“Kemungkinan itu memang ada.
Ngger,” berkata Ki Waskita menanggapi, “Terbukti salah satu petugas sandi
Mataram telah menjadi korban.”
“Agaknya mereka juga senang
bermain-main dengan racun,” Ki Jayaraga memberikan pendapatnya.
Sejenak Ki Rangga terdiam.
Tanpa sadar dia berpaling ke arah Ki Bango Lamatan yang terlihat hanya
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Apakah Ki Bango Lamatan
mempunyai sebuah gagasan?,” tiba-tiba Ki Rangga mengajukan sebuah pertanyaan
yang membuyarkan lamunan Ki Bango Lamatan.
Untuk sejenak Ki Bango
Lamatan masih menarik nafas dalam sambil menegakkan punggungnya. Jawabnya
kemudian, “Ki Rangga, kedudukanku dalam kelompok ini hanyalah sebagai
pelengkap. Aku dititipkan oleh Pangeran Pati atas persetujuan KI Patih
Mandaraka. Sehingga apapun rencana Ki Rangga, aku akan mengikutinya.”
“Ah,” desah Ki Rangga sambil
tertawa pendek, “Aku ditunjuk sebagai pemimpin kelompok ini bukan berarti aku mempunyai
kekuasan mutlak untuk menjalankan rencana sesuai dengan hasil pemikiranku
sendiri. Setiap anggota di dalam kelompok ini berhak untuk mengajukan
pendapatnya.”
“Ki Rangga benar,” sahut Ki
Jayaraga cepat, “Setiap orang dalam kelompok ini dapat mengusulkan sebuah
rencana yang disesuaikan dengan keadaan. Rencana manakah yang akan kita pakai
nantinya, tergantung dari hasil kesepakatan kita.”
Semua yang hadir di ruangan
itu menganguk-anggukkan kepala mereka tak terkecuali Ki Bango Lamatan.
Pembicaraan itu terhenti
ketika terdengar pintu berderit dan Glagah Putih muncul dari balik pintu.
Sementara hujan di luar kelihatannya sudah mulai mereda. Bunyi air hujan yang
memukul-mukul atap banjar padukuhan sudah tidak sekeras dan sesering seperti beberapa saat tadi.
“Masuklah,” berkata Ki
Rangga begitu melihat adik sepupunya itu masih termangu-mangu di tengah-tengah
pintu, “Apakah engkau melihat sesuatu yang perlu mendapat perhatian?”
“Jenazah itu akan
diberangkatkan,” jawab Glagah Putih sambil melangkah mendekat dan kemudian
duduk di sebelah gurunya, “Banjar ini rasa-rasanya telah terkepung dari segala
penjuru. Aku melihat banyak pengawal yang berjaga-jaga diseputar banjar.”
“Apakah tidak sebaiknya kita
ikut mengantarkan jenazah itu, ngger?” sela Ki Waskita sambil berpaling ke arah
Ki Rangga.
Sejenak Ki Rangga termenung.
Namun jawabnya kemudian, “Aku kira tidak perlu Ki Waskita. Kita tidak usah
menunjukkan kedekatan kita dengan orang yang sudah meninggal itu. Sebaiknya
kita tetap di banjar ini.”
Hampir bersamaan mereka yang
hadir di ruangan itu telah menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk.
Untuk sejenak mereka yang
berada di dalam ruang itu terdiam. Sementara bunyi titik-titik air hujan yang
menimpa atap banjar padukuhan sudah tidak terdengar lagi. Berkata Ki Rangga
kemudian, “Nah, hujan sudah benar-benar reda. Siapakah yang akan ke pakiwan
terlebih dahulu?”
Tanpa menunggu jawaban yang
lainnya, ternyata Glagah Putih telah berdiri kembali. Sambil melangkah ke pintu
dia berkata, “Aku akan menimba air terlebih dahulu. Silahkan jika ada yang akan
membersihkan diri.”
“Benar-benar anak yang baik,”
sahut Ki Jayaraga yang disambut gelak tawa oleh yang lainnya.
Demikianlah ketika Glagah
Putih kemudian membuka pintu butulan dan
turun ke halaman belakang, secara tidak mencolok tampak beberapa
pengawal duduk-duduk bergerombol di teritisan sebelah kiri sambil
bersenda-gurau. Di hadapan mereka tampak beberapa mangkuk minuman panas dan
penganan.
Glagah Putih pura-pura tidak
memperhatikan mereka. Diayunkan langkahnya menuju ke perigi. Setelah melepas
tali senggot yang diikatkan pada sebatang bambu yang ditancapkan di sebelah
perigi, sejenak kemudian Glagah Putih pun telah tenggelam dalam keasyikannya
menimba air.
Dalam pada itu, di pendapa
banjar padukuhan jenazah petugas sandi Mataram itu telah diberangkatkan. Beberapa
orang penghuni padukuhan Klangon tampak ikut mengantar jenazah itu ke tanah pekuburan
bersama dengan beberapa pengawal padukuhan. Selain pengawal padukuhan Klangon,
Ki Jagabaya pun tampak ikut berjalan di antara mereka.
Tiba-tiba seseorang yang
rambutnya sudah putih semua dengan memakai ikat kepala yang agak rendah tanpa menarik perhatian telah berjalan
menjajari langkah Ki Jagabaya.
“Ki Jagabaya,” bisik orang
itu, “Apakah benar ada lima orang yang bermalam
di banjar sekarang ini?”
Ki Jagabaya terkejut. Dengan
cepat dia segera berpaling. Sejenak Ki Jagabaya ragu-ragu, dia hampir tidak
mengenali orang itu. Namun ketika orang itu kemudian tersenyum ke arahnya, barulah Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam.
“Benar Ki Gede,” jawab Ki
Jagabaya kemudian juga dengan berbisik sambil mengiringi langkah orang yang
dipanggilnya Ki Gede itu.
Aha... kali ini hadir nomer satu.... Maturnuwun Mbah Man... dobelannya
BalasHapusMatur nuwun Mbah_man, dobel rontal di hari Minggu... mantaap..
BalasHapusMatur nuwun mbah.
BalasHapusHujan sepanjang hari jadi ndak bisa kemana2. Moco rontal
Matur nuwun mbah Man, dpt rapelan rontal
BalasHapusAsyik pagi pagi doble rontal, matur nuwun Mbah Man
BalasHapusAlhamdulillah .... hujan deras dan hujan rontal barengan .... Matur nuwun sanget mbah man ... sangu liburannya jd nambah
BalasHapusGa sia-sia komen dobelan... ternyata rontalnya juga grujug....
BalasHapusTerima Kasih Mbah Man
BalasHapus