Selasa, 25 September 2018

Jejak-Jejak Yang Terlupakan 02_02


“Ki Sanak,” tiba-tiba terdengar suara Lurahe padang Kerep itu membuyarkan lamunannya, “Apakah memang benar Ki Sanak mempunyai hubungan khusus dengan Resi Panji Sekar?”

Kembali Prabasemi termenung. Dia benar-benar dibuat kebingungan untuk menjawab pertanyaan dari Lurahe padang Kerep itu. Keris pusaka Kyai Panji Sekar itu memang diterima langsung dari gurunya sebelum meninggal dunia. Pesan gurunya pun saat itu sangat singkat dan jelas.

“Prabasemi,” demikian pesan gurunya ketika mereka berdua sendirian saja di senthong tengah, “Rasa-rasanya perjalananku sudah sampai ke batas. Hanya engkau muridku yang dapat aku percaya untuk menerima titipan ini sekaligus tugas yang selama ini aku bebankan di pundakku sendiri.”

Tumenggung Prabasemi mengerutkan keningnya. Tanpa terasa jantungnya berpacu semakin cepat. Dia seolah-olah merasakan bahwa saat-saat kepergian gurunya telah dekat.

“Pergilah ke padukuhan Cangkring dan bawalah keris pusaka ini,” berkata gurunya kemudian sambil mengambil sebilah keris yang tersimpan dalam sebuah wrangka berpendok emas dan bertretes berlian dari balik bajunya, “Katakan bahwa engkau ingin berjumpa dengan seseorang yang bernama Resi Panji Sekar dan serahkan keris ini kepadanya.”

“Ki Sanak,” kali ini terdengar suara Lurahe padang Kerep agak keras, “Apakah Ki Sanak mendengarkan pertanyaanku?”

Prabasemi tergagap. Sejenak diedarkan pandangan matanya ke seluruh wajah-wajah yang menatapnya dengan seribu satu pertanyaan. Maka bertanya Prabasemi kemudian, “Apakah selama ini Resi Panji Sekar telah menjadi pelindung kalian?”

“Ya,” hampir bersamaan setiap mulut telah menjawab. Lurahe padang Kerep lah yang kemudian meneruskan, “Seperti yang telah aku utarakan sebelumnya. Sebenarnya Resi Panji Sekar tidak setuju dengan cara hidup kami. Kami telah dibekali dengan berbagai ketrampilan untuk bercocok tanam dan beternak selain tentu saja ilmu olah kanuragan serba sedikit,” Lurahe berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun karena desakan kebutuhan hidup yang tak tertahankan, sesekali kami masih melakukan pekerjaan lama kami sekedar untuk menyambung hidup.”

Prabasemi tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam benaknya telah muncul berbagai dugaan tentang orang yang menyebut dirinya Resi Panji Sekar itu.

“Aku mempunyai dugaan bahwa Resi Panji Sekar itu adalah guru sendiri, menilik kebiasan guru yang sering bepergian meninggalkan padepokan untuk beberapa saat lamanya,” berkata Prabasemi dalam hati setelah menimbang-nimbang beberapa saat, “Aku yakin guru mempunyai tujuan tertentu di padukuhan Cangkring ini, dan agaknya guru telah memilih aku untuk meneruskan perjuangannya di padukuhan ini.”

“Ketahuilah kalian semua,” berkata Prabasemi pada akhirnya, “Keris pusaka Kiai Panji Sekar ini aku terima langsung dari guruku, dan aku telah menerima wasiat sebelum beliau meninggal dunia untuk menemui seseorang yang disebut Resi Panji Sekar di padukuhan Cangkring.”

Berdesir tajam dada setiap orang yang ada di padang Kerep itu. Bahkan orang yang terkena pukulan Prabasemi itu pun dengan jantung yang berdebaran telah ikut bangkit berdiri walaupun kedua lututnya masih terasa  gemetaran.

“Guruku memang tidak pernah menyebutkan dari mana beliau mendapatkan keris ini. Namun satu hal yang membuat aku berani menarik sebuah kesimpulan dari peristiwa ini, Resi panji Sekar itu adalah nama lain dari guruku,” berkata Prabasemi selanjutnya kemudian.

Untuk beberapa saat Lurahe padang Kerep dan kawan-kawannya hanya dapat saling pandang. Mereka sama sekali belum pernah mendapat gambaran tentang guru Prabasemi itu sehingga tidak berani mengambil sebuah kesimpulan.