Minggu, 19 Februari 2017

STSD 02_10

Namun ketika lamat-lamat Ki Gede mendengar suara tawa Ki Jagabaya, keragu-raguan itu pun segera sirna bagaikan  kabut dini hari yang tertimpa sinar Matahari pagi.

“Agaknya Ki Jagabaya mulai akrab dengan mereka,” berkata Ki Gede dalam hati sambil mengayunkan langkahnya kembali, “Persoalan yang sedang bergolak di Perdikan Matesih harus segera dituntaskan.”

Demikianlah, Ki Gede segera membuang jauh-jauh semua keraguan yang membelit hatinya. Dengan langkah mantap Ki Gede pun menuju ke pringgitan.

Dalam pada itu, ketika malam telah melewati sepi uwong dan hampir mencapai tengah malam, tampak seseorang yang berwajah keras, sekeras batu-batu padas di gerojogan sedang berjalan mendekati pintu gerbang Tanah Perdikan Matesih.

Beberapa pengawal yang sedang berjaga segera berloncatan ke tengah-tengah pintu gerbang begitu melihat bayangan seseorang yang berjalan menuju ke arah mereka.

“Siapa?” bertanya salah seorang pengawal sambil mengamat-amati wajah keras itu di bawah siraman oncor yang tersangkut di pojok atas gerbang.

“Aku,” terdengar suara parau mirip suara burung gagak, “Apakah mata kalian sudah lamur sehingga tidak mengenali aku lagi?”

“O, maafkan kami Ki Lurah,” jawab salah satu pengawal itu sambil memberi isyarat kawan-kawannya untuk memberi jalan, “Sesuai pesan Raden Mas Harya Surengpati, kita diperintahkan untuk meningkatkan kewaspadaan. Berita terbunuhnya  seseorang yang diduga telik sandi dari Mataram di dukuh Klangon sore tadi telah sampai kemari.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku tadi  sempat singgah di padukuhan Klangon dan telah mendapat laporan dari Ki Dukuh,” Ki Lurah berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku akan menghadap Raden Mas Harya Surengpati malam ini.  Ada sesuatu hal yang sangat penting yang ingin aku laporkan.”

Para pengawal itu sejenak saling berpandangan. Ada keinginan untuk menanyakan berita apakah yang dibawa oleh Ki Lurah itu? Namun ternyata pertanyaan itu hanya mereka simpan di dalam hati saja.

“Marilah,” berkata Ki Lurah kemudian begitu melihat para pengawal itu hanya berdiri termangu-mangu. Lanjutnya kemudian sambil melangkah, “Berhati-hatilah terhadap segala kemungkinan yang dapat terjadi. Agaknya Mataram sudah mulai mencium gerakan kita.”

“Baik Ki Lurah,” hampir bersamaan mereka menjawab.

“Apakah Ki Lurah tidak memerlukan kawan?” tiba-tiba salah seorang pengawal itu menyelutuk.

Ki Lurah yang sudah mengayunkan langkahnya itu berhenti sejenak. Sambil memandang wajah pengawal itu Ki Lurah tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Aku tahu maksudmu. Bukankah  jalan menuju rumah yang ditempati Raden Mas Harya Surengpati ini melewati rumahmu?”

“Ah,” terdengar gelak tawa kawan-kawannya, namun dengan cepat pengawal itu menyahut, “Barangkali Ki Lurah memerlukan kawan untuk berbincang sekalian menjaga segala kemungkinan di perjalanan?”

“Terima kasih, aku dapat menjaga diriku sendiri,” jawab Ki Lurah sambil kembali mengayunkan langkahnya meninggalkan tempat itu.

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Lurah telah berjalan menyusuri lorong-lorong jalan yang telah sepi.  Ki Lurah harus melewati padukuhan kecil yang merupakan bagian dari Tanah Perdikan Matesih yang luas sebelum memasuki padukuhan induk. Antara padukuhan kecil dengan padukuhan induk itu dihubungkan dengan sebuah bulak yang tidak begitu panjang.

Ketika rumah terakhir telah dilewatinya, kini di hadapan ki Lurah terhampar tanah pesawahan yang cukup luas. Di tengah-tengah tanah pesawahan itu tampak jalur jalan yang menjelujur dalam keremangan malam.

Tiba-tiba dada Ki Lurah berdesir tajam. Sebagai orang yang telah kenyang malang-melintang dalam dunia kekerasan, hatinya seolah-olah telah menerima isyarat tentang bahaya yang  mungkin sedang menghadang di depannya.

“Persetan!” geram Ki Lurah mengeraskan hatinya, “Aku bukan anak kemarin sore yang baru belajar loncat-loncatan dalam olah kanuragan. Siapa yang tidak mengenal gegedug dari dukuh Salam? Baru menyebut namanya saja orang-orang sudah mati berdiri.”

Dengan berbekal keyakinan itulah, Ki Lurah pun kemudian meneruskan langkahnya menyusuri jalur jalan yang terlihat sangat sepi dan mendebarkan.

Ketika Ki Lurah baru saja menempuh perjalanan beberapa tombak jauhnya, firasatnya mengatakan bahwa ada seseorang yang sedang mengikuti perjalanannya.

Dengan cepat Ki Lurah berpaling ke belakang. Namun tidak tampak sesuatu pun di belakangnya selain kegelapan malam. Dicobanya mengerahkan kemampuan untuk mempertajam penglihatannya. Namun Ki Lurah benar-benar tidak melihat apapun kecuali hanya kegelapan.

“Gila!” geram ki Lurah sambil mengayunkan langkahnya kembali, “Mengapa aku sekarang ini menjadi seorang pengecut?”


Dengan tanpa meninggalkan kewaspadaan, Ki Lurah kembali berjalan menyusuri jalur jalan yang terasa sangat ngelangut dan sepi.

19 komentar :

  1. Wayah drakula temawon wonten wedaran....

    matur nuwun...
    mugi Mbah Man terus sehat....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur Nuwun sanget Mbah Man, saged kangge obat kangen

      Hapus
  2. Pas... tepat saatnya. Matur nuwun Mbah_Man.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pas...tepat saatnya...

      wayah bisik-bisik suami istri...dan rontal turun sehingga membuat bisik-bisik hilang dan terjadi kegaduhan ..."tolong nyalakan lampu kembali" ono opo mas...ono opo mas...diam!!...ono rontal tauuuu....oohhh seru si istri...aku ikutan moco yo mas....

      Hapus
  3. Matur nuwun sanget Mbah Man .... ronda mampir taman bacaan malah dapet wedaran ... Alhamdulillah ... semoga Mbah Man sekeluarga sehat terussss .....

    BalasHapus
  4. matur nuwun mbah Man wedaranipun

    mugi mbah Man pinaringan sehat wal'afiat, ugi canmen ing padepokan

    BalasHapus
  5. Matur nuwun mbah_man..... Alhamdulillah... isuk isuk oleh rontal...

    BalasHapus
  6. Hadir, Ahad malam Senin sepi bocah ada wedaran, matur nuwun Mbah Man ..... tetap semangat !

    BalasHapus
  7. Ahhh...I don't like monday....i don't like monday....

    tapi keragu raguan itupun segera sirna bagaikan kabut dini hari yang tertimpa sinar matahari pagi ....

    I like monday and I like money...work..work...suara sepatu kuda

    Matur nuwun sanget Mbah Man 🙏 semoga selalu diberikan kesehatan...aamiin.

    BalasHapus
  8. Balasan
    1. Terjemahan bebas dan sebebas bebasnya...."saya ingin hari ibu"....hehehe

      Hapus
  9. Matur-nuwun mBah-Man, atas wedarannya. sehat selalu,juga wifinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur-nuwun mBah-Man, atas wedarannya. sehat selalu,juga wifinya.... nek wifine ge trouble, saged nonggo koq ki

      Hapus
  10. Weleh2 wedarane kok mbarengi gendruwo pringisane Mas Satpam
    Jam sepuluh inguk2 taman durung ana wedaran ee tibakeee
    Matur nuwun sanget mbah Man.

    BalasHapus
  11. Weleh2 wedarane kok mbarengi gendruwo pringisane Mas Satpam
    Jam sepuluh inguk2 taman durung ana wedaran ee tibakeee
    Matur nuwun sanget mbah Man.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.