“Ki Sanak,” tiba-tiba terdengar suara Lurahe padang
Kerep itu membuyarkan lamunannya, “Apakah memang benar Ki Sanak mempunyai
hubungan khusus dengan Resi Panji Sekar?”
Kembali Prabasemi termenung. Dia benar-benar dibuat
kebingungan untuk menjawab pertanyaan dari Lurahe padang Kerep itu. Keris
pusaka Kyai Panji Sekar itu memang diterima langsung dari gurunya sebelum
meninggal dunia. Pesan gurunya pun saat itu sangat singkat dan jelas.
“Prabasemi,” demikian pesan gurunya ketika mereka
berdua sendirian saja di senthong tengah, “Rasa-rasanya perjalananku sudah
sampai ke batas. Hanya engkau muridku yang dapat aku percaya untuk menerima
titipan ini sekaligus tugas yang selama ini aku bebankan di pundakku sendiri.”
Tumenggung Prabasemi mengerutkan keningnya. Tanpa
terasa jantungnya berpacu semakin cepat. Dia seolah-olah merasakan bahwa
saat-saat kepergian gurunya telah dekat.
“Pergilah ke padukuhan Cangkring dan bawalah keris
pusaka ini,” berkata gurunya kemudian sambil mengambil sebilah keris yang
tersimpan dalam sebuah wrangka berpendok emas dan bertretes berlian dari balik
bajunya, “Katakan bahwa engkau ingin berjumpa dengan seseorang yang bernama
Resi Panji Sekar dan serahkan keris ini kepadanya.”
“Ki Sanak,” kali ini terdengar suara Lurahe padang
Kerep agak keras, “Apakah Ki Sanak mendengarkan pertanyaanku?”
Prabasemi tergagap. Sejenak diedarkan pandangan
matanya ke seluruh wajah-wajah yang menatapnya dengan seribu satu pertanyaan.
Maka bertanya Prabasemi kemudian, “Apakah selama ini Resi Panji Sekar telah
menjadi pelindung kalian?”
“Ya,” hampir bersamaan setiap mulut telah menjawab.
Lurahe padang Kerep lah yang kemudian meneruskan, “Seperti yang telah aku
utarakan sebelumnya. Sebenarnya Resi Panji Sekar tidak setuju dengan cara hidup
kami. Kami telah dibekali dengan berbagai ketrampilan untuk bercocok tanam dan
beternak selain tentu saja ilmu olah kanuragan serba sedikit,” Lurahe berhenti
sejenak. Lanjutnya kemudian, “Namun karena desakan kebutuhan hidup yang tak
tertahankan, sesekali kami masih melakukan pekerjaan lama kami sekedar untuk
menyambung hidup.”
Prabasemi tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dalam benaknya telah muncul berbagai dugaan tentang orang yang menyebut dirinya
Resi Panji Sekar itu.
“Aku mempunyai dugaan bahwa Resi Panji Sekar itu
adalah guru sendiri, menilik kebiasan guru yang sering bepergian meninggalkan
padepokan untuk beberapa saat lamanya,” berkata Prabasemi dalam hati setelah
menimbang-nimbang beberapa saat, “Aku yakin guru mempunyai tujuan tertentu di
padukuhan Cangkring ini, dan agaknya guru telah memilih aku untuk meneruskan
perjuangannya di padukuhan ini.”
“Ketahuilah kalian semua,” berkata Prabasemi pada
akhirnya, “Keris pusaka Kiai Panji Sekar ini aku terima langsung dari guruku,
dan aku telah menerima wasiat sebelum beliau meninggal dunia untuk menemui
seseorang yang disebut Resi Panji Sekar di padukuhan Cangkring.”
Berdesir tajam dada setiap orang yang ada di padang
Kerep itu. Bahkan orang yang terkena pukulan Prabasemi itu pun dengan jantung
yang berdebaran telah ikut bangkit berdiri walaupun kedua lututnya masih
terasa gemetaran.
“Guruku memang tidak pernah menyebutkan dari mana
beliau mendapatkan keris ini. Namun satu hal yang membuat aku berani menarik
sebuah kesimpulan dari peristiwa ini, Resi panji Sekar itu adalah nama lain
dari guruku,” berkata Prabasemi selanjutnya kemudian.
Untuk beberapa saat Lurahe padang Kerep dan
kawan-kawannya hanya dapat saling pandang. Mereka sama sekali belum pernah mendapat
gambaran tentang guru Prabasemi itu sehingga tidak berani mengambil sebuah kesimpulan.