Minggu, 12 Februari 2017

STSD 02_04

“Kemungkinan itu memang ada. Ngger,” berkata Ki Waskita menanggapi, “Terbukti salah satu petugas sandi Mataram telah menjadi korban.”

“Agaknya mereka juga senang bermain-main dengan racun,” Ki Jayaraga memberikan pendapatnya.

Sejenak Ki Rangga terdiam. Tanpa sadar dia berpaling ke arah Ki Bango Lamatan yang terlihat hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Apakah Ki Bango Lamatan mempunyai sebuah gagasan?,” tiba-tiba Ki Rangga mengajukan sebuah pertanyaan yang membuyarkan lamunan Ki Bango Lamatan.

Untuk sejenak Ki Bango Lamatan masih menarik nafas dalam sambil menegakkan punggungnya. Jawabnya kemudian, “Ki Rangga, kedudukanku dalam kelompok ini hanyalah sebagai pelengkap. Aku dititipkan oleh Pangeran Pati atas persetujuan KI Patih Mandaraka. Sehingga apapun rencana Ki Rangga, aku akan mengikutinya.”

“Ah,” desah Ki Rangga sambil tertawa pendek, “Aku ditunjuk sebagai pemimpin kelompok ini bukan berarti aku mempunyai kekuasan mutlak untuk menjalankan rencana sesuai dengan hasil pemikiranku sendiri. Setiap anggota di dalam kelompok ini berhak untuk mengajukan pendapatnya.”

“Ki Rangga benar,” sahut Ki Jayaraga cepat, “Setiap orang dalam kelompok ini dapat mengusulkan sebuah rencana yang disesuaikan dengan keadaan. Rencana manakah yang akan kita pakai nantinya, tergantung dari hasil kesepakatan kita.”

Semua yang hadir di ruangan itu menganguk-anggukkan kepala mereka tak terkecuali Ki Bango Lamatan.

Pembicaraan itu terhenti ketika terdengar pintu berderit dan Glagah Putih muncul dari balik pintu. Sementara hujan di luar kelihatannya sudah mulai mereda. Bunyi air hujan yang memukul-mukul atap banjar padukuhan sudah tidak  sekeras dan sesering  seperti beberapa saat tadi.

“Masuklah,” berkata Ki Rangga begitu melihat adik sepupunya itu masih termangu-mangu di tengah-tengah pintu, “Apakah engkau melihat sesuatu yang perlu mendapat perhatian?”

“Jenazah itu akan diberangkatkan,” jawab Glagah Putih sambil melangkah mendekat dan kemudian duduk di sebelah gurunya, “Banjar ini rasa-rasanya telah terkepung dari segala penjuru. Aku melihat banyak pengawal yang berjaga-jaga diseputar banjar.”

“Apakah tidak sebaiknya kita ikut mengantarkan jenazah itu, ngger?” sela Ki Waskita sambil berpaling ke arah Ki Rangga.

Sejenak Ki Rangga termenung. Namun jawabnya kemudian, “Aku kira tidak perlu Ki Waskita. Kita tidak usah menunjukkan kedekatan kita dengan orang yang sudah meninggal itu. Sebaiknya kita tetap di banjar ini.”

Hampir bersamaan mereka yang hadir di ruangan itu telah menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk.

Untuk sejenak mereka yang berada di dalam ruang itu terdiam. Sementara bunyi titik-titik air hujan yang menimpa atap banjar padukuhan sudah tidak terdengar lagi. Berkata Ki Rangga kemudian, “Nah, hujan sudah benar-benar reda. Siapakah yang akan ke pakiwan terlebih dahulu?”

Tanpa menunggu jawaban yang lainnya, ternyata Glagah Putih telah berdiri kembali. Sambil melangkah ke pintu dia berkata, “Aku akan menimba air terlebih dahulu. Silahkan jika ada yang akan membersihkan diri.”

“Benar-benar anak yang baik,” sahut Ki Jayaraga yang disambut gelak tawa oleh yang lainnya.

Demikianlah ketika Glagah Putih kemudian membuka pintu butulan dan  turun ke halaman belakang, secara tidak mencolok tampak beberapa pengawal duduk-duduk bergerombol di teritisan sebelah kiri sambil bersenda-gurau. Di hadapan mereka tampak beberapa mangkuk minuman panas dan penganan.

Glagah Putih pura-pura tidak memperhatikan mereka. Diayunkan langkahnya menuju ke perigi. Setelah melepas tali senggot yang diikatkan pada sebatang bambu yang ditancapkan di sebelah perigi, sejenak kemudian Glagah Putih pun telah tenggelam dalam keasyikannya menimba air.

Dalam pada itu, di pendapa banjar padukuhan jenazah petugas sandi Mataram itu telah diberangkatkan. Beberapa orang penghuni padukuhan Klangon tampak ikut  mengantar jenazah itu ke tanah pekuburan bersama dengan beberapa pengawal padukuhan. Selain pengawal padukuhan Klangon, Ki Jagabaya pun tampak ikut berjalan di antara mereka.

Tiba-tiba seseorang yang rambutnya sudah putih semua dengan memakai ikat kepala yang agak rendah  tanpa menarik perhatian telah berjalan menjajari langkah Ki Jagabaya.

“Ki Jagabaya,” bisik orang itu,  “Apakah benar ada lima orang yang bermalam di banjar sekarang ini?”

Ki Jagabaya terkejut. Dengan cepat dia segera berpaling. Sejenak Ki Jagabaya ragu-ragu, dia hampir tidak mengenali orang itu. Namun ketika orang itu kemudian tersenyum ke arahnya, barulah Ki Jagabaya  menarik nafas dalam-dalam.


“Benar Ki Gede,” jawab Ki Jagabaya kemudian juga dengan berbisik sambil mengiringi langkah orang yang dipanggilnya Ki Gede itu.

8 komentar :

  1. Aha... kali ini hadir nomer satu.... Maturnuwun Mbah Man... dobelannya

    BalasHapus
  2. Matur nuwun Mbah_man, dobel rontal di hari Minggu... mantaap..

    BalasHapus
  3. Matur nuwun mbah.
    Hujan sepanjang hari jadi ndak bisa kemana2. Moco rontal

    BalasHapus
  4. Matur nuwun mbah Man, dpt rapelan rontal

    BalasHapus
  5. Asyik pagi pagi doble rontal, matur nuwun Mbah Man

    BalasHapus
  6. Alhamdulillah .... hujan deras dan hujan rontal barengan .... Matur nuwun sanget mbah man ... sangu liburannya jd nambah

    BalasHapus
  7. Ga sia-sia komen dobelan... ternyata rontalnya juga grujug....

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.