Tanpa sadar mereka telah
mengangkat kepala dan saling pandang begitu mendengar pertanyaan Ki Jayaraga. Setiap
dada yang ada di longkangan itu pun telah berdesir. Tidak menutup kemungkinan
tuduhan pembunuhan itu akan kembali diarahkan kepada mereka.
“Apakah tidak sebaiknya kita
menyingkir saja, ngger?” bertanya Ki Waskita kemudian kepada Ki Rangga yang
terlihat termenung.
Sejenak Ki Rangga
menimbang-nimbang. Namun akhirnya Ki Rangga pun menjawab, “Ki Waskita, pada
awalnya kita akan menerima tawaran ki Gede untuk tinggal di kediamannya dengan
dalih kita adalah tamu-tamu yang masih terhitung kerabat jauh dari Prambanan,”
Ki Rangga berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Kemudian timbul pemikiran
untuk memecah kekuatan kita. Ki Jayaraga, Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih
saja yang akan berangkat ke Tanah Perdikan Matesih. Sedangkan kita berdua
seolah-olah pulang kembali ke Prambanan karena suatu kepentingan. Namun
ternyata keadaan telah berkembang semakin rumit, dan jika kita menyingkir dari
tempat ini, bagaimana dengan keselamatan Ki Gede Matesih dan keluarganya? Para
pengikut Trah Sekar Seda Lepen pasti akan menangkap Ki Gede dan keluarganya serta
menyandera mereka sebagai alat untuk memaksa kita menyerahkan diri.”
Sejenak mereka menjadi
bimbang. Namun ditengah-tengah ketidak pastian itu, tiba-tiba saja Ki Waskita
berdesis perlahan, “Marilah kita singkirkan saja mayat ini jauh-jauh dan jangan
sampai ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali hanya kita.”
Bagaikan baru saja tersadar
dari sebuah mimpi buruk, Ki Rangga pun segera berkata, “Glagah Putih, angkatlah
mayat ini. Mari kita bawa mayat ini ke
hutan kecil di sebelah barat padukuhan Klangon. Kita akan menguburkannya di
sana.”
“Baik Kakang,” jawab Glagah
Putih sambil bersiap untuk mengangkat mayat yang meringkuk di longkangan itu.
Namun belum sempat Glagah
Putih menyentuh mayat itu, tiba-tiba saja pendengaran mereka yang tajam telah
mendengar langkah-langkah yang menuju ke tempat itu.
Segera saja suasana menjadi
tegang kembali. Namun agaknya Ki Rangga telah mengenal langkah-langkah itu,
maka katanya kemudian sambil tersenyum, “Sepertinya Ki Bango Lamatan telah
selesai mengantar Ki Gede.”
“Oh,” yang mendengar kata-kata Ki Rangga itu pun
telah menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata hati
mereka terlalu tegang dengan adanya peristiwa
pembunuhan itu.
Demikianlah sejenak kemudian
terdengar langkah itu semakin jelas mendekati bangunan induk banjar padukuhan
dari arah samping kiri.
“Kami di sini Ki Bango
Lamatan,” desis Ki Rangga perlahan memberi tahukan keberadaan mereka begitu langkah-langkah
itu semakin jelas terdengar.
Ki Bango Lamatan yang sedang
berjalan dalam gelapnya malam menuju ke pintu butulan samping itu telah
tersenyum mendengar bisikan Ki Rangga. Segera saja diayunkan langkahnya menuju
ke longkangan.
Namun alangkah terkejutnya
Ki Bango Lamatan begitu menyadari ada sesuatu yang aneh sedang terjadi di
longkangan itu. Ki Rangga dan yang lainnya tampak sedang mengerumuni seseorang
yang sedang meringkuk tak bergerak di dalam longkangan itu.
“Apa yang terjadi?” bertanya
Ki Bango Lamatan kemudian sesampainya dia di hadapan Ki Rangga.
“Seseorang telah mati di
longkangan ini,” jawab Ki Rangga, “Lebih baik segera kita singkirkan saja mayat
ini sebelum ada orang yang mengetahuinya.”
“Aku akan mengambil cangkul
di dapur dulu,” sela Glagah Putih kemudian
sambil setengah berlari menuju ke ruang tengah melalui pintu butulan.
“Biarlah Glagah Putih aku
kawani,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian sambil mengangkat mayat itu di
pundaknya.
“Ki Bango Lamatan,” dengan
serta merta Ki Rangga mencoba untuk mencegah, “Biar Glagah Putih saja yang
membawa mayat ini.”
Ki Bango Lamatan tersenyum
sambil menggeleng. Jawabnya kemudian, “Tidak Ki Rangga, Glagah Putih biar
membawa peralatan saja.”
“Aku ikut,” tiba-tiba saja
Ki Jayaraga menyela, “Aku sudah tidak bisa tidur lagi di sisa malam ini.”
Ki Rangga menarik nafas
dalam-dalam. Entah mengapa sejak tadi panggraitanya telah mengisyaratkan
sesuatu, namun Ki Rangga belum mampu menguraikannya.
Melihat kebimbangan Ki
Rangga, Ki Waskita pun segera berbisik, “Apakah angger merasakan sesuatu yang
mengkhawatirkan?”
Sejenak Ki Rangga ragu-ragu.
Namun akhirnya Ki Rangga pun menjawab, “Entahlah Ki Waskita. Mungkin hanya
kekhawatiran yang tidak beralasan.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Sebagai orang yang menimba ilmu pada
sumber yang sama, Ki Waskita segera menyadari bahwa sesuatu telah terjadi pada diri
Ki Rangga sehubungan dengan ilmu yang sedang di pelajari dan disempurnakannya,
aji pengangen-angen. Maka katanya kemudian, “Sebaiknya biarlah Ki Jayaraga saja
yang menemani Ki Bango lamatan dan Glagah Putih. Aku dan Ki Rangga masih ada
urusan yang harus diselesaikan di banjar ini.”
Ki Rangga akhirnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia segera maklum dengan maksud Ki Waskita.
Demikianlah begitu Glagah
Putih telah muncul dengan sebuah cangkul di pundaknya, mereka bertiga pun
kemudian dengan penuh kewaspadaan telah menyelinap ke halaman belakang banjar
dan kemudian keluar lewat pintu butulan yang terdapat di dinding bagian
belakang banjar.
“Para pengawal itu
kelihatannya masih tertidur nyenyak,” desis Ki Jayaraga sambil membuka pintu
butulan itu.
“Ya, Ki,” jawab Ki Bango
Lamatan sambil sedikit membungkuk agar mayat yang dipanggulnya tidak tersangkut
pintu butulan yang agak rendah. Lanjutnya
kemudian sambil melangkahi tlundak, “Tadi sewaktu aku mengantar Ki Gede lewat
halaman belakang ini, mereka juga tampak tertidur pulas. Ki Gede sempat
bercerita kepadaku sewaktu Ki Gede datang ke tempat ini, mereka pun sudah
tertidur pulas. Agaknya telah terjadi sesuatu yang tidak wajar pada mereka.”
Ki Jayaraga
mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara Glagah Putih masih sempat berpaling
sekilas ke teritisan tempat para pengawal itu tertidur silang melintang sebelum
menutup pintu itu kembali dan kemudian menghilang ditelan kegelapan malam.