Dalam pada itu, langkah Ki Waskita dan Ki Rangga telah menjadi semakin
dekat dengan orang yang berperawakan tinggi itu. Sekilas Ki Rangga segera dapat
menarik kesimpulan bahwa orang yang sedang mereka ikuti itu bukanlah Ki Tanpa
Aran.
“Ki Tanpa Aran memiliki
bentuk tubuh yang mirip dengan guru, sedang-sedang saja.” berkata Ki Rangga
dalam hati, “Sedangkan orang ini berperawakan tinggi dan cenderung agak kurus.”
Sedangkan Ki Waskita yang
telah banyak makam asam garamnya kehidupan, samar-samar mempunyai gambaran tentang orang yang berperawakan tinggi itu,
walaupun masih penuh keraguan.
“Sepertinya bentuk tubuh itu
tidak begitu asing bagiku,” berkata Ki Waskita dalam hati, “Walaupun di Mataram
ini banyak orang yang mempunyai bentuk tubuh yang hampir sama, namun hanya sedikit yang
mempunyai kemampuan ilmu kanuragan yang tinggi. Apalagi kemampuan dalam
melontarkan isyarat khusus ini.”
Berbekal keyakinan itulah,
Ki Waskita pun mulai menilai setiap gerak dan tingkah orang berperawakan tinggi
itu.
Semakin dekat mereka dengan
orang itu, dada Ki Waskita dan Ki Rangga
pun menjadi semakin berdebaran.
Ternyata orang itu telah menutupi sebagian wajahnya dengan secarik kain hitam agar
sulit untuk dikenali.
Sebenarnyalah Ki Rangga
telah mencoba mengetrapkan aji sapta pandulu untuk melihat dengan jelas wajah
orang itu. Namun agaknya orang itu pun
dengan sengaja telah mengetrapkan sebuah
ilmu yang dapat untuk menyamarkan jati dirinya sehingga pengamatan Ki Rangga melalui
aji sapta pandulu pun mengalami kesulitan.
“Akan aku coba untuk
mengenalinya dengan aji sapta panggraita,” berkata Ki Rangga dalam hati.
Namun apa yang telah dikenali oleh Ki
Rangga melalui aji sapta panggraita itu justru telah membuat jantung Ki Rangga
semakin berdebaran.
“Menurut bentuk wadag dan pengenalanku melalui aji sapta panggraita, memang dugaan itu mengarah kesana,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Namun semua
itu masih harus tetap dibuktikan.”
Demikianlah akhirnya kedua orang itu pun berhenti hanya beberapa
langkah saja di hadapan orang yang berperawakan tinggi itu.
“Hem,” tiba-tiba orang itu
mendengus keras. Katanya kemudian dengan nada yang rendah dan dalam, “Mengapa
kalian mengikuti aku, he?!”
Untuk sejenak Ki Waskita dan
Ki Rangga justru telah terdiam. Mereka berdua tidak menduga akan mendapatkan
pertanyaan seperti itu.
“Maaf Ki Sanak,” Ki Waskita
lah yang akhirnya menjawab sambil maju selangkah, “Justru kami berdua yang
seharusnya mengajukan pertanyaan itu kepada Ki sanak. Untuk apa Ki Sanak
melontarkan isyarat itu kepada kami berdua?”
“Gila!” umpat orang itu
sambil menunjuk ke arah Ki Waskita dan Ki Rangga ganti berganti. Kali ini nada
suaranya terdengar melengking aneh. Lanjutnya kemudian sambil membentak,”Kalian
kira, kalian ini siapa, he?! Aku tidak pernah mengenal kalian berdua. Apalagi
mengundang kalian dengan bahasa isyarat khusus ini. Ketahuilah, isyarat ini
hanya diketahui oleh perguruan-perguruan besar semasa Demak lama masih berdiri.
Kami para murid perguruan yang mempunyai kepentingan bersama untuk menegakkan Demak
sebagai penerus kerajaan besar Majapahit telah bersepakat dengan isyarat ini. Kalian
tentu saja tidak akan memahami,” orang itu berhenti sebentar. Lanjutnya
kemudian, “Pergilah dari tempat ini
sebelum orang yang aku panggil dengan isyarat ini datang. Jika orang itu telah
datang, aku tidak akan bertanggung jawab terhadap apa yang akan terjadi
kemudian.”
Hampir bersamaan Ki Waskita
dan Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sadar kedua orang itu saling
berpandangan sejenak. Sangat sulit untuk mengenali orang berperawakan tinggi itu hanya dari nada
suaranya. Dengan sengaja dia telah mengubah-ubah nada suaranya. Namun yang
pasti, baik Ki Waskita maupun Ki Rangga telah mulai dapat menduga siapakah
orang itu dari bentuk tubuh dan gerak-geriknya.
“Ki Sanak,” Ki Rangga akhirnya membuka suara,
“Ki Sanak tidak usah ingkar. Apapun alasan Ki Sanak, namun yang jelas Ki Sanak
telah berusaha memancing persoalan dengan kami,” Ki Rangga berhenti sejenak.
Lanjutnya kemudian, “Nah, lebih baik Ki Sanak
segera membuka penutup wajah Ki sanak serta mengatakan apa sebenarnya tujuan Ki Sanak
melontarkan isyarat ini?”
Orang berperawakan tinggi
itu sejenak terdiam. Namun tiba-tiba terdengar suara tawanya yang meledak.
Katanya kemudian di antara derai tawanya, “O, alangkah menakutkan jika harus
berurusan dengan senapati agul-agulnya Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu? Siapa
yang tak kenal namanya yang harum di seluruh penjuru tanah ini dari ujung ke
ujung bahkan sampai ke seberang lautan,” orang itu berhenti sejenak. Kemudian
sambil menggeram dia melanjutkan, “Akan tetapi aku tidak gentar. Apa yang aku
takutkan dengan ilmu cambuk anak gembala di padang-padang perdu itu? Atau ilmu
kakang kawah adi wuragil yang tak lebih dari permainan semu yang menjemukan?
Atau ilmu lewat sorot matamu yang mampu meluluh lantakkan bukit dan mengeringkan
lautan? Atau ilmumu yang mana lagi yang akan engkau banggakan di hadapanku he?”
Bagaikan disengat kalajengking kedua orang itu terutama Ki
Rangga Agung Sedayu mendengar perkataan orang berperawakan tinggi itu. Namun dengan demikian secara
tidak sengaja orang itu telah sedikit banyak membuka jati dirinya sendiri.
Orang itu pasti sudah mengenal secara pribadi kepada Ki Rangga Agung Sedayu, sehingga dugaan Ki Waskita dan Ki Rangga semakin mendekati kenyataan.
Ki Waskita yang merasa lebih
banyak berpengalaman dibanding dengan Ki Rangga segera maju selangkah lebih
dekat sambil berkata, “Baiklah Ki Sanak. Sebenarnya kami bukanlah segolongan
orang yang senang dengan keributan. Akan tetapi agaknya Ki Sanak sendiri yang
memang sengaja sedang mencari perkara dengan kami.”
Sejenak orang itu tampak
mengerutkan kening. Jawabnya kemudian sambil menggeram, “Silahkan! Majulah
bersama-sama agar sebelum terang tanah pekerjaan ini sudah dapat aku tuntaskan.”
Kembali Ki Waskita dan Ki
Rangga saling berpandangan. Hanya satu sebenarnya yang mereka berdua perlukan
untuk mengungkap jati diri orang itu, nada suara aslinya. Namun agaknya sampai
saat ini orang itu masih mampu menyembunyikannya.
Akhirnya kesabaran Ki Rangga
pun ada batasnya. Maka katanya kemudian sambil mengurai cambuknya, “Baiklah Ki
Sanak, ternyata kita memang terpaksa harus bersilang jalan. Kami memang tidak
yakin akan dapat menandingi ilmu Ki Sanak. Namun setidaknya suara ledakan
cambukku ini akan memancing para prajurit yang sedang meronda untuk mendatangi
tempat ini dan membantu kami bersama-sama untuk menangkap Ki Sanak.”
Selesai berkata demikian Ki Rangga
segera mengangkat cambuknya dan memutarnya di atas kepala. Siap untuk
meledakkan cambuknya dengan sebuah lecutan sendal pancing.
“Tunggu dulu!” tiba-tiba
orang itu berteriak sambil mengangkat tangannya. Agaknya orang itu terpengaruh oleh
permainan Ki Rangga sehingga tanpa sadar telah mengeluarkan nada suara aslinya.
Begitu mendengar orang itu
telah berkata dengan nada suara aslinya, Ki Rangga pun segera menurunkan
cambuknya dan menyimpannya kembali di balik bajunya. Sementara Ki Waskita telah
menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian sambil membungkukkan badannya dalam-dalam diikuti oleh Ki Rangga,
“Mohon ampun, Ki Patih. Jika kami berdua
telah mengganggu permainan Ki Patih. Sungguh kami berdua hanya mengikuti bunyi isyarat
itu tanpa mengetahui maksud yang sebenarnya.”
Tampak orang itu
termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba terdengar orang itu tertawa kecil sambil
merenggut secarik kain yang menutupi sebagian wajahnya. Katanya kemudian, “Sudahlah Ki Waskita, Ki Rangga. Permainan ini
kelihatannya memang kurang menarik bagi kalian berdua. Namun sesungguhnya aku
memang sedang berusaha menarik perhatian seseorang untuk hadir di tempat ini.”
Hampir bersamaan Ki Waskita
dan Ki Rangga telah menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Dugaan mereka berdua memang tepat. Orang berperawakan tinggi
yang menutupi sebagian wajahnya dengan secarik kain itu memang Ki Patih
Mandaraka.
“Ampun Ki Patih,” berkata Ki
Waskita kemudian begitu Ki Patih melangkah mendekat, “Siapakah sebenarnya yang
Ki Patih kehendaki untuk hadir memenuhi panggilan isyarat itu?”
Ki Patih tersenyum sambil
melangkah. Jawabnya kemudian, “Marilah kita berbincang sambil berjalan. Agaknya
sudah lama sekali aku tidak berjalan-jalan menghirup udara dini hari yang
begitu segar ini.”
Kedua orang itu tidak
menyahut. Hanya tampak kepala mereka yang terangguk-angguk sambil mengiringi langkah Ki Patih.
Alhamdulillah....
BalasHapusMatur suwun....
Matur Suwun mbah
BalasHapusMatur nuwun mbah Man ...
BalasHapusKyai Tanpa Aran yg dipancing Ki Patih
BalasHapusKyai Tanpa Aran yg dipancing Ki Patih
BalasHapusAlhamdulillah, istirahat macul mampir taman ada wedaran siap baca ...
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man ...
Penasarannya makin naik level ini Mbah Man ....
HapusMatur nuwun mbah_man, kecele, tak kiro kiai gringsing
BalasHapusMatur nuwun mbah. Sebenarnya siapa yang ditunggu ki patih?
BalasHapusSinten Nggih ki HRG ? Sanes panjenengan tho ?
HapusDereng mecungul wedaran malih. Jadi belum tahu siapa nih. Yang jelas bukan saya ki dp.
HapusMatur nuwun Mbah Man ..... luar biasa !
BalasHapusMatur-nuwun mBah-Man, atas Wedarannipun....
BalasHapusMantap ... !!! Siapakah sebenarnya yg di undang Patih Mandaraka ... ! Apakah kiayi Gringsing ..... Makasih Mbah Man
BalasHapusKiai Dandang Gulo
HapusMatur nuwun mbah.
BalasHapusMantap
Sugeng enjang ... siap siap jogging muter taman bacaan sambil nunggu wedaran siap ....sehat dan pasti keringetan ....
BalasHapusrupanya semua sdh ada dugaan kalau ki Tanpa Aran sebenarnya adalah Kyai Gringsing, makanya dipancing dg tanda isyarat khusus ...
BalasHapusHadir ..... tetap semangat !
BalasHapusHadir ikut meramaikan padepokan. Matur nuwun Mbah_Man.
BalasHapusHadir ikut meramaikan padepokan. Matur nuwun Mbah_Man.
BalasHapusTiwas jogo gandok...ngarep2 dewo nganglang nggowo bokor kencono...
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSiji maneh meh oleh voucher nganglang padepokan.
BalasHapuswah Ki Masinis sudah stand by di taman bacaan dan mau bagi bagi voucher ... ini tanda tanda mau turun wedaran atau tanda tanda mau bagi voucher wisata sepur klutuhuk
BalasHapusBetul selalu ditunggu wedarannya.
HapusHadir ..... tetap semangat !
BalasHapusTerima Kasih Mbah Man
BalasHapus