Beberapa saat kemudian
rombongan berkuda itu telah memasuki sebuah padang rumput yang luas di pinggir
hutan sebelah barat padukuhan Gesik. Rombongan itu pun segera keluar dari jalur
jalan setapak yang menjelujur di pinggir hutan itu. Kuda-kuda itupun kemudian dapat berpacu dengan cepat di sela-sela
gerumbul-gerumbul perdu yang banyak tersebar di padang rumput itu.
Sesekali mereka tampak mendongakkan
wajah mereka ke langit. Awan yang gelap mulai tampak bergerombol dan
berarak-arak di cakrawala langit sebelah barat. Kelihatannya musim kemarau akan
segera berakhir dan sudah saatnya hujan
turun membasahi bumi yang kering.
“Mungkin ini akan menjadi
hujan yang pertama yang akan turun,” desis Ki Waskita yang berkuda di samping
Ki Rangga.
Ki Rangga mendongakkan wajahnya
sekilas. Jawabnya kemudian, “Semoga sebelum hujan kita sudah memasuki padukuhan
Klangon.”
Yang mendengar kata-kata Ki
Rangga itupun telah mengangguk-anggukkan kepala. Mereka memang berharap tidak
sampai kehujanan di tengah perjalanan.
Ketika hutan di sebelah
barat padukuhan itu menjadi semakin
tipis dan pohon-pohon yang besar telah berganti dengan tanaman perdu serta
semak belukar, padang rumput yang mereka lalui itu pun telah menyempit. Sejenak
kemudian di hadapan mereka telah terbentang tanah pesawahan yang luas. Jalan
setapak di pinggir hutan itu pun telah tersambung dengan sebuah bulak panjang.
Di sepanjang bulak, banyak pepohonan yang
tumbuh atau memang sengaja ditanam di kiri kanan jalan. Sementara di langit
awan hitam mulai bergerak menutupi sinar Matahari sehingga
pemandangan di sepanjang bulak itu
terlihat mulai remang-remang.
Sambil memperlambat laju
kuda-kuda mereka, Ki Rangga dan kawan-kawannya pun kemudian membelokkan arah
kuda-kuda mereka ke bulak yang sangat panjang dan sekarang terlihat agak gelap. Angin yang dingin dan
basah mulai bertiup sedikit kencang menggugurkan daun-daun yang sudah menguning
dari tangkainya. Di langit sesekali halilintar mulai bersabung. Suaranya
terdengar menggelegar memekakkan telinga.
“Kelihatannya para petani
sudah mulai mempersiapkan tanah mereka untuk digarap,” berkata Ki Jayaraga yang
berkuda di belakang Ki Rangga sambil mengamati orang-orang yang sedang bekerja
di sawah. Sebagian tampak sedang memperbaiki tanggul, sebagian lainnya tampak
sedang mencangkul.
“Ya, Ki Jayaraga,” sahut Ki
Rangga sambil berpaling sekilas, “Apakah Ki Jayaraga tertarik untuk membantu?”
“Ah,” Ki Jayaraga tertawa
pendek. Lanjut Ki Jayaraga kemudian, “Aku lupa
membawa cangkul, Ki Rangga.”
Kali ini semua orang yang berada di dalam rombongan itu tertawa cukup keras sehingga membuat
orang-orang yang bekerja di sawah itu telah berpaling.
Demikianlah rombongan
berkuda itu pun kemudian tanpa berusaha menarik perhatian telah berpacu kembali
di bulak panjang. Dari kejauhan tampak debu yang mengepul tinggi di belakang
rombongan berkuda itu.
Ketika rombongan itu telah melewati
tengah-tengah bulak, dari kejauhan
mereka melihat seseorang tampak sedang duduk terkantuk-kantuk di bawah sebatang
pohon di sebelah kiri jalan, hanya beberapa puluh tombak saja dari regol
padukuhan Klangon.
Orang itu terlihat duduk
bersila dengan kedua tangan bersilang di
dada serta kepala yang tertunduk dalam-dalam. Sebuah caping di atas kepalanya
telah menutupi sebagian wajahnya.
Terasa dada Ki Rangga
berdesir, demikian juga Glagah Putih. Sebagai prajurit mereka cukup mengenal
tanda-tanda yang ditunjukkan oleh orang yang sedang beristirahat di tepi jalan
itu.
Ki Rangga segera memberi
isyarat untuk memperlambat kuda-kuda mereka begitu rombongan itu mendekati
tempat orang bercaping itu duduk.
Ki Waskita sejenak
mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil berpaling ke arah Ki Rangga. Ketika Ki Rangga kemudian mengangguk, barulah Ki
Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Glagah Putih yang berkuda di samping
gurunya telah berkata dengan suara yang sedikit lantang, “Angin timur atau
angin barat kah yang bertiup membawa hujan kali ini?”
Tidak terdengar suara jawaban
sama sekali. Bahkan ketika rombongan berkuda itu telah tepat berhenti di
depannya, orang bercaping itu tetap pada sikapnya semula, menunduk dengan
caping menutupi sebagian wajahnya.
Sejenak Ki Rangga menjadi
ragu-ragu. Namun segala sesuatunya harus segera diyakinkan. Maka dengan cepat
Ki Rangga segera meloncat turun dari kudanya dan bergegas menghampiri orang itu.
Ketika jarak Ki Rangga
dengan orang itu tinggal selangkah, jantung Ki Rangga pun bagaikan berhenti
berdetak. Ki Rangga melihat sesuatu yang janggal telah terjadi pada diri orang
itu. Orang itu bagaikan sebuah patung yang diletakkan begitu saja di bawah
pohon, sama sekali tidak bergerak. Bahkan gerakan tubuh yang menandakan bahwa
dia masih bernafas pun tidak terlihat.
Tanpa meninggalkan
kewaspadaan, dengan gerak cepat Ki Rangga maju selangkah sambil membungkuk. Ketika tangan Ki Rangga kemudian terjulur
untuk membuka caping itu, alangkah terkejutnya Ki Rangga. Terlihat sebuah paser kecil
telah menancap dalam-dalam di leher orang itu.
“Gila!” geram Ki Rangga
sambil berusaha meraba detak nadi di leher dan kedua pergelangan tangan orang
itu. Namun Ki Rangga tidak menemukan apa yang dicarinya.
Perlahan Ki Rangga
mengembalikan caping itu di atas kepala orang itu sambil menarik nafas
dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang berdebaran. Ketika Ki Rangga kemudian menegakkan
tubuhnya dan berbalik, yang pertama-tama dilakukannya adalah menggeleng sambil
berdesis, “Orang itu telah mati.”
“Mati?” hampir serentak mereka
yang masih berada di atas punggung kuda itu mengulang. Dengan bergegas mereka
pun kemudian segera berloncatan turun dari atas punggung kuda masing-masing.
Sejenak kemudian kelima
orang itupun telah mengerumuni orang bercaping yang telah menjadi mayat dalam
keadaan duduk di bawah sebatang pohon itu.
“Paser beracun,” desis Ki
Waskita sambil mengamat-amati paser yang menancap dalam-dalam di leher orang
itu.
“Ya Ki Waskita,” sahut Ki
Rangga, “Kelihatannya seseorang dengan sengaja telah melontarkan paser kecil
itu melalui sebuah sumpit,” Ki Rangga berhenti sejenak sambil mengedarkan
pandangan matanya ke sekelilingnya. Lanjutnya kemudian, “Hanya orang yang mempunyai
kemampuan tinggi yang mampu
melakukan semua ini.”
Yang mendengar keterangan Ki
Rangga telah mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tentu diperlukan tenaga yang
sangat kuat untuk dapat melontarkan paser kecil itu sehingga menancap hampir
seluruhnya di leher orang itu.
“Bagaimana kakang,” bertanya
Glagah Putih kemudian, “Menilik ciri-cirinya, dia adalah petugas sandi Mataram.
Apakah kita akan menguburkannya?”
Mendengar pertanyaan Glagah
Putih, Ki Rangga segera menyingkap baju orang itu untuk melihat timang ikat
pinggangnya. Dan apa yang diduga oleh Glagah Putih memang benar. Timang itu
bagi orang kebanyakan memang tidak akan banyak berarti, namun bagi sesama
petugas sandi atau prajurit Mataram, tanda yang berada di lempengan timang itu
mengandung arti tersendiri.
“Seharusnya memang
demikian,” jawab Ki Rangga kemudian sambil berpaling ke arah adik sepupunya
itu, “Namun kita harus mencari tempat yang layak dan tidak begitu banyak menarik perhatian orang.”
“Baik kakang,” sahut Glagah
Putih kemudian sambil maju mendekat untuk mengangkat tubuh yang sudah tak
bernyawa itu.
Namun sebelum Glagah Putih
menyentuh tubuh itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara teriakan riuh
rendah yang berasal dari arah regol padukuhan Klangon.
Serentak mereka berpaling.
Tampak berpuluh-puluh orang sedang
berlari-larian dari arah regol padukuhan Klangon menuju ke tempat mereka berkerumun.
“Tangkap pembunuh..!” teriak
beberapa orang dengan senjata yang teracu.
bersambung ke STSD jilid 2