Jumat, 17 November 2017

STSD 07_19

“Ki Bango Lamatan?” desis Ki Jayaraga dengan suara bergetar begitu mengenali orang yang tertelungkup itu. Tanpa membuang waktu Ki Jayaraga pun segera bergegas mendekatinya.

Dengan cepat tubuh yang tertelungkup itu segera diterlentangkan. Tampak sepercik darah segar meleleh dari salah satu sudut bibir Ki Bango Lamatan.

“Lukanya semakin parah,” desis Ki Jayaraga sambil mencoba menelusuri urat nadi yang ada di pergelangan tangan kemudian dengan cepat berpindah ke pangkal leher.

“Sangat lemah sekali,” gumam guru Glagah Putih itu, “Apa sebenarnya yang telah terjadi? Mengapa Ki Bango Lamatan tadi sempat menghilang dari tempat ini, kemudian muncul lagi justru dalam keadaan yang bertambah parah?”

Namun sebenarnyalah Ki Jayaraga mulai dapat meraba kejadian apa yang telah menimpa Ki Bango Lamatan.

“Ah, sudahlah," desis Ki Jayaraga kemudian sambil duduk bersila tepat di sebelah tubuh Ki Bango Lamatan yang terbujur diam, “Aku harus segera membantunya untuk melonggarkan jalan nafasnya serta melancarkan peredaran aliran darahnya.”

Sejenak kemudian Ki Jayaraga segera memusatkan segenap nalar dan budinya untuk mengungkapkan tenaga cadangannya. Kedua telapak tangannya pun segera diletakkan  di atas dada orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu.

Dalam pada itu, pertempuran di depan pintu gerbang padepokan Sapta Dhahana pun menjadi semakin sengit. Agaknya para cantrik menjadi kesulitan untuk menutup kembali pintu gerbang yang telah terbuka beberapa jengkal itu karena selaraknya telah patah. Para cantrik di sebelah dalam dari pintu gerbang sebelah menyebelah itu dengan sekuat tenaga berusaha untuk mendorong pintu agar tertutup kembali. Namun para pengawal yang merasa sudah mampu mematahkan selarak pintu itu pun telah beramai-ramai mendorong kedua belah daun pintu yang tinggi dan lebar itu bersama-sama dari luar agar terbuka lebih lebar lagi. Sementara beberapa pengawal telah terlibat pertempuran yang sengit di sela- sela pintu yang semakin melebar itu.

“Dorong teruus..!” teriak beberapa pengawal di sebelah menyebelah pintu.

“Serbuuu..!” teriak pengawal yang lain memberi semangat kawan-kawannya.

“Maju terus..! Taruh batang pohon itu di tengah-tengah pintu..!” teriak Ki Kamituwa yang sedang memimpin pertempuran di depan pintu gerbang.

Para pengawal Matesih yang mendengar perintah itu segera tanggap. Dengan cepat para pengawal yang memanggul batang pohon itu segera maju lagi beberapa langkah menerobos pertempuran yang sengit di sela-sela pintu gerbang.

“Biarkan kami lewat..!” teriak salah satu pengawal yang memanggul batang pohon di paling depan, “Kita akan meletakkan batang pohon ini di sela-sela pintu gerbang agar mereka tidak dapat menutup kembali..!”

Para pengawal yang sedang bertempur di depan pintu gerbang itu pun maklum dengan maksud kawan-kawannya. Maka sejenak kemudian beberapa dari mereka segera memberi jalan sedangkan yang lain tetap bertempur untuk mencegah lawan mempunyai kesempatan menutup pintu gerbang kembali.

Namun pekerjaan itu ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Begitu tekanan para pengawal itu menjadi sedikit berkurang, para cantrik pun segera mengerahkan kekuatan mereka untuk mengusir para pengawal yang sedang bertempur di tengah-tengah pintu gerbang. Sedangkan beberapa cantrik yang lain telah membantu usaha untuk mendorong kedua pintu gerbang sebelah menyebelah agar menutup kembali. Sementara dua orang cantrik telah siap dengan sebuah selarak pintu yang lain sebagai pengganti selarak yang telah patah.

“Jangan mundur..!” teriak Ki Gede memberi semangat pasukan pengawalnya begitu melihat mereka yang berada di tengah-tengah pintu gerbang  itu mulai bergeser setapak demi setapak ke belakang karena tekanan lawan.

Betapa para pengawal yang berada di tengah-tengah pintu gerbang itu mengalami tekanan yang dahsyat. Beberapa pengawal yang berusaha mendorong pintu sebelah menyebelah gerbang itu dari luar  telah mendapat perlawanan yang sengit para cantrik dari balik pintu gerbang. Dalam beberapa saat terjadilah usaha saling dorong dengan serunya.

Holopis kuntul bariis..!” teriak seorang pangawal

Holopis kuntul bariis..!” sahut kawan-kawannya serempak sambil menghentakkan kekuatan mereka mendorong pintu gerbang itu agar semakin terbuka.

Namun para cantrik yang berada di balik pintu gerbang tidak tinggal diam. Mereka pun dengan serempak mendorong pintu gerbang itu agar bergeser dan menutup kembali.

Siji..loro...telu..hayooo..!”

Siji…loro..telu..hayooo..!”

Demikian itu teriakan para cantrik sambil menghentakkan kekuatan mereka sehingga daun pintu gerbang yang tinggi dan besar itu terdengar  berderak-derak diguncang oleh dua kekuatan yang hampir seimbang.

Dalam pada itu, para cantrik yang telah turun dari atas dinding padepokan ternyata telah memanjat naik kembali. Mereka dengan tangkas segera menghujani para pengawal yang sedang berusaha mendorong pintu gerbang sebelah menyebelah dengan puluhan anak panah.

Jerit pekik kesakitan serta sumpah serapah pun terdengar seiring dengan hujan panah dari atas dinding. Namun dengan sigapnya para pengawal yang berperisai segera melindungi kawan-kawan mereka walaupun tak urung korban pun telah berjatuhan.

Melihat lawan kembali naik ke atas dinding dan menghujani pengawal yang di dekat pintu gerbang dengan anak panah, pasukan pengawal yang bersenjatakan panahpun tanpa di beri aba-aba oleh pemimpin mereka segera membalas serangan itu.

Serangan yang tiba-tiba itu ternyata telah mengejutkan para cantrik yang berada di atas dinding. Beberapa anak panah memang telah memakan korban. Namun agaknya para cantrik yang berada di atas dinding itu tidak mau menanggung akibat yang mungkin akan semakin parah. Dengan cepat para cantrik itu pun segera menghilang di balik dinding.

Demikianlah pertempuran di depan pintu gerbang itu pun semakin dahsyat. Ki Gede Matesih sendiri telah mendesak ke depan. Tombak pendeknya dengan sangat cepat dan lincah mematuk-matuk lawan-lawan yang bertahan di tengah-tengah pintu yang telah terbuka semakin lebar.

“Turunkan batang pohonnya..!”

Tiba-tiba entah dari mana datangnya terdengar suara perintah, namun para pengawal yang memanggul batang pohon itu segera tanggap dan menurunkan batang pohon yang mereka panggul.

“Dalam hitungan ke tiga, dorong ke depan sekuat-kuatnya..!” teriak Ki Kamituwa. Ternyata yang memberi aba-aba itu Ki Kamituwa.

Tanpa menunggu perintah itu diulangi, beberapa pengawal segera bersiap mendorong batang pohon sebesar pelukan orang dewasa itu.

“Satuu..dua..tigaaa..!”  seorang pengawal telah meneriakkan aba-aba.

“Loncaaat..!” teriak Ki Kamituwa yang memimpin pertempuran di depan gerbang kepada pasukannya bersamaan dengan meluncurnya batang pohon itu.

Agaknya para pengawal yang di depan pinu gerbang dan sejalur dengan letak batang pohon itu telah tanggap. Dengan tangkasnya mereka secara bersamaan telah meloncat tinggi-tinggi. Sementara batang pohon yang didororng dengan kekuatan penuh itu meluncur di atas tanah dan menembus kerumunan para cantrik yang bertempur di depan gerbang.

Akibatnya ternyata sangat mengerikan. Beberapa cantrik yang tidak sempat menghindar  telah terlempar ke belakang terkena dorongan batang pohon yang cukup besar itu. Tubuh mereka menimpa kawan-kawan yang di belakang mereka. Bahkan tanpa sengaja senjata-senjata yang teracu itu telah melukai sebagian dari mereka yang terlempar itu.

“Setan, iblis, gendruwo..!” terdengar sumpah serapah dan makian dari para cantrik itu.

Pertahankan gerbang..!” teriak seorang cantrik yang berjambang lebat. Agaknya cantrik yang berjambang itu yang memimpin pertempuran di gerbang.

Namun akibat serudukan batang pohon itu telah membuat pasukan padepokan Sapta Dhahana yang berada di depan pintu gerbang kocar-kacir. Kesempatan itu telah dipergunakan sebaik-baiknya  oleh Ki kawituwa dan pasukannya untuk menembus pintu gerbang.

“Majuuu…!’ teriak Ki Kamituwa sambil meloncat memasuki padepokan diikuti oleh pengawal yang lainnya.

Cantrik yang berjambang itu agaknya menyadari bahwa mempertahankan pintu gerbang adalah sia-sia belaka. Maka dia pun segera memerintahkan pasukan para cantrik untuk mundur.

“Munduur..!” teriak cantrik berjambang itu sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ke udara dan menggerakkan pedang itu membuat lingkaran dua kali berturut-turut.

“Gelar gedong minep..!” hampir setiap cantrik telah berdesis dalam hati mereka. Sebuah gelar untuk bertahan.

Sejenak kemudian dengan cepat dan sangat teratur para cantrik segera menarik diri sambil terus bertahan. Hanya dalam waktu yang sangat singkat gelar gedhong minep telah tersusun dengan rapi dan siap menghadapi gempuran lawan sekuat apapun.

Ki Gede Matesih sejenak tertegun melihat kesigapan para cantrik dalam menyusun gelar. Kini Ki Gede harus segera menyusun gelar bagi pasukannya untuk dapat menembus dan sekaligus menghancurkan gelar lawan.

Dalam pada itu di ndalem Kapangeranan, emban Menik tampak duduk bersimpuh di hadapan Pangeran Pati. Wajahnya tampak pucat pasi dan bibirnya gemetar menahan rasa takut yang amat sangat mendera hatinya.

“Menik,’ terdengar sareh suara Pangeran Pati, “Engkau mengerti, mengapa aku memanggilmu sepagi ini?”

Jantung emban Menik bagaikan rontok dari tangkainya mendengar pertanyaan Pangeran Pati. Mulutnya bagaikan terkunci dan lidahnya kelu. Namun bagaimanapun juga, dia harus menjawab pertanyaan itu.

“Ampun Pangeran,” suara emban Menik terdengar tercekat di tenggorokan sambil menyembah dalam-dalam, “Hamba benar-benar belum tahu.”

Sejenak Pangeran Pati menjadi heran melihat sikap emban Menik itu. Biasanya jika dia memanggil emban kesayangannya itu, sikapnya sangat riang bahkan sedikit manja, karena Pangeran Pati memang telah menganggap emban Menik sebagai bagian dari keluarganya. Namun kali ini sikap emban Menik sungguh sangat aneh. Seakan-akan emban Menik menghadap dirinya hanya untuk menerima sebuah hukuman saja.

“Apakah dia merasa telah membuat sebuah kesalahan?” tiba-tiba terselip sebuah pertanyaan dalam sudut hati Pewaris Trah Mataram itu.

Untuk beberapa saat Pangeran Pati itu duduk termangu-mangu di bibir pembaringannya. Ditatapnya emban Menik yang bersimpuh beberapa langkah di hadapannya dengan tajam.

“O,” desis Pangeran Pati dalam hati kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya setelah beberapa saat berpikir, "Apakah sikap emban Menik ini ada hubungannya dengan laporan Rara Anjani semalam?”

Tiba-tiba sebuah desir tajam menggores jantungnya. Sepagi ini dia belum melihat bayangan selir tercintanya itu.

“Menik,” akhirnya Pangeran Pati pun berkata, “Panggillah Rara Anjani untuk menghadap. Aku akan mengajaknya berburu menemani ayahanda Prabu. Demikian juga engkau segera bersiap. Setelah Matahari sepenggalah, kita bersama-sama ke istana menghadap Ayahanda Prabu.”

Kata-kata Pangeran Pati itu di telingga emban Menik bagaikan suara kenthong titir berita kematiannya. Dalam benaknya sudah terbayang dia bersama calon suaminya, Jajar Kawung, akan diadili di hadapan Sang Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati atas tuduhan makar. Dan hanya hukuman gantunglah yang pantas untuk mereka berdua.

Tanpa sadar emban Menik meraba lehernya dengan jari-jari yang gemetar. Rasa-rasanya tali tiang gantungan itu sudah membelit di lehernya.

“Oh, tidak..,” desah emban Menik tanpa sadar dengan suara sedikit terisak.

“Ada apa Menik?” bertanya Pangeran Pati dengan serta merta.

Emban Menik terkejut bukan alang-kepalang mendengar pertenyaan Pangeran Pati. Dengan serta merta dia segera menyembah sambil menjawab dengan suara gemetar, “Ampun Pangeran. Hamba sedang menderita sakit tenggorokan. Beberapa hari ini hamba memang merasa kurang enak badan. Mohon ampun Pangeran.”


Pamgeran Pati menarik nafas dalam-dalam mendengar jawaban emban Menik. Namun panggraita Pangeran yang luhur ing budi itu telah menangkap sesuatu yang disembunyikan oleh emban kesayangannya itu. 

(monggo jika berkenan donasi, seperti biasanya no rek ada di bagian bawah halaman ini)

22 komentar :

  1. Noted Mbah Man .....matur nuwun sanget👍🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Holopis kuntul baris...!!
      Siji kowe siji aku....holopis kuntul baris...
      kowe siji aku siji....kue lupis sikat abis...
      Kuntulne podo meringis....😆😆😆

      Hapus
  2. Setunggal mawon sampun cekapan, suwun mbah man, ki pandan alas pripun njih, wilujeng to ?

    BalasHapus
  3. Kasinggihan mbah mandrake
    Ngapunten manawi saking Hp utawi internet dlm mode sederhana, maka blog ini tdk tampil dlm versi web sehingga dampaknya no. Rekening tdk tampak.
    Bagi canmen yg ingin berdonasi terang terangan ya di waktu siang & tdk hujan atau kirim info ke email.
    Bagi canmen yg tdk ingin diketahui pengirimnya ya kirim via e-banking termsk ATM & tdk perlu kirim info via email.

    BalasHapus
  4. Donasi Sukarela

    Jika para CanMen berkenan memberikan tali asih suka rela, silahkan mengirimkan donasinya ke rekening mbah Putri: Bank Mandiri an SRI SUPRATINI NO REK: 141 001159 796 0 Mbah Man sangat berterima kasih atas partisipasi para CanMen, merupakan bentuk kepedulian para CanMen dalam mendukung Mbah Man untuk terus berkarya Bagi CanMen yang berkenan bisa info ke email:s_sudjatmiko@yahoo.com.au Matur suwun

    BalasHapus
  5. Donasi Sukarela

    Jika para CanMen berkenan memberikan tali asih suka rela, silahkan mengirimkan donasinya ke rekening mbah Putri: Bank Mandiri an SRI SUPRATINI NO REK: 141 001159 796 0 Mbah Man sangat berterima kasih atas partisipasi para CanMen, merupakan bentuk kepedulian para CanMen dalam mendukung Mbah Man untuk terus berkarya Bagi CanMen yang berkenan bisa info ke email:s_sudjatmiko@yahoo.com.au Matur suwun

    BalasHapus
  6. matur nuwun wedaranipun Mbah Man .... semoga Mbah Man selalu sehat dan terus diparingi kekuatan untuk terus menulis ....

    BalasHapus
  7. Sukses ndobel komen
    Jd mencungul tripelan
    ^_°

    BalasHapus
  8. Matur nuwun Mbah Man ..... tetap semangat !

    BalasHapus
  9. Matur nuwun mbah Man... Mugi2 diparingi sehat n tetap semangat

    BalasHapus
  10. Ki Bango Lamatan masih dalam posisi tertelungkup sampai hari ini. Untung saja dia tidak masuk dpo yg sedang pura-pura sakit. #sabarmenunggu...

    BalasHapus
  11. Jum'at barokah. Semoga semuanya mendapat keberkahan.
    "Pangeran Pati yg luhur ing budi itu menarik nafas dalam-dalam". #barokah.

    BalasHapus
  12. Balasan
    1. Sabtu menunggu
      serasa
      Sewindu berlalu

      Hapus
    2. Sabtu menunggu
      serasa
      Sewindu berlalu

      Hapus
    3. Sabtu menunggu
      serasa
      Sewindu berlalu

      Hapus
    4. Wah... ternyata tripelan komen? Semoga rontal juga tripelan ya, Ki EH? #Sabtumenunggu.

      Hapus
  13. Emban Menik menjawab sambil gemeteran: " Ampun Gusti Pangeran, hamba sedang sakit tenggorokan. Mohon jangan disidang dulu. Nanti saja kalau hamba sudah sembuh dan didampingi pengacara yg handal". #kangenkiras.com

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.