Selasa, 28 Februari 2017

STSD 02_18

Tanpa sadar mereka telah mengangkat kepala dan saling pandang begitu mendengar pertanyaan Ki Jayaraga. Setiap dada yang ada di longkangan itu pun telah berdesir. Tidak menutup kemungkinan tuduhan pembunuhan itu akan kembali diarahkan kepada mereka.

“Apakah tidak sebaiknya kita menyingkir saja, ngger?” bertanya Ki Waskita kemudian kepada Ki Rangga yang terlihat termenung.

Sejenak Ki Rangga menimbang-nimbang. Namun akhirnya Ki Rangga pun menjawab, “Ki Waskita, pada awalnya kita akan menerima tawaran ki Gede untuk tinggal di kediamannya dengan dalih kita adalah tamu-tamu yang masih terhitung kerabat jauh dari Prambanan,” Ki Rangga berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Kemudian timbul pemikiran untuk memecah kekuatan kita. Ki Jayaraga, Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih saja yang akan berangkat ke Tanah Perdikan Matesih. Sedangkan kita berdua seolah-olah pulang kembali ke Prambanan karena suatu kepentingan. Namun ternyata keadaan telah berkembang semakin rumit, dan jika kita menyingkir dari tempat ini, bagaimana dengan keselamatan Ki Gede Matesih dan keluarganya? Para pengikut Trah Sekar Seda Lepen pasti akan menangkap Ki Gede dan keluarganya serta menyandera mereka sebagai alat untuk memaksa kita menyerahkan diri.”

Sejenak mereka menjadi bimbang. Namun ditengah-tengah ketidak pastian itu, tiba-tiba saja Ki Waskita berdesis perlahan, “Marilah kita singkirkan saja mayat ini jauh-jauh dan jangan sampai ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali hanya kita.”

Bagaikan baru saja tersadar dari sebuah mimpi buruk, Ki Rangga pun segera berkata, “Glagah Putih, angkatlah mayat ini. Mari kita bawa mayat ini  ke hutan kecil di sebelah barat padukuhan Klangon. Kita akan menguburkannya di sana.”

“Baik Kakang,” jawab Glagah Putih sambil bersiap untuk mengangkat mayat yang meringkuk di longkangan itu.

Namun belum sempat Glagah Putih menyentuh mayat itu, tiba-tiba saja pendengaran mereka yang tajam telah mendengar langkah-langkah yang menuju ke tempat itu.

Segera saja suasana menjadi tegang kembali. Namun agaknya Ki Rangga telah mengenal langkah-langkah itu, maka katanya kemudian sambil tersenyum, “Sepertinya Ki Bango Lamatan telah selesai mengantar Ki Gede.”

 “Oh,” yang mendengar kata-kata Ki Rangga itu pun telah menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata hati  mereka terlalu tegang dengan adanya peristiwa pembunuhan itu.

Demikianlah sejenak kemudian terdengar langkah itu semakin jelas mendekati bangunan induk banjar padukuhan dari arah samping kiri.

“Kami di sini Ki Bango Lamatan,” desis Ki Rangga perlahan memberi tahukan keberadaan mereka begitu langkah-langkah itu semakin jelas terdengar.

Ki Bango Lamatan yang sedang berjalan dalam gelapnya malam menuju ke pintu butulan samping itu telah tersenyum mendengar bisikan Ki Rangga. Segera saja diayunkan langkahnya menuju ke longkangan.

Namun alangkah terkejutnya Ki Bango Lamatan begitu menyadari ada sesuatu yang aneh sedang terjadi di longkangan itu. Ki Rangga dan yang lainnya tampak sedang mengerumuni seseorang yang sedang meringkuk tak bergerak di dalam longkangan itu.

“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Bango Lamatan kemudian sesampainya dia di hadapan Ki Rangga.

“Seseorang telah mati di longkangan ini,” jawab Ki Rangga, “Lebih baik segera kita singkirkan saja mayat ini sebelum ada orang yang mengetahuinya.”

“Aku akan mengambil cangkul di dapur dulu,” sela  Glagah Putih kemudian sambil setengah berlari menuju ke ruang tengah melalui pintu butulan.

“Biarlah Glagah Putih aku kawani,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian sambil mengangkat mayat itu di pundaknya.

“Ki Bango Lamatan,” dengan serta merta Ki Rangga mencoba untuk mencegah, “Biar Glagah Putih saja yang membawa mayat ini.”

Ki Bango Lamatan tersenyum sambil menggeleng. Jawabnya kemudian, “Tidak Ki Rangga, Glagah Putih biar membawa peralatan saja.”

“Aku ikut,” tiba-tiba saja Ki Jayaraga menyela, “Aku sudah tidak bisa tidur lagi di sisa malam ini.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Entah mengapa sejak tadi panggraitanya telah mengisyaratkan sesuatu, namun Ki Rangga belum mampu menguraikannya.

Melihat kebimbangan Ki Rangga, Ki Waskita pun segera berbisik, “Apakah angger merasakan sesuatu yang mengkhawatirkan?”

Sejenak Ki Rangga ragu-ragu. Namun akhirnya Ki Rangga pun menjawab, “Entahlah Ki Waskita. Mungkin hanya kekhawatiran yang tidak beralasan.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Sebagai orang yang menimba ilmu pada sumber yang sama, Ki Waskita segera menyadari bahwa sesuatu telah terjadi pada diri Ki Rangga sehubungan dengan ilmu yang sedang di pelajari dan disempurnakannya, aji pengangen-angen. Maka katanya kemudian, “Sebaiknya biarlah Ki Jayaraga saja yang menemani Ki Bango lamatan dan Glagah Putih. Aku dan Ki Rangga masih ada urusan yang harus diselesaikan di banjar ini.”

Ki Rangga akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia segera maklum dengan maksud Ki Waskita.

Demikianlah begitu Glagah Putih telah muncul dengan sebuah cangkul di pundaknya, mereka bertiga pun kemudian dengan penuh kewaspadaan telah menyelinap ke halaman belakang banjar dan kemudian keluar lewat pintu butulan yang terdapat di dinding bagian belakang banjar.

“Para pengawal itu kelihatannya masih tertidur nyenyak,” desis Ki Jayaraga sambil membuka pintu butulan itu.

“Ya, Ki,” jawab Ki Bango Lamatan sambil sedikit membungkuk agar mayat yang dipanggulnya tidak tersangkut pintu butulan yang agak rendah.  Lanjutnya kemudian sambil melangkahi tlundak, “Tadi sewaktu aku mengantar Ki Gede lewat halaman belakang ini, mereka juga tampak tertidur pulas. Ki Gede sempat bercerita kepadaku sewaktu Ki Gede datang ke tempat ini, mereka pun sudah tertidur pulas. Agaknya telah terjadi sesuatu yang tidak wajar pada mereka.”


Ki Jayaraga mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara Glagah Putih masih sempat berpaling sekilas ke teritisan tempat para pengawal itu tertidur silang melintang sebelum menutup pintu itu kembali dan kemudian menghilang ditelan kegelapan malam.

Senin, 27 Februari 2017

STSD 02_17

Sejenak kemudian kembali suasana mencekam dirasakan oleh orang-orang yang berada di ruang dalam itu. Seolah-olah mereka sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati saja, namun tidak tahu, siapakah yang akan terlebih dahulu menerima hukuman itu.

Namun ke empat orang yang berada di dalam ruang dalam itu diam-diam menjadi heran. Setelah beberapa saat menunggu, ternyata belum terjadi sesuatu apa pun. Bahkan kini mereka tidak mendengar lagi desah nafas tertahan-tahan dari orang yang bersembunyi di balik dinding itu.

Sedangkan Ki Rangga yang telah berhasil memantau keberadaan orang yang datang kemudian itu menjadi berdebar-debar. Dalam rabaan mata hatinya, orang yang datang kemudian itu ternyata telah menggerakkan kedua tangannya dari arah belakang untuk menyumbat jalan pernafasan orang pertama dengan cara mencekik lehernya.

Hampir saja Ki Rangga terpancing dan meloncat bangun untuk menolong orang yang sedang dalam bahaya itu, namun naluri keprajuritannya telah mencegahnya. Ki Rangga belum tahu pasti, berdiri di pihak manakah orang yang datang kemudian itu.

Tidak ada kesempatan bagi orang yang sedang mengarahkan sumpitnya itu untuk meronta maupun melawan. Cengkeraman itu begitu kuatnya dan datang dengan tiba-tiba sehingga  telah menyumbat jalan nafasnya dan sekaligus mematahkan lehernya.

“Benar-benar iblis!” geram Ki Rangga dalam hati. Panggraitanya masih dapat meraba gerakan orang itu setelah mencekik korbannya. Agaknya orang itu telah bergeser mundur dengan cepat  sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu.

Ketika tiba-tiba saja terdengar tetes-tetes air hujan yang turun dengan derasnya memukul-mukul atap banjar padukuhan, Ki Rangga pun ternyata telah kehilangan pengamatan atas kepergian orang itu. Perhatian Ki Rangga telah terpecah dengan turunnya hujan yang bagaikan dicurahkan dari langit.

“Orang itu telah pergi,” perlahan Ki Rangga berdesis sambil menarik nafas dalam dalam dan mengurai sepasang tangannya yang bersilang di dada. Dengan bertelekan pada kedua tangannya, Ki Rangga pun kemudian bangkit dan duduk bersila.

Yang lain pun segera mengikuti Ki Rangga untuk bangkit dan duduk bersila. Kini mereka berempat telah duduk melingkar di atas tikar yang usang.

“Orang itu seperti nya telah mati tercekik,” berkata Glagah Putih, “Aku sempat mendengar desah nafasnya yang tiba-tiba saja telah terputus. Mungkin telah terjadi sesuatu dengan orang itu. Tetapi siapakah yang telah membunuhnya?”

“Benar ngger,” Ki Waskitalah yang kemudian menjawab, “Seseorang yang mempunyai kemampuan linuwih telah membunuhnya. Beberapa saat tadi aku memang telah kehilangan jejak akan keberadaan orang yang datang kemudian itu. Namun disaat dia mencekik orang yang pertama, agaknya dia lupa menyembunyikan suara yang ditimbulkan akibat gesekan tangannya dengan leher orang yang pertama itu. Disaat itulah aku mampu memantau kembali keberadaannya.”

Orang-orang yang berada di ruangan itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara Ki Rangga justru telah termenung sambil mengerutkan keningnya dalam dalam. Ada sesuatu yang sedang merisaukan hatinya, namun Ki Rangga merasa enggan untuk mengungkapkannya.

“KI Rangga,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Apakah tidak sebaiknya kita melihat keadaan orang di balik dinding itu?”

KI Rangga memandang ke arah Ki Waskita untuk meminta pertimbangan. Ketika Ki Waskita kemudian mengangguk, Ki Rangga pun akhirnya menarik nafas dalam-dalam sambil bangkit dari duduknya. Katanya kemudian, “Marilah kita lihat orang itu. Barangkali kita akan mendapatkan sebuah petunjuk.”

Yang lain pun segera bangkit dan mengikuti langkah Ki Rangga yang telah berjalan terlebih dahulu keluar dari ruang dalam.

Ketika mereka telah keluar lewat pintu butulan yang terdapat di lorong tengah, dengan bergegas mereka pun segera berbelok ke kanan dan memasuki longkangan. Apa yang mereka dapatkan kemudian adalah sangat mengejutkan. Sesosok tubuh tampak meringkuk dengan kepala yang terkulai. Sementara ketika Ki Rangga kemudian membungkuk untuk mencoba mengamati lebih teliti lagi, tampak sebuah paser menancap dalam-dalam di leher mayat itu.

“Mengapa?” pertanyaan itu muncul di benak mereka masing-masing.

“Agaknya orang itu ingin memberikan kesan bahwa orang ini telah mengalami kejadian yang sama dengan petugas sandi Mataram itu, mati karena paser beracun,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menegakkan tubuhnya.

“Ya, ngger,” sahut Ki Waskita, “Agaknya memang itulah kesan yang ingin ditunjukkan oleh pembunuh orang yang malang ini.”

“Dan sumpit orang itu pun ternyata juga telah lenyap,” seru Glagah Putih agak sedikit keras sambil mencari-cari sumpit yang akan digunakan orang itu, namun Glagah Putih tidak  menemukan apa yang dicarinya.

Hampir berbareng mereka telah menarik nafas dalam-dalam. Untuk beberapa saat kemudian orang-orang itu tampak masih merenungi sesosok mayat yang meringkuk di longkangan itu.


“Ki Rangga,” tiba-tiba suara Ki Jayaraga membuyarkan lamunan mereka, “Apakah langkah kita selanjutnya? Besuk pagi pasti akan terjadi kegemparan lagi karena sekali lagi telah terjadi  rajapati di padukuhan Klangon ini. Dan tempatnya justru di banjar padukuhan, di balik dinding tempat kita menginap.”

Jumat, 24 Februari 2017

STSD 02_16

Semua orang yang berada di dalam ruang dalam itu dengan jelas dapat mendengar desir langkah seseorang di balik dinding sebelah utara yang bersebelahan dengan longkangan. Namun ternyata Ki Rangga Agung Sedayu mendengar desir yang lain yang sangat lembut hampir tidak tertangkap oleh pendengaran, walaupun dengan mengetrapkan aji sapta pangrungru sekalipun.

Ki Rangga menjadi berdebar-debar. Orang kedua yang datang kemudian ini benar-benar luar biasa. Ki Rangga yakin, kemampuan orang ini tentu ngedab-edabi.

“Siapakah orang yang datang kemudian ini?” berkata Ki Rangga dalam hati, “Apakah yang lain juga mendengar desir yang kedua ini?”

Untuk meyakinkan, Ki Rangga segera mengirim aji pameling kepada Ki Waskita yang berbaring di sebelahnya.

“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga dalam aji pamelingnya, “Apakah Ki Waskita mendengar desir langkah yang lain selain orang yang pertama?”

“Aku tadi juga sempat mendengar sekilas, ngger,” jawab Ki Waskita juga dalam aji pameling, “Namun sekarang desir itu telah menghilang. Aku tidak mampu lagi untuk memantaunya.”

Berdesir tajam dada Ki Rangga mendengar jawaban Ki Waskita. Ternyata dugaannya benar. Orang yang datang kemudian ini mempunyai kemampuan yang ngedab-edabi.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang sekilas juga sempat mendengar desir langkah yang lain setelah orang yang pertama ternyata juga telah kehilangan jejak.

“Gila!” geram Ki Jayaraga dalam hati, “Aku tidak mampu memantaunya lagi. Semoga Ki Waskita atau Ki Rangga mampu memantau kedatangan orang yang kedua ini. Kalau yang aku dengar tadi adalah benar-benar desir langkah seseorang, alangkah dahsyatnya kemampuan orang itu?”

Ketika Ki Jayaraga kemudian mencoba mengetrapkan aji pameling kepada muridnya, ternyata Glagah Putih sama sekali tidak mendengar desir langkah yang datang kemudian.

“Yang mana guru?” bertanya Glagah Putih juga dengan aji pameling, “Aku tidak mendengar desir langkah kecuali orang yang sedang bersembunyi di balik dinding itu.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Kemampuan olah kanuragan muridnya itu memang sudah tinggi, namun jiwanya masih sangat muda. Glagah Putih masih belum mampu menguasai gejolak jiwa mudanya sehingga ketajaman mata hatinya memang masih perlu untuk diasah.

Untuk beberapa saat suasana menjadi sunyi dan mencekam. Orang yang berada di balik dinding itu agaknya sedang mengintip suasana di ruang dalam melalui lubang di sudut dinding itu. Dengan jelas orang-orang yang berada di dalam ruangan itu mendengar sesuatu sedang dimasukkan melalui lubang di sudut dinding itu.

“Orang itu agaknya sedang memasukkan sumpit melalui lubang di sudut dinding itu,” semua orang di dalam ruangan itu berkata dalam hati. Namun mereka tetap berusaha bersikap wajar, sebagaimana sewajarnya orang yang sedang tidur nyenyak.

“Siapakah yang akan menjadi sasaran yang pertama?” hampir setiap dada bertanya-tanya menunggu  paser pertama yang akan meluncur ke arah salah satu dari mereka.

Dalam pada itu Ki Rangga yang sedang memantau keberadaan orang yang datang kemudian itu pada akhirnya ternyata juga telah kehilangan jejak,  walaupun Ki Rangga telah mengetrapkan aji sapta pangrungu setinggi-tingginya.

“Luar biasa,” berkata Ki Rangga dalam hati. Sepercik kegelisahan mulai merayapi jantungnya. Berbagai dugaan telah muncul dalam benaknya.

“Siapakah orang kedua itu? Mungkinkah Eyang Guru itu telah mengetahui keberadaanku, atau mungkin Raden Wirasena sendiri, ataukah yang lainnya?” menduga Ki Rangga dengan jantung yang berdebaran.

Tiba-tiba Ki Rangga teringat akan Ki Bango Lamatan yang sedang mengantar Ki Gede pulang ke tanah Perdikan Matesih.

“Mungkin Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Rangga dalam hati. Namun dugaan itu segera ditepisnya sendiri. Jika yang datang itu Ki Bango Lamatan, tentu Ki Rangga tidak akan kehilangan jejak, demikian juga dengan Ki Waskita dan Ki Jayaraga.

“Walaupun Ki Bango Lamatan mengetrapkan aji halimunannya, pada dasarnya wadagnya masih ada dan tidak menghilang sepenuhnya,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Dia hanya bersembunyi saja dan aku sudah tahu bagaimana cara memecahkan ilmu itu.”

Namun Ki Rangga tidak berputus asa. Dengan mengetrapkan aji sapta panggraita, Ki Rangga pun mulai meraba alam sekitarnya tidak dengan meningkatkan kemampuan panca inderanya, namun dengan meningkatkan ketajaman mata hatinya.

Demikianlah akhirnya, lambat laun Ki Rangga mulai mampu meraba keberadaan orang kedua itu kembali. Walaupun orang yang datang kemudian itu berusaha mengaburkan keberadaannya dengan cara mengetrapkan ilmu yang mampu menyerap segala bunyi yang berada di sekitarnya. Namun kemampuan ilmu orang itu tidak mampu mengelabuhi ketajaman mata hati Ki Rangga.


Dengan semakin meningkatkan getar-getar isyarat yang mengalir melalui detak jantungnya, Ki Rangga segera mengetahui keberadaan orang kedua itu. Ternyata orang itu sudah berada hanya beberapa langkah saja di belakang orang yang datang pertama kali. Sementara orang yang sedang memasang sumpitnya itu agaknya tidak menyadari akan kehadiran orang lain yang tepat berada di belakangnya. Dengan asyiknya dia telah memasang sebuah paser beracun di sumpitnya dan siap untuk membidik sasaran yang pertama.

STSD 02_15

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Namun di dalam hati kecilnya, terasa ada suatu yang kurang pada tempatnya sehubungan dengan rencana yang disampaikan oleh Ki Waskita. Maka katanya kemudian, “Ki Waskita, Kita datang ke padukuhan Klangon ini berlima, sedangkan yang akan berkunjung ke kediaman Ki Gede Matesih hanya bertiga. Apa kata Ki Dukuh Klangon nanti jika dia mendapat laporan tentang hal ini?”

“O, masalah itu sudah aku pikirkan, ngger,” jawab Ki Waskita, “Besuk pagi-pagi sekali kita berdua harus sudah meninggalkan tempat ini. Akan ada seseorang yang menjemput kita karena ada keluarga kita di Prambanan yang sedang sakit.”

“Siapakah yang akan menjemput kita berdua besuk pagi-pagi sekali?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Ki Rangga.

Mendapat pertanyaan itu, Ki Waskita kembali tidak menjawab. Hanya senyumnya saja yang kembali menghiasi bibirnya.

Melihat ayah Rudita itu hanya tersenyum ke arahnya, Ki Rangga menjadi berdebar-debar. Secara samar Ki Rangga dapat meraba maksud Ki Waskita. Tentu dengan mengetrapkan bayangan semu, Ki Waskita akan mempengaruhi para pengawal yang berjaga di gardu depan sehingga mereka berdua akan dapat lolos dari banjar padukuhan Klangon besuk pagi-pagi sekali.

“Jika tidak ada perubahan rencana, Ki Jagabaya akan datang bersama utusan dari Ki Gede Matesih besuk pagi menjelang pasar temawon,” berkata Ki Waskita kemudian membuyarkan lamunan Ki Rangga.

Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil bangkit dari tempat duduknya, “Marilah, Ki Waskita. Kita bergabung dengan yang lainnya di ruang dalam. Kita perlu menyampaikan rencana kita kepada mereka.”

“Ya, ngger,” jawab Ki Waskita sambil bangkit berdiri dan kemudian mengikuti Ki Rangga yang telah melangkah meninggalkan pringgitan.

Setibanya mereka berdua di ruang dalam, ternyata ki Jayaraga dan Glagah Putih belum tidur. Mereka berdua tampak sedang berbincang-bincang.

“Silahkan,” berkata Ki Jayaraga sambil menggeser duduknya, “Kita sedang membicarakan sesuatu yang tidak sewajarnya yang ada di ruangan ini.”

“Apakah itu, Ki?” hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Waskita bertanya.

Ki Jayaraga tersenyum terlebih dahulu sebelum menjawab. Katanya kemudian sambil menunjuk ke arah dinding sebelah utara, “Lihatlah. Di sudut dinding sebelah utara itu ada sebuah lubang yang kelihatannya memang sengaja dibuat.”

Hampir bersamaan Ki Rangga dan Ki Waskita berpaling ke arah yang ditunjukkan oleh Ki Jayaraga. Dengan bergegas keduanya pun segera menghampiri tempat itu. Benar saja, sebuah lubang yang tidak begitu besar agaknya dengan sengaja telah dibuat di sudut dinding sebelah utara itu.

“Lubang ini kelihatannya belum lama dibuat,” desis Ki Waskita sambil mengamat-amati lubang di sudut dinding itu, “Mungkin lubang ini dibuat pada saat kita di pringgitan bersama Ki Gede dan Ki Jagabaya.”

“Dugaanku juga demikian Ki,” sahut Ki Jayaraga yang kemudian juga ikut mendekat dan mengamat-amati lubang itu, “Namun apakah tujuan sebenarnya?”

“Untuk membunuh kita,” jawab Ki Rangga yang membuat semua orang terperanjat. Glagah Putih pun ikut berdiri dan mendekat.

“Ya, untuk membunuh kita atau paling tidak salah satu dari kita,” berkata Ki Rangga selanjutnya begitu melihat orang-orang itu hanya berdiri diam termangu-mangu.

“Paser beracun,” tiba-tiba hampir bersamaan terdengar mereka berdesis perlahan.

“Ya, paser beracun,” berkata Ki Rangga. Kemudian sambil tangannya menunjuk lubang di sudut dinding itu Ki Rangga melanjutkan, “Dari lubang inilah sumpit itu akan dimasukkan. Sementara kita sedang tertidur lelap, sebuah paser beracun akan mematuk dada salah satu dari kita, atau bahkan mungkin orang itu akan meniup sumpitnya berkali-kali untuk menghabisi kita semua.”

“Curang!” geram Glagah Putih, “Ini pasti pekerjaan orang yang telah membunuh petugas sandi kita di bulak siang tadi. Kita harus membuat perhitungan.”

Orang-orang tua yang mendengar Glagah Putih menggeram telah tersenyum. Mereka bisa memaklumi perasaan Glagah Putih. Kematian salah satu petugas sandi dari Mataram itu agaknya telah membuat Glagah Putih waringuten.

“Sebaiknya kita segera tidur,” berkata Ki Rangga sambil memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Kemudian sambil melangkah ke tengah-tengah ruangan dia melanjutkan, “Aku akan berbaring di sisi paling utara. Silahkan yang lainnya menyesuaikan.”

Agaknya orang-orang itu segera memahami maksud Ki Rangga. Mereka sengaja memancing kehadiran orang itu. Maka sejenak kemudian orang-orang itu pun mulai menempatkan diri untuk tidur berjajar-jajar di tengah-tengah ruangan itu. Tidur hanya dengan beralaskan tikar.

Glagah Putih yang tidur di paling ujung berseberangan dengan kakak sepupunya masih sempat menggerutu sebelum membaringkan tubuhnya.

“Orang-orang padukuhan Klangon memang keterlaluan,” geram suami Rara Wulan itu sambil menyelimuti tubuhnya dengan kain panjang, “Tidak ada amben, tidur hanya beralaskan tikar usang, banyak nyamuknya lagi!”

Mereka yang mendengar gerutu Glagah Putih hanya dapat menahan senyum. Sementara Ki Rangga yang berbaring di sisi paling utara bersebelahan dengan Ki Waskita segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Sejenak kemudian ruang dalam itu pun segera menjadi sunyi. Yang terdengar kemudian hanyalah suara tarikan nafas yang teratur diselingi oleh suara dengkuran Glagah Putih.

Dalam pada itu malam telah jauh meninggalkan pusatnya. Angin yang berhembus terasa dingin menusuk tulang. Sesekali di langit terdengar petir bersabung di udara. Agaknya hujan  akan turun lagi karena sisa mendung yang bergelayutan di langit terlihat semakin hitam menggumpal.


Ketika tetes-tetes air hujan satu-persatu mulai berjatuhan, sesosok bayangan tampak berjalan mengendap-endap mendekati dinding ruang dalam sebelah utara yang bersebelahan dengan longkangan.

STSD 02_14

“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian, “Apakah tidak sebaiknya kita mengikuti saja saran ki Gede Matesih sambil menunggu perkembangan selanjutnya?”

Sejenak ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Memang beberapa saat tadi ketika Ki Gede Matesih dan Ki Jagabaya membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, mereka mengusulkan Ki Rangga dan kawan-kawan sebaiknya bertempat di kediaman Ki Gede saja. Mereka akan mengaku sebagai kerabat Ki Gede dari daerah sekitar Prambanan dan sedang ada keperluan keluarga. Namun dengan demikian secara tidak langsung mereka berlima telah menyatakan diri mereka dan siap berhadapan dengan para pengikut Trah Sekar Seda Lepen.

“Ngger,” jawab Ki Waskita kemudian setelah sejenak menimbang, “Bukankah salah satu pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu pernah berurusan dengan Angger? Dengan demikian tidak menutup kemungkinan dia akan mengenal angger dengan baik. Benturan langsung pun tidak dapat dihindarkan dan penyamaran kita akan dengan mudah tersingkap.”

Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Aku menyadari itu Ki Waskita. Jika orang yang disebut Eyang Guru itu ada diantara mereka, tentu dengan mudah akan mengenali aku. Selain itu kita tidak akan dapat melaksanakan pesan Ki Patih untuk tidak melibatkan Mataram dalam persoalan ini.”

“Tetapi jika keadaan ternyata telah berkembang diluar perhitungan kita, apa boleh buat,” sahut Ki Waskita.

Ki Rangga mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Ki Waskita. Jawabnya kemudian, “Akan tetapi harus ada bukti nyata bahwa mereka telah memberontak terhadap pemerintahan yang sah, yaitu Mataram,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sementara ini Tanah Perdikan Matesih yang diharapkan akan menjadi tumpuan perjuangan mereka, ternyata masih belum menentukan sikap secara terang-terangan. Bahkan kita mendengar sendiri beberapa saat tadi, sewaktu Ki Gede Matesih hadir di sini, dia  telah menyatakan sikapnya untuk tetap setia kepada Mataram.”

Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang persoalannya menjadi semakin rumit. Jika terang-terangan para pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu sudah melakukan sebuah gerakan yang mengarah pada sebuah pemberontakan, tentu Ki Rangga akan segera mengirim Glagah Putih untuk melaporkan hal itu kepada Ki Patih. Dengan demikian Ki Rangga sebagai Senapati pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh akan dapat menggerakkan pasukan segelar sepapan untuk menumpas pemberontakan itu.

“Trah Sekar Seda Lepen itu baru mulai menanamkan pengaruh mereka,” tanpa sadar Ki Waskita bergumam, “Mereka mencoba mempengaruhi para penghuni Tanah Perdikan Matesih, terutama para perangkatnya. Sedangkan Ki Gede agaknya terlalu sulit untuk dipengaruhi.”

“Untuk itulah Raden Mas Harya Surengpati  mencoba melunakkan hati Ki Gede melalui  putri satu-satunya Ki Gede,” sahut Ki Rangga dengan serta merta.

Sejenak Ki Waskita mengerutkan keningnya dalam-dalam. Entah mengapa, tiba-tiba saja dada ayah Rudita itu berdesir tajam mendengar Ki Rangga menyebut hubungan yang sedang dijalin oleh Raden Mas Harya Surengpati dengan putri satu-satunya Ki Gede itu.

“Ngger,” akhirnya Ki Waskita berkata setelah gejolak di dalam dadanya mereda, “Aku mempunyai panggraita tentang hubungan kedua orang itu. Panggraitaku mengatakan bahwa orang yang bernama Raden Mas Surengpati itu belum tentu dengan hati yang tulus menjalin hubungan dengan putri Ki Gede. Aku justru mencurigai adanya pamrih tersembunyi di balik semua itu.”

Untuk sejenak Ki Rangga tertegun mendengar kata-kata Ki Waskita. Berbagai tanggapan telah muncul dalam benaknya, namun Ki Rangga masih berdiam diri dan hanya menyimpannya saja di dalam hati.

Melihat Ki Rangga hanya diam termangu-mangu, Ki Waskita pun melanjutkan kata-katanya, “Sebaiknya kita terima saja saran Ki Gede untuk berkunjung ke kediaman Ki Gede sebagai tamu atau kerabat jauh. Selain kita memang punya rencana tersendiri, kita juga berkewajiban melindungi keluarga Ki Gede jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun sebaiknya yang datang berkunjung cukup tiga orang saja. Ki Jayaraga, Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih.”

“Bagaimana dengan kita berdua?” bertanya Ki Rangga dengan serta merta.

Ki Waskita tidak segera menjawab. Hanya senyumnya saja yang tampak mengembang di bibirnya.

Agaknya Ki Rangga tanggap dengan maksud Ki Waskita. Maka katanya kemudian, “Kita berdua memang tidak perlu menampakkan diri. Dengan demikian jika orang yang disebut Eyang Guru itu sekarang ini sedang berada di Perdikan Matesih, aku akan luput dari pengamatannya.”


“Demikianlah ngger,” berkata Ki Waskita kemudian, “Sementara itu kita berdua akan mengadakan penyelidikan di sekitar padepokan Sapta Dhahana dan juga rumah yang dijadikan tempat tinggal oleh Raden Mas Surengpati di Perdikan Matesih.”

Rabu, 22 Februari 2017

STSD 02_13

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya sambil memandangi satu persatu orang-orang yang disebut Ki Jagabaya. Dalam hati Ki Gede mulai menduga-duga. Mungkinkah orang bertopeng yang menemuinya sore tadi itu adalah salah satu dari mereka?

Namun pertanyaan itu masih disimpannya saja di dalam hati. Suatu saat nanti jika waktunya telah  tiba,  segala sesuatunya pasti akan terungkap.

Ketika pandangan mata Ki Gede menatap wajah Ki Rangga Agung Sedayu, sejenak Pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Matesih itu mengerutkan keningnya. Ada sebuah kesan tersendiri begitu ki Gede Menatap mata Ki Rangga, sepasang mata yang terlihat sangat meyakinkan, penuh percaya diri namun tidak tersirat sedikit pun sifat adigang, adigung, adiguna.

Sedangkan Ki Rangga yang menyadari dirinya sedang di perhatikan  menjadi berdebar-debar. Apakah Ki Gede mencurigainya? Ki Rangga memang sengaja memperkenalkan dirinya sebagai Ki Sedayu, nama dirinya yang sebenarnya tanpa menyertakan pangkat keprajuritannya.

“Ki Gede,” berkata Ki Jagabaya kemudian membuyarkan lamunan Ki Gede, “Para sahabat kita ini bersedia untuk membantu Ki Gede dalam mengatasi permasalahan yang sedang terjadi di Perdikan Matesih.”

Untuk sejenak Ki Gede masih terlihat ragu-ragu. Entah apa yang terlintas di dalam benaknya. Namun akhirnya Ki Gede pun berkata, “Ki Sanak berlima. Aku tidak peduli siapakah Ki sanak berlima ini sebenarnya. Jika Ki sanak berlima ini ternyata adalah para petugas sandi dari Mataram, aku malah bersyukur.  Tanah Perdikan Matesih memang sedang menghadapi sebuah permasalahan yang besar. Aku katakan masalah ini sangat besar karena menyangkut masa depan Tanah Perdikan Matesih ini sendiri,” Ki Gede berhenti sebentar untuk mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Aku menganggap permasalahan ini besar karena jika Mataram telah mengetahui kegiatan di Perdikan Matesih dan dari pihak Mataram kurang mendapatkan keterangan yang memadai, Perdikan Matesih ini akan dianggap sedang mempersiapkan diri dalam sebuah kegiatan makar terhadap Mataram.”

Hampir bersamaan mereka yang hadir di ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Perbuatan makar terhadap sebuah pemerintahan yang syah akan dapat mengakibatkan hancurnya masa depan Tanah Perdikan Matesih itu sendiri.

Namun lamunan Ki Gede itu menjadi terputus ketika tiba-tiba saja terdengar Ki Bango Lamatan yang sedang berjalan di sebelahnya itu bertanya, “Ki Gede, sungai ini sudah mulai menyempit. Apakah tidak sebaiknya kita naik ke tanggul?”

Ki Gede tidak segera menjawab. Diamat-amatinya pohon Lo yang tumbuh di tebing sungai sebelah kiri. Pohon Lo itu tumbuh menjulang tinggi dan terlihat bagaikan raksasa yang sedang berdiri di tengah kegelapan malam.

“Setelah pohon Lo ini,  beberapa puluh langkah lagi sungai akan membelok ke kanan,” jawab Ki Gede kemudian, “Kita akan naik ke atas tanggul setelah melewati kelokan itu.”

Ki Bango Lamatan tampak mengangguk-angguk. Keduanya pun kemudian segera meneruskan langkah mereka.

Demikianlah, setelah melewati sebuah kelokan sungai yang tidak begitu tajam, mereka berdua segera mendaki tanggul sebelah kanan sungai yang cukup landai. Begitu mereka muncul di atas tanggul, beberapa ratus tombak  di hadapan mereka telah terbentang padukuhan induk Tanah Perdikan Matesih. Dalam kegelapan malam,  tampak padukuhan induk Tanah Perdikan Matesih itu bagaikan raksasa yang sedang tidur lelap.

“Marilah,” berkata Ki Gede kemudian, “Kita berjalan agak melingkar untuk menghindari para peronda. Dalam keadaan seperti ini, kita belum tahu mana yang bisa menjadi kawan dan mana yang justru akan menjadi lawan.”

Ki Bango Lamatan tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk.

Dalam pada itu, malam telah mencapai puncaknya. Para peronda di gardu-gardu telah memukul kentongan dengan nada dara muluk. Sementara itu di banjar padukuhan Klangon, Ki Waskita tampak masih bercakap-cakap dengan Ki Rangga Agung Sedayu di pringgitan. Sedangkan Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah masuk ke ruang dalam untuk beristirahat.

“Ngger,” berkata Ki Waskita kemudian setelah meneguk wedang sere yang sudah dingin, “Ki Gede Matesih memang sedang dalam bahaya, bahaya yang mengancam Tanah Perdikannya maupun bahaya yang mengancam keluarganya.”

Sejenak Ki Rangga termenung. Berbagai pertimbangan sedang hilir-mudik dalam benaknya. Tugas yang diemban mereka berlima dari Ki Patih Mandaraka ternyata tidak sesederhana seperti  yang mereka bayangkan sebelumnya. Walaupun mereka menyadari, tugas menggempur perguruan Sapta Dhahana tentu memerlukan perhitungan yang cermat serta kekuatan yang memadai. Namun ternyata permasalahan itu sudah berkembang sedemikian jauhnya. Pengaruh orang-orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu sudah menyebar sampai di Tanah Perdikan Matesih dan padukuhan-padukuhan sekitarnya.

“Ki Waskita,” akhirnya Ki Rangga membuka suaranya, “Menurut pertimbanganku. Apakah tidak sebaiknya kita langsung saja menghancurkan sumber masalah itu? Sebagaimana yang telah kita pertimbangkan sebelumnya, kita secara diam-diam akan memasuki Perguruan Sapta Dhahana dan kemudian memancing para pemimpinnya untuk berperang tanding. Terutama pemimpin perguruan Sapta Dhahana yang memang merasa mempunyai urusan denganku.”

“Memang demikian sebaiknya ngger,” jawab Ki Waskita, “Aku percaya jika Ki Jayaraga dan Ki Bango lamatan berdua akan mampu menebarkan sirep yang sangat tajam sehingga tidak akan banyak murid-murid perguruan Sapta Dhahana yang akan terlibat,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dengan demikian kita akan berurusan hanya dengan orang-orang yang mempunyai kelebihan. Namun yang menjadi persoalannya sekarang adalah, kita tidak tahu kapan mereka semua akan berkumpul di padepokan Sapta Dhahana, terutama orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu. Seperti yang telah disampaikan oleh Ki Gede Matesih beberapa saat yang lalu, adik orang yang mengaku Trah sekar Seda Lepen itu sekarang bertempat tinggal di Perdikan Matesih. Sedangkan Raden Wirasena sendiri menurut keterangan Ki Gede belum pernah menampakkan dirinya sama sekali  sampai saat ini.”


Kembali Ki Rangga termenung. Jika memungkinkan memang sebaiknya mereka menggempur padepokan Sapta Dhahana itu pada saat semua orang yang berkepentingan sedang berkumpul, walaupun dengan demikian kekuatan mereka akan menjadi diluar dugaan.

Selasa, 21 Februari 2017

STSD 02_12

Dengan langkah lebar  namun terlihat  ringan, orang tinggi besar itu segera meloncati parit dan kemudian menyusuri pematang. Batang-batang padi memang belum ditanam karena hujan memang baru turun sore tadi. Namun para petani telah menyiapkan tanah garapan mereka dengan sebaik-baiknya.

Beberapa saat kemudian,  orang itu telah mencapai pematang yang paling ujung dari tanah pesawahan yang luas itu. Kini di hadapannya terbentang tebing sebuah sungai yang tidak begitu curam. Dengan sangat cekatan dan terampil orang itu pun kemudian mulai menuruni tebing.

Sesampainya di tepian sungai, ternyata seseorang sedang menunggunya sambil duduk di atas sebuah batu.

“Engkau berhasil Ki Bango Lamatan?” bertanya orang itu sambil bangkit dari duduknya.

“Ya, Ki Gede,” jawab orang itu yang ternyata adalah Ki Bango Lamatan, “Orang ini akan sangat berbahaya jika sampai melaporkan kedatangan kami kepada orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu.”

“Engkau benar Ki,” sahut Ki Gede memandang sesosok tubuh yang menggelantung di pundak Ki Bango Lamatan. Kemudian sambil melangkah mendekat, Ki Gede melanjutkan, “Marilah kita bawa orang ini ke Padukuhan induk Perdikan Matesih. Biarlah dia di tempatkan di salah satu bilik yang ada di gandhok kanan rumahku. Para pengawal akan menjaganya siang dan malam.”

Ki Bango Lamatan mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun beberapa saat kemudian kening Ki Bango Lamatan tampak berkerut merut. Bertanya Ki Bango lamatan kemudian, “Ki Gede, apakah para perangkat tanah Perdikan Matesih masih bisa dipercaya?”

Ki Gede menggeleng. Jawabnya kemudian, “Tidak semuanya bisa dipercaya. Untunglah keluargaku belum terpengaruh oleh rayuan Raden Mas Harya Surengpati. Namun untuk saat ini yang menjadi beban pikiranku justru Ratri, anak perempuanku satu-satunya.”

Ki Bango lamatan menarik nafas dalam-dalam. Beberapa saat tadi ketika Ki Gede telah bertemu dengan Ki Rangga dan kawan-kawan di banjar padukuhan Klangon, Ki Gede telah menyebut permasalahan yang sedang dialaminya itu. Salah satunya adalah hubungan yang sedang terjalin antara Ratri dengan Raden Mas Harya Surengpati itu.

“Dunia anak muda memang menggairahkan, apalagi kalau sudah menyangkut masalah asmara,” berkata Ki Bango Lamatan dalam hati. Walaupun Ki Bango Lamatan sendiri semasa mudanya tidak begitu tertarik dengan perempuan, namun di usianya yang sudah mendekati senja, hati Ki Bango Lamatan justru telah tertarik kepada seorang perempuan muda yang sangat cantik.

“Rara Anjani,” desah Ki Bango Lamatan dalam hati menyebut sebuah nama sambil menengadahkan wajahnya. Sekilas dipandanginya angan gelap yang masih bergelantungan di langit. Terbayang di rongga matanya seraut wajah perempuan muda  cantik jelita yang kini telah dipersunting oleh Pangeran Pati.

“Aku memang harus tahu diri,” berkata Ki Bango Lamatan kembali dalam hati, “Tidak sepantasnya aku memendam keinginan gila ini di dalam hatiku. Apa yang diajarkan oleh Ki Ajar Mintaraga beberapa saat yang lalu seharusnya telah mengendapkan hatiku ini dari segala keinginan duniawi.”

Ki Bango Lamatan menarik nafas panjang, panjang sekali. Kemudian dihembuskannya kuat-kuat melalui kedua lobang hidungnya. Seolah-olah ingin dibuangnya segala keinginan yang ngayawara itu bersama dengan hembusan nafasnya.

“Buwenging bawana gung mung kacekan lepasing wardaya,”  gumam Ki Bango Lamatan dalam hati sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang wejangan Ki Ajar Mintaraga itu sangat membekas di hatinya. Luasnya dunia ini sesungguhnya masih lebih luas dari  hati sanubari yang tak bertepi.

Sejenak kemudian mereka berdua telah menyusuri tepian sungai yang tidak begitu lebar. Keduanya berjalan sambil berdiam diri. Masing-masing sedang asyik tenggelam dalam dunia angan-angan.

Sambil mengayunkan langkahnya, beberapa kali Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ingatannya kembali ke beberapa saat yang lalu ketika waktu sudah memasuki sirep uwong. Dengan berbekal keyakinan akan pesan singkat yang diterimanya dari orang bertopeng itu, Ki Gede pun tanpa ragu-ragu melangkahkan kakinya memasuki pringgitan.

“Silahkan Ki Gede,” sambut Ki Jagabaya pada saat itu sambil tersenyum dan bangkit berdiri. Orang-orang yang berada di ruangan itu pun ikut berdiri.

Sejenak kemudian, satu-persatu secara bergantian orang-orang yang hadir di ruangan itu menyalami Ki Gede. Sambutan yang ramah itu terasa menyejukkan hati Ki Gede yang pada awalnya sempat dihinggapi sepercik keragu-raguan.

“Ki Gede,” berkata Ki Jagabaya kemudian setelah semuanya kembali duduk melingkar di atas tikar pandan yang putih bersih, “Sebelumnya aku akan memperkenalkan para sahabat kita dari Prambanan ini.”

Mendengar Ki Jagabaya menyebut Prambanan, tampak kening Ki Gede berkerut merut. Namun segera saja sebuah senyum menghiasi bibirnya begitu Ki Jagabaya meneruskan kata-katanya, “Setidaknya itulah pengakuan mereka, para perantau yang berasal dari daerah sekitar Prambanan.”

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Ki Rangga dan kawan-kawannya hanya dapat saling berpandangan sambil menahan nafas.


“Ki Gede,” berkata Ki Jagabaya selanjutnya, “Di sebelah kanan Ki Gede adalah Ki Waskita, kemudian Ki Sedayu, Ki Jayaraga, dan yang termuda diantara mereka bernama Glagah Putih. Sedangkan yang terakhir adalah Ki Bango Lamatan.”

Senin, 20 Februari 2017

STSD 02_11

Namun baru saja Ki Lurah berjalan lagi beberapa langkah, kali ini pendengaran ki Lurah dikejutkan oleh suara orang terbatuk-batuk beberapa langkah saja di belakangnya.

Bagaikan disengat kalajengking sebesar ibu jari kaki orang dewasa, Ki Lurah pun terlonjak kaget. Dengan cepat dia segera memutar tubuhnya dan memasang kuda-kuda. Siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Namun yang terlihat di hadapan Ki Lurah hanyalah kegelapan malam. Tidak tampak sesuatu pun yang mencurigakan sehingga Ki Lurah menjadi ragu-ragu sendiri dengan pendengarannya.

“Hantu?” kata itulah yang kini menyelinap di dalam hati Ki Lurah.

“Ah, tidak mungkin. Seumur hidupku aku belum pernah melihat seekor hantu dan aku memang tidak percaya dengan keberadaan para hantu itu sendiri,” berkata Ki Lurah dalam hati mencoba untuk menenangkan hatinya. Namun Ki Lurah tidak dapat memungkiri bahwa pendengarannya benar-benar telah menangkap suara orang terbatuk-batuk.

Setelah beberapa saat Ki Lurah tidak melihat sesuatu  yang mencurigakan, dengan perlahan-lahan Ki Lurah pun kemudian memutar tubuhnya.

Namun kali ini jantung ki Lurah bagaikan terlepas dari tangkainya. Belum sepenuhnya Ki Lurah memutar tubuhnya, terasa sebuah tangan telah mengusap tengkuknya.

“Iblis!” teriak Ki Lurah sekeras-kerasnya sambil meloncat menjauh. Begitu sepasang kakinya menginjak tanah, dengan cepat Ki Lurah memutar tubuhnya. Sebuah pedang berukuran cukup besar telah tergenggam di tangan kanannya.

Namun kembali Ki Lurah hanya dapat mengumpat-umpat dengan umpatan yang sangat kotor. Kembali yang terbentang di hadapannya hanyalah kegelapan malam yang sepi.

Kali ini hati Ki Lurah benar-benar tinggal semenir. Betapapun Ki Lurah mencoba menyangkal akan keberadaan segala jenis hantu, gendruwo, ilu-ilu banaspati, engklek-engklek balung atandak dan sebangsanya, namun kenyataan yang dihadapinya sekarang ini benar-benar berada diluar jangkauan nalarnya.

“Tidak mungkin seseorang mampu melakukan ini semua, walaupun orang itu memiliki kesaktian yang tiada taranya. Dia pasti memerlukan waktu yang cukup untuk menghindar dari pandangan mataku,” berkata Ki Lurah dalam hati dengan jantung yang berdentangan. Begitu dahsyatnya suara dentangan itu sehingga dadanya seolah-olah akan meledak.

Untuk beberapa saat Ki Lurah masih menunggu. Dicobanya  menarik nafas dalam-dalam beberapa kali sekedar untuk menurunkan gejolak di dalam dadanya. Namun rasa-rasanya perasaan takut  yang mulai menjalari otaknya telah membuat tubuh ki Lurah menjadi menggigil kedinginan.

Sambil meningkatkan kemampuan panca indranya, Ki Lurah mencoba membaca segala mantra-mantra yang pernah dipelajarinya. Dulu sewaktu dia berguru pada seseorang yang sakti, yang dianggap menguasai dunia kasar maupun dunia halus, dia telah diajari bagaimana caranya menolak segala jenis makhluk halus yang datang mengganggu.

Sambil meludah tiga kali ke tanah, Ki Lurah pun kemudian menggores-goreskan ujung pedangnya ke tanah yang telah basah oleh ludahnya.

Setan ora doyan demit ora ndulit!” geram Ki Lurah sambil memutar pedangnya dengan deras di atas kepala. Seolah-olah Ki Lurah sudah yakin dengan keberadaan lawannya dan akan segera ditebasnya dengan senjata di tangannya.

Demikianlah dengan teriakan menggelegar, pedang di tangan kanannya bergerak membabat kesana-kemari tanpa arah yang jelas. Ki Lurah yakin dengan demikian jika ada sebangsa makhluk halus yang berada di sekitarnya, mereka akan berlarian tunggang langgang karena takut terkena sabetan pedang yang telah diberinya  mantra.

Namun yang terjadi kemudian justru telah membuat sekujur tubuh Ki Lurah kaku tak mampu bergerak. Jantungnya kini benar-benar berhenti berdetak. Sepasang matanya melotot dengan mulut ternganga lebar-lebar. Wajahnya pucat pasi bagaikan tak dialiri oleh darah setetes  pun.

Memang ketika dengan penuh semangat yang membara Ki Lurah sedang mengayun-ayunkan senjatanya tadi, tiba-tiba saja pedang yang berukuran cukup besar di tangan kanannya itu terlepas begitu saja. Seolah-olah ada kekuatan yang luar biasa kuatnya menarik pedang itu. Dan sebagai gantinya, pedang itu sekarang justru telah bergerak-gerak sendiri dan justru mengancam ke arah dadanya.

Penalaran ki Lurah pun kini benar-benar telah menjadi buram. Perlahan-lahan kesadarannya pun mulai kabur dan pandangan matanya mulai gelap. Namun sebelum Ki Lurah benar-benar jatuh tak sadarkan diri, lamat-lamat dia mendengar sebuah bisikan di telinganya.

“Tidurlah Ki Lurah,”  terdengar bisikan itu sangat dekat sekali di telinga kanannya.

Diantara kesadarannya yang mulai menghilang,  Ki Lurah mencoba mengenali siapa pemilik suara itu dengan memalingkan wajahnya. Namun sekali lagi terasa sebuah tangan mengusap tengkuknya dan segala sesuatunya pun menjadi gelap.

Namun sebelum tubuh Ki Lurah benar-benar terjatuh, tiba-tiba sepasang tangan yang kekar muncul begitu saja dari dalam kegelapan malam dan menahan tubuh yang sudah hampir menyentuh tanah itu. Sejenak kemudian, perlahan-lahan dari dalam kegelapan malam muncul seseorang yang bertubuh tinggi besar sambil sepasang tangannya menahan tubuh Ki Lurah.


“Dengan memutus jalur ini, semoga orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu tidak akan  mendengar berita yang terjadi di padukuhan Klangon,” gumam orang tinggi besar itu perlahan sambil mengangkat tubuh ki Lurah dan kemudian memanggulnya. Sejenak kemudian orang tinggi besar itupun segera meninggalkan tempat itu.