelusuri kebenaran berita itu dan melihat kekuatan yang tersimpan di padepokan Sapta Dhahana serta hubungannya dengan orang yang menyebut dirinya sebagai trah Sekar Seda Lepen.”

“Sendika Ki Patih,” Ki Jayaraga yang sedari tadi diam saja kini menyahut, “Kami berdua telah mengamati perguruan itu dari dekat. Pemimpin perguruan Sapta Dhahana, Kiai Damar Sasangko, sering mengadakan hubungan dengan seseorang yang bernama Raden Wirasena yang mengaku sebagai keturunan Pangeran Sekar,  putra tertua dari Raden Patah Sultan Demak pertama walaupun dari garwa selir. Raden Wirasena menganggap dirinya  lebih berhak atas tahta  di tanah ini dari pada keturunan Panembahan Senapati.”

Untuk beberapa saat mereka yang mendengarkan penjelasan Ki Jayaraga itu terdiam. Orang yang bernama Raden Wirasena dan para pengikutnya itu agaknya sedang berusaha menanamkan pengaruhnya terhadap para kawula Mataram dengan cara  mengungkit kembali akan garis keturunan dari kerajaan Demak lama. Tidak menutup kemungkinan orang-orang yang masih rindu akan kejayaan Demak lama akan terpengaruh, karena mereka masih beranggapan bahwa penguasa negeri ini harus ada garis keturunan dari kerajaan besar yang pernah ada, yaitu Majapahit.  Sedangkan Panembahan Senapati yang kemudian menjadi raja pertama di Mataram itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan  garis keturunan dari Majapahit.

“Ampun Ki Patih,” kembali Ki Waskita mengajukan pendapatnya sambil menyembah, “Bukankah jaman sudah berganti dan Wahyu Keprabon sudah berpindah beberapa kali? Dan yang terakhir, sesuai dengan ramalan seorang Wali yang waskita, Wahyu Keprabon ternyata telah jatuh di Alas Mentaok yang sekarang ini telah menjadi kerajaan Mataram.”

 “Ki Waskita benar,” jawab Ki Patih sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Namun yang perlu diluruskan adalah, siapakah yang telah mengaku sebagai trah Pangeran Sekar itu? Seperti yang telah kita ketahui bersama, Pangeran Sekar meninggalkan dua orang putra, Harya Penangsang dan Harya Mataram. Harya Penangsang gugur dalam peperangan antara Pajang dan Jipang di pinggir bengawan sore, sedangkan Harya Mataram telah lolos dan sampai sekarang tidak ada kabar beritanya.”

Untuk sejenak ruang dalam Kepatihan itu kembali menjadi sunyi. Masing-masing telah tenggelam dalam angan-angan mereka. Sementara di luar angin malam bertiup agak kencang sehingga telah mengguncang daun-daun pohon sawo kecik yang ditanam di sebelah regol Kepatihan.

“Sudahlah,” berkata Ki Patih kemudian, “Persoalan itu akan menjadi pekerjaan para prajurit sandi untuk mengungkapkan siapakah sebenarnya orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu,” Ki Patih berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Nah, sekarang yang perlu kita ketahui adalah kekuatan sebenarnya dari Padepokan Sapta Dhahana. Ki Rangga pun agaknya sangat berkepentingan dengan berita ini. Mungkin Ki Jayaraga dapat memberikan gambaran.”

Selesai berkata demikian Ki Patih kemudian berpaling kepada Ki Jayaraga. Ki Jayaraga pun tanggap. Secara singkat  segera diceritakan hasil pengamatannya bersama Glagah Putih di Padepokan Sapta Dhahana.

“Ampun Ki Patih, sebagaimana yang pernah Ki Patih sampaikan. Perguruan itu memang mempunyai sebuah ritual yang cukup aneh. Kami berdua sempat menyaksikan walaupun dari jarak yang agak jauh. Setiap murid perguruan itu senang bermain-main dengan api,” Ki Jayaraga memulai kisahnya, “Pada tingkat kemampuan yang paling rendah, murid-murid padepokan itu mampu berjalan dengan kaki telanjang di atas tumpukan bara api tanpa menderita luka sedikit pun. Sedangkan pada tingkatan yang lebih tinggi, seseorang telah dilumuri sekujur tubuhnya dengan sejenis minyak kemudian dibakar. Ternyata tubuh orang tersebut tidak mempan dibakar api, bahkan pakaian yang dikenakannya pun tetap utuh, tidak hangus dimakan api.”

Mereka yang hadir di ruangan itu menjadi berdebar-debar. Jika murid-muridnya saja mampu menunjukkan pengeram-eram seperti itu, bagaimana dengan kemampuan gurunya sendiri?

“Semasa mudaku aku memang pernah mendengar perguruan itu,” Ki Patih memberikan tanggapannya, “Seingatku perguruan itu memang senang bermain-main dengan api, sesuai dengan namanya Sapta Dhahana,” Ki Patih berhenti sejenak untuk mengumpulkan daya ingatnya. Lanjutnya kemudian, “Kekuatan yang terpancar dari puncak ilmu perguruan Sapta Dhahana itu, tentu tidak lepas dari kekuatan api, entah itu berupa semburan api yang sangat panas, atau bola-bola api yang sangat panas yang terlontar dengan kekuatan nggegirisi. Aku berharap semua ini akan memberikan sedikit gambaran tentang kekuatan perguruan Sapta Dhahana kepada Ki Rangga Agung Sedayu,” kembali Ki Patih berhenti sejenak. Sambil berpaling ke arah Ki Rangga, Ki Patih pun melanjutkan kata-katanya, “Bukankah janji Kiai Damar Sasangka itu masih berlaku Ki Rangga?”

Ki Rangga Agung Sedayu yang mendapat pertanyaan dari Ki Patih itu hanya dapat menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil menyembah. Dia segera teringat akan penuturan Kiai Sabda Dadi yang pernah berjumpa langsung dan menerima pesan dari pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu. Kiai Damar Sasangka telah memberinya waktu sebulan lebih sepuluh hari untuk menyembuhkan luka-lukanya. Jika batas waktu itu telah tercapai, bagaimana pun keadaan dirinya, Pemimpin perguruan di lereng gunung Tidar itu tetap akan membunuhnya, melawan ataupun tidak melawan.


“Sampai kapan aku akan terbebas dari lingkaran dendam yang tak berkesudahan ini?” Ki Rangga hanya dapat mengeluh dalam hati.

Kamis, 29 Desember 2016

STSD 01_01

Malam baru saja lewat sirep bocah. Angin malam yang bertiup cukup keras telah menggugurkan daun-daun kering pepohonan yang tumbuh di halaman istana Kepatihan. Di ruang dalam, tampak lima orang sedang duduk terpekur menunggu titah Ki Patih Mandaraka.

Tidak ada seorang pun yang berani membuka suara. Masing-masing sedang tenggelam dalam lamunan yang mengasyikkan. Berbagai kenangan telah hilir mudik dalam benak mereka. Satu-persatu kenangan itu bagaikan air hujan yang turun membasahi bukit-bukit berbatu. Mengalir di sela-sela bebatuan susul menyusul saling berebut  hingga akhirnya sampailah air itu di kaki bukit kenangan mereka.

“Ki Rangga,” tiba-tiba terdengar Ki Patih berkata membuyarkan lamunan mereka, “Bagaimanakah rencana Ki Rangga selanjutnya sehubungan dengan lolosnya orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.”

Ki Rangga Agung Sedayu beringsut setapak ke depan sambil menyembah. Jawabnya kemudian, “Ampun Ki Patih. Pangeran Ranapati telah lolos dari medan pertempuran lemah Cengkar karena ditolong oleh Gurunya, Ki Singawana Sepuh. Menurut perkiraan hamba, mereka kemungkinan besar telah pulang ke Kademangan Cepaga. Hamba mempunyai rencana untuk menyusul mereka.”

Untuk beberapa saat Ki Patih termenung. Ingatannya kembali ke masa puluhan tahun yang silam ketika seorang pemuda yang bernama Jaka Suta bersama Pamannya singgah di padepokan Selagilang, di lereng utara gunung Merapi.

Sejenak suasana kembali sepi. Ki Patih sedang terbawa kenangan sewaktu Panembahan Senapati masih muda dan lebih dikenal dengan nama Raden Sutawijaya.

“Tugas untuk melacak keberadaan pangeran Ranapati itu masih tetap berada di pundakmu, Ki Rangga,” berkata Ki Patih kemudian memecah kesunyian, “Namun yang perlu engkau waspadai, Ki Ageng Selagilang atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Singawana Sepuh, tentu akan melindungi orang yang sudah dianggap seperti cucunya sendiri itu. Ki Ageng Selagilang mempunyai ketinggian ilmu yang tak terukur. Engkau harus benar-benar siap lahir maupun batin jika ingin berurusan dengannya lagi,” Ki Patih berhenti sejenak. Setelah menarik nafas panjang Ki Patih melanjutkan, “Tidak menutup kemungkinan jika Ranapati masih dapat bertahan dan selamat, dia akan menyusun kekuatan lagi dengan mempengaruhi dan bergabung dengan para Adipati di pesisir yang sekarang ditengarai sedang bergolak.”

Ki Rangga tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang tampak terangguk dalam-dalam.

“Nah, Ki Rangga. Untuk sementara persoalan Ranapati itu kita kesampingkan dulu sambil menunggu perkembangan dari para petugas sandi. Mereka telah disebar untuk memantau keberadaan Ranapati.”

Mereka yang hadir di ruang dalam Kepatihan itu hanya dapat mengangguk-angguk tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Sekarang aku akan menyampaikan sesuatu hal tentang Kademangan Sangkal Putung,” berkata Ki Patih kemudian sambil membetulkan letak duduknya.

Ki Rangga yang mendengar Kademangan Sangkal Putung disebut, tanpa sadar telah mengangkat wajahnya. Namun begitu disadari Ki Patih sedang memandang ke arahnya, dengan cepat segera ditundukkan kembali wajahnya.

"Mataram sedang mempersiapkan serat kekancingan bagi Kademangan Sangkal Putung,” berkata Ki Patih selanjutnya, “Ki Swandaru telah berjasa ikut menjaga kedaulatan Mataram dari tangan-tangan segolongan orang yang tidak bertanggung jawab. Bentuk penghargaan itu sedang dipikirkan. Mungkin kademangan Sangkal Putung akan ditingkatkan kedudukannya menjadi sebuah tanah Perdikan yang tidak mempunyai kewajiban membayar upeti, namun kewajiban untuk tunduk dan patuh kepada Mataram tetap ada.”

Berdesir jantung orang-orang yang hadir di ruang dalam Kepatihan itu. Selama ini Ki  Demang Sangkal Putung dalam tugas  sehari-hari telah diambil alih oleh Ki Swandaru karena kesehatan ki Demang yang sudah menurun serta usianya yang sudah sedemikian sepuh. Sepeninggal Ki Swandaru, Kademangan Sangkal Putung harus segera menunjuk seseorang untuk membantu tugas Ki Demang atau bahkan sekalian mengangkat seorang Pemangku sementara untuk menjalankan tugas sehari-hari sampai saatnya nanti Ki Demang mengundurkan diri.

“Apakah Kademangan Sangkal Putung sudah memutuskan siapa Pemangku sementara untuk membantu Ki Demang yang sudah tua dan sakit-sakitan itu?” tiba-tiba Ki Patih bertanya  seolah-olah mengerti apa yang sedang mereka pikirkan.

Orang-orang yang hadir di ruang dalam Kepatihan itu untuk sejenak saling berpandangan. Ki Rangga lah yang akhirnya menjawab, “Ampun Ki Patih, beberapa saat yang lalu Pandan Wangi telah menyampaikan rencananya kepada hamba. Bayu Swandana anak laki-laki satu-satunya Ki Swandaru rencananya akan dibesarkan  oleh ibunya di Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Patih mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil berpaling ke arah Ki Rangga, Ki Patih pun bertanya, “Mengapa Pandan Wangi memilih pulang ke Tanah Perdikan Menoreh?”

Ki Rangga yang melihat Ki Patih telah berpaling ke arahnya segera menyembah sambil menjawab, “Mohon ampun Ki Patih. Hamba telah memberikan beberapa pertimbangan kepadanya, namun Pandan Wangi  lebih memilih untuk  pulang ke Menoreh.”

Kembali Ki Patih mengerutkan keningnya. Sebagai seorang yang telah kenyang makan asam garamnya kehidupan, Ki Patih segera maklum apa yang dimaksud oleh Ki Rangga.. Katanya kemudian sambil menghela nafas panjang, “Ya, aku bisa memaklumi sikap Pandan Wangi. Sepeninggal suaminya, Pandan Wangi tentu merasa lebih tenang membesarkan anaknya di tanah kelahirannya sendiri. Sementara di Menoreh, Ki Argapati pun juga memerlukan pendamping untuk menjalankan tugasnya  sehari-hari.”


Orang-orang yang hadir di ruangan itu kembali mengangguk-angguk. Agaknya Tanah Perdikan Menoreh juga mempunyai persoalan yang sama dengan Kademangan Sangkal Putung. Sampai akhir hayatnya pun Ki Swandaru sebagai anak menantu Ki Argapati dan sekaligus pewaris satu-satunya Tanah Perdikan  Menoreh, sama sekali belum menyentuh tanah kelahiran istrinya itu.

Kamis, 22 Desember 2016

Sinopsis

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

Pemberontakan Pangeran Jayaraga di Panaraga masih menyisakan luka bagi Mataram. Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati berniat untuk tetirah sekaligus berburu sekedar untuk melepaskan ketegangan. Pemilihan hutan Krapyak sebagai tempat tetirah ternyata ada kesengajaan dari pihak yang ingin menggulingkan Mataram. Rara Anjani yang telah diangkat sebagai selir Pangeran Pati, secara tidak sengaja telah mencium rencana jahat sekelompok orang yang akan menyingkirkan Panembahan Hanyakrawati pada saat di hutan Krapyak nanti. Ketika hal itu disampaikan kepada Raden Mas Rangsang, karena hasutan seorang emban kaki tangan pengikut trah Sekar Seda Lepen, Raden Mas Rangsang menganggap selirnya itu telah mencoba mempengaruhinya dengan menyebarkan fitnah. Dalam keadaan mengandung muda, Rara Anjani  lebih memilih menyingkir ke gunung Kendalisada memohon  perlindungan kepada Resi Mayangkara karena keselamatannya pun  juga terancam.

Dalam pada itu  di Kademangan Sangkal Putung, sepeninggal Ki Swandaru  Pandan Wangi lebih memilih pulang ke Tanah Perdikan Menoreh dengan membawa anak laki-laki satu-satunya, Bayu Swandana. Sedangkan Sekar Mirah, setelah suaminya mengundurkan diri dari lingkungan keprajuritan, lebih memilih membesarkan anak semata wayangnya Bagus Sadewa di Sangkal Putung. Sementara Ki Agung Sedayu setelah melawat ke perguruan Jalatunda di lereng gunung Penanggungan sebagai usaha Mataram untuk menjajagi kekuatan Kadipaten Surabaya, telah mengundurkan diri dari lingkungan keprajuritan dan lebih senang menyepi di padepokan Jati Anom.

Waktu pun bergulir dengan cepat. Ki Untara yang telah menyelesaikan  masa bhaktinya di keprajuritan,   telah menyerahkan anaknya Putut Pratama kepada adiknya untuk berguru di padepokan Jati Anom. Putut Pratama pun menjadi saudara seperguruan dengan Bagus Sadewa. Sementara Bayu Swandana yang berada di Menoreh ternyata telah digembleng sendiri oleh ibunya untuk mewarisi ilmu turun-temurun dari Menoreh. Ki Argapati pun sebelum tutup usia telah ikut turun tangan memberi petunjuk kepada cucu satu-satunya itu.

Persoalan pun muncul ketika Bayu Swandana merasa punya hak atas Kademangan Sangkal Putung, sedangkan para tetua Kademangan Sangkal Putung telah sepakat menetapkan Bagus Sadewa sebagai Pemangku sementara kademangan sambil menunggu serat kekancingan dari Mataram. Sementara itu, Glagah Putih yang telah diangkat menjadi Senapati pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh telah mencurigai adanya usaha orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk membenturkan Tanah Perdikan Menoreh dengan Kademangan Sangkal Putung yang selama ini menjadi salah satu penyangga kekuatan Mataram agar sedikit demi sedikit kekuatan Mataram melemah.

Dalam pada itu,  langit di atas Mataram terlihat kelabu. Perebutan kekuasaan antar keluarga kerajaan sendiri untuk menduduki tahta menjadi semakin meruncing. Sepeninggal Panembahan Hanyakrawati,  Ratu Tulungayu tetap menuntut Raden Mas Wuryah yang menduduki tahta sesuai janji  Panembahan Hanyakrawati  semasa masih menjabat Adipati Anom Mataram. Sedangkan  Raden Mas Rangsang yang telah diangkat sebagai Putra Mahkota semasa pemerintahan Ayahandanya, menyerahkan semua persoalan itu kepada keputusan kerabat Istana.

22 Desember 2016
Padepokan Sekar Keluwih,
Sidoarjo          


paneMBAHan  MANdaraka.

Selasa, 20 Desember 2016

WORO_WORO

WORO WORO
TADBM telah tamat di jilid 416. Perlu dimaklumi bahwa TADBM ini dibuat atas dasar kecintaan akan cerita adi luhung karya Sang Maestra Bp. Singgih Hadi Mintardja. Selanjutnya apabila para Cantrik dan Mentrik berkenan untuk terus mengikuti kisah Ki Rangga Agung Sedayu dan lain-lain, bisa tetap mengikuti cerita ini di TAMAN BACAAN MBAH MAN.

Silahkan para Cantrik Mentrik mengusulkan judul baru untuk kisah para penerus perguruan Orang Bercambuk ini. Sinopsis menyusul setelah ada judul. Monggo ditunggu partisipasinya..

Di bawah ini ada sedikit bocoran biar agak semangaaat.!!

Untuk beberapa saat keduanya terdiam, terombang-ambing oleh lamunan masing-masing.

“Mohon maaf Rara Anjani,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian memecah kesunyian, “Kami  sengaja mengunjungi Rara di bukit Kendalisada ini atas perintah Pangeran Pati di Mataram untuk menjenguk keadaan Rara,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sekalian pada kesempatan ini kami juga mohon pamit. Kami berlima sedang menjalankan tugas untuk menyelidiki keberadaan perguruan Jalatunda yang terletak di lereng sebelah utara gunung Penanggungan.”

Bibir Rara Anjani  yang bak delima merekah itu terkatup rapat-rapat. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap. Dipalingkan wajahnya yang muram ke arah lereng bukit Kendalisada yang curam dan berbatu-batu. Sinar Matahari pagi yang cerah menyinari wajahnya yang jelita bak putri kahyangan itu sehingga kedua belah pipinya yang ranum tampak semakin menggairahkan. Namun sinar matanya yang biasanya berbinar kini tampak redup bagaikan sinar dlupak yang tersangkut di regol Padukuhan di tengah malam yang sunyi.

“Ada apakah Rara?” bertanya Ki Rangga kemudian dengan suara perlahan begitu menyadari perubahan yang terjadi pada diri Rara Anjani, “Adakah sesuatu yang membebani hati Rara sehubungan dengan kedatangan kami ini?”

Rara Anjani belum menjawab pertanyaan Ki Rangga. Pandangan matanya menatap kosong ke titik-titik di kejauhan. Perlahan dari sepasang mata yang indah  itu menetes air bening, sebening embun pagi.


(Jangan bersedih Rara, masih banyak Cantrik yang siap menghiburmu)

TADBM 416_20 (TAMAT)

Ketika kedua orang itu telah semakin dekat, barulah Anjani dapat mengenali siapakah kedua orang itu.

“Selamat datang kakek Tanpa Aran,” berkata Anjani kemudian sambil mengangguk hormat kepada orang yang sudah sangat sepuh itu. Sedangkan kepada anak muda yang berjalan di sebelahnya, Anjani segera menghaturkan sembah sambil berkata, “Selamat datang Raden Mas Rangsang.”

“Terima kasih Ni Anjani,” Raden Mas Rangsang lah yang menjawab. Sementara kakek Tanpa Aran hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Dalam pada itu, Ki Lurah Adiwaswa yang mendengar nama calon penerus tahta Mataram itu disebut segera menyongsong Raden Mas Rangsang dengan tergopoh-gopoh.

“Maafkan hamba Raden,” berkata Ki Lurah kemudian sesampainya di hadapan Raden Mas Rangsang, “Hamba sangat jarang bertemu dengan Raden, sehingga hamba tidak dapat mengenali kehadiran Raden di tempat ini.”

Raden Mas Rangsang  tersenyum sambil menjawab, “Terima kasih Ki Lurah. Jangan menyambutku berlebihan. Kita sedang berada di medan perang. Kesiap-siagaan dan kewaspadaan itu lebih penting dari pada segala unggah-ungguh dan suba sita.”

Orang-orang yang mendengar ucapan Pangeran Pati itu hampir bersamaan telah menarik nafas dalam-dalam. Mereka telah mendengar akan kesederhanaan dan kebersahajaan Putra Mahkota itu. Kecuali Kyai Dadap  Ireng yang sedari tadi hanya mengerutkan kening sambil pandangan matanya yang tajam tak pernah lepas menatap wajah Raden Mas Rangsang.

“Kesempatan yang sangat langka,” berkata Kyai Dadap Ireng dalam hati, “Belum tentu seumur hidupku aku dapat bertemu muka langsung dengan trah Mataram ini. Jika aku berhasil menangkapnya hidup-hidup, atau pun membunuhnya, tentu Mataram akan kehilangan penerusnya. Cita-cita Pangeran Ranapati untuk merebut tahta  tentu akan lebih mudah.”

Teringat akan Pangeran Ranapati, tiba-tiba saja Kyai Dadap Ireng menjadi gelisah. Beberapa saat tadi dia sempat melihat Pangeran yang keras hati itu terjatuh akibat benturan ilmu dengan lawannya. Kemudian gurunya, Ki Singawana Sepuh telah datang untuk menolongnya. Namun beberapa saat kemudian ketika perhatiannya tersita oleh Anjani, dia sudah tidak melihat lagi keberadaan guru dan murid itu.

Ketika Kyai Dadap Ireng kemudian mencoba mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling medan, di sana sini yang tampak hanyalah prajurit-prajurit Mataram dibantu oleh beberapa murid perguruan bercambuk,  sedang sibuk menolong  para korban.

“Gila!” geram Kyai Dadap Ireng tanpa sadar, “Apa sebenarnya yang telah terjadi?”

“Pertempuran telah selesai Ki Sanak,” Raden Mas Rangsang lah yang menyahut, “Ki Sanak jangan mencoba mencari orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Kelihatannya dia telah terluka parah dan telah dibawa menyingkir oleh gurunya.”

“Persetan!” kembali Kyai Dadap Ireng menggeram, “Aku tidak peduli lagi dengan Pangeran itu. Sekarang aku akan membunuhmu. Bukankah orang-orang tadi menyebut namamu Raden Mas Rangsang, calon penerus trah Mataram?”

“Namaku memang Mas Rangsang,” jawab Putra Mahkota itu, “Adapun orang-orang memanggilku dengan gelar kebangsawanan atau pun tidak, itu tidak akan ada bedanya bagiku. Aku tetap sebagaimana diriku ini.”

“Anak sombong!” bentak Kyai Dadap Ireng, “Bersiaplah untuk mati!”

Selesai berkata demikian, pemimpin perguruan Dadap Ireng itu segera bersiap untuk melancarkan serangan pertamanya.

“Tunggu!” hampir bersamaan Ki Lurah Adiwaswa dan Anjani melangkah maju.

“Raden, biarlah hamba tuntaskan sekalian tugas hamba,” berkata Ki Lurah Adiwaswa mendahului Anjani, “Sebelum Raden hadir di tempat ini, kami memang telah bertempur untuk beberapa saat lamanya.”

Raden Mas Rangsang hanya tersenyum dan menggeleng menanggapi kata-kata Ki Lurah. Sambil berpaling ke arah Anjani, Raden Mas Rangsang pun kemudian bertanya, “Rara Anjani, apakah Rara bersedia membantuku sekali lagi?”

Terkejut Anjani mendengar dirinya disebut Rara. Sebutan Rara itu hanya untuk perempuan trah bangsawan, sedangkan dirinya sama sekali tidak pantas disebut Rara.

Berpikir sampai disitu dengan segera dia menyembah sambil berkata, “Ampun Raden, hamba ini hanyalah trah pidak pedarakan yang tidak pantas menyandang gelar Rara. Sekali lagi hamba mohon maaf.”

Raden Mas Rangsang tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Atas nama Penguasa Mataram Ayahanda Prabu Panembahan Hanyakrawati, aku telah menganugrahkan gelar Rara kepada mu atas jasa Rara Anjani menyelamatkan aku sewaktu di tegal kepanasan.”

Berdesir dada orang-orang yang hadir di situ tak terkecuali Ki Lurah Adiwaswa. Dirinya segera maklum bahwa agaknya Putra Mahkota Mataram itu telah berkenan dengan perempuan yang bernama Anjani itu.

Untuk beberapa saat Anjani justru telah membeku di tempatnya. Secara samar dia segera menyadari apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Raden Mas Rangsang itu. Berbagai pertimbangan pun segera bergolak di dalam dadanya.

“Bagaimana Rara Anjani?” bertanya Raden Mas Rangsang kemudian sambil tersenyum penuh arti, “Apakah engkau sekali lagi mau menolongku? Sungguh aku benar-benar memerlukan pertolonganmu dan aku akan memberimu hadiah yang mungkin diluar  jangkauan nalarmu.”

Kembali berdesir dada Anjani. Bahkan sekarang ini begitu tajamnya desir yang menggores jantungnya sehingga membuat sekujur tubuh Anjani tiba-tiba menggigil.

Tiba-tiba Anjani teringat nasihat Kanjeng Sunan beberapa saat yang lalu ketika mereka sedang berkumpul di dalam goa di puncak Suralaya pebukitan Menoreh.

“Ni Anjani. Aku tidak dapat menentukan masa depan seseorang. Banyak-banyaklah memohon petunjuk kepada Yang Maha Agung disetiap doamu. Selain itu usaha yang sungguh-sungguh disertai dengan niat baik dan ikhlas, akan membawamu ke masa depan yang engkau cita-citakan. Namun semua itu tetap di dalam kuasaNYA. Jika Yang Maha Agung berkehendak lain, tiada seorang pun yang mampu menolaknya.”

Sebenarnyalah Anjani adalah seorang perempuan yang cerdas dan tanggap. Adalah sangat deksura bila menolak keinginan seorang Putra Mahkota walaupun dia menyadari sepenuhnya bahwa bukanlah sifat dari Raden Mas Rangsang itu untuk memaksakan kehendaknya. Namun jauh di lubuk hatinya, Anjani merasa begitu tersanjung dan ada keinginan untuk tidak mengecewakan calon pewaris tahta Mataram itu. Sementara nasibnya sendiri untuk saat ini masih terombang-ambing tidak menentu.

“Jika memang aku diperkenankan untuk suwita di Mataram, apa salahnya?” berkata Anjani dalam hati, “Sedangkan harapanku selama ini terlalu jauh dan terjal untuk kurengkuh. Akan aku buktikan kepada orang-orang Menoreh bahwa aku bukanlah  perempuan yang sedemikian rendahnya untuk diremehkan.”

Dengan segala pertimbangan itulah, Anjani pun segera menghaturkan sembah sambil membungkuk dalam-dalam. Katanya kemudian, “Mohon ampun Raden. Adalah merupakan suatu kewajiban bagi semua kawula Mataram termasuk hamba untuk melindungi Raden dari segala mara bahaya. Hamba tidak pernah memimpikan untuk mengharapkan hadiah. Apa yang hamba lakukan adalah semata-mata karena sebuah kewajiban.”

Kembali Raden Mas Rangsang tertawa pendek. Katanya kemudian, “Baiklah Rara Anjani. Aku serahkan keselamatanku kepadamu. Marilah kita panjatkan doa,  semoga  Yang Maha Agung berkenan untuk melindungki kita semua.”

Semua yang hadir di tempat itu tampak mengangguk-angguk kecuali Kyai Dadap Ireng. Dengan tertawa lebar dia maju selangkah. Katanya kemudian, “Baiklah, kalau memang Putra Mahkota ini terlalu pengecut, siapapun yang menjadi gantinya aku tidak peduli. Jika memang perempuan yang bernama Rara Anjani ini yang akan menjadi lawanku, aku tidak berkeberatan. Namun ada satu hal yang ingin aku sampaikan. Aku tidak sampai hati jika harus melukai bahkan sampai membunuh perempuan yang terlalu cantik ini. Aku hanya akan menundukkannya dan setelah itu, tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi aku untuk membawanya ke padepokan Dadap Ireng.”

Terkejut orang-orang yang hadir di tempat itu. Serentak mereka berpaling ke arah Raden Mas Rangsang. Namun ternyata Raden Mas Rangsang menanggapi persyaratan Kyai Dadap Ireng itu dengan dingin. Katanya kemudian, “Baiklah Ki Sanak, jika Ki Sanak mampu mengalahkan Rara Anjani, Ki Sanak boleh membawanya kemana saja sesuka hati Ki Sanak. Namun jika Ki Sanak kalah, Ki Sanak akan menjadi tawanan prajurit Mataram.”

“Omong kosong!” geram Kyai Dadap Ireng, “Lebih baik aku terbujur menjadi mayat dari pada harus menyerah kepada Mataram.”

Orang-orang yang hadir disitu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Agaknya pemimpin perguruan Dadap Ireng itu terlalu yakin akan dapat mengalahkan Rara Anjani.

Demikianlah, sejenak kemudian mereka yang hadir di situ segera menepi kecuali Rara Anjani dan Kyai Dadap Ireng yang telah berhadap-hadapan untuk saling mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang.

Dalam pada itu di tempat Ki Swandaru terbaring, tampak Ki Rangga dengan wajah yang tegang sedang memantau detak jantung adik seperguruannya itu.

“Sangat lemah dan tersendat-sendat,” berkata Ki Rangga dalam hati dengan  jantung yang berdebaran, “Semoga adi Swandaru mampu bertahan. Aku akan menghilangkan pengaruh racun diluar tubuhnya terlebih dahulu.”

Sejenak kemudian Sekar Mirah pun telah sampai di tempat itu dan segera berlutut di sisi suaminya.

“Ini Kakang,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil  mengangsurkan lodong yang penuh berisi air.

Ki Rangga yang menerima lodong bambu itu sejenak mengerutkan keningnya. Adalah sangat aneh Sekar Mirah bisa mendapatkan sebuah lodong bambu yang penuh berisi air di tengah padang rumput lemah Cengkar.

Agaknya Sekar Mirah tanggap atas keheranan suaminya. Maka katanya kemudian, “Ada seorang yang mengaku bernama kakek Tanpa Aran yang telah memberikan lodong bambu ini kepada Cantrik jati Anom.”

“Cantrik Jati Anom?” bertanya Ki Rangga sambil menuangkan sedikit air kedalam bumbung kecil yang berisi serbuk berwarna kehitaman, “Apakah engkau menyuruh cantrik itu untuk mencari air? Dan siapakah kakek Tanpa Aran itu?”

“Tidak kakang, dia mencari air atas kehendaknya sendiri. Sewaktu di pinggir padang rumput lemah cengkar, dia bertemu seorang kakek-kakek yang menyebut dirinya Ki  Tanpa Aran dan kemudian memberinya lodong bambu itu,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dia mencari air untuk Paman Widura yang terluka.”

“He?” terkejut Ki Rangga sehingga dia menghentikan tangannya yang sedang mengaduk bumbung yang berisi cairan obat. Tanyanya kemudian sambil berpaling ke arah istrinya,  “Bagaimana keadaan Paman Widura sekarang?”

“Kelihatannya Paman Widura baik-baik saja,” jawab Sekar Mirah, “Sewaktu aku di sana tadi, aku sudah mencoba membangunkannya, namun Paman Widura terlihat tidurnya sangat lelap.”

“Tidur? Paman Widura tertidur?”

“Ya, Kakang. Tidurnya terlihat sangat tenang dan wajahnya tidak terlihat pucat,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Keadaan paman Widura benar-benar terlihat nyaman dan sehat. Karena itulah aku telah meminta cantrik itu untuk menungguinya, sementara aku membawa lodong bambu ini ke sini.”

"Dan Kakek Tanpa Aran itu?" sahut Ki Rangga.

Sekar Mirah menggeleng, "Dia hanya mengaku bernama Ki Tanpa Aran, itu saja."

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Dia telah selesai mengaduk obat di dalam bumbung kecil itu. Dengan menuangkan sedikit demi sedikit di telapak tangan kanannya, Ki Rangga pun mulai membaluri luka-luka di sekujur tubuh Ki Swandaru yang tampak lebam dan berwarna biru kehitam-hitaman.

Sejenak kemudian, tampak warna kehitam-hitaman itu secara berangsur mulai memudar.

“Pengaruh racun di luar tubuh Adi swandarau mulai berkurang,” berkata Ki Rangga kemudian, “Aku akan mencoba mengobati luka dalamnya.”

“Bagaimana caranya kakang?” hampir bersamaan kedua perempuan itu bertanya. Memang mengobati luka dalam biasanya dengan cara memberikan obat untuk diminum, sedangkan keadaan Ki Swandaru pada saat itu masih belum sadarkan diri.

Ki Rangga tidak menjawab. Dengan perlahan dia meraba dada adik seperguruannya itu. Kerut merut di dahinya pun semakin dalam.

“Luar biasa,” berkata Ki Rangga kemudian perlahan, seolah ditujukan kepada dirinya sendiri.

“Bagaimana kakang?” sekarang giliran Pandan Wangi yang bertanya. Wajahnya terlihat sembab penuh air mata.

Kembali Ki Rangga tidak menjawab. Untuk beberapa saat dia merenungi tubuh yang terbujur diam itu. Luka dalam Ki Swandaru menurut pengamatannya ternyata sangat parah. Dadanya bagaikan hancur diterjang kekuatan ilmu lawannya. Sementara racun yang meresap ke dalam urat nadinya telah merambah ke jantung walaupun Ki Rangga telah berusaha untuk menghentikannya beberapa saat yang lalu.. Namun racun itu ternyata sangat kuat  dan jahat sehingga perlahan tapi pasti telah mampu menembus jalur-jalur urat nadi yang telah dihentikan oleh Ki Rangga dan merambat menuju ke jantung.

“Jika saja Adi Swandaru mempunyai waktu yang cukup untuk mematangkan tingkatan ilmu yang telah dicapainya itu, tentu dia akan dapat bertahan mendapat gempuran puncak ilmu Pangeran Ranapati. Demikian juga  walaupun adi Swandarau tidak mempunyai kekebalan terhadap racun, namun jika tenaga cadangannya cukup kuat, akan dapat menolak racun itu merambah sampai ke jantungnya,” berkata Ki Rangga dalam hati dengan penuh rasa  penyesalan.

“Kakang..?” kali ini Sekar Mirah yang mengguncang lengan suaminya. Nada suaranya terdengar sangat gelisah, sedangkan Pandan Wangi mulai terisak-isak dan tidak kuat lagi menahan tangisnya.

Ki Rangga benar-benar dibuat kebingungan. Sejauh  pengetahuan yang  telah dipelajarinya dari kitab peninggalan gurunya, luka yang sedang diderita adik seperguruannya itu sepertinya sangat mustahil untuk disembuhkan. Namun dia tidak sampai hati untuk menyampaikan semua itu kepada Pandan Wangi dan Sekar Mirah.

Tiba-tiba mereka bertiga dikejutkan oleh suara desahan yang keluar dari mulut Ki Swandaru. Sejenak kemudian tampak tubuh Ki Swandaru sedikit menggeliat, sementara kedua kelopak matanya pun mulai terlihat sedikit terbuka.

“Kakang..?” bisik Pandan Wang  di antara sedu sedannya sambil mendekatkan wajahnya, “Ini aku Pandan Wangi, istrimu?”

Tampak seleret tipis senyum Ki Swandaru di bibirnya yang pucat. Katanya kemudian dengan setengah berbisik, “Wangi, engkau tidak apa-apa?”

Dengan sekuat tenaga Pandan Wangi mencoba menahan tangisnya. Jawabnya kemudian, “Ya, kakang aku tidak apa-apa. Di sini juga ada Sekar Mirah dan kakang Agung Sedayu.”

Ki Swandaru tampak kembali tersenyum. Bisiknya kemudian, “Di mana Kakang Agung Sedayu?”

“Aku di sini adi,” dengan cepat Ki Rangga menjawab sambil mendekatkan wajahnya agar dapat dilihat oleh adik seperguruannya. Lanjutnya kemudian, “Aku sudah menyiapkan obat untuk engkau minum agar dapat  membantu memulihkan kekuatanmu.”

Namun tanggapan Ki Swandaru sangat mengejutkan. Dengan menggeleng lemah dia berkata, “Kakang tentu sudah memahami keadaanku yang sebenarnya, karena selain ilmu kanuragan, kakang juga mewarisi ilmu pengobatan dari guru,” Ki Swandaru berhenti sebentar. Nafasnya menjadi tersengal-sengal. Ketika Sekar Mirah menyodorkan air minum di bumbung kecil, Ki Swandaru menggeleng. Lanjutnya kemudian, “Aku titip anakku, kakang. Didiklah dia agar menjadi murid perguruan bercambuk yang mumpuni seperti engkau.”

Semua yang hadir di tempat itu diam tergugu. Hanya sedu-sedan kedua perempuan itu yang terdengar di antara deru nafas Ki Swandaru yang terengah-engah.

“Kakang,” tiba-tiba Ki Swandaru memberi isyarat Ki Rangga untuk lebih mendekat.

Ki Rangga pun tanggap. Dengan segera didekatkan telinganya ke bibir adik seperguruannya itu. Sejenak kemudian terlihat bibir Ki Swandaru mengucapkan sesuatu yang hanya Ki Rangga yang dapat mendengarnya. Begitu Ki Swandaru selesai, tampak wajah Ki Rangga merah padam. Sementara kerut merut di keningnya pun semakin dalam.

“Itu tidak perlu adi, itu aku kira tidak perlu,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali.

Namun Ki Swandaru hanya tersenyum. Kemudian sambil berpaling ke arah Pandan Wangi dia berdesis perlahan, “Wangi, maafkan aku selama ini. Aku tidak bisa menjadi seorang suami yang baik dan ayah teladan bagi anakku.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Hanya tangisnya yang semakin meledak-ledak.

“Sudahlah, aku mohon pamit,” desah Ki Swandaru hampir tak terdengar. Nafasnya menjadi semakin sesak dan tersengal-sengal. Pengaruh racun itu telah mencengkam jantungnya. Lanjutnya kemudian setelah sesak nafasnya agak mereda, “Mirah, sampaikan maafku pada Ayah. Aku anak laki-laki kebanggaannya,  namun yang telah mengecewakannya.”

Selesai berkata demikian, Ki Swandaru segera memejamkan matanya.  Dengan susah payah dia berusaha menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Kakaaang..!” hampir bersamaan kedua perempuan itu menjerit.

Ki Rangga Agung Sedayu yang tanggap bahwa saat-saat terakhir Ki Swandaru telah dekat, segera membisikkan sesuatu di telinga adik seperguruannya itu.

Sejenak kemudian, kuasa Yang Maha Agung yang menguasai seluruh alam raya beserta isinya itu pun berlaku. Tidak ada satupun makhluk di jagad raya ini yang luput dari takdirNYA, dan Ki Swandaru telah menjalani takdir NYA.

Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Hanya isak tangis kedua perempuan itu yang terdengar tertahan-tahan. Sementara langit di ufuk timur telah merona. Sinar Matahari pagi mulai menyentuh awan yang berarak tipis. Burung-burung pun mulai berkicau memperdengarkan suaranya yang merdu dan penuh riang gembira.

Ki Rangga segera bangkit berdiri. Dilemparkan pandangan matanya ke arah barat. Dengan aji sapta pandulu, semua yang terlihat masih remang bagi Ki Rangga  menjadi sangat jelas. Tampak tiga orang sedang berjalan ke arah barat menjauhi padang rumput lemah Cengkar meninggalkan sesosok tubuh yang terbujur diam di belakang mereka.

“Raden Mas Rangsang dan Anjani,” desis Ki Rangga dalam hati sambil mengamati kedua sejoli yang tampak berjalan dengan riang di bawah siraman sinar Matahari yang masih lemah, “Syukurlah. Semoga Anjani menemukan kebahagiaan yang selama ini dirindukannya."

Namun ada segores luka yang terasa sangat pedih jauh di dasar hatinya yang paling dalam. Kenangan bersama Anjani memang tidak  mungkin akan dapat dilupakan sepanjang hidupnya

Ketika Ki Rangga kemudian mencoba mengenali bayangan orang yang sudah sangat sepuh yang berjalan di sebelah kanan Raden Mas Rangsang, Ki Rangga menjadi sangat terkejut bagaikan melihat hantu di siang bolong.

“Ah, tidak mungkin,”   berkata Ki Rangga akhirnya tanpa sadar, “.Aku sama sekali tidak mengenal orang itu,”

Ki Widura yang telah tersadar dari tidur lelapnya dan sedang berjalan  mendekati keponakannya itu sekilas mendengar ucapan Ki Rangga. Tanyanya kemudian, “Siapakah yang angger maksud?”

Sekilas Ki Rangga berpaling ke arah pamannya. Jawabnya kemudian sambil memandang kembali ke arah titik-titik bayangan di kejauhan, “Bukan siapa-siapa Paman. Mungkin aku hanya salah melihat saja.”

Demikianlah akhirnya, para korban pertempuran lemah cengkar telah dikumpulkan dan diangkut dengan dua buah pedati yang dipinjam dari  padukuhan terdekat, padukuhan Kaliasat. Jasad Ki Tumenggung Purbarana dan para Prajurit akan dibawa ke Mataram. Sedangkan korban dari para pengikut Pangeran Ranapati langsung dimakamkan di lemah cengkar.  Sementara jasad Ki Swandaru akan dibawa langsung ke Sangkal Putung untuk mendapatkan penghormatan terakhir di sana.

Dalam pada itu, langit di ufuk timur telah semakin cerah. Sinar Matahari yang menyentuh butir-butir embun pagi yang masih manja bergelayutan di pucuk-pucuk dedaunan memantulkan sinar yang indah berwarna-warni. Seindah warna hati Rara  Anjani yang telah menemukan masa depannya.


TAMAT
(selanjutnya baca di woro-woro)