Demikianlah, ketika mereka
bertiga telah sampai di tempat kuda-kuda itu merumput dengan tenangnya di
sebelah-menyebelah bulak, dengan tangkasnya mereka pun segera melompat turun.
Ketika mereka kemuidan melangkah mendekat dan mengamati salah seekor kuda yang
berwarna hitam legam, mereka pun segera menyadari bahwa menilik ciri-ciri yang
terdapat pada pelananya, kuda-kuda itu berasal dari kesatuan pasukan berkuda
Mataram.
“Kuda-kuda ini agaknya milik
pasukan berkuda Mataram,” berkata salah satu prajurit itu, “Tentu telah terjadi
sesuatu dengan para penunggangnya. Segera beri isyarat ke kawan-kawan kita yang
ada di Jati Anom.”
Segera saja salah seorang
mengambil panah sendaren beserta busurnya yang disangkutkan di pelana kudanya. Memang
sudah menjadi aturan bahwa para prajurit yang sedang bertugas nganglang, baik dalam sebuah kelompok kecil maupun besar,
salah satu harus membawa panah sendaren.
Sejenak kemudian udara malam
menjelang dini hari itu pun telah terkoyak oleh suara raungan panah sendaren
yang terlontar ke udara tiga kali berturut-turut.
Dalam pada itu di padang
rumput lemah cengkar, mereka yang sedang menyabung nyawa ternyata lamat-lamat
telah mendengar suara raungan panah sendaren yang merobek udara malam.
“Gila!” teriak Pangeran
Ranapati mengguntur, “Orang-orang Mataram memang gila! Kalian memang pantas
mati!”
Teriakan Pangeran Ranapati
itu ternyata merupakan aba-aba bagi para pengikutnya untuk semakin meningkatkan
tekanan mereka terhadap para prajurit Mataram.
Maka sejenak kemudian,
terdengar sorak-sorai disertai umpatan, makian dan cacian dari mulut pengikut Pangeran
Ranapati. Mereka mencoba melemahkan perjuangan prajurit Mataram itu dengan cara
yang kasar dan liar.
“Jangan terpengaruh!” Lurah
prajurit yang menggantikan Ki Tumenggung Purbarana berteriak tak kalah kerasnya
untuk membangkitkan semangat para prajurit Mataram, “Kita sudah dibantu
murid-murid padepokan bercambuk dan sebentar lagi pasukan dari Jati Anom segera
tiba!”
“Omong kosong!” kembali
Pangeran Ranapati berteriak menggelegar, “Suara panah sendaren itu tidak
berarti apa-apa bagi kita. Pasukan di Jati Anom jumlahnya tidak lebih dari
hitungan jari. Hampir seluruh prajurit di Jati Anom ikut melawat ke Panaraga
dan belum kembali!”
“Kalian salah hitung!” balas
Ki Swandaru tak kalah kerasnya, “Panah sendaren itu pertanda bahwa pasukan
Mataram yang berkedudukan di Jati Anom telah mengetahui pertempuran di lemah
cengkar ini. Jumlah mereka masih cukup banyak dan sebentar lagi mereka akan
datang dalam jumlah segelar sepapan. Kalian akan digulung seperti badai
menggulung rumput-rumput kering.”
“Tutup mulutmu!” bentak
Pangeran Ranapati.
Selesai berkata demikian
Pangeran yang keras hati itu segera meningkatkan serangannya. Keris luk
sembilan di tangan kanannya telah mengeluarkan asap hitam yang semakin pekat
dan tebal bergulung-gulung mengepung lawannya dari segala arah.
Namun lawannya kali ini
adalah murid kedua orang bercambuk. Walaupun pada awalnya Ki Swandaru hanya
menekuni kekuatan wadag saja, namun setelah kekalahannya yang pahit dari kakak
seperguruannya ketika mereka berdua mengadakan penjajagan ilmu, dia mulai sadar
akan pentingnya menekuni kekuatan tenaga cadangan yang dapat menjadi pancadan
dalam mempelajari ilmu-ilmu pada tataran
tinggi.
Ketika Ki Swandaru terluka
dan di bawa oleh Ki Rangga ke padepokan Jati Anom, Ki Rangga telah banyak
memberikan tuntunan sebagai saudara tua pengganti guru mereka. Bersama Ki
Widura, dengan tekun Ki Swandaru pun mulai menekuni dan mendalami isi kitab
peninggalan perguruan Windujati.
“Paman dan Adi Swandaru,”
demikian kata Ki Rangga pada waktu itu sebelum meninggalkan padepokan Jati
Anom, “Kitab perguruan Windujati ini aku tinggalkan di padepokan. Aku harap
Paman dan Adi Swandaru meluangkan waktu untuk mempelajarinya dengan
sebaik-baiknya. Suatu saat jika tugasku telah selesai, aku akan menengok
padepokan ini dan melihat perkembangan ilmu kalian berdua.”
Pada saat itu Ki Widura dan
Ki Swandaru hanya mengangguk-anggukkan kepala tanpa berkata sepatah kata pun. Mereka
berdua maklum, kemampuan ilmu Ki Rangga dapat dikatakan sudah sejajar dengan
guru mereka yang telah tiada, Kiai Gringsing.
Demikianlah serangan demi
serangan lawannya dihadapi oleh Ki Swandaru dengan tenang dan penuh perhitungan.
Pengendalian perasaan dan nalar itu sangat penting dalam sebuah benturan ilmu. Jika
seseorang kurang mampu menguasai perasaan dan nalarnya, setinggi apapun ilmu
orang itu, pengetrapan ilmunya akan
menjadi tumpang tindih dan wor suh sehingga
dengan mudah dapat terbaca oleh lawan.
Cambuk di tangan Ki Swandaru
berputar dahsyat sehingga menimbulkan pusaran angin yang memporak-perandakan
gulungan asap hitam beracun dari lawannya. Sesekali sambil menggeser
kedudukannya Ki swandaru masih sempat untuk balas menyerang lawannya dengan ujung cambuknya.
“Setan! Iblis! Demit!” umpat
Pangeran Ranapati sambil meloncat mundur. Gumpalan asap beracun itu justru
berbalik ke arahnya.
Walaupun Pangeran Ranapati
juga dibekali sejenis ramuan yang dapat membuat tubuhnya kebal terhadap segala jenis racun, namun sedapat mungkin dia
berusaha menghindarinya.
Tiba-tiba Pangeran Ranapati
yang meloncat mundur itu menghentikan serangannya. Sekejap Ki Swandaru sempat
melihat lawannya yang meloncat mundur itu mengangkat kerisnya di atas ubun-ubun.
Sejenak kemudian dari ujung keris itu terlontar bola-bola api yang meluncur deras menerjang ke
arahnya.
Ki Swandaru yang selalu
waspada dengan segala gerak-gerik lawannya segera melenting ke samping. Ketika bola-bola
api yang lain berubah arah dan mengejarnya, dengan tangkasnya ujung cambuk
murid kedua Kiai Gringsing itu pun meledak dan menghacurkan bola-bola api
yang menyerangnya.
Namun ternyata serangan
Pangeran Ranapati dengan bola-bola apinya itu baru permulaan. Dengan teriakan
menggelegar, murid Ki Ageng Sela gilang itu pun meloncat sambil mengayunkan senjatanya
ke arah dada lawan.
Ki Swandaru terkejut. Selain
bola-bola api yang berterbangan mengerumuninya, dari ujung keris itu terpancar
sinar menyilaukan menyambar dada.
“Gila!” sekarang giliran Ki
Swandaru yang mengumpat. Dengan cepat ditundukkan kepalanya sambil membungkuk. Sinar
yang menyilaukan itu pun lewat sejengkal di atas kepalanya dan menghantam tanah
beberapa langkah di belakangnya. Terdengar suara ledakan yang menggelegar. Tanah
pun terbongkar dan rerumputan hangus menjadi abu.
“Luar biasa,” desis Ki
Swandaru dalam hati. Namun dia tidak sempat berlama-lama mengagumi kedahsyatan
ilmu lawannya, bola-bola api yang berpijar itu masih meluncur mengancam tubuhnya.
Kembali Ki swandaru
melenting sambil menghentakkan cambuknya dengan cepat beberapa kali. Ujung cambuk
itu pun seakan akan menjadi berlipat ganda dan meledak berturut-turut menghantam bola-bola api itu sehingga pecah
berantakkan.
Pangeran Ranapati menggeram
melihat serangannya hanya mengenai tanah, sedangkan bola-bola api yang dapat
menghanguskan pokok pohon randu sebesar pelukan orang dewasa itu dengan mudah
dihancurkan oleh lawannya. Dengan segera dia meningkatkan kecepatan serangannya
dan semakin banyak bola-bola api berpijar yang mengurung Ki Swandaru.
Ki swandaru yang tidak
memiliki ilmu kebal itu harus benar-benar berhati-hati agar jangan sampai
bagian tubuhnya tersentuh bola api itu. Dengan mengerahkan kelincahannya anak
laki-laki satu-satunya Demang Sangkal Putung itu pun semakin sering meledakkan
cambuknya.
Demikianlah pertempuran
antara dua orang itu semakin sengit. Untuk
sementara Ki Swandaru hanya mampu menghindar tanpa dapat membalas serangan. Cambuknya
meledak-ledak sementara tubuhnya berloncatan menghindari sinar menyilaukan yang
meluncur dari ujung keris lawannya.
“Apa boleh buat!” geram Ki
Swandaru dalam hati sambil terus berloncatan dan meledakkan cambuknya berulang
kali, “Jika untuk menghentikan serangan-serangan ini harus dengan cara membenturkan
ilmu pamungkasku, aku sudah siap.”
Dalam pada itu, Ki widura yang bertempur
beberapa tombak dari lingkaran pertempuran Ki Swandaru menjadi berdebar-debar. Sekilas
mantan perwira Pajang itu melihat Ki Swandaru terdesak hebat. Lawannya mengurung
Ki Swandaru dari segala arah dengan bola-bola apinya. Sementara sesekali dari
ujung keris lawannya meluncur sinar menyilaukan yang mampu meledakkan dan
menghanguskan sasaran.
Matur suwun atas kunjungan salah satu sesepuh padepokan, Ki Truno Prenjak sore tadi ke padepokan sekar keluwih.
BalasHapusMatur suwun juga atas bantuan Ki Arema sehingga sore ini wifi sudah on di padepokan SK.
semoga mbah man diberi kesehatan dan bisa wedaran tiap hari
matur suwun
Aamiiin YRA semoga Mbah Man terus sehat dan bisa menemani kami setiap hari .... matur nuwun sanget wedaranipun Mbah Man ...
BalasHapusAlhamdulillah .... matur nuwun ugi kagem Ki Truno Prenjak dan Ki Arema atas supportnya untuk padepokan sekar keluwih ....
Matur nuwun mbah_man rontalipun, matur nuwun ki Truno, ki Arema atas dukungan semangat dll utk padepokan SK...
BalasHapusSemoga, sehat wal afiat selalu dilimpahkan kpd mbah_man dan camen semua...
Alhamdulillah....
BalasHapusNginguk gandhok dapat hadiah...
Hi hi hi....
Matur suwun Panembahan.
Aljamdulillah,
BalasHapusMaturnuwun Mbah Man.
Alhamdulillah.....kendala media upload sdh teratasi... wedaran rontal bakal mengalir tiada henti laksana aliran sungai bengawan solo....malah kadang2 mbludak
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man 🙏
BalasHapusRanapati bermain bola api permainan anak anak dan para santri hmm Ki Swandaru berguman itu permainan aku dulu waktu nyantren...
Matur nuwun wedaranipun Mbah-Man
BalasHapusTerima kasih wedarannya Mbah Man ... ada sesuatu yang bergejolak dalam kalbu. Seperti akan ada kejutan yang berkaitan dengan lenyapnya ketiga srikandhi dari ruang latihan ... seru!!!!
BalasHapusMaturnuwun sanget mbah
BalasHapusMatur nuwun mbah wedarannya
BalasHapusMatur nuwun mBahMan, atas wedarannya,.
BalasHapus