“Ki Bango Lamatan?” desis Ki
Jayaraga dengan suara bergetar begitu mengenali orang yang tertelungkup itu.
Tanpa membuang waktu Ki Jayaraga pun segera bergegas mendekatinya.
Dengan cepat tubuh yang
tertelungkup itu segera diterlentangkan. Tampak sepercik darah segar meleleh
dari salah satu sudut bibir Ki Bango Lamatan.
“Lukanya semakin parah,”
desis Ki Jayaraga sambil mencoba menelusuri urat nadi yang ada di pergelangan
tangan kemudian dengan cepat berpindah ke pangkal leher.
“Sangat lemah sekali,” gumam
guru Glagah Putih itu, “Apa sebenarnya yang telah terjadi? Mengapa Ki Bango
Lamatan tadi sempat menghilang dari tempat ini, kemudian muncul lagi justru
dalam keadaan yang bertambah parah?”
Namun sebenarnyalah Ki
Jayaraga mulai dapat meraba kejadian apa yang telah menimpa Ki Bango Lamatan.
“Ah, sudahlah," desis Ki
Jayaraga kemudian sambil duduk bersila tepat di sebelah tubuh Ki Bango Lamatan
yang terbujur diam, “Aku harus segera membantunya untuk melonggarkan jalan
nafasnya serta melancarkan peredaran aliran darahnya.”
Sejenak kemudian Ki Jayaraga
segera memusatkan segenap nalar dan budinya untuk mengungkapkan tenaga
cadangannya. Kedua telapak tangannya pun segera diletakkan di atas dada orang
yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu.
Dalam pada itu, pertempuran
di depan pintu gerbang padepokan Sapta Dhahana pun menjadi semakin sengit.
Agaknya para cantrik menjadi kesulitan untuk menutup kembali pintu gerbang yang
telah terbuka beberapa jengkal itu karena selaraknya telah patah. Para cantrik
di sebelah dalam dari pintu gerbang sebelah menyebelah itu dengan sekuat tenaga
berusaha untuk mendorong pintu agar tertutup kembali. Namun para pengawal yang
merasa sudah mampu mematahkan selarak pintu itu pun telah beramai-ramai
mendorong kedua belah daun pintu yang tinggi dan lebar itu bersama-sama dari
luar agar terbuka lebih lebar lagi. Sementara beberapa pengawal telah terlibat
pertempuran yang sengit di sela- sela pintu yang semakin melebar itu.
“Dorong teruus..!” teriak
beberapa pengawal di sebelah menyebelah pintu.
“Serbuuu..!” teriak pengawal
yang lain memberi semangat kawan-kawannya.
“Maju terus..! Taruh batang
pohon itu di tengah-tengah pintu..!” teriak Ki Kamituwa yang sedang memimpin
pertempuran di depan pintu gerbang.
Para pengawal Matesih yang
mendengar perintah itu segera tanggap. Dengan cepat para pengawal yang memanggul
batang pohon itu segera maju lagi beberapa langkah menerobos pertempuran yang
sengit di sela-sela pintu gerbang.
“Biarkan kami lewat..!”
teriak salah satu pengawal yang memanggul batang pohon di paling depan, “Kita
akan meletakkan batang pohon ini di sela-sela pintu gerbang agar mereka tidak
dapat menutup kembali..!”
Para pengawal yang sedang
bertempur di depan pintu gerbang itu pun maklum dengan maksud kawan-kawannya. Maka
sejenak kemudian beberapa dari mereka segera memberi jalan sedangkan yang lain
tetap bertempur untuk mencegah lawan mempunyai kesempatan menutup pintu gerbang
kembali.
Namun pekerjaan itu ternyata
tidak semudah membalik telapak tangan. Begitu tekanan para pengawal itu menjadi sedikit
berkurang, para cantrik pun segera mengerahkan kekuatan mereka untuk mengusir
para pengawal yang sedang bertempur di tengah-tengah pintu gerbang. Sedangkan
beberapa cantrik yang lain telah membantu usaha untuk mendorong kedua pintu
gerbang sebelah menyebelah agar menutup kembali. Sementara dua orang cantrik telah
siap dengan sebuah selarak pintu yang lain sebagai pengganti selarak yang telah
patah.
“Jangan mundur..!” teriak Ki
Gede memberi semangat pasukan pengawalnya begitu melihat mereka yang berada di
tengah-tengah pintu gerbang itu mulai
bergeser setapak demi setapak ke belakang karena tekanan lawan.
Betapa para pengawal yang
berada di tengah-tengah pintu gerbang itu mengalami tekanan yang dahsyat.
Beberapa pengawal yang berusaha mendorong pintu sebelah menyebelah gerbang itu dari
luar telah mendapat perlawanan yang
sengit para cantrik dari balik pintu gerbang. Dalam beberapa saat terjadilah
usaha saling dorong dengan serunya.
“Holopis kuntul bariis..!” teriak seorang pangawal
“Holopis kuntul bariis..!” sahut kawan-kawannya serempak sambil
menghentakkan kekuatan mereka mendorong pintu gerbang itu agar semakin terbuka.
Namun para cantrik yang
berada di balik pintu gerbang tidak tinggal diam. Mereka pun dengan serempak
mendorong pintu gerbang itu agar bergeser dan menutup kembali.
“Siji..loro...telu..hayooo..!”
“Siji…loro..telu..hayooo..!”
Demikian itu teriakan para
cantrik sambil menghentakkan kekuatan mereka sehingga daun pintu gerbang yang
tinggi dan besar itu terdengar
berderak-derak diguncang oleh dua kekuatan yang hampir seimbang.
Dalam pada itu, para cantrik
yang telah turun dari atas dinding padepokan ternyata telah memanjat naik
kembali. Mereka dengan tangkas segera menghujani para pengawal yang sedang
berusaha mendorong pintu gerbang sebelah menyebelah dengan puluhan anak panah.
Jerit pekik kesakitan serta
sumpah serapah pun terdengar seiring dengan hujan panah dari atas dinding.
Namun dengan sigapnya para pengawal yang berperisai segera melindungi
kawan-kawan mereka walaupun tak urung korban pun telah berjatuhan.
Melihat lawan kembali naik
ke atas dinding dan menghujani pengawal yang di dekat pintu gerbang dengan anak
panah, pasukan pengawal yang bersenjatakan panahpun tanpa di beri aba-aba oleh
pemimpin mereka segera membalas serangan itu.
Serangan yang tiba-tiba itu
ternyata telah mengejutkan para cantrik yang berada di atas dinding. Beberapa
anak panah memang telah memakan korban. Namun agaknya para cantrik yang berada
di atas dinding itu tidak mau menanggung akibat yang mungkin akan semakin
parah. Dengan cepat para cantrik itu pun segera menghilang di balik dinding.
Demikianlah pertempuran di
depan pintu gerbang itu pun semakin dahsyat. Ki Gede Matesih sendiri telah
mendesak ke depan. Tombak pendeknya dengan sangat cepat dan lincah
mematuk-matuk lawan-lawan yang bertahan di tengah-tengah pintu yang telah terbuka
semakin lebar.
“Turunkan batang
pohonnya..!”
Tiba-tiba entah dari mana
datangnya terdengar suara perintah, namun para pengawal yang memanggul batang
pohon itu segera tanggap dan menurunkan batang pohon yang mereka panggul.
“Dalam hitungan ke tiga,
dorong ke depan sekuat-kuatnya..!” teriak Ki Kamituwa. Ternyata yang memberi aba-aba itu Ki
Kamituwa.
Tanpa menunggu perintah itu
diulangi, beberapa pengawal segera bersiap mendorong batang pohon sebesar
pelukan orang dewasa itu.
“Satuu..dua..tigaaa..!” seorang pengawal telah meneriakkan aba-aba.
“Loncaaat..!” teriak Ki Kamituwa yang memimpin pertempuran di depan gerbang kepada pasukannya bersamaan dengan meluncurnya batang pohon itu.
Agaknya para pengawal yang
di depan pinu gerbang dan sejalur dengan letak batang pohon itu telah tanggap.
Dengan tangkasnya mereka secara bersamaan telah meloncat tinggi-tinggi.
Sementara batang pohon yang didororng dengan kekuatan penuh itu meluncur di
atas tanah dan menembus kerumunan para cantrik yang bertempur di depan gerbang.
Akibatnya ternyata sangat
mengerikan. Beberapa cantrik yang tidak sempat menghindar telah terlempar ke belakang terkena dorongan batang
pohon yang cukup besar itu. Tubuh mereka menimpa kawan-kawan yang di belakang
mereka. Bahkan tanpa sengaja senjata-senjata yang teracu itu telah melukai
sebagian dari mereka yang terlempar itu.
“Setan, iblis, gendruwo..!”
terdengar sumpah serapah dan makian dari para cantrik itu.
Pertahankan gerbang..!”
teriak seorang cantrik yang berjambang lebat. Agaknya cantrik yang berjambang
itu yang memimpin pertempuran di gerbang.
Namun akibat serudukan batang
pohon itu telah membuat pasukan padepokan Sapta Dhahana yang berada di depan
pintu gerbang kocar-kacir. Kesempatan itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki
kawituwa dan pasukannya untuk menembus pintu gerbang.
“Majuuu…!’ teriak Ki
Kamituwa sambil meloncat memasuki padepokan diikuti oleh pengawal yang lainnya.
Cantrik yang berjambang itu
agaknya menyadari bahwa mempertahankan pintu gerbang adalah sia-sia belaka. Maka
dia pun segera memerintahkan pasukan para cantrik untuk mundur.
“Munduur..!” teriak cantrik
berjambang itu sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ke udara dan
menggerakkan pedang itu membuat lingkaran dua kali berturut-turut.
“Gelar gedong minep..!”
hampir setiap cantrik telah berdesis dalam hati mereka. Sebuah gelar untuk
bertahan.
Sejenak kemudian dengan
cepat dan sangat teratur para cantrik segera menarik diri sambil terus
bertahan. Hanya dalam waktu yang sangat singkat gelar gedhong minep telah tersusun
dengan rapi dan siap menghadapi gempuran lawan sekuat apapun.
Ki Gede Matesih sejenak
tertegun melihat kesigapan para cantrik dalam menyusun gelar. Kini Ki Gede
harus segera menyusun gelar bagi pasukannya untuk dapat menembus dan sekaligus
menghancurkan gelar lawan.
Dalam pada itu di ndalem
Kapangeranan, emban Menik tampak duduk bersimpuh di hadapan Pangeran Pati. Wajahnya
tampak pucat pasi dan bibirnya gemetar menahan rasa takut yang amat sangat
mendera hatinya.
“Menik,’ terdengar sareh
suara Pangeran Pati, “Engkau mengerti, mengapa aku memanggilmu sepagi ini?”
Jantung emban Menik bagaikan
rontok dari tangkainya mendengar pertanyaan Pangeran Pati. Mulutnya bagaikan
terkunci dan lidahnya kelu. Namun bagaimanapun juga, dia harus menjawab
pertanyaan itu.
“Ampun Pangeran,” suara
emban Menik terdengar tercekat di tenggorokan sambil menyembah dalam-dalam, “Hamba
benar-benar belum tahu.”
Sejenak Pangeran Pati
menjadi heran melihat sikap emban Menik itu. Biasanya jika dia memanggil emban
kesayangannya itu, sikapnya sangat riang bahkan sedikit manja, karena Pangeran
Pati memang telah menganggap emban Menik sebagai bagian dari keluarganya. Namun
kali ini sikap emban Menik sungguh sangat aneh. Seakan-akan emban Menik menghadap
dirinya hanya untuk menerima sebuah hukuman saja.
“Apakah dia merasa telah membuat
sebuah kesalahan?” tiba-tiba terselip sebuah pertanyaan dalam sudut hati
Pewaris Trah Mataram itu.
Untuk beberapa saat Pangeran
Pati itu duduk termangu-mangu di bibir pembaringannya. Ditatapnya emban Menik
yang bersimpuh beberapa langkah di hadapannya dengan tajam.
“O,” desis Pangeran Pati
dalam hati kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya setelah beberapa saat berpikir, "Apakah sikap
emban Menik ini ada hubungannya dengan laporan Rara Anjani semalam?”
Tiba-tiba sebuah desir tajam
menggores jantungnya. Sepagi ini dia belum melihat bayangan selir tercintanya
itu.
“Menik,” akhirnya Pangeran
Pati pun berkata, “Panggillah Rara Anjani untuk menghadap. Aku akan mengajaknya
berburu menemani ayahanda Prabu. Demikian juga engkau segera bersiap. Setelah Matahari
sepenggalah, kita bersama-sama ke istana menghadap Ayahanda Prabu.”
Kata-kata Pangeran Pati itu
di telingga emban Menik bagaikan suara kenthong titir berita kematiannya. Dalam
benaknya sudah terbayang dia bersama calon suaminya, Jajar Kawung, akan diadili
di hadapan Sang Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati atas tuduhan makar. Dan hanya
hukuman gantunglah yang pantas untuk mereka berdua.
Tanpa sadar emban Menik
meraba lehernya dengan jari-jari yang gemetar. Rasa-rasanya tali tiang
gantungan itu sudah membelit di lehernya.
“Oh, tidak..,” desah emban
Menik tanpa sadar dengan suara sedikit terisak.
“Ada apa Menik?” bertanya
Pangeran Pati dengan serta merta.
Emban Menik terkejut bukan
alang-kepalang mendengar pertenyaan Pangeran Pati. Dengan serta merta dia
segera menyembah sambil menjawab dengan suara gemetar, “Ampun Pangeran. Hamba sedang
menderita sakit tenggorokan. Beberapa hari ini hamba memang merasa kurang enak
badan. Mohon ampun Pangeran.”
Pamgeran Pati menarik nafas
dalam-dalam mendengar jawaban emban Menik. Namun panggraita Pangeran yang luhur ing budi itu telah menangkap
sesuatu yang disembunyikan oleh emban kesayangannya itu.
(monggo jika berkenan donasi, seperti biasanya no rek ada di bagian bawah halaman ini)
Noted Mbah Man .....matur nuwun sanget👍🙏
BalasHapusHolopis kuntul baris...!!
HapusSiji kowe siji aku....holopis kuntul baris...
kowe siji aku siji....kue lupis sikat abis...
Kuntulne podo meringis....😆😆😆
Matur nuwun, Mbah_Man.
BalasHapusSetunggal mawon sampun cekapan, suwun mbah man, ki pandan alas pripun njih, wilujeng to ?
BalasHapusKasinggihan mbah mandrake
BalasHapusNgapunten manawi saking Hp utawi internet dlm mode sederhana, maka blog ini tdk tampil dlm versi web sehingga dampaknya no. Rekening tdk tampak.
Bagi canmen yg ingin berdonasi terang terangan ya di waktu siang & tdk hujan atau kirim info ke email.
Bagi canmen yg tdk ingin diketahui pengirimnya ya kirim via e-banking termsk ATM & tdk perlu kirim info via email.
Donasi Sukarela
BalasHapusJika para CanMen berkenan memberikan tali asih suka rela, silahkan mengirimkan donasinya ke rekening mbah Putri: Bank Mandiri an SRI SUPRATINI NO REK: 141 001159 796 0 Mbah Man sangat berterima kasih atas partisipasi para CanMen, merupakan bentuk kepedulian para CanMen dalam mendukung Mbah Man untuk terus berkarya Bagi CanMen yang berkenan bisa info ke email:s_sudjatmiko@yahoo.com.au Matur suwun
Donasi Sukarela
BalasHapusJika para CanMen berkenan memberikan tali asih suka rela, silahkan mengirimkan donasinya ke rekening mbah Putri: Bank Mandiri an SRI SUPRATINI NO REK: 141 001159 796 0 Mbah Man sangat berterima kasih atas partisipasi para CanMen, merupakan bentuk kepedulian para CanMen dalam mendukung Mbah Man untuk terus berkarya Bagi CanMen yang berkenan bisa info ke email:s_sudjatmiko@yahoo.com.au Matur suwun
matur nuwun wedaranipun Mbah Man .... semoga Mbah Man selalu sehat dan terus diparingi kekuatan untuk terus menulis ....
BalasHapusSukses ndobel komen
BalasHapusJd mencungul tripelan
^_°
Matur nuwun Mbah Man ..... tetap semangat !
BalasHapusMatur nuwun mbah Man... Mugi2 diparingi sehat n tetap semangat
BalasHapusKi Bango Lamatan masih dalam posisi tertelungkup sampai hari ini. Untung saja dia tidak masuk dpo yg sedang pura-pura sakit. #sabarmenunggu...
BalasHapusawas ki...kena UU ITU .....
HapusUU ITU....
HapusBUKAN UU INI
BEGITUKAH DEN MAS ARYO?
Jum'at barokah. Semoga semuanya mendapat keberkahan.
BalasHapus"Pangeran Pati yg luhur ing budi itu menarik nafas dalam-dalam". #barokah.
Ditarik kemana & sedalam apa ki ZY?
HapusJumah baokah
BalasHapusSabtu menunggu
Sabtu menunggu
Hapusserasa
Sewindu berlalu
Sabtu menunggu
Hapusserasa
Sewindu berlalu
Sabtu menunggu
Hapusserasa
Sewindu berlalu
Wah... ternyata tripelan komen? Semoga rontal juga tripelan ya, Ki EH? #Sabtumenunggu.
HapusEmban Menik menjawab sambil gemeteran: " Ampun Gusti Pangeran, hamba sedang sakit tenggorokan. Mohon jangan disidang dulu. Nanti saja kalau hamba sudah sembuh dan didampingi pengacara yg handal". #kangenkiras.com
BalasHapus