Sabtu, 03 Desember 2016

TADBM 416_8

Demikianlah, ketika mereka bertiga telah sampai di tempat kuda-kuda itu merumput dengan tenangnya di sebelah-menyebelah bulak, dengan tangkasnya mereka pun segera melompat turun. Ketika mereka kemuidan melangkah mendekat dan mengamati salah seekor kuda yang berwarna hitam legam, mereka pun segera menyadari bahwa menilik ciri-ciri yang terdapat pada pelananya, kuda-kuda itu berasal dari kesatuan pasukan berkuda Mataram.

“Kuda-kuda ini agaknya milik pasukan berkuda Mataram,” berkata salah satu prajurit itu, “Tentu telah terjadi sesuatu dengan para penunggangnya. Segera beri isyarat ke kawan-kawan kita yang ada di Jati Anom.”

Segera saja salah seorang mengambil panah sendaren beserta busurnya yang disangkutkan di pelana kudanya. Memang sudah menjadi aturan bahwa para prajurit yang sedang bertugas nganglang, baik  dalam sebuah kelompok kecil maupun besar, salah satu harus membawa panah sendaren.

Sejenak kemudian udara malam menjelang dini hari itu pun telah terkoyak oleh suara raungan panah sendaren yang terlontar ke udara tiga kali berturut-turut.

Dalam pada itu di padang rumput lemah cengkar, mereka yang sedang menyabung nyawa ternyata lamat-lamat telah mendengar suara raungan panah sendaren yang merobek udara malam.

“Gila!” teriak Pangeran Ranapati mengguntur, “Orang-orang Mataram memang gila! Kalian memang pantas mati!”

Teriakan Pangeran Ranapati itu ternyata merupakan aba-aba bagi para pengikutnya untuk semakin meningkatkan tekanan mereka terhadap para prajurit Mataram.

Maka sejenak kemudian, terdengar sorak-sorai disertai umpatan, makian dan cacian dari mulut pengikut Pangeran Ranapati. Mereka mencoba melemahkan perjuangan prajurit Mataram itu dengan cara yang kasar dan liar.

“Jangan terpengaruh!” Lurah prajurit yang menggantikan Ki Tumenggung Purbarana berteriak tak kalah kerasnya untuk membangkitkan semangat para prajurit Mataram, “Kita sudah dibantu murid-murid padepokan bercambuk dan sebentar lagi pasukan dari Jati Anom segera tiba!”

“Omong kosong!” kembali Pangeran Ranapati berteriak menggelegar, “Suara panah sendaren itu tidak berarti apa-apa bagi kita. Pasukan di Jati Anom jumlahnya tidak lebih dari hitungan jari. Hampir seluruh prajurit di Jati Anom ikut melawat ke Panaraga dan belum kembali!”

“Kalian salah hitung!” balas Ki Swandaru tak kalah kerasnya, “Panah sendaren itu pertanda bahwa pasukan Mataram yang berkedudukan di Jati Anom telah mengetahui pertempuran di lemah cengkar ini. Jumlah mereka masih cukup banyak dan sebentar lagi mereka akan datang dalam jumlah segelar sepapan. Kalian akan digulung seperti badai menggulung rumput-rumput kering.”

“Tutup mulutmu!” bentak Pangeran Ranapati.

Selesai berkata demikian Pangeran yang keras hati itu segera meningkatkan serangannya. Keris luk sembilan di tangan kanannya telah mengeluarkan asap hitam yang semakin pekat dan tebal  bergulung-gulung mengepung lawannya dari segala arah.

Namun lawannya kali ini adalah murid kedua orang bercambuk. Walaupun pada awalnya Ki Swandaru hanya menekuni kekuatan wadag saja, namun setelah kekalahannya yang pahit dari kakak seperguruannya ketika mereka berdua mengadakan penjajagan ilmu, dia mulai sadar akan pentingnya menekuni kekuatan tenaga cadangan yang dapat menjadi pancadan dalam mempelajari  ilmu-ilmu pada tataran tinggi.

Ketika Ki Swandaru terluka dan di bawa oleh Ki Rangga ke padepokan Jati Anom, Ki Rangga telah banyak memberikan tuntunan sebagai saudara tua pengganti guru mereka. Bersama Ki Widura, dengan tekun Ki Swandaru pun mulai menekuni dan mendalami isi kitab peninggalan perguruan Windujati.

“Paman dan Adi Swandaru,” demikian kata Ki Rangga pada waktu itu sebelum meninggalkan padepokan Jati Anom, “Kitab perguruan Windujati ini aku tinggalkan di padepokan. Aku harap Paman dan Adi Swandaru meluangkan waktu untuk mempelajarinya dengan sebaik-baiknya. Suatu saat jika tugasku telah selesai, aku akan menengok padepokan ini dan melihat perkembangan ilmu kalian berdua.”

Pada saat itu Ki Widura dan Ki Swandaru hanya mengangguk-anggukkan kepala tanpa berkata sepatah kata pun. Mereka berdua maklum, kemampuan ilmu Ki Rangga dapat dikatakan sudah sejajar dengan guru mereka yang telah tiada, Kiai Gringsing.

Demikianlah serangan demi serangan lawannya dihadapi oleh Ki Swandaru dengan tenang dan penuh perhitungan. Pengendalian perasaan dan nalar itu sangat penting dalam sebuah benturan ilmu. Jika seseorang kurang mampu menguasai perasaan dan nalarnya, setinggi apapun ilmu orang itu, pengetrapan ilmunya  akan menjadi tumpang tindih dan wor suh sehingga dengan mudah dapat terbaca oleh lawan.

Cambuk di tangan Ki Swandaru berputar dahsyat sehingga menimbulkan pusaran angin yang memporak-perandakan gulungan asap hitam beracun dari lawannya. Sesekali sambil menggeser kedudukannya Ki swandaru masih sempat untuk balas menyerang lawannya dengan ujung cambuknya.

“Setan! Iblis! Demit!” umpat Pangeran Ranapati sambil meloncat mundur. Gumpalan asap beracun itu justru berbalik ke arahnya.

Walaupun Pangeran Ranapati juga dibekali sejenis ramuan yang dapat membuat tubuhnya kebal terhadap  segala jenis racun, namun sedapat mungkin dia berusaha menghindarinya.

Tiba-tiba Pangeran Ranapati yang meloncat mundur itu menghentikan serangannya. Sekejap Ki Swandaru sempat melihat lawannya yang meloncat mundur itu mengangkat kerisnya di atas ubun-ubun. Sejenak kemudian dari ujung keris itu terlontar  bola-bola api yang meluncur deras menerjang ke arahnya.

Ki Swandaru yang selalu waspada dengan segala gerak-gerik lawannya segera melenting ke samping. Ketika bola-bola api yang lain berubah arah dan mengejarnya, dengan tangkasnya ujung cambuk murid kedua Kiai Gringsing itu pun meledak dan menghacurkan bola-bola api yang  menyerangnya.

Namun ternyata serangan Pangeran Ranapati dengan bola-bola apinya itu baru permulaan. Dengan teriakan menggelegar, murid Ki Ageng Sela gilang itu pun meloncat sambil mengayunkan senjatanya ke arah dada lawan.

Ki Swandaru terkejut. Selain bola-bola api yang berterbangan mengerumuninya, dari ujung keris itu terpancar sinar menyilaukan menyambar dada.

“Gila!” sekarang giliran Ki Swandaru yang mengumpat. Dengan cepat ditundukkan kepalanya sambil membungkuk. Sinar yang menyilaukan itu pun lewat sejengkal di atas kepalanya dan menghantam tanah beberapa langkah di belakangnya. Terdengar suara ledakan yang menggelegar. Tanah pun terbongkar dan rerumputan hangus menjadi abu.

“Luar biasa,” desis Ki Swandaru dalam hati. Namun dia tidak sempat berlama-lama mengagumi kedahsyatan ilmu lawannya, bola-bola api yang berpijar itu masih meluncur mengancam tubuhnya.

Kembali Ki swandaru melenting sambil menghentakkan cambuknya dengan cepat beberapa kali. Ujung cambuk itu pun seakan akan menjadi berlipat ganda dan meledak berturut-turut  menghantam bola-bola api itu sehingga pecah berantakkan.

Pangeran Ranapati menggeram melihat serangannya hanya mengenai tanah, sedangkan bola-bola api yang dapat menghanguskan pokok pohon randu sebesar pelukan orang dewasa itu dengan mudah dihancurkan oleh lawannya. Dengan segera dia meningkatkan kecepatan serangannya dan semakin banyak bola-bola api berpijar yang mengurung Ki Swandaru.

Ki swandaru yang tidak memiliki ilmu kebal itu harus benar-benar berhati-hati agar jangan sampai bagian tubuhnya tersentuh bola api itu. Dengan mengerahkan kelincahannya anak laki-laki satu-satunya Demang Sangkal Putung itu pun semakin sering meledakkan cambuknya.

Demikianlah pertempuran antara dua orang itu semakin  sengit. Untuk sementara Ki Swandaru hanya mampu menghindar tanpa dapat membalas serangan. Cambuknya meledak-ledak sementara tubuhnya berloncatan menghindari sinar menyilaukan yang meluncur dari ujung keris lawannya.

“Apa boleh buat!” geram Ki Swandaru dalam hati sambil terus berloncatan dan meledakkan cambuknya berulang kali, “Jika untuk menghentikan serangan-serangan ini harus dengan cara membenturkan ilmu pamungkasku, aku sudah siap.”

 Dalam pada itu, Ki widura yang bertempur beberapa tombak dari lingkaran pertempuran Ki Swandaru menjadi berdebar-debar. Sekilas mantan perwira Pajang itu melihat Ki Swandaru terdesak hebat. Lawannya mengurung Ki Swandaru dari segala arah dengan bola-bola apinya. Sementara sesekali dari ujung keris lawannya meluncur sinar menyilaukan yang mampu meledakkan dan menghanguskan sasaran.







12 komentar :

  1. Matur suwun atas kunjungan salah satu sesepuh padepokan, Ki Truno Prenjak sore tadi ke padepokan sekar keluwih.
    Matur suwun juga atas bantuan Ki Arema sehingga sore ini wifi sudah on di padepokan SK.
    semoga mbah man diberi kesehatan dan bisa wedaran tiap hari
    matur suwun

    BalasHapus
  2. Aamiiin YRA semoga Mbah Man terus sehat dan bisa menemani kami setiap hari .... matur nuwun sanget wedaranipun Mbah Man ...

    Alhamdulillah .... matur nuwun ugi kagem Ki Truno Prenjak dan Ki Arema atas supportnya untuk padepokan sekar keluwih ....

    BalasHapus
  3. Matur nuwun mbah_man rontalipun, matur nuwun ki Truno, ki Arema atas dukungan semangat dll utk padepokan SK...
    Semoga, sehat wal afiat selalu dilimpahkan kpd mbah_man dan camen semua...

    BalasHapus
  4. Alhamdulillah....
    Nginguk gandhok dapat hadiah...

    Hi hi hi....
    Matur suwun Panembahan.

    BalasHapus
  5. Aljamdulillah,
    Maturnuwun Mbah Man.

    BalasHapus
  6. Alhamdulillah.....kendala media upload sdh teratasi... wedaran rontal bakal mengalir tiada henti laksana aliran sungai bengawan solo....malah kadang2 mbludak

    BalasHapus
  7. Matur nuwun sanget Mbah Man 🙏

    Ranapati bermain bola api permainan anak anak dan para santri hmm Ki Swandaru berguman itu permainan aku dulu waktu nyantren...

    BalasHapus
  8. Matur nuwun wedaranipun Mbah-Man

    BalasHapus
  9. Terima kasih wedarannya Mbah Man ... ada sesuatu yang bergejolak dalam kalbu. Seperti akan ada kejutan yang berkaitan dengan lenyapnya ketiga srikandhi dari ruang latihan ... seru!!!!

    BalasHapus
  10. Matur nuwun mBahMan, atas wedarannya,.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.