Tidak ada pilihan lain bagi Prabasemi selain
meloncat mundur sambil mencabut senjatanya yang selama ini terselip di belakang
punggungnya, sebilah keris luk sembilan.
Alangkah terkejutnya orang-orang yang sedang
mengeroyok Prabasemi itu begitu menyadari di tangan kanan lawan mereka telah
tergenggam sebilah keris luk sembilan dengan dapur Panji Sekar. Keris itu
tampak bersinar redup di tangan Prabasemi.
Tanpa sadar kelima orang itu telah menghentikan
langkah mereka. Dengan jantung yang berdebaran mereka mencoba sekali lagi
mengenali dapur keris itu yang bagi mereka sudah tidak asing lagi.
“Keris Kiai Panji Sekar,” desis orang yang
dipanggil Lurahe itu tanpa sadar sambil menahan nafasnya.
Sedangkan kawan-kawannya yang juga dapat mengenali
keris di tangan Prabasemi itu tak kalah terkejutnya. Mereka seolah telah
membeku di tempat masing-masing.
“Kalian mengenal keris ini?” bertanya Prabasemi
kemudian sambil mengangkat keris di tangan kanannya tinggi-tinggi.
Sejenak kelima orang itu saling berpandangan. Orang
yang dipanggil Lurahe itulah yang akhirnya menjawab, “Kami mengenal pusaka itu
sebagaimana kami mengenal pemiliknya, Resi Panji Sekar.”
Prabsemi tersenyum sambil menarik nafas
dalam-dalam. Dengan perlahan disarungkan kembali keris Kiai Panji Sekar itu ke
dalam wrangkanya. Katanya kemudian, “Nah, jika kalian telah mengenal keris ini
dan juga pemiliknya, tentu kalian akan mengurungkan niat kalian untuk
merampokku.”
“Ki Sanak benar,” sahut Lurahe cepat sambil memberi
isyarat ke arah kawan-kawannya untuk menyarungkan senjata mereka. Lanjutnya
kemudian, “Resi panji Sekar bagi kami adalah pelindung padukuhan Cangkring
walaupun beliau sangat tidak setuju dengan cara hidup yang kami tempuh. Namun
Resi Panji Sekar selalu memberikan perlindungan jika terjadi sesuatu dengan
padukuhan kami.”
“Di manakah Resi Panji Sekar sekarang ini berada?”
bertanya Prabasemi memotong pembicaraan Lurahe.
Sejenak orang-orang yang berada di padang Kerep itu
menjadi heran. Seingat mereka Resi Panji Sekar tidak pernah berpisah dengan
pusakanya itu. Namun kini di hadapan mereka sedang berdiri seseorang yang
membawa pusakanya dan justru menanyakan keberadaan Resi Panji Sekar.
“Apakah ada yang aneh dengan pertanyaanku, Ki
Sanak?” bertanya Prabasemi kemudian begitu melihat kelima orang itu hanya diam
termangu-mangu.
Lurahe yang merasa bertanggung jawab atas
kelompoknya itu segera bergeser selangkah maju sambil menjawab, “Ki Sanak,
sebelumnya kami minta maaf atas perlakuan kami kepada ki Sanak. Walaupun kami
belum jelas duduk permasalahannya, namun kami yakin Ki Sanak mempunyai hubungan
dengan Resi Panji Sekar,” Lurahe berhenti sejenak untuk membasahi
kerongkonagnnya yang menjadi kering. Lanjutnya kemudian, “Sejauh pengetahuan
kami, Resi Panji Sekar tidak pernah berpisah dengan keris pusakanya itu. Itulah
sebabnya orang-orang memanggilnya dengan nama Resi Panji Sekar sehubungan
dengan keris pusaka Kiai Panji Sekar yang dimilikinya.”
Prabasemi termenung. Kenangannya segera melayang
saat dia baru saja sinengkakake ing ngaluhur,
diangkat menjadi seorang Tumenggung di Kasultanan Demak. Suatu hari kakak seperguruannya
Sembada jagal Kedung Wuni telah mengunjunginya bersama salah seorang cantrik perguruannya.
“Adi Tumenggung,” demikian kakak seperguruannya itu
kemudian berkata setelah sebelumnya saling menanyakan keselamatan masing-masing,
“Aku baru saja menerima berita dari perguruan kita bahwa Guru sedang menderita
sakit keras. Guru mengharapkan kedatangan kita berdua.”
Sejenak Tumenggung Prabasemi termenung. Memang sudah
cukup lama dia tidak mengunjungi padepokannya. Dulu semasa dia masih berpangkat
Prajurit Wira Tamtama, masih banyak waktu luang bagi dirinya untuk mengunjungi padepokannya
itu. Namun setelah dia diangkat menjadi Lurah Prajurit dan sekarang telah menjadi
seorang Tumenggung, dirinya belum sempat meluangkan waktunya untuk menengok keberadaan
perguruannya itu.
“Siapakah yang membawa berita itu , Kakang?” bertanya
Tumenggung Prabasemi kemudian setelah sejenak mereka terdiam.
“Aku Kakang Tumenggung,” jawab Cantrik yang duduk di
sebelah Sembada dengan serta-merta, “Keadaan Guru benar-benar mengkhawatirkan. Beliau
berpesan agar Kakang berdua segera hadir di padepokan.”
Kembali Tumenggung Prabasemi termenung. Ketika tanpa
sadar pandangan matanya menatap wajah kakak seperguruannya itu, tampak kecemasan
yang sangat membayang di wajah Sembada jagal Kedungwuni itu.