“Ki Waskita,” berkata Ki
Rangga kemudian, “Apakah tidak sebaiknya kita mengikuti saja saran ki Gede
Matesih sambil menunggu perkembangan selanjutnya?”
Sejenak ki Waskita menarik
nafas dalam-dalam. Memang beberapa saat tadi ketika Ki Gede Matesih dan Ki
Jagabaya membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, mereka
mengusulkan Ki Rangga dan kawan-kawan sebaiknya bertempat di kediaman Ki Gede
saja. Mereka akan mengaku sebagai kerabat Ki Gede dari daerah sekitar Prambanan
dan sedang ada keperluan keluarga. Namun dengan demikian secara tidak langsung mereka berlima telah
menyatakan diri mereka dan siap berhadapan dengan para pengikut Trah Sekar Seda
Lepen.
“Ngger,” jawab Ki Waskita
kemudian setelah sejenak menimbang, “Bukankah salah satu pengikut Trah Sekar Seda
Lepen itu pernah berurusan dengan Angger? Dengan demikian tidak menutup
kemungkinan dia akan mengenal angger dengan baik. Benturan langsung pun tidak
dapat dihindarkan dan penyamaran kita akan dengan mudah tersingkap.”
Ki Rangga
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Aku menyadari itu Ki
Waskita. Jika orang yang disebut Eyang Guru itu ada diantara mereka, tentu
dengan mudah akan mengenali aku. Selain itu kita tidak akan dapat melaksanakan pesan
Ki Patih untuk tidak melibatkan Mataram dalam persoalan ini.”
“Tetapi jika keadaan
ternyata telah berkembang diluar perhitungan kita, apa boleh buat,” sahut Ki
Waskita.
Ki Rangga mengerutkan
keningnya mendengar kata-kata Ki Waskita. Jawabnya kemudian, “Akan tetapi harus
ada bukti nyata bahwa mereka telah memberontak terhadap pemerintahan yang sah,
yaitu Mataram,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sementara ini
Tanah Perdikan Matesih yang diharapkan akan menjadi tumpuan perjuangan mereka,
ternyata masih belum menentukan sikap secara terang-terangan. Bahkan kita mendengar
sendiri beberapa saat tadi, sewaktu Ki Gede Matesih hadir di sini, dia telah menyatakan sikapnya untuk tetap setia
kepada Mataram.”
Ki Waskita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang persoalannya menjadi semakin rumit. Jika
terang-terangan para pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu sudah melakukan sebuah
gerakan yang mengarah pada sebuah pemberontakan, tentu Ki Rangga akan segera
mengirim Glagah Putih untuk melaporkan hal itu kepada Ki Patih. Dengan demikian
Ki Rangga sebagai Senapati pasukan khusus yang berkedudukan di Menoreh akan dapat menggerakkan
pasukan segelar sepapan untuk menumpas pemberontakan itu.
“Trah Sekar Seda Lepen itu
baru mulai menanamkan pengaruh mereka,” tanpa sadar Ki Waskita bergumam,
“Mereka mencoba mempengaruhi para penghuni Tanah Perdikan Matesih, terutama
para perangkatnya. Sedangkan Ki Gede agaknya terlalu sulit untuk dipengaruhi.”
“Untuk itulah Raden Mas
Harya Surengpati mencoba melunakkan hati
Ki Gede melalui putri satu-satunya Ki
Gede,” sahut Ki Rangga dengan serta merta.
Sejenak Ki Waskita
mengerutkan keningnya dalam-dalam. Entah mengapa, tiba-tiba saja dada ayah
Rudita itu berdesir tajam mendengar Ki Rangga menyebut hubungan yang sedang
dijalin oleh Raden Mas Harya Surengpati dengan putri satu-satunya Ki Gede itu.
“Ngger,” akhirnya Ki Waskita
berkata setelah gejolak di dalam dadanya mereda, “Aku mempunyai panggraita
tentang hubungan kedua orang itu. Panggraitaku mengatakan bahwa orang yang
bernama Raden Mas Surengpati itu belum tentu dengan hati yang tulus menjalin
hubungan dengan putri Ki Gede. Aku justru mencurigai adanya pamrih tersembunyi
di balik semua itu.”
Untuk sejenak Ki Rangga
tertegun mendengar kata-kata Ki Waskita. Berbagai tanggapan telah muncul dalam
benaknya, namun Ki Rangga masih berdiam diri dan hanya menyimpannya saja di
dalam hati.
Melihat Ki Rangga hanya diam
termangu-mangu, Ki Waskita pun melanjutkan kata-katanya, “Sebaiknya kita terima
saja saran Ki Gede untuk berkunjung ke kediaman Ki Gede sebagai tamu atau
kerabat jauh. Selain kita memang punya rencana tersendiri, kita juga
berkewajiban melindungi keluarga Ki Gede jika terjadi sesuatu yang tidak
diharapkan,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun sebaiknya
yang datang berkunjung cukup tiga orang saja. Ki Jayaraga, Ki Bango Lamatan dan
Glagah Putih.”
“Bagaimana dengan kita
berdua?” bertanya Ki Rangga dengan serta merta.
Ki Waskita tidak segera
menjawab. Hanya senyumnya saja yang tampak mengembang di bibirnya.
Agaknya Ki Rangga tanggap
dengan maksud Ki Waskita. Maka katanya kemudian, “Kita berdua memang tidak
perlu menampakkan diri. Dengan demikian jika orang yang disebut Eyang Guru itu sekarang
ini sedang berada di Perdikan Matesih, aku akan luput dari pengamatannya.”
“Demikianlah ngger,” berkata
Ki Waskita kemudian, “Sementara itu kita berdua akan mengadakan penyelidikan di
sekitar padepokan Sapta Dhahana dan juga rumah yang dijadikan tempat tinggal
oleh Raden Mas Surengpati di Perdikan Matesih.”
matur suwun...wedaran pertama dari tripelan sore iki
BalasHapusMatur nuwun mbah man. Mugi taksih wonten malih.
BalasHapusbaru saja berhasil kirim sumbangan ke Sri Supratini, 300.000,00 rp.
BalasHapusMatur suwun Ki Muhammad Machasin
HapusSemoga Yang Maha Agung melimpahkan rahmatNYA kepada Ki Muhammad Machasin sekeluarga, Amiin
sekali lagi matur suwun
Matur-nuwun mBah-Man, atas wedarannya.
BalasHapusMAtur nuwun mbah man atas wedaran hari ini ....mantappp mbah man ...
BalasHapusMarur sembah nuwun Mbah Man, wedaran ing Jumat barokahipum. Mugi2 wonten dobelanipun. Nuwuuun.
BalasHapus.
Marur sembah nuwun Mbah Man, wedaran ing Jumat barokahipum. Mugi2 wonten dobelanipun. Nuwuuun.
BalasHapus.
Marur sembah nuwun Mbah Man, wedaran ing Jumat barokahipum. Mugi2 wonten dobelanipun. Nuwuuun.
BalasHapus.
Marur sembah nuwun Mbah Man, wedaran ing Jumat barokahipum. Mugi2 wonten dobelanipun. Nuwuuun.
BalasHapus.
Matur nuwun....Mbah_Man.
BalasHapusSuwun mbah man
BalasHapusTerima Kasih Mbah Man
BalasHapus