Selasa, 31 Januari 2017

STSD 01_21

Beberapa saat kemudian rombongan berkuda itu telah memasuki sebuah padang rumput yang luas di pinggir hutan sebelah barat padukuhan Gesik. Rombongan itu pun segera keluar dari jalur jalan setapak yang menjelujur di pinggir hutan itu. Kuda-kuda itupun kemudian  dapat berpacu dengan cepat di sela-sela gerumbul-gerumbul perdu yang banyak tersebar di padang rumput itu.

Sesekali mereka tampak mendongakkan wajah mereka ke langit. Awan yang gelap mulai tampak bergerombol dan berarak-arak di cakrawala langit sebelah barat. Kelihatannya musim kemarau akan segera  berakhir dan sudah saatnya hujan turun membasahi bumi yang kering.

“Mungkin ini akan menjadi hujan yang pertama yang akan turun,” desis Ki Waskita yang berkuda di samping Ki Rangga.

Ki Rangga mendongakkan wajahnya sekilas. Jawabnya kemudian, “Semoga sebelum hujan kita sudah memasuki padukuhan Klangon.”

Yang mendengar kata-kata Ki Rangga itupun telah mengangguk-anggukkan kepala. Mereka memang berharap tidak sampai kehujanan di tengah perjalanan.

Ketika hutan di sebelah barat padukuhan  itu menjadi semakin tipis dan pohon-pohon yang besar telah berganti dengan tanaman perdu serta semak belukar, padang rumput yang mereka lalui itu pun telah menyempit. Sejenak kemudian di hadapan mereka telah terbentang tanah pesawahan yang luas. Jalan setapak di pinggir hutan itu pun telah tersambung dengan sebuah bulak panjang. Di sepanjang bulak,  banyak pepohonan yang tumbuh atau memang sengaja ditanam di kiri kanan jalan. Sementara di langit awan hitam mulai bergerak menutupi sinar Matahari  sehingga  pemandangan di sepanjang bulak itu  terlihat  mulai remang-remang.

Sambil memperlambat laju kuda-kuda mereka, Ki Rangga dan kawan-kawannya pun kemudian membelokkan arah kuda-kuda mereka ke bulak yang sangat panjang dan sekarang  terlihat agak gelap. Angin yang dingin dan basah mulai bertiup sedikit kencang menggugurkan daun-daun yang sudah menguning dari tangkainya. Di langit sesekali halilintar mulai bersabung. Suaranya terdengar menggelegar memekakkan telinga.

“Kelihatannya para petani sudah mulai mempersiapkan tanah mereka untuk digarap,” berkata Ki Jayaraga yang berkuda di belakang Ki Rangga sambil mengamati orang-orang yang sedang bekerja di sawah. Sebagian tampak sedang memperbaiki tanggul, sebagian lainnya tampak sedang mencangkul.

“Ya, Ki Jayaraga,” sahut Ki Rangga sambil berpaling sekilas, “Apakah Ki Jayaraga tertarik untuk membantu?”

“Ah,” Ki Jayaraga tertawa pendek.  Lanjut Ki Jayaraga kemudian, “Aku lupa membawa cangkul, Ki Rangga.”

Kali ini semua orang yang berada di dalam rombongan itu tertawa cukup keras sehingga membuat orang-orang yang bekerja di sawah itu telah berpaling.

Demikianlah rombongan berkuda itu pun kemudian tanpa berusaha menarik perhatian telah berpacu kembali di bulak panjang. Dari kejauhan tampak debu yang mengepul tinggi di belakang rombongan berkuda itu.

Ketika rombongan itu telah melewati tengah-tengah  bulak, dari kejauhan mereka melihat seseorang tampak sedang duduk terkantuk-kantuk di bawah sebatang pohon di sebelah kiri jalan, hanya beberapa puluh tombak saja dari regol padukuhan Klangon.

Orang itu terlihat duduk bersila dengan kedua tangan  bersilang di dada serta kepala yang tertunduk dalam-dalam. Sebuah caping di atas kepalanya telah menutupi sebagian wajahnya.

Terasa dada Ki Rangga berdesir, demikian juga Glagah Putih. Sebagai prajurit mereka cukup mengenal tanda-tanda yang ditunjukkan oleh orang yang sedang beristirahat di tepi jalan itu.

Ki Rangga segera memberi isyarat untuk memperlambat kuda-kuda mereka begitu rombongan itu mendekati tempat orang bercaping itu duduk.

Ki Waskita sejenak mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil berpaling ke arah Ki Rangga.  Ketika Ki Rangga kemudian mengangguk, barulah Ki Waskita  menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Glagah Putih yang berkuda di samping gurunya telah berkata dengan suara yang sedikit lantang, “Angin timur atau angin barat kah yang bertiup membawa hujan kali ini?”

Tidak terdengar suara jawaban sama sekali. Bahkan ketika rombongan berkuda itu telah tepat berhenti di depannya,  orang bercaping itu  tetap pada sikapnya semula, menunduk dengan caping menutupi sebagian wajahnya.

Sejenak Ki Rangga menjadi ragu-ragu. Namun segala sesuatunya harus segera diyakinkan. Maka dengan cepat Ki Rangga segera meloncat turun dari kudanya dan bergegas  menghampiri  orang itu.

Ketika jarak Ki Rangga dengan orang itu tinggal selangkah, jantung Ki Rangga pun bagaikan berhenti berdetak. Ki Rangga melihat sesuatu yang janggal telah terjadi pada diri orang itu. Orang itu bagaikan sebuah patung yang diletakkan begitu saja di bawah pohon, sama sekali tidak bergerak. Bahkan gerakan tubuh yang menandakan bahwa dia masih bernafas pun tidak terlihat.

Tanpa meninggalkan kewaspadaan, dengan gerak cepat Ki Rangga maju selangkah sambil membungkuk.  Ketika tangan Ki Rangga kemudian terjulur untuk membuka caping itu, alangkah terkejutnya Ki Rangga. Terlihat sebuah paser kecil telah menancap dalam-dalam di leher orang itu.

“Gila!” geram Ki Rangga sambil berusaha meraba detak nadi di leher dan kedua pergelangan tangan orang itu. Namun Ki Rangga tidak menemukan apa yang dicarinya.

Perlahan Ki Rangga mengembalikan caping itu di atas kepala orang itu sambil menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang berdebaran. Ketika Ki Rangga kemudian menegakkan tubuhnya dan berbalik, yang pertama-tama dilakukannya adalah menggeleng sambil berdesis, “Orang itu telah mati.”

“Mati?” hampir serentak mereka yang masih berada di atas punggung kuda itu mengulang. Dengan bergegas mereka pun kemudian segera berloncatan turun dari atas punggung kuda masing-masing.

Sejenak kemudian kelima orang itupun telah mengerumuni orang bercaping yang telah menjadi mayat dalam keadaan duduk di bawah sebatang pohon itu.

“Paser beracun,” desis Ki Waskita sambil mengamat-amati paser yang menancap dalam-dalam di leher orang itu.

“Ya Ki Waskita,” sahut Ki Rangga, “Kelihatannya seseorang dengan sengaja telah melontarkan paser kecil itu melalui sebuah sumpit,” Ki Rangga berhenti sejenak sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Lanjutnya kemudian, “Hanya orang yang mempunyai kemampuan  tinggi  yang mampu melakukan semua ini.”

Yang mendengar keterangan Ki Rangga telah mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tentu diperlukan tenaga yang sangat kuat untuk dapat melontarkan paser kecil itu sehingga menancap hampir seluruhnya di leher orang itu.

“Bagaimana kakang,” bertanya Glagah Putih kemudian, “Menilik ciri-cirinya, dia adalah petugas sandi Mataram. Apakah kita akan menguburkannya?”

Mendengar pertanyaan Glagah Putih, Ki Rangga segera menyingkap baju orang itu untuk melihat timang ikat pinggangnya. Dan apa yang diduga oleh Glagah Putih memang benar. Timang itu bagi orang kebanyakan memang tidak akan banyak berarti, namun bagi sesama petugas sandi atau prajurit Mataram, tanda yang berada di lempengan timang itu mengandung arti tersendiri.

“Seharusnya memang demikian,” jawab Ki Rangga kemudian sambil berpaling ke arah adik sepupunya itu, “Namun kita harus mencari tempat yang layak dan tidak begitu banyak menarik perhatian  orang.”

“Baik kakang,” sahut Glagah Putih kemudian sambil maju mendekat untuk mengangkat tubuh yang sudah tak bernyawa itu.

Namun sebelum Glagah Putih menyentuh tubuh itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara teriakan riuh rendah yang berasal dari arah regol padukuhan Klangon.

Serentak mereka berpaling. Tampak berpuluh-puluh orang  sedang berlari-larian dari arah regol padukuhan Klangon menuju ke tempat mereka berkerumun.


“Tangkap pembunuh..!” teriak beberapa orang dengan senjata yang teracu.

bersambung ke STSD jilid 2

Senin, 30 Januari 2017

STSD 01_20

Kembali orang berjambang itu mengerutkan keningnya. Sekarang dia tidak hanya menoleh, namun telah menghentikan kudanya. Katanya kemudian setengah membentak, “Ada apa, he?!”

Orang yang bertubuh pendek itu sekarang benar-benar telah menggigil seperti orang kedinginan. Sambil gemetaran tangannya meraih kantong yang terikat di pelana kudanya dan kemudian diangkatnya. Katanya kemudian dengan suara yang memelas, “Kakang, barangnya tidak ada. Kantong ini kosong.”

“He?” bagaikan disambar petir di siang bolong orang berjambang itu berteriak sambil meloncat turun dari kudanya. Dengan tergesa-gesa dia segera melangkah mendekat.

Orang yang pendek dan orang yang satunya segera ikut meloncat turun. Sementara orang yang bertubuh pendek itu segera melepas tali yang mengikat kantong itu di  pelana kudanya.

Tanpa menunggu waktu lagi orang berjambang itu segera menyambar kantong yang diangsurkan kepadanya. Dengan menggeram marah dibongkarnya kantong itu yang ternyata memang kosong melompong tidak ada isinya.

“Gila..!” umpat orang berjambang itu sambil membanting kantong itu ke tanah. Sejenak matanya yang memerah darah menatap tajam ke arah orang yang bertubuh pendek yang berdiri di hadapannya dengan tubuh gemetar. Tiba-tiba saja  tangan kirinya mencengkeram leher orang itu.

“Kau? Kau?” geram orang berjambang itu dengan suara menggelegar, “Pengkianat busuk! Di mana kau sembunyikan barang-barang itu, he?!”

Orang yang bertubuh pendek itu benar-benar telah kehilangan nyali. Nyawanya rasa-rasanya sudah berada di ubun-ubun, siap untuk meloncat keluar dari raganya. Sementara wajahnya pucat pasi dengan sekujur tubuh yang telah basah kuyup oleh keringat dingin.

"Aaku.. tidak tahu Kakang.." jawab orang itu terbata-bata.

“Bohoong..! Kau memang pantas mampus!” umpat orang berjambang itu sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Siap menghancurkan kepala orang yang bertubuh pendek itu.

“Kakang tunggu!” tiba-tiba orang ketiga yang sedari tadi hanya berdiri terpaku melihat peristiwa itu segera berteriak sambil meloncat maju, “Pendek belum tentu bersalah. Aku sedari tadi berkuda di sampingnya dan kemudian di belakangnya. Aku tidak melihat dia menyentuh kantong itu kecuali beberapa saat tadi. Aku yakin, Pendek tidak akan mengkianati perjuangan kita.”

Untuk beberapa saat orang berjambang itu masih tetap pada sikapnya. Namun tiba-tiba cengkeramannya di leher orang bertubuh pendek itu semakin keras sambil berteriak, “Kalian sengaja bersekongkol untuk menipu aku, he? Kalian akan mengangkangi barang-barang itu berdua saja dan menipu aku! Sebaiknya kalian berdua  aku bunuh saja!”

Selesai berkata demikian, kembali tangan kanan orang berjambang itu terangkat tinggi-tinggi siap menghancurkan kepala orang yang selama ini telah menjadi kawan seperjuangannya.

“Kakang, ampun..kakang. Aku benar-benar tidak melakukannya..” rengek orang bertubuh pendek itu dengan suara memelas. Sementara orang yang satunya hanya dapat memandang peristiwa itu dengan wajah yang sangat tegang.

Tiba-tiba disaat yang menegangkan itu terdengar sebuah tawa terbahak-bahak memenuhi tempat itu.

Serentak ketiga orang itupun  segera berpaling ke arah mana suara tawa itu berasal.

“Ki Lurah,” hampir bersamaan ketiga orang itu berseru tertahan.

Orang yang dipanggil Ki Lurah itu tersenyum sambil melangkah mendekat. Sambil memberi isyarat kepada orang yang berjambang itu dia berkata, “Jambang, lepaskan si Pendek.”

Dengan segera  orang yang berjambang itu melepaskan cengkeramannya kepada Pendek. Begitu cengkeraman itu terlepas dari lehernya, Pendek segera menarik nafas dalam-dalam sambil melangkah mundur. Agaknya dia tidak ingin bermasalah lagi dengan si Jambang itu.

“Aku dapat menduga apa sebenarnya yang telah terjadi pada kalian,” berkata Ki Lurah kemudian, “Kalian telah menjadi korban permainan dari orang-orang yang berilmu tinggi. Namun dengan demikian kita akan menjadi lebih  waspada.”

Ketiga orang itu sejenak saling pandang. Orang berjambang itu yang akhirnya bertanya mewakili kawan-kawannya, “Maaf Ki Lurah. Kami tidak mengerti maksud Ki Lurah. Kami merasa tidak pernah bertemu atau bahkan bertempur dengan orang-orang yang berilmu tinggi.”

“Kalian memang terlalu bodoh!” geram Ki Lurah, “Bukankah seseorang telah memberikan sesuatu yang menurut kalian itu merupakan barang-barang berharga?”

“Benar Ki Lurah,” serempak mereka menjawab. Sementara si Jambang segera meneruskan, “Kami bertemu lima orang di tepian kali Krasak. Ketika aku menjelaskan kepada mereka tentang perjuangan kami, dengan serta merta salah seorang dari mereka yang terlihat paling tua telah menyerahkan sebuah keris yang berpendok emas dan bertretes berlian.”

“Itulah,” sahut Ki Lurah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Orang tua itu pasti tukang sihir, dan kalian telah disihirnya,”  Ki Lurah berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah orang-orang yang lainnya juga menyerahkan barang-barang berharga mereka?”

Kembali ketiga orang itu saling berpandangan. Seingat mereka, orang-orang yang lainnya memang hanya berdiam diri saja. Orang yang paling tua itulah yang mengambil barang-barang berharga dari mereka dan kemudian menyerahkannya.

“Tidak Ki Lurah,” jawab si Jambang yang kini mulai menyadari kebodohannya, “Memang kita mendapat tambahan beberapa barang berharga lagi, namun orang tua itulah yang mengambil dari masing-masing orang dan menyerahkannya kepadaku.”

Ki Lurah mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis perlahan, “Kemanakah  sebenarnya tujuan orang-orang itu?”

Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan tentang peristiwa yang baru saja mereka alami.

“Ki Lurah,” tiba-tiba orang yang bertubuh pendek itu membuka suara, “Apakah tidak sebaiknya kita mengejar orang-orang yang telah mempermainkan kami itu?”

Ki Lurah menggeleng sambil tersenyum masam. Jawabnya kemudian, “Tidak ada gunanya. Mereka tentu sudah jauh dan jika kita dapat menemukan mereka, aku tidak yakin kekuatan kita akan mampu untuk menghadapi mereka.”

Ketiga orang itu mengangguk-anggukkan kepala mereka mendengar jawaban Ki Lurah. Memang segala sesuatunya harus dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum bertindak.

“Sudahlah,” berkata Ki Lurah kemudian, “Kalian dapat beristirahat sebentar. Aku akan ke Perdikan Matesih untuk melaporkan kejadian ini kepada Raden Mas Harya Surengpati.”

Ketiga orang itu tidak menjawab dan hanya melangkah sambil menuntun kuda-kuda mereka mengikuti Ki Lurah menuju ke sebuah bangunan yang terletak tidak jauh dari tempat itu.

Tidak banyak yang memperhatikan bangunan itu. Sebuah bangunan yang dindingnya terbuat dari bambu dan beratap ilalang. Sebuah bangunan yang lebih cocok disebut sebuah gubuk dari pada sebuah rumah. Di gubuk itulah orang yang dipanggil Ki Lurah itu tinggal bersama  mereka.

Dalam pada itu Ki Rangga dan kawan-kawannya telah sampai di padukuhan Gesik, sebuah padukuhan kecil dan sepi. Mereka berlima sengaja tidak melewati jalan satu-satunya yang berada di padukuhan itu, namun mereka lebih senang menyusuri sebuah jalan setapak di pinggir hutan yang cukup lebat. Hutan itu melingkari padukuhan Gesik dari sebelah selatan kemudian membujur ke arah sisi barat padukuhan.


Kamis, 26 Januari 2017

STSD 01_19

Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya diikuti oleh yang lainnya.

“Apakah angger mempunyai dugaan siapakah yang dimaksud dengan Raden Mas Harya Surengpati?” bertanya Ki Waskita kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Sewaktu masih di atas tanggul tadi, orang berjambang itu telah menyebut namanya.”

Ki Rangga menggeleng. Jawabnya kemudian, “Mungkin banyak orang yang mengaku masih kerabat dekat dengan Sekar Seda Lepen dan bergabung dengan kelompok itu. Namun aku  yakin bahwa mereka masing-masing  mempunyai pamrih pribadi yang lebih kuat dibanding dengan apa yang mereka sebut sebagai sebuah perjuangan itu.”

Kembali Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya dan diikuti oleh yang lainnya.

“Kita harus membuat hubungan terlebih dahulu dengan para petugas sandi sebelum memasuki Perdikan Matesih,” berkata Ki Rangga selanjutnya, “Kita tidak tahu apakah pengaruh kelompok orang-orang yang menyebut dirinya pengikut  Trah Sekar Seda Lepen itu telah merambah sampai ke Perdikan Matesih.”

“Kemungkinan itu ada ngger,”  sahut Ki Waskita, “ Tanah Perdikan Matesih letaknya tidak jauh di sebelah barat gunung Tidar. Tidak menutup kemungkinan ada sebagian penduduk terutama para pemudanya yang menjadi murid perguruan Sapta Dhahana.”

“Dan perguruan Sapta Dhahana menurut keterangan para petugas sandi telah menjalin hubungan dengan Trah Sekar Seda Lepen,” Ki Jayaraga yang berkuda di belakang Ki Rangga menyahut.

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Menilik pengaruh para pengikut Trah Sekar Seda Lepen sudah sampai di padukuhan Salam dan sekitarnya, kuat dugaanku Perdikan Matesih pun tidak luput dari pengaruh itu.”

“Jadi bagaimana kakang?” Glagah Putih yang sedari tadi hanya diam saja tidak mampu lagi menahan hati, “Apakah kita akan tetap bermalam di Perdikan Matesih?”

“Seperti yang telah aku katakan tadi, kita membuat hubungan dengan para petugas sandi terlebih dahulu,” jawab Ki Rangga kemudian, “Petugas sandi yang terdekat berada di padukuhan Klangon.”

Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan kakak sepupunya itu. Sementara yang lainnya pun  telah ikut mengangguk-angguk pula.

Demikianlah sejenak kemudian mereka segera memacu kuda masing-masing menyusuri bulak yang cukup panjang itu sebelum mencapai hutan kecil di pinggir padukuhan Ngadiluwih.

Dalam pada itu, orang berjambang dan kedua kawannya sedang  memacu kuda-kuda mereka keluar pintu gerbang padukuhan Ngadiluwih. Setelah melewati sebuah bulak pendek, mereka akan memasuki sebuah padukuhan kecil yang selama ini mereka pergunakan sebagai tempat tinggal sementara, padukuhan Salam.

Perjalanan itu hanya memerlukan waktu yang sangat pendek. Ketika pintu gerbang padukuhan yang sangat sederhana telah mereka lalui, orang berjambang beserta kedua kawannya itu segera mengambil jalur ke kanan menyusuri sebuah jalan setapak.

Tidak banyak yang memperhatikan jalan setapak itu. Sebuah jalan setapak yang menembus pategalan yang sangat luas. Di kanan kiri jalan setapak itu tumbuh beberapa jenis pepohonan yang berkayu keras. Beberapa gerombol pohon pisang juga tampak tumbuh di beberapa tempat di sepanjang jalur jalan setapak itu.

 “Ki Lurah pasti akan terkejut melihat hasil kerja kita hari ini,” berkata orang berjambang itu kepada kedua kawannya yang berkuda di belakangnya, “Matahari baru mendekati puncaknya, namun kita sudah pulang dengan membawa hasil yang sedemikian banyaknya.”

Kedua kawannya tidak menyahut dan hanya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa sadar salah seorang telah mendongakkan wajahnya ke langit. Di sela-sela rimbunnya dedaunan, tampak Matahari memang belum sampai pada puncaknya.

Untuk beberapa saat mereka masih menyusuri jalan setapak di pinggir pategalan yang tidak terurus itu. Kelihatannya pemilik pategalan itu sudah lama tidak menengoknya dan dibiarkan saja semak belukar tumbuh subur di pategalan itu. Namun ketiga orang itu sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap keadaan di sekeliling mereka.  Masing-masing sedang berangan-angan untuk mendapatkan  hadiah dari pemimpin mereka serta di masa mendatang akan lebih dipercaya untuk melaksanakan tugas yang lebih besar.

Semakin lama jalan setapak yang mereka lalui semakin sempit sehingga mereka harus berkuda berurutan. Setelah melewati sebuah pohon randu yang batangnya sebesar hampir dua pelukan orang dewasa, mereka pun kemudian berbelok ke kiri dan melalui jalan setapak yang mulai menurun.

“Kita hampir sampai,” berkata orang berjambang itu sambil berpaling sekilas ke belakang, “Aku tidak bisa membayangkan wajah Ki Lurah yang akan terheran-heran melihat hasil kerja kita hari ini.”

Kawannya yang bertubuh pendek dan berkuda tepat di belakangnya tersenyum mendengar angan-angan orang berjambang itu. Tanpa sadar tubuhnya agak membungkuk ke depan sambil tangan kirinya meraba kantong besar yang tersangkut di pelana kudanya.

Namun alangkah terkejutnya orang yang bertubuh pendek itu. Jantungnya bagaikan berhenti berdetak dengan tiba-tiba. Tangan kirinya yang meraba kantong itu tidak menemukan sesuatu apapun. Dicobanya sekali lagi untuk meremas-remas kantong itu, namun hasilnya tetap sama. Kantong itu sama sekali kosong dan tidak ada isinya.

“Kakang..!” terdengar suaranya gemetar memanggil orang berjambang di depannya.

Orang berjambang itu mengerutkan keningnya sambil menoleh. Tanyanya kemudian, “Ada apa?”


“Kantong itu..” orang bertubuh pendek itu tidak mampu menyelesaikan kata-katanya. Dadanya rasa-rasanya telah pepat seolah tertimbun bebatuan yang longsor dari puncak bukit.

Rabu, 25 Januari 2017

STSD 01_18

Ketiga orang itu terkejut begitu melihat keris berpendok emas dan bertretes berlian di tangan Ki Waskita. Sementara Ki Rangga dan kawan-kawannya telah mengerutkan kening mereka dalam-dalam, namun itu hanya terjadi sesaat. Sejenak kemudian tampak kepala mereka terangguk-angguk.

Dengan cepat orang berjambang itu meraih keris di tangan Ki Waskita. Katanya kemudian, “Terima kasih. Bantuan Ki Sanak tidak akan pernah kami lupakan,” orang itu berhenti sejenak. Katanya kemudian sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling, “Bagaimana dengan Ki Sanak yang lain? Apakah tidak ingin menyumbangkan harta benda kalian demi sebuah perjuangan suci ini?”

Mendengar pertanyaan itu Ki waskita segera tanggap. Sambil berjalan menghampiri kawan-kawannya kecuali Glagah Putih, Ki Waskita pun berkata, “Tentu, tentu Ki Sanak. Dengan senang hati kawan-kawan kami akan ikut berderma untuk perjuangan ini.”

Segera saja di tangan Ki Waskita terkumpul beberapa benda berharga, sebuah timang emas, tiga buah cincin emas bermata merah delima dan beberapa batu permata.

Dengan sebuah senyum lebar orang berjambang itu menerima barang-barang tersebut dari tangan Ki Waskita. Kemudian katanya kepada kawannya yang bertubuh pendek kekar, “Masukkan semua ke dalam kantong di pelana kudamu. Hari ini kita benar-benar sangat beruntung.”

Kawannya segera maju untuk menerima barang-barang itu dan selanjutnya menyimpannya ke dalam sebuah kantong besar yang disangkutkan  di pelana kudanya.

“Nah, Ki sanak semua,” berkata orang berjambang itu kemudian, “Kami sangat berterima kasih atas semua bantuan kalian.  Semua ini akan aku laporkan kepada Ki Lurah. Kelak jika perjuangan kami berhasil, kalian semua pasti akan ikut menikmatinya. Sebuah Kerajaan baru akan lahir dibawah pemerintahan seorang Raja yang adil dan bijaksana sehingga akan tercipta sebuah negri yang gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja.”

Ki Rangga dan kawan-kawannya tidak menyahut. Hanya kepala mereka saja yang terlihat terangguk-angguk.

“Nah, aku mohon diri. Semoga hari kalian menyenangkan.”

Selesai berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, orang berjambang itu segera meloncat ke punggung kudanya dan diikuti oleh kawan-kawannya. Sejenak kemudian mereka segera menghela kuda masing-masing untuk berbalik arah dan kemudian berderap meninggalkan tempat itu.

Untuk beberapa saat  ketiga kuda itu masih  tampak menyeberangi kali Krasak yang airnya hanya setinggi lutut orang dewasa. Setelah kuda-kuda itu naik ke tepian dan kemudian hilang di balik tanggul yang rendah, barulah Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil bergumam, “Ternyata Ki Waskita masih senang bermain-main dengan bayangan semu. Kita harus segera meninggalkan tepian ini sebelum mereka menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi.”

“Marilah ngger,” sahut Ki Waskita kemudian, “Untung mereka tidak tertarik dengan kuda-kuda kita. Ternyata perhitungan Ki Patih Mandaraka benar.”

“Bukankah Ki Waskita juga mampu membuat bayangan semu seekor kuda atau bahkan lebih, seribu kuda barangkali?” bertanya Ki Jayaraga sambil melangkah mendekati kudanya.

“Membuat yang tidak ada menjadi seolah-olah ada, itulah ilmu bayangan semu yang sebenarnya tidak lebih dari sebuah permainan kanak-kanak,” Ki Waskita berhenti sebentar sambil membenahi pelana kudanya. Lanjutnya kemudian, “Namun jika sudah ada lima ekor kuda dan kemudian aku harus membuat bayangan semu lima ekor kuda yang lain, bagaimana aku harus menyembunyikan lima ekor kuda yang sebenarnya dari penglihatan mereka?”

Mereka yang mendengar keterangan Ki Waskita itu tampak mengangguk-anggukkan kepala. Demikian juga Glagah Putih yang sedang sibuk mempersiapkan kudanya. Sementara Ki Bango Lamatan yang selama kejadian itu hanya berdiam diri saja, telah semakin mengerti dan mendalami akan kemampuan kawan-kawan seperjalanannya.

“Selama ini aku memang ibarat seekor katak dalam tempurung,” berkata Ki Bango Lamatan dalam hati, “Ternyata Mataram memiliki sekumpulan  orang-orang yang pilih tanding dan ngedab edabi,” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak. Sambil berpaling sekilas ke arah Glagah Putih yang berkuda di sebelah Ki Jayaraga, dia kembali berkata dalam hati, “Anak muda itupun kelihatannya bukan anak muda sembarangan. Sorot matanya terlihat begitu meyakinkan serta gerak-geriknya penuh dengan kepercayaan  diri yang tinggi.”

Demikianlah, sejenak kemudian kelima ekor kuda itupun segera menyeberangi kali Krasak yang  airnya cukup dangkal untuk kemudian berpacu di bulak panjang yang menuju ke padukuhan Ngadiluwih.

“Ngger,”  berkata Ki Waskita kemudian sambil berpaling kepada Ki Rangga yang berkuda di sebelahnya, “Sebaiknya sebelum mencapai hutan kecil di depan, kita mengambil jalan ke kiri menuju ke padukuhan Gesik. Setelah itu kita menyusuri tepian kali Praga sampai memasuki padukuhan Klangon. Sebaiknya kita menghindari padukuhan Salam.”


“Ki Waskita benar,” jawab Ki Rangga, “Ketiga orang tadi menyebut-nyebut  padukuhan Salam dan agaknya sekarang sedang dalam perjalanan menuju ke sana. Kemungkinannya  mereka memang bersarang di sana.”

STSD 01_17

Ki Jayaraga yang duduk membelakangi arah datangnya kuda-kuda itu telah berpaling ke belakang. Sedangkan Ki Bango Lamatan yang sedari tadi sudah melihat kedatangan kuda-kuda itu segera berdiri dari tempat duduknya sambil mengibas-kibaskan kain panjangnya yang kotor terkena pasir di tepian.

Ketika jarak kuda yang paling depan hanya tinggal lima langkah saja, barulah dengan malasnya Ki Jayaraga bangkit berdiri sambil memutar tubuhnya.

“Selamat siang,” berkata orang yang berjambang itu sambil melompat turun dari kudanya dan diikuti oleh kedua kawannya, “Maaf jika kedatangan kami di tempat ini telah mengganggu istirahat Ki Sanak semuanya.”

Glagah Putih yang mendengar cara orang berjambang itu berbicara telah mengerutkan keningnya. Tingkah laku maupun nada suara orang berjambang itu cukup sopan dan mengenal unggah-ungguh. Padahal sewaktu di atas tanggul tadi, apa yang didengarnya sangatlah jauh berbeda. Mereka datang ke tempat itu hanyalah bertujuan untuk merampas barang-barang berharga yang dimiliki oleh Ki Rangga dan kawan-kawannya.

“O, tidak-tidak,” Ki Jayaraga lah yang menyahut sambil tersenyum lebar, “Marilah, silahkan duduk. Kami sudah terbiasa berbagi tempat. Demikian juga  jika Ki Sanak sekalian membutuhkan bekal, kami juga ada. Kami membawa  juadah bakar, ketela rebus yang dicampur dengan santan dan gula kelapa,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Tentu saja kuah santan gula kelapanya dibuat kental  agar mudah  membawanya.”

Orang berjambang itu tidak segera menjawab. Sekilas dia berpaling ke arah kawan-kawannya. Ketika orang yang pendek kekar itu menganggukkan kepalanya, orang berjambang itupun segera menjawab, “Terima kasih Ki Sanak. Kedatangan kami ke tempat ini bukan untuk beristirahat. Kami telah cukup beristirahat di padukuhan Salam tadi,” orang berjambang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Kedatangan kami adalah untuk mengajak kalian semua menyadari apa sebenarnya yang telah dan sedang terjadi di tanah ini, tanah tercinta kita ini.”

Dalam pada itu, Ki Rangga dan Ki Waskita agaknya mulai tertarik dengan percakapan itu sehingga keduanya telah berdiri dan berjalan mendekat.

“Ki Sanak,” berkata Ki Rangga kemudian sesampainya di samping Ki Jayaraga, “Kami sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan Ki Sanak. Menurut hemat kami, di tanah ini tidak sedang terjadi apa-apa? Sejak kami dilahirkan kemudian menjadi setua ini, di tanah kita yang tercinta ini keadaannya tidak pernah ada bedanya. Dari hari ke hari, minggu menjadi minggu. Bahkan telah  bertahun  tahun kami menjelajahi tanah ini dari ujung ke ujung, kami sama sekali tidak melihat adanya banyak perubahan.”

Untuk sejenak orang berjambang itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang tajam ke arah Ki Rangga, dia pun bertanya, “Siapakah kalian ini sebenarnya?”

“Kami adalah pedagang wesi aji dan perhiasan dari Prambanan,” sahut Ki Waskita yang juga telah berdiri di samping Ki Jayaraga, “Kami menjelajahi padukuhan-padukuhan untuk menawarkan barang dagangan kami,” Ki Waskita berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun kami juga siap untuk membeli barang-barang berharga yang sekiranya menarik minat kami dari siapapun.”

Sejenak mata ketiga orang itu berbinar begitu mengetahui bahwa calon mangsa yang berdiri di hadapan mereka kali ini adalah pedagang weji aji dan barang-barang berharga.

“Ki Sanak,” berkata orang berjambang itu kemudian, “Kami adalah anggota dari sekelompok orang-orang yang menginginkan perubahan. Wahyu keprabon di tanah ini seharusnya tetap tegak lurus dari Trah Majapahit. Namun pada kenyataannya wahyu keprabon sekarang telah dicuri oleh keturunan pidak pedarakan yang berasal dari Sela,” orang itu berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Apakah Ki Sanak pernah mendengar sebuah cerita tentang buah kelapa milik Ki Ageng Giring? Nah, sudah waktunya wahyu keprabon saat ini kembali kepada yang berhak.”

Dengan nada sedikit ragu-ragu Ki Jayaraga pun kemudian bertanya, “Siapakah sebenarnya yang berhak atas wahyu keprabon itu?”

Orang berjambang itu tidak segera menjawab. Sebuah senyum menghiasi wajahnya. Jawabnya kemudian, “Siapa lagi kalau bukan keturunan Pangeran Sekar Seda Lepen?”

Ki Rangga dan kawan-kawannya sejenak  tertegun. Ternyata pengaruh Trah Sekar Seda Lepen itu telah jauh menyebar dan agaknya orang-orang semacam inilah yang telah berusaha dengan tak mengenal lelah untuk menyebar luaskan pengaruh itu.

“Maaf Ki Sanak,” berkata Ki Rangga kemudian setelah beberapa saat mereka terdiam, “Bukankah Harya Penangsang sebagai keturunan Sekar Seda Lepen telah gugur di pinggir bengawan Sore? Sedangkan Harya Mataram telah hilang dan tidak ketahuan lagi rimbanya?”

“Itu bukan urusan Ki Sanak,” jawab orang berjambang itu, “Sekarang yang perlu kami ketahui adalah, apakah Ki Sanak  mendukung Trah Sekar Seda Lepen untuk kembali menduduki tahta atau tetap mendukung keturunan para petani dari Sela itu?”

Untuk beberapa saat Ki Rangga dan kawan-kawannya hanya dapat diam termangu. Sementara Glagah Putih yang masih berdiri bersandaran pada batu sebesar kerbau itu tidak ingin ikut campur. Dia telah percaya sepenuhnya kepada Ki Rangga dan orang-orang tua itu.

“Ki Sanak,” akhirnya orang berjambang itu berkata untuk memecah kesunyian, “Kalian tidak harus bergabung dengan barisan kami jika memang ingin mendukung Trah Sekar Seda Lepen untuk menduduki Tahta kembali. Ki Sanak cukup menyumbangkan benda-benda berharga yang Ki Sanak miliki. Kami memerlukan dana yang sangat besar untuk mewujudkan tanah ini kembali gemah ripah loh jinawi sebagaimana di masa kejayaan Majapahit dahulu.”

Hampir bersamaan Ki Rangga dan kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Ternyata itulah pokok permasalahan sebenarnya  yang ingin disampaikan oleh orang berjambang itu, pengumpulan dana baik secara suka rela maupun paksaan untuk mewujudkan cita-cita kelompok mereka.


Selagi Ki Rangga berpikir untuk menyelesaikan persoalan  itu tanpa menimbulkan kekerasan, tiba-tiba Ki Waskita telah maju dua langkah sambil kedua tangannya mengangsurkan sebuah keris berpendok emas dan bertretes berlian. Kata Ki Waskita kemudian, “Inilah Ki Sanak. Mungkin aku tidak bisa membantu dengan tenagaku yang sudah tua renta ini. Semoga keris ini akan bermanfaat bagi perjuangan kalian.”

Selasa, 24 Januari 2017

STSD 01_16

Dengan perlahan-lahan Glagah Putih bangkit dan kemudian duduk bersila. Ketika pandangan matanya menyapu ke sekitar tepian, tampak Ki Rangga dan yang lainnya masih tetap pada sikap mereka semula.

Ki Rangga masih tetap duduk di bawah sebatang pohon yang rindang ditemani Ki Waskita. Keduanya tampak sedang membicarakan sesuatu hal dengan sungguh-sungguh. Sementara Ki Jayaraga justru sedang bermain mul-mulan dengan Ki Bango Lamatan. Mereka membuat garis-garis di atas tanah sebagai bidang permainan serta menggunakan batu-batu kecil sebagai alat bermain.

Glagah Putih tersenyum. Orang-orang tua  kadang bersikap seperti kanak-kanak kembali, bermain mul-mulan bahkan sesekali untuk mengurangi kejenuhan mereka juga senang bermain engklek bersama anak-anak di bawah siraman Bulan purnama.

Untuk beberapa saat Glagah Putih tidak tahu harus berbuat apa. Sementara suara derap kaki-kaki kuda itu semakin keras dan akhirnya dari tanggul seberang sungai yang cukup tinggi,  muncul tiga ekor kuda dengan penunggangnya.

Sejenak ketiga penunggang kuda itu segera mengekang tali kendali kuda masing-masing. Tanpa turun dari kuda, mereka mengamat-amati Ki Rangga dan kawan-kawannya yang sedang duduk-duduk melepaskan lelah di seberang tepian.

“Orang-orang miskin,” geram seorang yang bertubuh besar dan berjambang lebat.

“Belum tentu kakang,” jawab orang yang di sebelahnya, bertubuh pendek tapi terlihat sangat kekar, “Kelihatannya saja mereka miskin. Kuda yang kecil dan cenderung kurus, pakaian yang lusuh dan wajah-wajah tak bergairah. Namun siapa tahu mereka justru menyimpan kepingan uang emas serta keris-keris yang berpendok emas dan bertretes berlian.”

“Ah, macam kau!” geram orang yang dipanggil kakang itu, “Engkau selalu bermimpi yang muluk-muluk setiap kali kita bertemu dengan calon mangsa. Ingat, di saat terakhir kita menjumpai seorang pengembara tua itu, engkau bermimpi dia membawa emas berlian di balik baju kumalnya. Ternyata yang kita jumpai benar-benar seorang gelandangan yang hampir mati kelaparan.”

Orang ketiga yang sedari tadi diam saja telah tertawa. Sementara orang yang berperawakan pendek itu hanya dapat mendengus sambil bersungut-sungut.

“Sudahlah. Lupakan saja,”  berkata orang berjambang itu sambil bergerak menghela kudanya menjauhi tanggul.

“Kakang tunggu,” tiba-tiba orang yang pendek itu berbisik, “Lihatlah timang yang dipakai orang yang sedang bermain mul-mulan itu.”

Orang berjambang yang sudah memutar kudanya itu tertegun. Tanpa sadar dia menghela kudanya mendekati tanggul kembali. Ketika matanya yang tajam itu kemudian melihat ke arah pinggang Ki Bango Lamatan, hati orang berjambang itupun berdesir tajam. Timang itu tampak berkilat-kilat tertimpa sinar Matahari yang sesekali menerobos rimbunnya dedaunan.

“Gila!” umpat orang berjambang itu kemudian, “Engkau benar. Mereka kelihatannya memang orang-orang kaya yang sedang berpura-pura miskin. Marilah. Ini kesempatan kita untuk mendapatkan hasil yang banyak dan akan semakin menambah  kepercayaan Ki Lurah kepada kita.”

“Dan di lain kesempatan kita akan dipercaya untuk melaksanakan  tugas  yang lebih menantang,” sahut orang yang ketiga.

Orang berjambang yang sudah menggerakkan kendali kudanya itu sejenak tertegun. Sambil berpaling kearah orang itu dia bertanya, “Apa maksudmu dengan tugas yang lebih menantang?”

Orang itu tersenyum. Jawabnya kemudian, “Aku sudah bosan menjadi penyamun. Mungkin sesekali kita diberi tugas untuk merampok rumah Ki Gede Matesih barangkali dan menculik anak gadisnya yang cantik itu.”

“Dan besoknya kepalamu akan dipenggal oleh Raden Mas Harya Surengpati,” geram  orang berjambang itu.

Selesai berkata demikian orang berjambang itu segera memutar kudanya menjauhi tanggul. Sedangkan kedua kawannya sejenak masih termangu-mangu sebelum akhirnya .bergerak ikut menuruni tanggul.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang sedari tadi mengawasi ketiga orang berkuda itu dengan sudut matanya telah menarik nafas dalam-dalam sambil memalingkan wajahnya ke arah kakak sepupunya. Namun tampaknya Ki Rangga dan Ki Waskita tidak memperhatikan keadaan di sekelilingnya karena sedang terlibat pembicaraan yang bersungguh-sungguh.

Glagah Putih yang tadi sempat mengetrapkan aji sapta pangrungu telah mendengar pembicaraan mereka dengan jelas. Ketiga orang berkuda itu kemungkinannya sedang mencari tanggul yang landai untuk mendekat ke arah mereka.

“Siapakah mereka itu?” bertanya Glagah Putih dalam hati sambil meluruskan kedua kakinya, “Mereka tidak mungkin hanya perampok kecil yang bernyali terlalu besar. Kelihatannya mereka tidak berdiri sendiri. Salah satu telah menyebut nama Ki Lurah dan seorang pemimpin yang agaknya sangat mereka segani, Raden Mas Harya Surengpati.”

Ada keinginan dari Glagah Putih untuk memberi tahu yang lain. Namun niat itu segera ditepisnya. Keempat orang itu adalah orang-orang yang linuwih, tentu mereka sudah mengetahui dan menyadari serta memperhitungkan kemungkinan yang dapat terjadi.

“Di sebelah timur itu agaknya ada tanggul sungai yang agak rendah dan kelihatannya memang sudah menjadi jalur jalan selama ini,” berkata Glagah Putih dalam hati kemudian sambil mengawasi tanggul sebelah timur yang berjarak sekitar lima puluh tombak, “Kemungkinannya mereka akan lewat dari tanggul yang rendah itu.”

Ternyata dugaan Glagah Putih tidak meleset. Sejenak kemudian, ketiga penunggang kuda itupun telah muncul dari balik tanggul yang rendah dan segera menghela kuda-kuda mereka untuk menyeberangi kali Krasak yang airnya hanya setinggi lutut orang dewasa.

Ketika kaki-kaki kuda itu mulai menapak tanah berpasir di tepian, Glagah Putih pun sudah tidak dapat menahan diri lagi. Dengan cepat dia segera meloncat turun dari batu besar yang didudukinya.

“Mereka telah tertarik dengan timang emas yang dipakai Ki Bango Lamatan,” berkata Glagah Putih dalam hati, “Mungkin timang itu hadiah dari Pangeran Pati karena Ki Bango Lamatan telah diangkat menjadi pengawal pribadinya.”


Untuk beberapa saat Glagah Putih masih melihat kuda-kuda itu berderap dengan lambat di atas tepian yang berpasir, namun ketiga penunggangnya dengan keras telah melecutnya. Sedangkan kuda-kuda Ki Rangga dan kawan-kawannya justru telah meringkik keras-keras  begitu kuda-kuda ketiga orang itu telah melangkah semakin dekat.

Senin, 23 Januari 2017

STSD 01_15

Beberapa saat kemudian, Pangeran Pati pun telah hadir di pringitan untuk menemui Ki Tanpa Aran.

Setelah menanyakan keselamatan dan kesehatan masing-masing, Pangeran Pati pun mulai menanyakan keperluan Ki Tanpa Aran menghadap pagi itu.

“Ampun Pangeran,” berkata Ki Tanpa Aran kemudian, “Untuk beberapa hari ke depan, mungkin satu atau dua pekan, hamba mohon ijin untuk mengurus sebuah keperluan. Jika Pangeran memerlukan hamba dalam waktu dekat ini, mungkin hamba tidak ada di tempat.”

Untuk beberapa saat Pangeran Pati termenung. Hampir saja Pangeran Pati menanyakan apa keperluan Ki Tanpa Aran, namun pertanyaan yang sudah ada di ujung lidahnya itu segera ditelannya kembali. Maka jawabnya kemudian, “KI Tanpa Aran tinggal di Ndalem Kapangeranan ini adalah atas permintaanku, sehingga jika Ki Tanpa Aran mempunyai keperluan khusus dan akan bepergian untuk beberapa hari kedepan, aku tidak mempunyai kewenangan untuk mencegah apalagi melarang.”

“Ah,” desah Ki Tanpa Aran, “Ampun Pangeran, bukan maksud hamba untuk memaksakan kehendak, namun karena suatu urusan pribadi yang sangat penting, hamba mohon ijin meninggalkan Ndalem Kapangeranan  untuk beberapa hari saja.”

Pangeran Pati tersenyum. Jawabnya kemudian, “Silahkan Ki, semoga urusan pribadi Ki Tanpa Aran segera selesai dan kembali dengan selamat ke Ndalem Kapangeranan,” Pangeran Pati berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah Ki Tanpa Aran akan menempuh perjalanan bersama Ki Rangga Agung Sedayu dan kawan-kawannya? Mereka rencananya pagi ini akan berangkat dari Istana Kepatihan menuju ke gunung Tidar.”

Tiba-tiba wajah Ki Tanpa Aran yang biasanya tenang dan sareh itu berubah tegang. Namun perubahan itu hanya sekejap. Dengan tertawa Ki Tanpa Aran pun kemudian menjawab, “Tentu tidak Pangeran. Hamba mempunyai keperluan yang berbeda dengan mereka.”

Pangeran Pati mengangguk-anggukkan kepalanya. Walaupun hanya sekejap, perubahan wajah Ki Tanpa Aran itu sempat ditangkap oleh pewaris Trah Mataram itu.

“Baiklah Ki,” berkata Pangeran Pati kemudian, “Silahkan mengurus keperluan pribadi Ki Tanpa Aran. Semoga segala sesuatunya berjalan dengan baik sesuai dengan harapan kita.”

“Terima kasih Pangeran. Hamba mohon diri,” berkata Ki Tanpa Aran kemudian.

“Kapan Ki Tanpa Aran akan berangkat?” bertanya Pangeran Pati sambil bangkit dari duduknya diikuti oleh Ki Tanpa Aran.

“Hari ini  juga Pangeran,”  jawab Ki tanpa Aran.

”Hari ini juga?” bertanya Pangeran Pati dengan wajah keheranan, “Begitu tergesa-gesa?”

“Hamba Pangeran. Hamba berharap semakin cepat hamba mengurus keperluan pribadi ini, akan semakin cepat pula urusan ini selesai.”

“Baiklah, Ki,” berkata Pangeran Pati kemudian sambil berjalan ke arah pintu pringitan, “Semoga Yang Maha Agung selalu melindungi perjalanan Ki Tanpa Aran.”

“Terima kasih Pangeran,” jawab Ki Tanpa Aran sambil mengikuti langkah Pangeran Pati menuju pintu yang membatasi pringitan dengan pendapa.

Dalam pada itu, Matahari telah memanjat semakin tinggi di langit sebelah timur. Sinarnya yang garang terasa mulai menggatalkan kulit. Lima ekor kuda berderap dengan kencang melintas di jalan tanah yang  berbatu-batu dan meninggalkan debu berhamburan yang membumbung tinggi ke udara.

“Apakah kita akan beristirahat sejenak di Kali Krasak, ngger?” bertanya Ki Waskita   kepada Ki Rangga  yang berkuda di sebelahnya.

Untuk sejenak Ki Rangga terdiam. Pandangan matanya terlempar jauh ke depan, ke titik-titik di kejauhan. Kenangannya pun terlempar ke beberapa saat yang lalu ketika menghadap Pangeran Pati di Ndalem Kapangeranan.

“Tumenggung Ranakusuma,” desis Ki Rangga dalam hati, “Dan Putri Triman itu. Aku benar-benar belum siap untuk mendapatkan kedua-duanya.”

“Bagaimana Kakang?” tiba-tiba Glagah Putih yang berkuda di belakangnya bertanya sehingga membuyarkan lamunannya.

Sejenak Ki Rangga Agung Sedayu berpaling sekilas ke belakang. Jawabnya kemudian, “Sesuai pesan Ki Patih, ada baiknya kita beristirahat sebentar di tepian kali Krasak untuk sekedar memberi waktu kuda-kuda  minum dan merumput,” Ki Rangga Agung Sedayu berhenti sebentar. Sambil berpaling ke penunggang di sebelahnya dia melanjutkan, “Ki Waskita, ada baiknya kita memasuki Perdikan Matesih sebelum senja   agar tidak banyak menarik  perhatian.”

Ki Waskita tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang tampak mengangguk-angguk. Sementara di belakangnya Glagah Putih, Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan tampak ikut mengangguk-anggukkan kepala mereka.

Demikianlah ketika jalan yang mereka lalui mulai menurun dan menikung tajam, mereka pun segera menyadari bahwa tepian kali Krasak telah semakin dekat. Dengan segera mereka memperlambat laju kuda-kuda mereka. Ketika tanah di bawah kaki kuda-kuda mereka itu mulai bercampur pasir dan bau khas air sungai serta gemuruh arus air mulai lamat-lamat terdengar , mereka pun segera menghentikan kuda-kuda mereka dan meloncat turun.

“Kita mencari tepian yang landai dan teduh,” berkata Ki Rangga sambil menuntun kudanya.

“Dan yang banyak batu-batu besarnya,” sahut Glagah Putih beberapa langkah di belakang Ki Rangga.

Ki Bango Lamatan yang berada di belakang Glagah Putih sejenak mengerutkan kening. Tanya Ki Bango Lamatan kemudian, “Untuk apa?”

Ki Jayaraga yang mendengar pertanyaan Ki Bango Lamatan itu segera menyahut, “Untuk apa lagi kalau bukan untuk alas tidur?”

Mereka yang mendengar jawaban Ki Jayaraga itu tertawa kecuali Ki Bango Lamatan. Dia hanya menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang Ki Bango Lamatan masih memerlukan waktu untuk bisa menyesuaikan diri dengan mereka.

Demikianlah ketika mereka menemukan tempat yang benar-benar nyaman untuk sekedar melepaskan lelah, kuda-kuda mereka pun sengaja di lepas agar dapat minum sepuas-puasnya serta merumput di tepian.

Glagah Putih yang melihat ada sebuah batu besar yang sedikit menjorok ke air segera meloncat ke atasnya. Sejenak kemudian anak laki-laki Ki Widura itu pun segera merebahkan dirinya dan mulai dibuai oleh rasa kantuk yang tak tertahankan.

Ketika rasa kantuk itu hampir saja membuatnya jatuh tertidur, tiba-tiba saja pendengarannya yang sangat terlatih telah mendengar sayup-sayup suara derap beberapa ekor kuda.


Pada awalnya Glagah Putih mengira suara derap kaki-kaki kuda itu berada di dalam alam mimpinya. Namun ketika suara derap kaki-kaki kuda itu terdengar semakin keras, Glagah Putih pun perlahan-lahan mulai menemukan kesadarannya kembali.