Selasa, 17 Januari 2017

STSD 01_12

Dalam pada itu, langkah  Ki Waskita dan Ki Rangga telah menjadi semakin dekat dengan orang yang berperawakan tinggi itu. Sekilas Ki Rangga segera dapat menarik kesimpulan bahwa orang yang sedang mereka ikuti itu bukanlah Ki Tanpa Aran.

“Ki Tanpa Aran memiliki bentuk tubuh yang mirip dengan guru, sedang-sedang saja.” berkata Ki Rangga dalam hati, “Sedangkan orang ini berperawakan tinggi dan cenderung agak kurus.”

Sedangkan Ki Waskita yang telah banyak makam asam garamnya kehidupan, samar-samar mempunyai gambaran  tentang orang yang berperawakan tinggi itu, walaupun masih penuh keraguan.

“Sepertinya bentuk tubuh itu tidak begitu asing bagiku,” berkata Ki Waskita dalam hati, “Walaupun di Mataram ini banyak orang yang mempunyai bentuk tubuh yang  hampir sama, namun hanya sedikit yang mempunyai kemampuan ilmu kanuragan yang tinggi. Apalagi kemampuan dalam melontarkan isyarat khusus ini.”

Berbekal keyakinan itulah, Ki Waskita pun mulai menilai setiap gerak dan tingkah orang berperawakan tinggi itu.

Semakin dekat mereka dengan orang itu, dada Ki Waskita dan Ki Rangga  pun menjadi  semakin berdebaran. Ternyata orang itu telah menutupi sebagian wajahnya dengan secarik kain hitam agar  sulit untuk dikenali.

Sebenarnyalah Ki Rangga telah mencoba mengetrapkan aji sapta pandulu untuk melihat dengan jelas wajah orang itu.  Namun agaknya orang itu pun dengan  sengaja telah mengetrapkan sebuah ilmu yang dapat untuk menyamarkan jati dirinya sehingga pengamatan Ki Rangga melalui aji sapta pandulu pun mengalami kesulitan.

“Akan aku coba untuk mengenalinya dengan aji sapta panggraita,” berkata Ki Rangga dalam hati. Namun  apa yang telah dikenali oleh Ki Rangga melalui aji sapta panggraita itu justru telah membuat jantung Ki Rangga semakin berdebaran.

“Menurut bentuk wadag dan pengenalanku melalui aji sapta panggraita, memang dugaan itu mengarah kesana,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Namun semua itu masih harus tetap dibuktikan.”

Demikianlah akhirnya  kedua orang itu pun berhenti hanya beberapa langkah saja di hadapan orang yang berperawakan tinggi itu.

“Hem,” tiba-tiba orang itu mendengus keras. Katanya kemudian dengan nada yang rendah dan dalam, “Mengapa kalian mengikuti aku, he?!”

Untuk sejenak Ki Waskita dan Ki Rangga justru telah terdiam. Mereka berdua tidak menduga akan mendapatkan pertanyaan seperti itu.

“Maaf Ki Sanak,” Ki Waskita lah yang akhirnya menjawab sambil maju selangkah, “Justru kami berdua yang seharusnya mengajukan pertanyaan itu kepada Ki sanak. Untuk apa Ki Sanak melontarkan isyarat itu kepada kami berdua?”

“Gila!” umpat orang itu sambil menunjuk ke arah Ki Waskita dan Ki Rangga ganti berganti. Kali ini nada suaranya terdengar melengking aneh. Lanjutnya kemudian sambil membentak,”Kalian kira, kalian ini siapa, he?! Aku tidak pernah mengenal kalian berdua. Apalagi mengundang kalian dengan bahasa isyarat khusus ini. Ketahuilah, isyarat ini hanya diketahui oleh perguruan-perguruan besar semasa Demak lama masih berdiri. Kami para murid perguruan yang mempunyai  kepentingan bersama untuk menegakkan Demak sebagai penerus kerajaan besar Majapahit telah bersepakat dengan isyarat ini. Kalian tentu saja tidak akan memahami,” orang itu berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Pergilah  dari tempat ini sebelum orang yang aku panggil dengan isyarat ini datang. Jika orang itu telah datang, aku tidak akan bertanggung jawab terhadap apa yang akan terjadi kemudian.”

Hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sadar kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Sangat sulit untuk mengenali  orang berperawakan tinggi itu hanya dari nada suaranya. Dengan sengaja dia telah mengubah-ubah nada suaranya. Namun yang pasti, baik Ki Waskita maupun Ki Rangga telah mulai dapat menduga siapakah orang itu dari bentuk tubuh dan gerak-geriknya.

 “Ki Sanak,” Ki Rangga akhirnya membuka suara, “Ki Sanak tidak usah ingkar. Apapun alasan Ki Sanak, namun yang jelas Ki Sanak telah berusaha memancing persoalan dengan kami,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya  kemudian, “Nah, lebih baik Ki Sanak segera membuka penutup wajah Ki sanak serta  mengatakan apa sebenarnya tujuan Ki Sanak melontarkan isyarat ini?”

Orang berperawakan tinggi itu sejenak terdiam. Namun tiba-tiba terdengar suara tawanya yang meledak. Katanya kemudian di antara derai tawanya, “O, alangkah menakutkan jika harus berurusan dengan senapati agul-agulnya Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu? Siapa yang tak kenal namanya yang harum di seluruh penjuru tanah ini dari ujung ke ujung bahkan sampai ke seberang lautan,” orang itu berhenti sejenak. Kemudian sambil menggeram dia melanjutkan, “Akan tetapi aku tidak gentar. Apa yang aku takutkan dengan ilmu cambuk anak gembala di padang-padang perdu itu? Atau ilmu kakang kawah adi wuragil yang tak lebih dari permainan semu yang menjemukan? Atau ilmu lewat sorot matamu yang mampu meluluh lantakkan bukit dan mengeringkan lautan? Atau ilmumu yang mana lagi yang akan engkau banggakan di hadapanku he?”

Bagaikan disengat  kalajengking kedua orang itu terutama Ki Rangga Agung Sedayu mendengar perkataan orang berperawakan tinggi itu. Namun dengan demikian secara tidak sengaja orang itu telah sedikit banyak membuka jati dirinya sendiri. Orang itu pasti sudah mengenal secara pribadi kepada Ki Rangga Agung Sedayu, sehingga dugaan Ki Waskita dan Ki Rangga  semakin mendekati kenyataan.

Ki Waskita yang merasa lebih banyak berpengalaman dibanding dengan Ki Rangga segera maju selangkah lebih dekat sambil berkata, “Baiklah Ki Sanak. Sebenarnya kami bukanlah segolongan orang yang senang dengan keributan. Akan tetapi agaknya Ki Sanak sendiri yang memang sengaja sedang mencari perkara dengan kami.”

Sejenak orang itu tampak mengerutkan kening. Jawabnya kemudian sambil menggeram, “Silahkan! Majulah bersama-sama agar sebelum terang tanah pekerjaan  ini sudah dapat aku tuntaskan.”

Kembali Ki Waskita dan Ki Rangga saling berpandangan. Hanya satu sebenarnya yang mereka berdua perlukan untuk mengungkap jati diri orang itu, nada suara aslinya. Namun agaknya sampai saat ini orang itu masih mampu menyembunyikannya.

Akhirnya kesabaran Ki Rangga pun ada batasnya. Maka katanya kemudian sambil mengurai cambuknya, “Baiklah Ki Sanak, ternyata kita memang terpaksa harus bersilang jalan. Kami memang tidak yakin akan dapat menandingi ilmu Ki Sanak. Namun setidaknya suara ledakan cambukku ini akan memancing para prajurit yang sedang meronda untuk mendatangi tempat ini dan membantu kami bersama-sama untuk menangkap Ki Sanak.”

Selesai berkata demikian Ki Rangga segera mengangkat cambuknya dan memutarnya di atas kepala. Siap untuk meledakkan cambuknya dengan sebuah lecutan sendal pancing.

“Tunggu dulu!” tiba-tiba orang itu berteriak sambil mengangkat tangannya. Agaknya orang itu terpengaruh oleh permainan Ki Rangga sehingga tanpa sadar telah mengeluarkan nada suara aslinya.

Begitu mendengar orang itu telah berkata dengan nada suara aslinya, Ki Rangga pun segera menurunkan cambuknya dan menyimpannya kembali di balik bajunya. Sementara Ki Waskita telah menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil membungkukkan badannya dalam-dalam diikuti oleh Ki Rangga, “Mohon ampun, Ki Patih.  Jika kami berdua telah mengganggu permainan Ki Patih. Sungguh kami berdua hanya mengikuti bunyi isyarat itu tanpa mengetahui maksud yang sebenarnya.”

Tampak orang itu termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba terdengar orang itu tertawa kecil sambil merenggut secarik kain yang menutupi sebagian wajahnya. Katanya kemudian,  “Sudahlah Ki Waskita, Ki Rangga. Permainan ini kelihatannya memang kurang menarik bagi kalian berdua. Namun sesungguhnya aku memang sedang berusaha menarik perhatian seseorang untuk hadir di tempat ini.”

Hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Rangga telah menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dugaan mereka berdua memang tepat. Orang berperawakan tinggi yang menutupi sebagian wajahnya dengan secarik kain itu memang Ki Patih Mandaraka.

“Ampun Ki Patih,” berkata Ki Waskita kemudian begitu Ki Patih melangkah mendekat, “Siapakah sebenarnya yang Ki Patih kehendaki untuk hadir memenuhi panggilan isyarat itu?”

Ki Patih tersenyum sambil melangkah. Jawabnya kemudian, “Marilah kita berbincang sambil berjalan. Agaknya sudah lama sekali aku tidak berjalan-jalan menghirup udara dini hari yang begitu segar ini.”


Kedua orang itu tidak menyahut. Hanya tampak kepala mereka yang terangguk-angguk sambil mengiringi  langkah Ki Patih.

28 komentar :

  1. Alhamdulillah....
    Matur suwun....

    BalasHapus
  2. Kyai Tanpa Aran yg dipancing Ki Patih

    BalasHapus
  3. Kyai Tanpa Aran yg dipancing Ki Patih

    BalasHapus
  4. Alhamdulillah, istirahat macul mampir taman ada wedaran siap baca ...
    Matur nuwun sanget Mbah Man ...

    BalasHapus
  5. Matur nuwun mbah_man, kecele, tak kiro kiai gringsing

    BalasHapus
  6. Matur nuwun mbah. Sebenarnya siapa yang ditunggu ki patih?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sinten Nggih ki HRG ? Sanes panjenengan tho ?

      Hapus
    2. Dereng mecungul wedaran malih. Jadi belum tahu siapa nih. Yang jelas bukan saya ki dp.

      Hapus
  7. Matur nuwun Mbah Man ..... luar biasa !

    BalasHapus
  8. Matur-nuwun mBah-Man, atas Wedarannipun....

    BalasHapus
  9. Mantap ... !!! Siapakah sebenarnya yg di undang Patih Mandaraka ... ! Apakah kiayi Gringsing ..... Makasih Mbah Man

    BalasHapus
  10. Sugeng enjang ... siap siap jogging muter taman bacaan sambil nunggu wedaran siap ....sehat dan pasti keringetan ....

    BalasHapus
  11. rupanya semua sdh ada dugaan kalau ki Tanpa Aran sebenarnya adalah Kyai Gringsing, makanya dipancing dg tanda isyarat khusus ...

    BalasHapus
  12. Hadir ikut meramaikan padepokan. Matur nuwun Mbah_Man.

    BalasHapus
  13. Hadir ikut meramaikan padepokan. Matur nuwun Mbah_Man.

    BalasHapus
  14. Tiwas jogo gandok...ngarep2 dewo nganglang nggowo bokor kencono...

    BalasHapus
  15. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  16. Siji maneh meh oleh voucher nganglang padepokan.

    BalasHapus
  17. wah Ki Masinis sudah stand by di taman bacaan dan mau bagi bagi voucher ... ini tanda tanda mau turun wedaran atau tanda tanda mau bagi voucher wisata sepur klutuhuk

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.