Senin, 18 Desember 2017

Jumat, 15 Desember 2017

woro-woro

Kepada para CanMen Yth,

Assalamu alaikum wr. wb
Salam sejahtera untuk kita semua
Om swasti astu

Kalau tidak ada halangan InsyaAlloh STSD jilid 8 akan diwedar hari senin tgl. 18 Des 2017.
mbah Man tidak tahu CanMen siapa saja yang berkenan mendapat rontal langsung satu jilid, atau ada yang lebih senang mengikuti secara berseri di gagak seta, dengan syarat yang sudah baca jangan membuat spoiler.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat, jika berkenan mendapat kiriman jilid 8, mohon mendaftar di sini.
Matur suwun

Wassalamu alaikum wr wb
Om shanti shanti shanti om

Padepokan Sekar Keluwih
Sidoarjo

Mbah Man

Selasa, 05 Desember 2017

woro2

@ Para CanMen yang kami hormati

Assalamu alaikum wr wb,
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua
Om Swasti Astu

sehubungan dengan padatnya kegiatan mbah man di akhir tahun, dengan ini diberitahukan bahwa STSD jilid 8 masih dalam proses dan masih memerlukan waktu sekitar dua sampai tiga minggu. Mohon para CanMen bersabar. Mohon maaf atas keterlambatan ini.
matur suwun.

salam,
mbah man

Sabtu, 25 November 2017

STSD 07_20

“Sudahlah, Menik,” berkata Pangeran Pati kemudian, “Pergilah ke bilik Rara Anjani. Beritahu dia untuk menghadap sekarang juga.”

Terasa sebuah desir yang tajam kembali menusuk jantung emban Menik. Pagi-pagi tadi Jajar Kawung memang telah memberitahunya bahwa semalam usaha mereka melenyapkan selir Pangeran itu telah gagal.

Menurut perhitungan calon suaminya itu, ada beberapa kemungkinan yang telah terjadi dan kemungkinan yang sangat mengerikan adalah jika Rara Anjani itu justru sekarang ini telah berada di dalam bilik Pangeran Pati. Namun ternyata dugaan itu  tidak sesuai dengan kenyataan. Semenjak emban Menik tadi menghadap, belum terlihat bayangan selir itu. Bahkan kini Pangeran Pati telah menjatuhkan titah untuk memanggil Selir itu menghadap.

“Kami semalam telah menyerbu bilik selir itu,” demikian pagi-pagi tadi sebelum Matahari terbit Jajar Kawung telah menemuinya di tempat biasanya mereka berdua bertemu, “Ada kesan selir itu telah meninggalkan biliknya dengan tergesa-gesa menilik pintu geledhek tempat pakaiannya terbuka dan tumpukan pakaiannya terlihat berserakan. Sepertinya dia telah mengambil beberapa lembar pakaiannya dengan tergesa-gesa.”

Sejenak emban Menik tidak dapat berkata-kata. Berbagai dugaan telah muncul dalam benaknya. Namun semua dugaan itu berakhir dengan kemungkinan yang sangat mengerikan bagi dia dan calon suaminya itu.

“Kakang,” rengek emban Menik kemudian sambil mengguncang-guncang lengan Jajar Kawung, “Aku takut, kakang. Bagaimana kalau sekarang ini selir itu justru sedang berada di bilik Pangeran? Aku tidak mau dihukum gantung, kakang.”

Emban Menik mulai terisak, namun dengan cepat Jajar Kawung mencoba menenangkannya. Katanya kemudian, “Menik, diamlah. Jangan turuti angan-anganmu yang belum tentu terjadi itu. Jika memang selir itu sekarang sedang berada di bilik Pangeran, mengapa dia membongkar tumpukan pakaiannya dengan tergesa-gesa? Jika dia memang hanya berganti baju untuk keperluan menghadap Pangeran malam tadi, tentu dia mempunyai banyak waktu hanya untuk sekedar merapikan tumpukan bajunya saja serta menutup pintu geledhek.”

Mendengar keterangan calon suaminya itu, hati emban Menik agak sedikit tenang. Namun tak urung jantungnya tetap saja berdegup kencang.

“Menik,” tiba-tiba terdengar suara Pangeran Pati membuyarkan lamunannya, “Apakah engkau mendengar perintahku?”

“Ampun Pangeran,” dengan serta merta emban Menik pun tersungkur sambil menyembah. Terdengar suaranya terbata-bata menahan rasa ketakutan yang sangat atas tindak deksuranya, “Hamba mohon ampun. Bukan maksud hamba mengabaikan perintah Pangeran. Namun sakit di tenggorokan hamba ini rupa-rupanya telah mempengaruhi pendengaran hamba juga. Mohon beribu ampun Pangeran.”

Pangeran Pati hanya dapat menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Panggraita Pangeran yang luhur ing budi itu memang telah menangkap sesuatu yang tidak wajar dengan emban kesayangannya itu. Namun Pangeran Pati belum mampu untuk menduganya.

“Pergilah, Menik,” titah pangeran Pati kemudian, “Sementara engkau juga segera bersiap untuk ikut ke Istana Ayahanda Prabu.”

Tanpa membuang waktu lagi, emban Menik segera menyembah dan kemudian melangkah surut dengan berjalan jongkok untuk mengundurkan diri dari bilik Pangeran Pati.

Sepeninggal emban Menik, untuk beberapa saat Pangeran Pati masih termenung. Laporan Rara Anjani semalam sedikit banyak mulai menyentuh hatinya begitu melihat dengan mata kepala sendiri sikap emban Menik yang aneh dan tidak seperti biasanya.

Dalam pada itu, emban Menik yang telah keluar dari bilik Pangeran Pati dengan tergesa-gesa segera menuju ke bilik Rara Anjani yang terletak di dekat taman dalam ndalem Kapangeranan. Setibanya di depan pintu bilik, dengan perlahan-lahan diketuknya daun pintu itu.

“Rara, ” berkata emban Menik kemudian di sela-sela ketukannya di daun pintu bilik, "Perkenankan hamba, emban Menik untuk menghadap."

Namun tidak terdengar jawaban sama sekali dari dalam bilik. Ketika emban Menik kemudian mengulanginya sekali lagi, tetap saja tidak ada jawaban.

“Mungkin benar dugaan kakang Jajar Kawung,” berkata emban Menik dalam hati sambil mendorong pintu bilik yang tidak diselarak itu perlahan, “Selir itu memilih meninggalkan ndalem Kapangeranan. Namun untuk tujuan apa?”

Ketika daun pintu bilik itu telah terbuka lebar, dengan jelas emban Menik dapat melihat ruang bilik yang rapi namun kosong melompong. Tidak terlihat bayangan selir Pangeran itu di dalam bilik.

“Rara?” tanpa sadar bibirnya berdesis perlahan, “Di manakah Rara? Hamba ingin menghadap.”

Namun sama sekali tidak terdengar suara jawaban dari dalam bilik yang kosong itu. Ketika dengan langkah ragu-ragu emban Menik kemudian melangkahkan kakinya memasuki bilik itu, tiba-tiba terdengar seseorang bergumam hanya selangkah saja di belakangnya.

Dengan cepat emban Menik segera memutar tubuhnya. Namun  alangkah terkejutnya calon istri jajar Kawung itu begitu menyadari yang berdiri di hadapannya adalah Pangeran Pati itu sendiri.

“Ampun Pangeran,” desis emban Menik hampir tak terdengar. Dengan cepat dia segera menjatuhkan diri bersimpuh di hadapan Pangeran Pati sambil menyembah dalam-dalam.

Pangeran Pati tertegun sejenak menanggapi sikap emban Menik itu. Namun tanpa mengucapkan sepatah katapun Pangeran yang semasa mudanya bernama Raden Mas Rangsang itu segera melangkahkan kakinya memasuki bilik.

Untuk beberapa saat Pangeran Pati  berjalan memutari ruangan yang cukup luas itu. Disentuhnya pembaringan yang terlihat rapi perlahan seolah ingin meyakinkan bahwa pembaringan itu semalam memang tidak dipergunakan.

Selesai dari pembaringan, Pangeran Pati kemudian menuju ke geledhek yang terbuat dari kayu jati berukir indah dan rumit. Dengan perlahan  di bukanya pintu geledhek itu untuk melongok isinya.

Sejenak terlihat kerut-merut di dahi calon pewaris tahta Mataram itu. Pandangannya yang tajam serta panggraitanya yang melebihi orang kebanyakan segera meraba sesuatu yang janggal telah terjadi di dalam bilik selir terkasihnya itu.

Pangeran Pati  menarik nafas dalam-dalam sambil perlahan menutup pintu geledhek. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, dia pun kemudian berjalan menjauhi geledhek itu.

“Mengapa engkau pergi tanpa pamit, Rara Anjani,” keluh Pangeran Pati dalam hati sambil berjalan menuju ke pintu, “Agaknya engkau tidak ingin mempunyai kenangan sedikit pun dengan istana Kapangeranan ini menilik tidak ada selembar pakaianpun yang berasal dari hadiahku yang engkau bawa. Engkau hanya membawa pakaianmu sendiri untuk menyingkir,” sejenak Pangeran Pati itu berhenti  di dekat ujung pembaringan. Sambil melangkahkan kakinya Pangeran Pati itu pun kemudian kembali berangan-angan, “Hanya ada dua kemungkinan kemana tujuan kepergianmu, ke Menoreh atau ke gunung Kendalisada.”

Namun Pangeran Pati itu agaknya lebih cenderung menduga selirnya itu pergi ke gunung Kendalisada.

“Tidak mungki Rara Anjani ke Menoreh,” berkata Pangeran pati kemudian dalam hati, “Dia pasti berusaha merahasiakan kepergiannya dari ndalem Kapangeranan ini. Apa kata orang-orang Menoreh jika dia muncul disana? Kemungkinan terbesar dia pergi ke gunung Kendalisada.”

Ketika tampak oleh Pangeran Pati itu emban Menik yang masih bersimpuh di dekat pintu bilik, Pangeran Pati pun kemudian berkata, “Menik, jangan pikirkan kemana perginya bendaramu. Sekarang juga berkemaslah. Ajak calon suamimu ikut serta dalam rombongan ndalem Kapangeranan. Sebelum Matahari sepenggalah, kita sudah harus sampai di Istana Ayahanda Prabu.”

Emban Menik tidak menjawab, hanya menyembah sampai hidungnya hampir menyentuh lantai.

Dalam pada itu di halaman belakang kediaman Ki Gede Matesih, cantrik Gatra Bumi tampak sedang menimba di perigi untuk mengisi Pakiwan. Derit senggot terdengar teratur bersamaan dengan naik turunnya pelepah daun jambe yang dipergunakan untuk menampung air dari perigi.

Memang sudah menjadi kebiasaan cantrik Gatra Bumi untuk mengisi pakiwan di pagi hari. Selepas menunaikan kewajibannya kepada Yang Maha Agung bersama Ki Ajar dan beberapa penghuni kediaman Ki Gede, cantrik Gatra Bumi pun memerlukan waktu untuk mengisi  Pakiwan di halaman belakang. Sementara Ki Ajar duduk kembali di pendapa dengan semangkuk minuman hangat dan beberapa penganan.

Cantrik Gatra Bumi begitu asyiknya mengisi Pakiwan sehingga tanpa menyadari bahwa tiga orang laki-laki telah meloncati dinding belakang rumah Ki Gede.

“Ki Jagabaya, ada orang sedang di perigi,” terdengar salah seorang yang berperawakan tinggi kurus berdesis perlahan.

Ki Jagabaya mengerutkan keningnya sambil mengarahkan pandangan matanya ke arah perigi. Tampak seorang anak muda dengan asyiknya sedang mengambil air.

“Apa peduli kita?” geram yang lain. Suaranya terdengar mirip suara burung hantu.

Sejenak Ki Jayabaya berpikir. Namun akhirnya dia pun berkata, “Bengkring, bungkam anak muda itu agar tidak mengganggu tugas kita.”

Tanpa menunggu perintah itu diulangi, orang tinggi kurus yang dipanggil Bengkring itu dengan langkah lebar segera menuju ke perigi.

“Kita langsung memasuki rumah induk lewat dapur,” berkata Ki Jagabaya kemudian sepeninggal Bengkring, “Jangan segan-segan melumpuhkan setiap orang yang ingin menghalangi usaha kita. Kita langsung ke ruang dalam. Bilik Ratri berada di ruang dalam berseberangan dengan bilik Ki Gede. Usahakan kita dapat membawa Ratri tanpa sepengetahuan pemomongnya. Semakin cepat gerakan kita akan semakin baik agar para pengawal di regol depan tidak menyadari apa yang sedang terjadi.”

“Bagaimana dengan perempuan-perempuan yang ada di dapur?” bertanya orang yang suaranya mirip burung hantu itu.

“Buat mereka pingsan tanpa menimbulkan suara,” jawab Ki Jagabaya kemudian sambil melangkah mendekati pintu dapur yang terlihat tertutup.

Ketika pintu dapur itu tinggal tiga langkah saja, tanpa sadar Ki Jagabaya berpaling ke belakang, ke arah perigi.

Namun alangkah terkejutnya Ki Jagabaya. Dari tempatnya berdiri Ki Jagabaya dengan jelas melihat anak muda itu tetap dengan asyiknya mengambil air dari perigi dan kemudian menuangkannya ke saluran yang menghubungkan ke pakiwan. Sementara orang yang bernama Bengkring itu sama sekali tidak tampak batang hidungnya.

“Gila!” geram Ki Jagabaya sambil memutar tubuhnya, “Kemana perginya si Bengkring?”

Kawan Ki Jagabaya yang suaranya mirip burung hantu itu menjadi heran melihat kelakuan Ki Jagabaya. Tanpa sadar dia ikut berpaling ke belakang mengikuti arah pandang Ki Jagabaya.

“He?!” seru orang itu dengan suara tertahan sambil memutar tubuhnya, “Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Mengapa Bengkring tidak jadi membungkam anak muda itu?”

“Marilah!” geram Ki Jagabaya kemudian sambil melangkah menuju perigi, “Agaknya Bengkring terlalu menganggap remeh anak muda itu. Menilik bentuk tubuhnya serta otot-otot yang menonjol di sepanjang lengannya, anak muda itu tidak boleh dianggap enteng!”

Kawan Ki Jagabaya itu sejenak mengerutkan keningnya sambil memandang ke sekeliling perigi. Tiba-tiba saja pandangan matanya yang tajam telah menangkap bayangan sepasang telapak kaki yang tampak  tersembul di antara lebatnya semak-semak di dekat perigi.

“Syetaan..!” serunya sambil meloncat mendahului Ki Jagabaya, “Anak muda itu telah mencederai Bengkring!”

Ki Jagabaya terkejut mendengar seruan kawannya. Tanpa berpikir panjang dia pun segera berlari menyusul kawannya itu.

Namun alangkah herannya Ki Jagabaya dan kawannya itu. Sesampainya mereka berdua di depan perigi, anak muda itu tetap saja dengan asyiknya menimba air tanpa memperdulikan kehadiran kedua orang itu.

“Iblis.!” Geram Ki Jagabaya kemudian sambil bertolak pinggang, “Siapa kau sebenarnya, he?!”

Anak muda itu sejenak menghentikan pekerjaannya. Sambil mengangguk hormat dia pun kemudian menjawab, “Namaku cantrik Gatra Bumi. Aku adalah tamu di rumah ini, namun sudah menjadi kebiasaanku untuk membantu mengisi Pakiwan di mana pun aku menginap. Jika Ki Sanak berdua ingin menggantikan pekerjaanku, lebih baik tidak usah saja. Ki Sanak dapat bergantian mandi di Pakiwan tanpa harus mengisinya.”

Ki Jagabaya dan kawannya itu sejenak bagaikan membeku di tempatnya. Mereka sama sekali tidak menyangka jika anak muda itu dengan sangat tenangnya menjawab pertanyaan Ki Jagabaya. Bahkan terkesan meremehkan keberadaan mereka berdua.

Namun suasana itu tidak berlangsung lama. Kawan Ki Jagabaya yang bersuara mirip burung hantu itu dengan teriakan menggelegar telah meloncat menerjang anak muda itu dengan tumit terjulur mengarah dada.

Ki Jagabaya terkejut melihat kawannya itu begitu saja  meloncat menerjang ke arah cantrik Gatra Bumi. Padahal di antara keduanya terpisah oleh sebuah perigi yang cukup dalam. Jika anak muda yang mengaku bernama cantrik Gatra Bumi itu berani mengadu kekuatan dengan membenturkan kekuatannya melawan serangan lawannya, tentu akibatnya dapat mencelakakan orang itu sendiri.

Ternyata apa yang menjadi kekhawatiran Ki Jagabaya itu terjadi. Sambil melepaskan tali senggot di tangannya, cantrik Gatra Bumi segera melangkah surut sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Siap membenturkan kekuatannya dengan kekuatan serangan lawan.

Yang terjadi kemudian adalah sangat diluar dugaan kawan Ki Jagabaya itu. Tumit kaki kanannya bagaikan membentur dinding batu setebal satu depa sehingga kekuatan serangannya pun membalik dan melontarkannya ke belakang.

Ketika tubuh itu terpental ke belakang, tanpa dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, tubuh kawan Ki Jagabaya itu justru telah meluncur ke dalam perigi.

Untunglah Ki Jagabaya tanggap dan sudah menduga kemungkinan terburuk yang dapat terjadi dengan kawannya itu. Secepat kilat Ki Jagabaya segera menyambar lengannya dan menariknya ke belakang.

Karena keadaan yang tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan yang matang, tubuh kawan Ki Jagabaya itu akhirnya justru telah terlontar ke belakang beberapa langkah sebelum akhirnya jatuh terjerembab di atas tanah. Ternyata Ki Jagabaya terlalu kuat menariknya sehingga kawannya itu bagaikan dihentakkan ke belakang tanpa mampu menguasai keseimbangannya.

“Syetaan.., ibliiss..,gendruwo..,tetekan..!!” umpat kawan Ki Jagabaya itu berulang-ulang sambil merangkak bangun. Diusapnya wajahnya yang penuh  debu itu dengan ujung lengan bajunya.

Sejenak Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Sebagai orang yang telah lama berkecimpung dalam dunia olah kanuragan, dia segera maklum bahwa anak muda yang berada di hadapannya itu sedikit banyak telah memiliki bekal olah kanuragan yang cukup.

“Dengan mundur selangkah dia berusaha mengurangi kekuatan yang tersimpan dalam serangan lawannya,” demikian Ki Jagabaya berkata dalam hati sambil sepasang matanya tak lepas mengawasi anak muda itu, “Benar-benar sebuah perhitungan yang cerdik. Jika kekuatan mereka berdua pun seimbang, tetap saja Panut akan terlempar masuk ke dalam perigi.”

Namun kawan Ki Jagabaya yang bernama Panut itu ternyata tidak menyadari kesalahannya. Dengan muka yang merah padam menahan kemarahan yang sudah mencapai ubun-ubun, dia segera berteriak lantang, “Anak gila! Kemarilah! Jangan bertempur dengan berlindung  di belakang perigi! Aku tantang engkau berperang tanding di halaman belakang ini!”


Namun belum sempat cantrik Gatra Bumi itu menjawab, mereka bertiga telah dikejutkan oleh suara derit pintu dapur yang terbuka. Serentak ketiga orang itupun segera  berpaling.

Di tengah-tengah pintu dapur yang terbuka lebar itu tampak berdiri termangu-mangu seorang gadis yang cantik putri satu-satunya kepala Tanah Perdikan Matesih, Ratri.

bersambung ke jilid 8

Jumat, 17 November 2017

STSD 07_19

“Ki Bango Lamatan?” desis Ki Jayaraga dengan suara bergetar begitu mengenali orang yang tertelungkup itu. Tanpa membuang waktu Ki Jayaraga pun segera bergegas mendekatinya.

Dengan cepat tubuh yang tertelungkup itu segera diterlentangkan. Tampak sepercik darah segar meleleh dari salah satu sudut bibir Ki Bango Lamatan.

“Lukanya semakin parah,” desis Ki Jayaraga sambil mencoba menelusuri urat nadi yang ada di pergelangan tangan kemudian dengan cepat berpindah ke pangkal leher.

“Sangat lemah sekali,” gumam guru Glagah Putih itu, “Apa sebenarnya yang telah terjadi? Mengapa Ki Bango Lamatan tadi sempat menghilang dari tempat ini, kemudian muncul lagi justru dalam keadaan yang bertambah parah?”

Namun sebenarnyalah Ki Jayaraga mulai dapat meraba kejadian apa yang telah menimpa Ki Bango Lamatan.

“Ah, sudahlah," desis Ki Jayaraga kemudian sambil duduk bersila tepat di sebelah tubuh Ki Bango Lamatan yang terbujur diam, “Aku harus segera membantunya untuk melonggarkan jalan nafasnya serta melancarkan peredaran aliran darahnya.”

Sejenak kemudian Ki Jayaraga segera memusatkan segenap nalar dan budinya untuk mengungkapkan tenaga cadangannya. Kedua telapak tangannya pun segera diletakkan  di atas dada orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu.

Dalam pada itu, pertempuran di depan pintu gerbang padepokan Sapta Dhahana pun menjadi semakin sengit. Agaknya para cantrik menjadi kesulitan untuk menutup kembali pintu gerbang yang telah terbuka beberapa jengkal itu karena selaraknya telah patah. Para cantrik di sebelah dalam dari pintu gerbang sebelah menyebelah itu dengan sekuat tenaga berusaha untuk mendorong pintu agar tertutup kembali. Namun para pengawal yang merasa sudah mampu mematahkan selarak pintu itu pun telah beramai-ramai mendorong kedua belah daun pintu yang tinggi dan lebar itu bersama-sama dari luar agar terbuka lebih lebar lagi. Sementara beberapa pengawal telah terlibat pertempuran yang sengit di sela- sela pintu yang semakin melebar itu.

“Dorong teruus..!” teriak beberapa pengawal di sebelah menyebelah pintu.

“Serbuuu..!” teriak pengawal yang lain memberi semangat kawan-kawannya.

“Maju terus..! Taruh batang pohon itu di tengah-tengah pintu..!” teriak Ki Kamituwa yang sedang memimpin pertempuran di depan pintu gerbang.

Para pengawal Matesih yang mendengar perintah itu segera tanggap. Dengan cepat para pengawal yang memanggul batang pohon itu segera maju lagi beberapa langkah menerobos pertempuran yang sengit di sela-sela pintu gerbang.

“Biarkan kami lewat..!” teriak salah satu pengawal yang memanggul batang pohon di paling depan, “Kita akan meletakkan batang pohon ini di sela-sela pintu gerbang agar mereka tidak dapat menutup kembali..!”

Para pengawal yang sedang bertempur di depan pintu gerbang itu pun maklum dengan maksud kawan-kawannya. Maka sejenak kemudian beberapa dari mereka segera memberi jalan sedangkan yang lain tetap bertempur untuk mencegah lawan mempunyai kesempatan menutup pintu gerbang kembali.

Namun pekerjaan itu ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Begitu tekanan para pengawal itu menjadi sedikit berkurang, para cantrik pun segera mengerahkan kekuatan mereka untuk mengusir para pengawal yang sedang bertempur di tengah-tengah pintu gerbang. Sedangkan beberapa cantrik yang lain telah membantu usaha untuk mendorong kedua pintu gerbang sebelah menyebelah agar menutup kembali. Sementara dua orang cantrik telah siap dengan sebuah selarak pintu yang lain sebagai pengganti selarak yang telah patah.

“Jangan mundur..!” teriak Ki Gede memberi semangat pasukan pengawalnya begitu melihat mereka yang berada di tengah-tengah pintu gerbang  itu mulai bergeser setapak demi setapak ke belakang karena tekanan lawan.

Betapa para pengawal yang berada di tengah-tengah pintu gerbang itu mengalami tekanan yang dahsyat. Beberapa pengawal yang berusaha mendorong pintu sebelah menyebelah gerbang itu dari luar  telah mendapat perlawanan yang sengit para cantrik dari balik pintu gerbang. Dalam beberapa saat terjadilah usaha saling dorong dengan serunya.

Holopis kuntul bariis..!” teriak seorang pangawal

Holopis kuntul bariis..!” sahut kawan-kawannya serempak sambil menghentakkan kekuatan mereka mendorong pintu gerbang itu agar semakin terbuka.

Namun para cantrik yang berada di balik pintu gerbang tidak tinggal diam. Mereka pun dengan serempak mendorong pintu gerbang itu agar bergeser dan menutup kembali.

Siji..loro...telu..hayooo..!”

Siji…loro..telu..hayooo..!”

Demikian itu teriakan para cantrik sambil menghentakkan kekuatan mereka sehingga daun pintu gerbang yang tinggi dan besar itu terdengar  berderak-derak diguncang oleh dua kekuatan yang hampir seimbang.

Dalam pada itu, para cantrik yang telah turun dari atas dinding padepokan ternyata telah memanjat naik kembali. Mereka dengan tangkas segera menghujani para pengawal yang sedang berusaha mendorong pintu gerbang sebelah menyebelah dengan puluhan anak panah.

Jerit pekik kesakitan serta sumpah serapah pun terdengar seiring dengan hujan panah dari atas dinding. Namun dengan sigapnya para pengawal yang berperisai segera melindungi kawan-kawan mereka walaupun tak urung korban pun telah berjatuhan.

Melihat lawan kembali naik ke atas dinding dan menghujani pengawal yang di dekat pintu gerbang dengan anak panah, pasukan pengawal yang bersenjatakan panahpun tanpa di beri aba-aba oleh pemimpin mereka segera membalas serangan itu.

Serangan yang tiba-tiba itu ternyata telah mengejutkan para cantrik yang berada di atas dinding. Beberapa anak panah memang telah memakan korban. Namun agaknya para cantrik yang berada di atas dinding itu tidak mau menanggung akibat yang mungkin akan semakin parah. Dengan cepat para cantrik itu pun segera menghilang di balik dinding.

Demikianlah pertempuran di depan pintu gerbang itu pun semakin dahsyat. Ki Gede Matesih sendiri telah mendesak ke depan. Tombak pendeknya dengan sangat cepat dan lincah mematuk-matuk lawan-lawan yang bertahan di tengah-tengah pintu yang telah terbuka semakin lebar.

“Turunkan batang pohonnya..!”

Tiba-tiba entah dari mana datangnya terdengar suara perintah, namun para pengawal yang memanggul batang pohon itu segera tanggap dan menurunkan batang pohon yang mereka panggul.

“Dalam hitungan ke tiga, dorong ke depan sekuat-kuatnya..!” teriak Ki Kamituwa. Ternyata yang memberi aba-aba itu Ki Kamituwa.

Tanpa menunggu perintah itu diulangi, beberapa pengawal segera bersiap mendorong batang pohon sebesar pelukan orang dewasa itu.

“Satuu..dua..tigaaa..!”  seorang pengawal telah meneriakkan aba-aba.

“Loncaaat..!” teriak Ki Kamituwa yang memimpin pertempuran di depan gerbang kepada pasukannya bersamaan dengan meluncurnya batang pohon itu.

Agaknya para pengawal yang di depan pinu gerbang dan sejalur dengan letak batang pohon itu telah tanggap. Dengan tangkasnya mereka secara bersamaan telah meloncat tinggi-tinggi. Sementara batang pohon yang didororng dengan kekuatan penuh itu meluncur di atas tanah dan menembus kerumunan para cantrik yang bertempur di depan gerbang.

Akibatnya ternyata sangat mengerikan. Beberapa cantrik yang tidak sempat menghindar  telah terlempar ke belakang terkena dorongan batang pohon yang cukup besar itu. Tubuh mereka menimpa kawan-kawan yang di belakang mereka. Bahkan tanpa sengaja senjata-senjata yang teracu itu telah melukai sebagian dari mereka yang terlempar itu.

“Setan, iblis, gendruwo..!” terdengar sumpah serapah dan makian dari para cantrik itu.

Pertahankan gerbang..!” teriak seorang cantrik yang berjambang lebat. Agaknya cantrik yang berjambang itu yang memimpin pertempuran di gerbang.

Namun akibat serudukan batang pohon itu telah membuat pasukan padepokan Sapta Dhahana yang berada di depan pintu gerbang kocar-kacir. Kesempatan itu telah dipergunakan sebaik-baiknya  oleh Ki kawituwa dan pasukannya untuk menembus pintu gerbang.

“Majuuu…!’ teriak Ki Kamituwa sambil meloncat memasuki padepokan diikuti oleh pengawal yang lainnya.

Cantrik yang berjambang itu agaknya menyadari bahwa mempertahankan pintu gerbang adalah sia-sia belaka. Maka dia pun segera memerintahkan pasukan para cantrik untuk mundur.

“Munduur..!” teriak cantrik berjambang itu sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ke udara dan menggerakkan pedang itu membuat lingkaran dua kali berturut-turut.

“Gelar gedong minep..!” hampir setiap cantrik telah berdesis dalam hati mereka. Sebuah gelar untuk bertahan.

Sejenak kemudian dengan cepat dan sangat teratur para cantrik segera menarik diri sambil terus bertahan. Hanya dalam waktu yang sangat singkat gelar gedhong minep telah tersusun dengan rapi dan siap menghadapi gempuran lawan sekuat apapun.

Ki Gede Matesih sejenak tertegun melihat kesigapan para cantrik dalam menyusun gelar. Kini Ki Gede harus segera menyusun gelar bagi pasukannya untuk dapat menembus dan sekaligus menghancurkan gelar lawan.

Dalam pada itu di ndalem Kapangeranan, emban Menik tampak duduk bersimpuh di hadapan Pangeran Pati. Wajahnya tampak pucat pasi dan bibirnya gemetar menahan rasa takut yang amat sangat mendera hatinya.

“Menik,’ terdengar sareh suara Pangeran Pati, “Engkau mengerti, mengapa aku memanggilmu sepagi ini?”

Jantung emban Menik bagaikan rontok dari tangkainya mendengar pertanyaan Pangeran Pati. Mulutnya bagaikan terkunci dan lidahnya kelu. Namun bagaimanapun juga, dia harus menjawab pertanyaan itu.

“Ampun Pangeran,” suara emban Menik terdengar tercekat di tenggorokan sambil menyembah dalam-dalam, “Hamba benar-benar belum tahu.”

Sejenak Pangeran Pati menjadi heran melihat sikap emban Menik itu. Biasanya jika dia memanggil emban kesayangannya itu, sikapnya sangat riang bahkan sedikit manja, karena Pangeran Pati memang telah menganggap emban Menik sebagai bagian dari keluarganya. Namun kali ini sikap emban Menik sungguh sangat aneh. Seakan-akan emban Menik menghadap dirinya hanya untuk menerima sebuah hukuman saja.

“Apakah dia merasa telah membuat sebuah kesalahan?” tiba-tiba terselip sebuah pertanyaan dalam sudut hati Pewaris Trah Mataram itu.

Untuk beberapa saat Pangeran Pati itu duduk termangu-mangu di bibir pembaringannya. Ditatapnya emban Menik yang bersimpuh beberapa langkah di hadapannya dengan tajam.

“O,” desis Pangeran Pati dalam hati kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya setelah beberapa saat berpikir, "Apakah sikap emban Menik ini ada hubungannya dengan laporan Rara Anjani semalam?”

Tiba-tiba sebuah desir tajam menggores jantungnya. Sepagi ini dia belum melihat bayangan selir tercintanya itu.

“Menik,” akhirnya Pangeran Pati pun berkata, “Panggillah Rara Anjani untuk menghadap. Aku akan mengajaknya berburu menemani ayahanda Prabu. Demikian juga engkau segera bersiap. Setelah Matahari sepenggalah, kita bersama-sama ke istana menghadap Ayahanda Prabu.”

Kata-kata Pangeran Pati itu di telingga emban Menik bagaikan suara kenthong titir berita kematiannya. Dalam benaknya sudah terbayang dia bersama calon suaminya, Jajar Kawung, akan diadili di hadapan Sang Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati atas tuduhan makar. Dan hanya hukuman gantunglah yang pantas untuk mereka berdua.

Tanpa sadar emban Menik meraba lehernya dengan jari-jari yang gemetar. Rasa-rasanya tali tiang gantungan itu sudah membelit di lehernya.

“Oh, tidak..,” desah emban Menik tanpa sadar dengan suara sedikit terisak.

“Ada apa Menik?” bertanya Pangeran Pati dengan serta merta.

Emban Menik terkejut bukan alang-kepalang mendengar pertenyaan Pangeran Pati. Dengan serta merta dia segera menyembah sambil menjawab dengan suara gemetar, “Ampun Pangeran. Hamba sedang menderita sakit tenggorokan. Beberapa hari ini hamba memang merasa kurang enak badan. Mohon ampun Pangeran.”


Pamgeran Pati menarik nafas dalam-dalam mendengar jawaban emban Menik. Namun panggraita Pangeran yang luhur ing budi itu telah menangkap sesuatu yang disembunyikan oleh emban kesayangannya itu. 

(monggo jika berkenan donasi, seperti biasanya no rek ada di bagian bawah halaman ini)

Jumat, 10 November 2017

STSD 07_18

Berdesir dada Ki Jayaraga. Jumlah cantrik yang datang dari arah belakang padepokan itu tidak sedikit. Sebenarnyalah Ki Jayaraga tidak begitu mengkhawatirkan keselamatan dirinya. Namun yang membuat Ki Jayaraga khawatir adalah keadaan Ki Bango Lamatan.

“Cepat periksa seluruh tempat ini..!” tiba-tiba terdengar suara orang yang dipanggil kakang itu berteriak lantang, “Mereka tentu masih di sekitar sini!  Mungkin mereka telah tersadar dan berusaha bergeser menjauhi tempat ini! Namun aku yakin, mereka tidak akan dapat pergi terlalu jauh. Mereka pasti masih bersembunyi di sekitar tempat ini!”

Kembali desir yang tajam menggores jantung guru Glagah Putih itu. Tanpa sadar dia berpaling ke belakang ke tempat ki Bango Lamatan sedang duduk bersamadi dengan tekunnya.

Akan tetapi, alangkah terkejutnya orang tua  itu. Rasa-rasanya jantungnya bagaikan telah terlepas dari tangkainya. Tidak dilihatnya lagi Ki Bango Lamatan yang sedang duduk bersamadi di tempatnya semula.

“Gila!” geram Ki Jayaraga dalam hati dengan jantung yang berdentang semakin keras sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling, “Di manakah Ki Bango Lamatan? Apakah seseorang telah berhasil meringkusnya justru di saat dia sama sekali tidak berdaya?”

Namun pikiran itu segera dibuangnya jauh-jauh dari benaknya. Ki Jayaraga yakin sepenuhnya  bahwa orang kepercayaan Pangeran Pati Mataram itu bukanlah orang kebanyakan yang dengan mudahnya akan dapat ditaklukkan.

“Dalam keadaan wajar, adalah sebuah pekerjaan yang mustahil bagi para cantrik itu untuk menangkapnya,” tiba-tiba sebuah angan-angan menyelinap dalam benaknya, “Namun Ki Bango Lamatan sekarang ini sedang dalam keadaan terluka parah. Pada saat dia sedang  bersamadi, tentu dengan sangat mudahnya para cantrik itu akan melumpuhkan dan kemudian menangkapnya.”

“Namun aku sama sekali tidak mendengar desir langkah maupun ranting-ranting yang patah serta dedaunan yang tersibak,” berkata sudut hatinya yang lain  membantah, “Seandainya para cantrik itu sudah menemukan tempat persembunyian Ki Bango Lamatan, sebelum mereka  mencapai tempat itu, dari tempat ini  aku tentu sudah mendengar gerakan mereka.”

“Cepat!” tiba-tiba terdengar kembali teriakan lantang orang yang dipanggil kakang itu membangunkan lamunan Ki Jayaraga, “Waktu kita tidak banyak. Kita harus segera membantu kawan-kawan kita mempertahankan pintu gerbang!”

Namun sebelum mulut orang yang dipanggil kakang itu terkatup rapat, tiba-tiba terdengar benturan yang dahsyat dari arah pintu gerbang disertai dengan sorak sorai yang membahana. Agaknya pasukan Ki Gede telah berhasil menembus pintu gerbang.

“Serbuu..!” terdengar suara teriakan menggelegar bersahut-sahutan.

“Hancurkan padepokan Sapta Dhahana..!” suara yang lain menimpali.

“Jangan  beri ampun..!”

“Kikis habis musuh-musuh Mataram..!”

Suara-suara teriakan itu segera disusul dengan dentingan suara senjata beradu, dan sumpah serapah serta pekik jerit kesakitan.

Cantrik yang dipanggil kakang itu terkejut  bagaikan disengat seekor kalajengking sebesar ibu jari kaki. Tanpa sadar dia berpaling ke arah regol. Regol itu memang masih berjarak sekitar puluhan tombak, namun tampak gelombang pasukan pengawal matesih yang menyerbu masuk melalui pintu gerbang yang terbuka beberapa jengkal karena selaraknya telah patah. Sementara para cantrik padepokan Sapta Dhahana tampak  berusaha dengan mati-matian mempertahankan pintu gerbang dan berusaha untuk menutupnya kembali

“Cepat tinggalkan tempat ini..!” teriak cantrik itu kemudian sambil berlari menuju pintu gerbang. Tangan kanannya tampak mengangkat senjatanya tinggi-tinggi.

“Pintu gerbang telah jebol..!” teriak cantrik itu selanjutnya tanpa menghentikan larinya.

Para cantrik yang sedang menyusuri gerumbul perdu dan semak belukar di halaman sebelah barat padepokan itupun menjadi  terkejut bukan alang kepalang. Mereka juga telah mendengar suara pintu gerbang yang berderak-derak. Maka tanpa menunggu perintah diulangi lagi, mereka pun segera berloncatan dan kemudian berlari meninggalkan tempat itu menuju ke regol depan.

Sejenak Ki Jayaraga hanya dapat termangu-mangu sambil menahan nafas di tempat persembunyiannya. Ketika cantrik terakhir telah melintas beberapa langkah di hadapannya, Ki Jayaraga pun kemudian mulai beringsut mundur untuk meninggalkan tempat itu.


Namun baru saja guru Glagah Putih itu bergeser beberapa jengkal dan kemudian berpaling ke belakang, kembali dadanya terguncang. Di tempat Ki Bango Lamatan duduk bersamadi beberapa saat yang lalu, kini tampak sesosok tubuh tertelungkup tak berdaya di sela –sela rimbunnya pohon-pohon perdu dan semak belukar.

Jumat, 03 November 2017

STSD 07_17

Kesempatan itu ternyata juga telah dipergunakan oleh Ki Jayaraga dengan sebaik-baiknya. Guru Glagah Putih itu pun kemudian segera melakukan hal yang sama, duduk bersila dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Ternyata Ki Jayaraga hanya memerlukan waktu sekejap karena dia telah melakukan sebelumnya. Kekuatan tubuhnya telah pulih kembali walaupun tidak seperti sediakala. Tubuhnya tetap saja memerlukan waktu yang cukup untuk kembali pulih.

Ketika Ki Jayaraga sedang merenungi Ki Bango Lamatan yang sedang tenggelam dalam samadinya, tiba-tiba pendengarannya yang tajam telah mendengar suara riuh rendah serta sorak sorai dari arah pintu gerbang.

Sejenak Ki Jayaraga mengerutkan keningnya dalam-dalam. Suara sorak-sorai itu ditingkah dengan suara desingan anak panah yang terlepas dari busurnya.

“Padepokan ini kelihatannya sedang diserbu,” desis Ki Jayaraga sambil tetap mengerutkan keningnya.

Tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar teriakan-teriakan yang dapat memberinya sedikit petunjuk.

“Hidup perdikan Matesih! Hidup Ki Gede Matesih..!”

“Hancurkan sarang Trah Sekar Seda Lepen..! Hancurkan padepokan Sapta Dhahana..!”

Demikian teriakan-teriakan itu terdengar di antara riuhnya suara sorak sorai serta desingan anak-anak  panah.

“Ternyata Ki Gede Matesih dan pasukan pengawalnya yang  datang,” desis Ki Jayaraga kemudian sambil mengangguk-angguk.

“Mungkin ada seseorang yang telah menghubungi Ki Gede dan memberitahukan keadaan di padepokan ini,” berkata Ki Jayaraga dalam hati selanjutnya, “Memang padepokan ini sebaiknya sekalian dihancurkan dari pada kelak kemudian hari akan tumbuh kembali menjadi penghalang bagi tegaknya Mataram.”

Untuk beberapa saat Ki Jayaraga masih merenungi suara sorak sorai yang semakin membahana. Kini para cantrik padepokan pun telah ikut bersorak sorai untuk membangkitkan semangat mereka.

“Hancurkan Matesih..! Hancurkan orang-orang pendukung Mataram..!”

“Jangan biarkan mereka mendekati gerbang..!”

“Bunuh semua pengikut Mataram..!”

“Hidup Trah Sekar Seda Lepen..!”

“Bangun kembali kejayaan Demak lama..!”

“Kembalikan tahta kepada Trah Sekar Seda Lepen..!”

Suara teriakan-teriakan itu terdnegar tumpang tidih dan wor suh menjadi satu dengan desing anak-anak panah yang terlepas dari busurnya. Beberapa saat kemudian di beberapa tempat mulai terdengar jerit kesakitan beberapa orang yang mulai tersentuh anak panah.

“Sampai kapan perang anak panah itu akan berakhir?” bertanya Ki Jayaraga dalam hati.

Tanpa sadar dia kemudian mendongakkan kepalanya ke langit. Sinar Matahari memang telah semakin cerah menembus lebatnya pepohonan yang tumbuh rapat berjajar-jajar di halaman sebelah barat padepokan itu.

“Bagaimanakah pertempuran Ki Rangga, Ki Waskita dan Glagah Putih?” tiba-tiba terbersit sebuah pertanyaan di dalam dada orang tua itu.

Tiba-tiba jantungnya berdesir tajam. Sudah sejauh ini dia belum melihat mereka bertiga. Berbagai dugaan pun telah muncul dalam benaknya.

“Semoga mereka bertiga dapat mengatasi lawan masing-masing,” berkata Ki Jayaraga kemudian dalam hati. Namun tak urung debar di jantungnya menjadi semakin keras.

“Aku harus segera melihat keadaan mereka,” tiba-tiba terbersit keinginan untuk melihat-lihat keadaan di sekitar padepokan sambil mencari keberadaan ketiga orang itu.

Namun ketika dia sudah memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, hatinya menjadi ragu-ragu ketika terpandang olehnya Ki Bango Lamatan yang masih tenggelam dalam samadinya.

“Ah, aku tidak mungkin meninggalkan Ki Bango Lamatan dalam keadaan seperti ini,” keluh Ki Jayaraga sambil menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya kuat-kuat. Seolah-olah ingin dibuangnya segala kegalauan dari dalam dadanya.

Kembali Ki Jayaraga terpekur. Sementara sorak sorai dari regol depan terdengar semakin membahana seiring dengan suara benturan yang terdengar sangat keras berkali-kali. Suara itu mirip dengan suara gedoran pada sebuah pintu, namun yang terdengar sangat keras sekali.

“Agaknya Ki Gede dan pasukan pengawalnya berusaha mendobrak pintu gerbang padepokan,” gumam Ki Jayaraga perlahan sambil berpaling sekilas ke arah Ki Bango Lamatan. Namun Ki Bango Lamatan masih tetap pada sikapnya semula.

“Aku harus menolong Ki Gede dan pasukannya sebelum korban semakin banyak berjatuhan,” berkata Ki Jayaraga kemudian dalam hati ketika mendengar suara jerit kesakitan yang semakin sering, “Aku dapat merayap sepanjang dinding padepokan ini menuju ke regol depan. Sampainya di depan sana, aku dapat meloncat dengan serta merta untuk menggapai selarak pintu gerbang dan kemudian membukanya. Atau sekalian aku dapat mematahkan selarak itu.”

Namun semua angan-angannya itu segera lenyap bagaikan asap yang tertiup angin begitu terpandang olehnya keadaan Ki Bango Lamatan yang masih tetap sebagaimana semula.

Tiba-tiba pendengaran Ki Jayaraga yang tajam telah mendengar suara teriakan bersahut-sahutan dari arah belakang padepokan.

Sejenak kemudian terdengar langkah orang berlari-larian mengarah ke tempat Ki Jayaraga dan.Ki Bango Lamatan bersembunyi.

Dada Ki Jayaraga berdesir. Dengan sangat hati-hati Ki Jayaraga pun kemudian beringsut menerobos beberapa gerumbul di hadapannya untuk mengetahui apa sebenarnya yang sedang terjadi.

Ketika Ki Jayaraga kemudian mencoba mengintip dari sela-sela dedaunan dan ranting-ranting perdu, hatinya terkesiap. Berpuluh cantrik tampak berlari dengan tergesa-gesa sambil menggegam senjata masing-masing.

“Cepat..! Kita bantu kawan-kawan kita yang berada di regol depan..!” terdengar suara seseorang berteriak lantang.

“Bagaimana dengan kera itu, kakang?” terdengar suara seseorang bertanya di antara derap langkah menuju ke regol depan.

“Persetan!” terdengar orang yang dipanggil kakang itu mengumpat keras, “Jangan hiraukan monyet itu. Padepokan kita sedang diserbu musuh..!”

Orang-orang yang berlari-larian itu hanya berjarak tiga empat langkah dari tempat Ki Jayaraga bersembunyi sehingga Ki Jayaraga dapat mendengar percakapan mereka dengan jelas.

“Ada apa dengan kera?” desis Ki Jayaraga dalam hati dengan terheran-heran.

“Kakang..!” tiba-tiba terdengar seseorang yang masih tertinggal beberapa langkah di belakang berteriak, “Kedua orang lawan Ki Brukut dan Ki Kebo Mengo telah lenyap..!”

 “He..?!” orang yang dipanggil kakang itu dengan segera telah menghentikan langkahnya justru tepat di hadapan gerumbul tempat Ki Jayaraga bersembunyi.


Serentak orang-orang yang lain pun telah ikut  berhenti.