Rabu, 21 Februari 2018

Jejak Jejak Yang Terlupakan jilid 02_01

Tidak ada pilihan lain bagi Prabasemi selain meloncat mundur sambil mencabut senjatanya yang selama ini terselip di belakang punggungnya, sebilah keris luk sembilan.

Alangkah terkejutnya orang-orang yang sedang mengeroyok Prabasemi itu begitu menyadari di tangan kanan lawan mereka telah tergenggam sebilah keris luk sembilan dengan dapur Panji Sekar. Keris itu tampak bersinar redup di tangan Prabasemi.

Tanpa sadar kelima orang itu telah menghentikan langkah mereka. Dengan jantung yang berdebaran mereka mencoba sekali lagi mengenali dapur keris itu yang bagi mereka sudah tidak asing lagi.

“Keris Kiai Panji Sekar,” desis orang yang dipanggil Lurahe itu tanpa sadar sambil menahan nafasnya.

Sedangkan kawan-kawannya yang juga dapat mengenali keris di tangan Prabasemi itu tak kalah terkejutnya. Mereka seolah telah membeku di tempat masing-masing.

“Kalian mengenal keris ini?” bertanya Prabasemi kemudian sambil mengangkat keris di tangan kanannya tinggi-tinggi.

Sejenak kelima orang itu saling berpandangan. Orang yang dipanggil Lurahe itulah yang akhirnya menjawab, “Kami mengenal pusaka itu sebagaimana kami mengenal pemiliknya, Resi Panji Sekar.”

Prabsemi tersenyum sambil menarik nafas dalam-dalam. Dengan perlahan disarungkan kembali keris Kiai Panji Sekar itu ke dalam wrangkanya. Katanya kemudian, “Nah, jika kalian telah mengenal keris ini dan juga pemiliknya, tentu kalian akan mengurungkan niat kalian untuk merampokku.”

“Ki Sanak benar,” sahut Lurahe cepat sambil memberi isyarat ke arah kawan-kawannya untuk menyarungkan senjata mereka. Lanjutnya kemudian, “Resi panji Sekar bagi kami adalah pelindung padukuhan Cangkring walaupun beliau sangat tidak setuju dengan cara hidup yang kami tempuh. Namun Resi Panji Sekar selalu memberikan perlindungan jika terjadi sesuatu dengan padukuhan kami.”

“Di manakah Resi Panji Sekar sekarang ini berada?” bertanya Prabasemi memotong pembicaraan Lurahe.

Sejenak orang-orang yang berada di padang Kerep itu menjadi heran. Seingat mereka Resi Panji Sekar tidak pernah berpisah dengan pusakanya itu. Namun kini di hadapan mereka sedang berdiri seseorang yang membawa pusakanya dan justru menanyakan keberadaan Resi Panji Sekar.

“Apakah ada yang aneh dengan pertanyaanku, Ki Sanak?” bertanya Prabasemi kemudian begitu melihat kelima orang itu hanya diam termangu-mangu.

Lurahe yang merasa bertanggung jawab atas kelompoknya itu segera bergeser selangkah maju sambil menjawab, “Ki Sanak, sebelumnya kami minta maaf atas perlakuan kami kepada ki Sanak. Walaupun kami belum jelas duduk permasalahannya, namun kami yakin Ki Sanak mempunyai hubungan dengan Resi Panji Sekar,” Lurahe berhenti sejenak untuk membasahi kerongkonagnnya yang menjadi kering. Lanjutnya kemudian, “Sejauh pengetahuan kami, Resi Panji Sekar tidak pernah berpisah dengan keris pusakanya itu. Itulah sebabnya orang-orang memanggilnya dengan nama Resi Panji Sekar sehubungan dengan keris pusaka Kiai Panji Sekar yang dimilikinya.”

Prabasemi termenung. Kenangannya segera melayang saat dia baru saja sinengkakake ing ngaluhur, diangkat menjadi seorang Tumenggung di Kasultanan Demak. Suatu hari kakak seperguruannya Sembada jagal Kedung Wuni telah mengunjunginya bersama salah seorang cantrik perguruannya.

“Adi Tumenggung,” demikian kakak seperguruannya itu kemudian berkata setelah sebelumnya saling menanyakan keselamatan masing-masing, “Aku baru saja menerima berita dari perguruan kita bahwa Guru sedang menderita sakit keras. Guru mengharapkan kedatangan kita berdua.”

Sejenak Tumenggung Prabasemi termenung. Memang sudah cukup lama dia tidak mengunjungi padepokannya. Dulu semasa dia masih berpangkat Prajurit Wira Tamtama, masih banyak waktu luang bagi dirinya untuk mengunjungi padepokannya itu. Namun setelah dia diangkat menjadi Lurah Prajurit dan sekarang telah menjadi seorang Tumenggung, dirinya belum sempat meluangkan waktunya untuk menengok keberadaan perguruannya itu.

“Siapakah yang membawa berita itu , Kakang?” bertanya Tumenggung Prabasemi kemudian setelah sejenak mereka terdiam.

“Aku Kakang Tumenggung,” jawab Cantrik yang duduk di sebelah Sembada dengan serta-merta, “Keadaan Guru benar-benar mengkhawatirkan. Beliau berpesan agar Kakang berdua segera hadir di padepokan.”


Kembali Tumenggung Prabasemi termenung. Ketika tanpa sadar pandangan matanya menatap wajah kakak seperguruannya itu, tampak kecemasan yang sangat membayang di wajah Sembada jagal Kedungwuni itu.

Sabtu, 10 Februari 2018

Woro-woro

@ Yth para CanMen yang terhormat

mbah man sudah mengirim STSD 09 ke para CanMen
bagi yang belum dapat, segera email ke s_sudjatmiko@yahoo.com.au
jangan ke blog  ini, agar mbah man cepat membalasnya
matur suwun atas kesabarannya.

salam,
mbah man