Rabu, 22 Februari 2017

STSD 02_13

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya sambil memandangi satu persatu orang-orang yang disebut Ki Jagabaya. Dalam hati Ki Gede mulai menduga-duga. Mungkinkah orang bertopeng yang menemuinya sore tadi itu adalah salah satu dari mereka?

Namun pertanyaan itu masih disimpannya saja di dalam hati. Suatu saat nanti jika waktunya telah  tiba,  segala sesuatunya pasti akan terungkap.

Ketika pandangan mata Ki Gede menatap wajah Ki Rangga Agung Sedayu, sejenak Pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Matesih itu mengerutkan keningnya. Ada sebuah kesan tersendiri begitu ki Gede Menatap mata Ki Rangga, sepasang mata yang terlihat sangat meyakinkan, penuh percaya diri namun tidak tersirat sedikit pun sifat adigang, adigung, adiguna.

Sedangkan Ki Rangga yang menyadari dirinya sedang di perhatikan  menjadi berdebar-debar. Apakah Ki Gede mencurigainya? Ki Rangga memang sengaja memperkenalkan dirinya sebagai Ki Sedayu, nama dirinya yang sebenarnya tanpa menyertakan pangkat keprajuritannya.

“Ki Gede,” berkata Ki Jagabaya kemudian membuyarkan lamunan Ki Gede, “Para sahabat kita ini bersedia untuk membantu Ki Gede dalam mengatasi permasalahan yang sedang terjadi di Perdikan Matesih.”

Untuk sejenak Ki Gede masih terlihat ragu-ragu. Entah apa yang terlintas di dalam benaknya. Namun akhirnya Ki Gede pun berkata, “Ki Sanak berlima. Aku tidak peduli siapakah Ki sanak berlima ini sebenarnya. Jika Ki sanak berlima ini ternyata adalah para petugas sandi dari Mataram, aku malah bersyukur.  Tanah Perdikan Matesih memang sedang menghadapi sebuah permasalahan yang besar. Aku katakan masalah ini sangat besar karena menyangkut masa depan Tanah Perdikan Matesih ini sendiri,” Ki Gede berhenti sebentar untuk mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Aku menganggap permasalahan ini besar karena jika Mataram telah mengetahui kegiatan di Perdikan Matesih dan dari pihak Mataram kurang mendapatkan keterangan yang memadai, Perdikan Matesih ini akan dianggap sedang mempersiapkan diri dalam sebuah kegiatan makar terhadap Mataram.”

Hampir bersamaan mereka yang hadir di ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Perbuatan makar terhadap sebuah pemerintahan yang syah akan dapat mengakibatkan hancurnya masa depan Tanah Perdikan Matesih itu sendiri.

Namun lamunan Ki Gede itu menjadi terputus ketika tiba-tiba saja terdengar Ki Bango Lamatan yang sedang berjalan di sebelahnya itu bertanya, “Ki Gede, sungai ini sudah mulai menyempit. Apakah tidak sebaiknya kita naik ke tanggul?”

Ki Gede tidak segera menjawab. Diamat-amatinya pohon Lo yang tumbuh di tebing sungai sebelah kiri. Pohon Lo itu tumbuh menjulang tinggi dan terlihat bagaikan raksasa yang sedang berdiri di tengah kegelapan malam.

“Setelah pohon Lo ini,  beberapa puluh langkah lagi sungai akan membelok ke kanan,” jawab Ki Gede kemudian, “Kita akan naik ke atas tanggul setelah melewati kelokan itu.”

Ki Bango Lamatan tampak mengangguk-angguk. Keduanya pun kemudian segera meneruskan langkah mereka.

Demikianlah, setelah melewati sebuah kelokan sungai yang tidak begitu tajam, mereka berdua segera mendaki tanggul sebelah kanan sungai yang cukup landai. Begitu mereka muncul di atas tanggul, beberapa ratus tombak  di hadapan mereka telah terbentang padukuhan induk Tanah Perdikan Matesih. Dalam kegelapan malam,  tampak padukuhan induk Tanah Perdikan Matesih itu bagaikan raksasa yang sedang tidur lelap.

“Marilah,” berkata Ki Gede kemudian, “Kita berjalan agak melingkar untuk menghindari para peronda. Dalam keadaan seperti ini, kita belum tahu mana yang bisa menjadi kawan dan mana yang justru akan menjadi lawan.”

Ki Bango Lamatan tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk.

Dalam pada itu, malam telah mencapai puncaknya. Para peronda di gardu-gardu telah memukul kentongan dengan nada dara muluk. Sementara itu di banjar padukuhan Klangon, Ki Waskita tampak masih bercakap-cakap dengan Ki Rangga Agung Sedayu di pringgitan. Sedangkan Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah masuk ke ruang dalam untuk beristirahat.

“Ngger,” berkata Ki Waskita kemudian setelah meneguk wedang sere yang sudah dingin, “Ki Gede Matesih memang sedang dalam bahaya, bahaya yang mengancam Tanah Perdikannya maupun bahaya yang mengancam keluarganya.”

Sejenak Ki Rangga termenung. Berbagai pertimbangan sedang hilir-mudik dalam benaknya. Tugas yang diemban mereka berlima dari Ki Patih Mandaraka ternyata tidak sesederhana seperti  yang mereka bayangkan sebelumnya. Walaupun mereka menyadari, tugas menggempur perguruan Sapta Dhahana tentu memerlukan perhitungan yang cermat serta kekuatan yang memadai. Namun ternyata permasalahan itu sudah berkembang sedemikian jauhnya. Pengaruh orang-orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu sudah menyebar sampai di Tanah Perdikan Matesih dan padukuhan-padukuhan sekitarnya.

“Ki Waskita,” akhirnya Ki Rangga membuka suaranya, “Menurut pertimbanganku. Apakah tidak sebaiknya kita langsung saja menghancurkan sumber masalah itu? Sebagaimana yang telah kita pertimbangkan sebelumnya, kita secara diam-diam akan memasuki Perguruan Sapta Dhahana dan kemudian memancing para pemimpinnya untuk berperang tanding. Terutama pemimpin perguruan Sapta Dhahana yang memang merasa mempunyai urusan denganku.”

“Memang demikian sebaiknya ngger,” jawab Ki Waskita, “Aku percaya jika Ki Jayaraga dan Ki Bango lamatan berdua akan mampu menebarkan sirep yang sangat tajam sehingga tidak akan banyak murid-murid perguruan Sapta Dhahana yang akan terlibat,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Dengan demikian kita akan berurusan hanya dengan orang-orang yang mempunyai kelebihan. Namun yang menjadi persoalannya sekarang adalah, kita tidak tahu kapan mereka semua akan berkumpul di padepokan Sapta Dhahana, terutama orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu. Seperti yang telah disampaikan oleh Ki Gede Matesih beberapa saat yang lalu, adik orang yang mengaku Trah sekar Seda Lepen itu sekarang bertempat tinggal di Perdikan Matesih. Sedangkan Raden Wirasena sendiri menurut keterangan Ki Gede belum pernah menampakkan dirinya sama sekali  sampai saat ini.”


Kembali Ki Rangga termenung. Jika memungkinkan memang sebaiknya mereka menggempur padepokan Sapta Dhahana itu pada saat semua orang yang berkepentingan sedang berkumpul, walaupun dengan demikian kekuatan mereka akan menjadi diluar dugaan.

46 komentar :

  1. Matur nuwun mbah man nomer setunggal

    BalasHapus
  2. Matur nuwun mbah man.. Tambah penasaran.

    BalasHapus
  3. Matur nuwun mbah Man, ba'da magrib kedawan rontal

    BalasHapus
  4. Matur nuwun Mbah Man nomer setunggal tambah penasaran ba'da magrib kedawan rontalπŸ™πŸ™

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hiks....judule menggabungkan kata nggih ki..

      Hapus
    2. Hehehe...Nyi Rien hadir toh...nggih nyi ngapunten...kulo kehilangan kata kata...πŸ™

      Hapus
  5. Dalam pada itu, seseorang berlari-lari di pematang sampai menemukan parit. Dengan tergesa-gesa orang tersebut turun dan tiba-tiba berjongkok di tepi parit.
    Dia mencoba mengeluarkan hajatnya pelan-pelan sambil melantunkan sebuah tembang, Kali Kedua, begitu judul tembang tersebut yang selama ini terkenal dilantunkan oleh pesinden cantik jelita, Raisa dengan irama macapat asmaradana.
    Saking asyiknya melamunkan sang pesinden dia tidak menyadari ada seseorang yang menempelkan selembar rontal di punggungnya. Keringat dingin mulai mengaliri tengkuk orang tersebut ketika sadar ada sesuatu nempel di punggungnya. Tanpa menoleh pelan-pelan diraba dan diambilnya rontal tersebut.
    Terhenyak orang itu begitu membaca bagian atas rontal ," Hah ?! STSD 02_14 ?! " .
    Dia langsung meloncat dan berlari menuju pedukuhan induk. .................................,.........................................
    LUPA KALAU HAJATNYA BELUM TUNTAS.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cerpen ini bagus dan punya semangat tinggi untuk menggogrokan lontar...bukan begitu Ki Bhre ...mari kita buktikan dengan membaca dari kiri kekanan yang bagian akhir berhuruf capital....

      TUNTAS BELUM HAJATNYA KALAU LUPA.....cebok dulu hehe...

      Hehehehelm...helm....semangat Ki Bhre kahuripan..✌✌

      Hapus
    2. namun sayang Ki Lurah... sampe wayah srengenge lingsir ngulon.... blm juga bisa nggogrok rontal.....

      nanti saya akan bikin cerpen lagi... sambungan dari telik sandi yg lupa cebok diatas.

      Hapus
    3. Monggo Ki Bhre mungkin telik sandi yang lupa cebok, lebih sakti dari Ki Bango Lamatan yang bisa menghilang, karena telik sandi yang lupa cebok justru bisa membuat musuh-musuhnya yang menghilang....memang aneh-aneh ilmu orang Mataram.....hehehe

      Hapus
  6. Lupa hajatnya belum tuntas, lupa pula belum membersihkannya. Cuma karena kecanduan membaca rontalnya Mbah_Man dia tidak perduli semua itu.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Uupss!!!...jangan sampai ada penistaan rontal...apapun yang dibaca diri kia harus bersih, banyak tulisan berupa larangan seperti "no smoking area" yang artinya "jangan buang sampah sembarangan"...jadi perduli kebersihan harus diutamakan....dan berwudhulah sebelum sholat...hehehe

      Hapus
    2. Hehehe..... lupa, kebersihan sebagian dari iman. Kebetulan lagi banyak air bisa wudhu sepuasnya di tempat banjir, betul?

      Hapus
    3. ...setuju sekali Ki Rangga Adiwa Swarna....

      1.berkumur....isyarat agar makanan dan omongan kita senantiasa terjaga

      2.basuh tangan kita...bersihkan dari perbuatan mengetik yang tidak berguna...

      .......

      ......

      .......

      Luruskan niat dan Iman kita.....

      ....ahh sorryngelanturbuanget.hehehe...





      Hapus
    4. Wudhu sepuasnya di tempat banjir?? itu berenang namanya Ki Zaini,... berwudhulah diair yang bersih agar lebih afdhol setelah itu sholatlah sepuas dari yang sunah sampai yang wajib niscaya akan banjir pahala....bukan begitu Ki Dandang Wesi.... (kutum sebelum tidur) ....hehehelm...helmπŸ™πŸ™

      Hapus
    5. Hei!!!....Ki Dik Har...baru mencungul...hehehe

      Memang Ki RAS tidak tersirat sedikitpun Adigang,Adigung,Adiguna hanya Adiwaswa yang cengengesan...hihihi

      Hapus
  7. Hadir, matur nuwun Mbah Man, ternyata kemarin wayah surup ada wedaran ..... tetap semangat !

    BalasHapus
  8. woro - woro

    wektu wedaran disesuaikan dengan wektu srengenge slulup

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lakune adus bareng metune srengenge,sawise adus nuli mandeg srengenge....jangan lupa sambil berdoa...hehehe

      Hapus
  9. Matur-nuwun mBah-Man, atas Wedaran kemarin sore.

    BalasHapus
  10. matur nuwun mbah man wedarannya kemarin ... baru mampir lihat wedaran di taman bacaan ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah..Ki DP dan Ki Widi komentarnya kompak sekali ....hehehelm

      Hapus
    2. Kompak selalu atau selalu kompak Ki Adiwaswa ? hehehehe yg penting semangaaaaat

      Hapus
  11. Balasan
    1. Itu info dari Ki Zaini...jumlah yang hadir demo 212 kemarin lusa..mas Aryo....bukan begitu Ki Zaini....

      Bukan... bukan... "itu tanggal hari ini??!!"... begitu!!! seru bayangan semu yang sudah dihapus tapi masih bisa dibaca..."komentar ini sudah dihapus oleh pengarangnya"..

      Memang lebih baik dibiarkan saja double, karena kalau dihapus malah ga enak dibaca bayangan semunya....pengarang nulis koq selalu double????....✌✌πŸ˜†πŸ˜†

      Hapus
    2. saya malah mengharap tripple terus tiap hari .. semoga lurus dg jumlah wedaran

      Hapus
  12. Matur nuwun mbah_man, nambah yuk...hehe

    BalasHapus
  13. wayah srengenge slulup.....tpi koq rung ono wedaran yo

    BalasHapus
  14. mampir taman bacan abis magrib ..... siapa tahu ada wedaran seperti kemarin di jam mendekati magrib ...

    BalasHapus
  15. Sedih rasanya komen selalu dobelan tanpa disengaja. Sudah dihapus masih membekas. Tapi ga apa" yg penting rontal tetap diwedar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalau rontal saja diwedarnya bisa dobel, komen juga ga mau kalah dobel juga ...πŸ˜€

      Hapus
  16. Sugeng enjang sedanten .... habis subuh mampir taman bacaan .. jemuah barokah semoga ada wedaran hari ini

    BalasHapus
  17. Mamanise tyas resep migati
    Ing pangulah mring reh karsarjanan
    Anetepi ing ugere
    Jenengireng tumuwuh
    Sinung tengran budi mumpuni
    Dera Sang Amurwengrat
    Ngumala sumunu
    Tumrap ing jagad lir surya
    Nyunyunari niskara sesining bumi
    Kang nyata lan kang samar.

    BalasHapus
  18. Hadir, Jum'at Barakah ..... tetap semangat !

    BalasHapus
  19. inguk''...masih seperti yang kemarin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah..pastine bedo Ki Widi...kemarin hujanya muter-muter, hari ini panase seng muter-muter..saatne dodolan dawet pastine laris saiki.....opo meneh rontal gogrok...weih adem tenan...

      Hapus
  20. sama aja kok ki Adiw,cuma letaknya yang pindah''. sekarang mendungnya ada di utara Jawa. Harapannya ya tidak banjir air, klo rontal bolehlah. mungkin minggu depan.semoga mBah-Man dalam kondisi sehat selalu.Aamiin.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.