Jumat, 24 Februari 2017

STSD 02_14

“Ki Waskita,” berkata Ki Rangga kemudian, “Apakah tidak sebaiknya kita mengikuti saja saran ki Gede Matesih sambil menunggu perkembangan selanjutnya?”

Sejenak ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Memang beberapa saat tadi ketika Ki Gede Matesih dan Ki Jagabaya membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, mereka mengusulkan Ki Rangga dan kawan-kawan sebaiknya bertempat di kediaman Ki Gede saja. Mereka akan mengaku sebagai kerabat Ki Gede dari daerah sekitar Prambanan dan sedang ada keperluan keluarga. Namun dengan demikian secara tidak langsung mereka berlima telah menyatakan diri mereka dan siap berhadapan dengan para pengikut Trah Sekar Seda Lepen.

“Ngger,” jawab Ki Waskita kemudian setelah sejenak menimbang, “Bukankah salah satu pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu pernah berurusan dengan Angger? Dengan demikian tidak menutup kemungkinan dia akan mengenal angger dengan baik. Benturan langsung pun tidak dapat dihindarkan dan penyamaran kita akan dengan mudah tersingkap.”

Ki Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Aku menyadari itu Ki Waskita. Jika orang yang disebut Eyang Guru itu ada diantara mereka, tentu dengan mudah akan mengenali aku. Selain itu kita tidak akan dapat melaksanakan pesan Ki Patih untuk tidak melibatkan Mataram dalam persoalan ini.”

“Tetapi jika keadaan ternyata telah berkembang diluar perhitungan kita, apa boleh buat,” sahut Ki Waskita.

Ki Rangga mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Ki Waskita. Jawabnya kemudian, “Akan tetapi harus ada bukti nyata bahwa mereka telah memberontak terhadap pemerintahan yang sah, yaitu Mataram,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sementara ini Tanah Perdikan Matesih yang diharapkan akan menjadi tumpuan perjuangan mereka, ternyata masih belum menentukan sikap secara terang-terangan. Bahkan kita mendengar sendiri beberapa saat tadi, sewaktu Ki Gede Matesih hadir di sini, dia  telah menyatakan sikapnya untuk tetap setia kepada Mataram.”

Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang persoalannya menjadi semakin rumit. Jika terang-terangan para pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu sudah melakukan sebuah gerakan yang mengarah pada sebuah pemberontakan, tentu Ki Rangga akan segera mengirim Glagah Putih untuk melaporkan hal itu kepada Ki Patih. Dengan demikian Ki Rangga sebagai Senapati pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh akan dapat menggerakkan pasukan segelar sepapan untuk menumpas pemberontakan itu.

“Trah Sekar Seda Lepen itu baru mulai menanamkan pengaruh mereka,” tanpa sadar Ki Waskita bergumam, “Mereka mencoba mempengaruhi para penghuni Tanah Perdikan Matesih, terutama para perangkatnya. Sedangkan Ki Gede agaknya terlalu sulit untuk dipengaruhi.”

“Untuk itulah Raden Mas Harya Surengpati  mencoba melunakkan hati Ki Gede melalui  putri satu-satunya Ki Gede,” sahut Ki Rangga dengan serta merta.

Sejenak Ki Waskita mengerutkan keningnya dalam-dalam. Entah mengapa, tiba-tiba saja dada ayah Rudita itu berdesir tajam mendengar Ki Rangga menyebut hubungan yang sedang dijalin oleh Raden Mas Harya Surengpati dengan putri satu-satunya Ki Gede itu.

“Ngger,” akhirnya Ki Waskita berkata setelah gejolak di dalam dadanya mereda, “Aku mempunyai panggraita tentang hubungan kedua orang itu. Panggraitaku mengatakan bahwa orang yang bernama Raden Mas Surengpati itu belum tentu dengan hati yang tulus menjalin hubungan dengan putri Ki Gede. Aku justru mencurigai adanya pamrih tersembunyi di balik semua itu.”

Untuk sejenak Ki Rangga tertegun mendengar kata-kata Ki Waskita. Berbagai tanggapan telah muncul dalam benaknya, namun Ki Rangga masih berdiam diri dan hanya menyimpannya saja di dalam hati.

Melihat Ki Rangga hanya diam termangu-mangu, Ki Waskita pun melanjutkan kata-katanya, “Sebaiknya kita terima saja saran Ki Gede untuk berkunjung ke kediaman Ki Gede sebagai tamu atau kerabat jauh. Selain kita memang punya rencana tersendiri, kita juga berkewajiban melindungi keluarga Ki Gede jika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun sebaiknya yang datang berkunjung cukup tiga orang saja. Ki Jayaraga, Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih.”

“Bagaimana dengan kita berdua?” bertanya Ki Rangga dengan serta merta.

Ki Waskita tidak segera menjawab. Hanya senyumnya saja yang tampak mengembang di bibirnya.

Agaknya Ki Rangga tanggap dengan maksud Ki Waskita. Maka katanya kemudian, “Kita berdua memang tidak perlu menampakkan diri. Dengan demikian jika orang yang disebut Eyang Guru itu sekarang ini sedang berada di Perdikan Matesih, aku akan luput dari pengamatannya.”


“Demikianlah ngger,” berkata Ki Waskita kemudian, “Sementara itu kita berdua akan mengadakan penyelidikan di sekitar padepokan Sapta Dhahana dan juga rumah yang dijadikan tempat tinggal oleh Raden Mas Surengpati di Perdikan Matesih.”

13 komentar :

  1. matur suwun...wedaran pertama dari tripelan sore iki

    BalasHapus
  2. Matur nuwun mbah man. Mugi taksih wonten malih.

    BalasHapus
  3. baru saja berhasil kirim sumbangan ke Sri Supratini, 300.000,00 rp.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur suwun Ki Muhammad Machasin
      Semoga Yang Maha Agung melimpahkan rahmatNYA kepada Ki Muhammad Machasin sekeluarga, Amiin
      sekali lagi matur suwun

      Hapus
  4. Matur-nuwun mBah-Man, atas wedarannya.

    BalasHapus
  5. MAtur nuwun mbah man atas wedaran hari ini ....mantappp mbah man ...

    BalasHapus
  6. Marur sembah nuwun Mbah Man, wedaran ing Jumat barokahipum. Mugi2 wonten dobelanipun. Nuwuuun.
    .

    BalasHapus
  7. Marur sembah nuwun Mbah Man, wedaran ing Jumat barokahipum. Mugi2 wonten dobelanipun. Nuwuuun.
    .

    BalasHapus
  8. Marur sembah nuwun Mbah Man, wedaran ing Jumat barokahipum. Mugi2 wonten dobelanipun. Nuwuuun.
    .

    BalasHapus
  9. Marur sembah nuwun Mbah Man, wedaran ing Jumat barokahipum. Mugi2 wonten dobelanipun. Nuwuuun.
    .

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.