Senin, 16 Januari 2017

STSD 01_11

Dalam pada itu, begitu Rara Anjani melangkah keluar pintu, kegelapan yang pekat segera menyergapnya. Namun Rara  Anjani bukanlah perempuan kebanyakan. Dengan menajamkan indera penglihatannya, Rara Anjani tanpa ragu-ragu segera mengayunkan langkahnya menuju ke sebelah Pakiwan, ke sebuah pohon nangka yang tumbuh menjulang tinggi.

“Untung aku tadi menggunakan pakaian rangkap,” desis Rara Anjani dalam hati sambil tersenyum kecil, “Sekarang aku dapat dengan bebas mencegat Ki Rangga dengan memakai pakaian khususku.”

Namun sebelum Rara Anjani sempat melepaskan pakaian luarnya, tiba-tiba pandangan matanya yang tajam menangkap sesuatu yang aneh sedang bergerak di dahan rendah dari pohon nangka itu.

Sejenak Rara Anjani mengerutkan keningnya. Bayangan hitam itu mirip seekor kera yang cukup besar sedang bergelantungan di dahan yang rendah. Dengan tenangnya bayangan itu berayun-ayun tanpa menimbulkan suara. Seolah-olah bayangan itu terpisah dari alam sekitarnya.

Rara Anjani masih terdiam di tempatnya. Dia benar-benar tidak mengerti sedang berhadapan dengan makhluk apa. Ketika dia sedang berusaha mempertajam pandangan matanya, tiba-tiba saja makhluk itu menjatuhkan dirinya ke tanah dan menggeliding ke arahnya.

Hampir saja Rara Anjani menjerit. Untung kesadaran masih menguasai nalarnya. Dengan gerak naluriah, Rara Anjani pun bergerak mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak.

Sejenak makhluk yang aneh itu diam melingkar di atas tanah yang lembab. Tidak terlihat gerakan sama sekali kecuali hanya terdengar samar-samar tarikan nafas yang halus dan teratur.

“Siapa?” bertanya Rara Anjani menguatkan hatinya. Seumur hidup Rara Anjani memang belum pernah melihat atau pun bertemu hantu. Namun kali ini penalarannya yang sedikit  buram telah mengarah kesana.

Tidak terdengar jawaban dari benda yang lebih mirip dengan sebongkah batu padas itu. Ketika dengan memberanikan diri Rara Anjani mencoba maju selangkah, benda itu pun segera berguling menjauh dengan jarak yang sama.

Rara Anjani benar-benar menjadi tidak sabar. Ada sedikit rasa gusar yang menyelinap di dalam dadanya. Dia merasa dipermainkan oleh seseorang yang barangkali ingin menggagalkan rencananya untuk mencegat Ki Rangga Agung Sedayu.

“Siapapun Ki Sanak, aku merasa tidak punya urusan,” geram Rara Anjani. Sebagai perempuan yang telah mempelajari olah kanuragan jaya kawijayan, harga dirinya merasa terusik. Lanjutnya kemudian dengan suara sedikit membentak, “Pergilah! Atau aku akan menyingkirkan ujudmu yang sangat tidak menarik ini dari hadapanku secara paksa!”

Agaknya kali ini ujud yang mirip sebongkah batu padas itu menanggapi kata-kata Rara Anjani. Tiba-tiba ujud itu terlihat melunak dan melumer menjadi sebentuk seperti selembar kain panjang yang teronggok begitu saja di atas tanah.  Namun sebelum Rara Anjani menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya, tiba-tiba saja makhluk aneh itu melenting tinggi dan kemudian hilang dalam rimbunnya pepohonan di halaman belakang Ndalem Kapangeranan.

Jantung Rara Anjani benar-benar hampir terlepas dari tangkainya.  Ketika baru saja dia menarik nafas lega, tiba-tiba terdengar suara tertawa lirih hanya selangkah di belakangnya.

Dengan cepat Rara Anjani segera memutar tubuhnya. Tampak  hanya selangkah di hadapannya berdiri seorang yang sangat pendek dan berwajah tua bangka.

Berdesir dada Rara Anjani. Dengan cepat dia segera mengambil jarak mundur beberapa langkah. Walaupun dia adalah salah satu perempuan perkasa yang menguasai olah kanuragan jaya kawijayan, namun menghadapi seseorang yang sangat aneh di malam yang pekat itu, tidak urung membuat jantungnya bergetar juga.

“Maafkan aku Rara,” terdengar makhluk pendek itu bersuara mirip suara kanak-kanak, “Sengaja aku mengganggumu malam ini, karena terdorong oleh rasa tanggung jawabku sebagai pemomong para trah Mataram sejak Panembahan Senapati masih bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar sampai dengan saat ini cucunda Raden Mas Rangsang telah diwisuda sebagai Pangeran Pati.”

Degub di dalam dada Rara Anjani semakin kencang. Menurut pengenalannya selama ini di Ndalem Kapangeranan, tidak pernah ditemui pemomong Pangeran Pati yang berujud seperti yang sekarang ini berdiri di hadapannya. Maka jawabnya kemudian, “Ki Sanak jangan ngayawara. Aku mengetahui seluruh penghuni Ndalem Kapangeranan  ini sampai para pekatik dan jajar, emban dan pelayan,” Rara Anjani berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Tidak ada penghuni Ndalem Kapangeranan yang mempunyai ujud seperti Ki sanak ini. Apakah maksud Ki sanak yang sebenarnya?”

Tiba-tiba makhluk pendek itu mengambil ujudnya seperti batu kembali dan menggelinding menjauh. Katanya kemudian sambil tertawa lirih, “Aku adalah pemomong para calon Raja Mataram sejak raden Sutawijaya masih muda. Karena pada saat itu aku merasa ajalku sudah dekat, aku kemudian minta ijin untuk bertapa di lereng Merapi. Ternyata permohonanku dikabulkan dan aku menjadi mrayang dan diberi gelar Kiai Dandang Wesi yang bertugas memomong dan menjangkungi calon pewaris tahta Mataram turun temurun.”

Rara Anjani mengerutkan keningnya dalam-dalam. Cerita makhluk tu sama sekali tidak mengena di hatinya. Maka katanya kemudian, “ Aku tidak mengerti dengan cerita Ki Sanak dan aku juga tidak melihat adanya hubungan antara diriku pribadi dengan cerita Ki Sanak.”

Makhluk yang sekarang mengambil ujud seperti batu padas itu terdengar  tertawa. Jawabnya kemudian, “Rara adalah selir dari Pangeran Pati. Apakah aku masih harus menjelaskan hubungannya dengan tugasku?”

Kembali Rara Anjani mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Memang benar aku adalah selir Pangeran Pati. Namun Ki sanak adalah pemomong Pangeran Pati jika memang pengakuan Ki Sanak dapat dipercaya,” Rara Anjani berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Nah, silahkan Ki Sanak mengurusi momongan Ki sanak dan jangan ikut campur dengan  urusanku, karena kita sama sekali tidak ada sangkut pautnya.”

Selesai berkata demikian Rara Anjani sudah bersiap melangkah pergi kalau saja tidak didengarnya makhluk itu berkata perlahan namun telah membuat sekujur tubuh Rara Anjani menggigil.

“Apa tanggapan orang jika selir dari momonganku telah bertemu dengan laki-laki lain di tempat dan waktu yang tidak sewajarnya?”

Bagaikan disambar petir di siang bolong, Rara Anjani pun terperanjat bukan alang kepalang. Ternyata makhluk aneh itu telah mengetahui rencana rahasianya untuk menemui Ki Rangga Agung Sedayu.

“Rara,” kembali terdengar makhluk itu berbicara, namun kini terdengar nada suaranya sangat sareh, “Rara telah bersuami. Apapun yang terjadi, hargailah suami Rara. Betapapun Rara masih mencintai laki-laki itu, namun Rara sudah menjadi milik suami Rara, Pangeran Pati yang suatu saat nanti jika waktunya telah tiba akan menggantikan kedudukan Ayahandanya sebagai Raja Mataram.”

Jika saja ada batu-batu padas yang berguguran dari lereng bukit dan menimpa dadanya satu persatu, niscaya tidak akan sedahsyat rasa sakit yang mendera dadanya saat itu begitu mendengar kata-kata makhluk aneh itu yang secara langsung telah menyadarkan dirinya akan kedudukannya sekarang ini.

“Nah, kembalilah ke bilikmu Rara,” kembali makhluk aneh itu berkata dengan suara yang berat dan dalam, “Apa kata Pangeran Pati nantinya jika mendapatkan bilikmu kosong?”

Kalimat terakhir dari makhluk aneh itu benar-benar telah membuka penalaran Rara Anjani yang semula buram sedikit demi sedikit menjadi terang.

“Terima kasih Ki Sanak,” jawab Rara Anjani lirih hampir tak terdengar, “Ki Sanak telah berhasil menyadarkan aku akan perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh perempuan yang sudah bersuami.”

Terdengar sebuah tarikan nafas yang berat dari makhluk itu sebelum akhirnya dia melenting tinggi dan hilang di dalam rimbunnya dedaunan.


Sepeninggal makhluk aneh itu, Rara Anjani pun dengan kepala tunduk telah berjalan kembali memasuki Ndalem Kapangeranan melalui pintu dapur.

11 komentar :

  1. Matur nuwun Mbah Man, semakin seru .....

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah...
    sudah hadir satu rontal
    matur suwun......

    BalasHapus
  3. matur suwun mBah....
    kiai Dandang Wesi njedul maneh...sedelo maneh dolanan hantu2an

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbah Man mengajak bernostalgia pada saat pembukaan Alas Mentaok ....hantu dari Kerajaan Kajiman ....hehehe

      Matur suwun sanget Mbah Man....๐Ÿ™๐Ÿ™

      Hapus
  4. Matur nuwun mbah Man ...
    wah muncul Kyai Dandang Wesi asli, bukan yg menyamar seperti jaman membuka alas Mentaok ...

    BalasHapus
  5. kulo menika kemutan crito2 kaleh rencang, salajengipun kulo asring mestani bilih rakyat jelata rikala jaman kerajaan menika kados malaekat amargi panampinipun rakyat kala rumiyin menika menapa ingkang pun dawuh aken priyagung kedah pun lampahi kanti rilo mboten pun gagas menika leres menapa mboten sanajan kadang mboten sarujuk.
    Kados dene ingkang pun westani triman, menika ganjaran ingkang ageng menapa maleh pun tambahi pangkat saking prajurit biasa pun dadosaken Demang, menapa malih tumenggung.

    BalasHapus
  6. Matur nuwun mbah_man, waduuh tambah penasaran....

    BalasHapus
  7. Matur-nuwun mBah-Man, atas rontalnya. Baru saja membaca ulang ADBM,pembukaan alas Mentaok buku 54....

    BalasHapus
  8. matur nuwun sanget mbah man .....wedaran tombo penasaran .... makin buat penasaran .. tensi tinggi ...

    matur nuwun mbah ...

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.