Sabtu, 28 September 2019

STSD 16 telah terbit. Yang berkenan segera daftar


Tiba-tiba terlintas dalam ingatan Ki Rangga apa yang tertulis pada lembar pertama kitab Ki Waskita.

Bahwa saat bintang yang cahayanya seperti seribu obor yang menyala dilangit, seorang pertapa yang telah menjauhkan diri dari libatan pengaruh duniawi, dan yang telah mendekatkan diri pada sangkan paraning dumadi, yang diberi pertanda oleh Yang Maha Sakti dengan gelar Empu Pahari, telah menerima wisik di dalam mimpi menjelang fajar menyingsing, bahwa tangannya akan menjadi lantaran turunnya ilmu yang akan diwarisi oleh para sakti yang mendapat anugerah sejati, untuk diamalkan sesuai dengan tetesan hati yang bening dalam kasih. Dan mereka yang mewarisi di atas alas kebenaran akan menjadi pelita yang dapat menerangi kegelapan di sekitarnya. Akan terdengar sorak sorai kegembiraan di hati sesama yang dilindunginya dan akan terdengar gemeretak gigi dan tangis kehancuran bagi mereka yang terkena azabnya karena langkah yang sesat. Terpujilah Yang Maha Benar"

Monggo yang berkenan untuk teman malam mingguan langsung daftar
matur suwun

Senin, 12 Agustus 2019

woro2 lagi

Assalamu 'alaikum

@ cantrik mentrik ingkang dahat kinurmatan

Jika masih ada Cantrik Mentrik yang masih berkenan mendapatkan STSD 15, silahkan email ke s_sudjatmiko@yahoo.com.au
tidak ada persyaratan yang mengikat. Jika berkenan donasi, sangat disyukuri. Jika berkenan mendoakan untuk kebaikan dan kesehatan juga sangat disyukuri. Yang penting terjalin tali silahturahmi.
Terus terang mbah man kesulitan untuk mencari alamat email masing2 CanMen, karena alamat email bercampur dengan yang lain2. maklum sudah tua dan GapTek.
semoga dimaklumi dan berkenan
matur suwun sebelumnya

Wassalamu 'alaikum

Padepokan Sekar Keluwih Sidoarjo

mbah man

Senin, 29 Juli 2019

Woro2


Jika tidak ada aral melntang dan gambar sudah selesai, besuk STSD 15 akan terbit
mohon yang berkenan langsung ke TKP
email : s_sudjatmiko@yahoo.com.au
matur suwun

Minggu, 23 Juni 2019

woro-woro

@ para CanMen yang berkenan STSD 14
mohon langsung ke TKP email: s_sudjatmiko@yahoo.com.au
jangan di Blog ini karena mbah man jarang berkunjung ke taman ini
mohon perhatian dan terima kasih

salam,
mbah man

Kamis, 02 Mei 2019

STSD 14







 “Ternyata sifat Ki Swandaru telah menurun kepada anaknya,” hampir setiap dada telah terguncang oleh pernyataan sikap Bayu Swandana itu.
“Kasihan Nyi Pandan Wangi,”  seorang pengawal yang rambutnya mulai beruban melanjutkan angan-angannya,  “Semoga Ki Argapati di Menoreh lambat laun akan mampu membentuk anak ini menjadi anak yang andap asor dan berbudi luhur serta menjadi harapan bagi masa depan kedua daerah yang besar itu.”
Sedangkan perempuan parobaya yang ternyata adalah Pandan Wangi, ibu Bayu Swandana itu justru telah terpekur di atas kudanya yang berderap perlahan. Berbagai tanggapan pun telah tumbuh di dalam hatinya.
“Ayah Demang memang terlalu memanjakannya,” berkata Pandan Wangi dalam hati sambil terus mengendalikan kudanya agar tidak berderap terlalu kencang, “Apapun tingkah lakunya selalu dibenarkan dan didukung. Mungkin kenangan atas kakang Swandaru telah membuat ayah Demang berbuat seperti itu.”
Demikianlah kelima kuda ekor itu berderap terus menyusuri pinggir hutan yang masih cukup lebat. Sesekali mereka melihat beberapa ekor kera bergelantungan di pepohonan di pinggir hutan. Terdengar suara mereka yang ribut dan saling bersahut-sahutan.
“Paman,” tiba-tiba Bayu Swandana menyeluthuk, “Mengapa kera-kera itu mengikuti kita?”
Orang yang dipanggil paman itu tersenyum sebelum menjawab. Jawabnya kemudian, “Tentu saja mereka bercuriga terhadap kita. Mereka selalu bercuriga terhadap sesuatu yang mereka anggap asing dan berbahaya bagi kelompok mereka. Sebenarnyalah mereka hanya berusaha mengawal kita sampai keluar hutan untuk meyakinkan bahwa kita tidak akan mengganggu mereka.”
Tampak kepala Bayu Swandana terangguk-angguk. Kemudian sambil sedikit berteriak dia bertanya kepada Pandan Wangi yang berkuda di depan, “Biyung, masih lamakah perjalanan ini?”
Pandan Wangi yang kembali berkuda di depan berpaling ke belakang sekilas sambil menjawab, “Sedikit lagi, ngger. Bersabarlah. Nanti setelah sampai di kediaman kakek Argapati, engkau dapat beristirahat sepuas-puasnya.”
“Aku tidak akan tidur,biyung,” sela Bayu Swandana cepat, “Aku akan mengajak kakek Argapati untuk berkuda berkeliling perdikan Menoreh.”
Pandan Wangi tersenyum mendengar ucapan anak laki-laki satu-satunya yang terdengar penuh semangat itu. Beberapa pengawal yang ikut dalam rombongan itu pun tampak tersenyum.
“Malam-malam engkau akan berkuda, ngger?” tiba-tiba salah seorang pengawal yang berkuda di belakang bertanya.
Bayu Swandana berusaha berpaling ke belakang untuk melihat pengawal yang bertanya itu. Namun pandangan matanya tertutup tubuh pengawal yang berkuda dengannya. Maka jawabnya sambil sedikit berteriak, “Apa salahnya berkuda malam-malam? Udara malam tidak sepanas siang hari sehingga kita tidak akan cepat lelah dan dapat berkuda sepuas-puasnya.”
“Namun kuda juga perlu beristirahat,” sahut pengawal yang berkuda bersamanya, “Sebagaimana manusia, binatang juga perlu beristirahat di malam hari.”
“Tapi kelelawar itu justru berkeliaran di malam hari,” sergah Bayu Swandana cepat, “Pohon jambu di belakang dapur itu buahnya yang sudah masak habis dimakan kelelawar. Padahal aku baru mau memetiknya keesokan harinya.”
Orang-orang yang mendengar gerutu Bayu Swandana itu tak urung telah tersenyum geli.
“Ngger, Tuhan Yang Maha Agung menciptakan makhlukNya berbeda-beda,” jawab pengawal yang berkuda dengannya sambil tersenyum sareh, “Ada makhluk yang memang menggunakan siang hari untuk bekerja dan malam hari untuk berisitrahat, contohnya kita sebagai manusia. Namun ada juga makhluk yang menggunakan siang hari untuk beristirahat dan malam hari untuk mencari makan, salah satunya adalah kelelawar itu.”
“Tapi manusia kadang-kadang ada yang hidupnya seperti kelelawar,” sahut Bayu Swandana cepat.
“Apa maksudmu, ngger?”  sahut pengawal yang berkuda bersamanya dengan kerut merut di dahi.
Bayu Swandana tertawa pendek. Jawabnya kemudian sambil tangannya kanannya menunjuk ke belakang, ke arah pengawal yang berkuda bersamanya, “Paman sendiri yang aku lihat kemarin menjadi kelelawar.”
“He?!” hampir bersamaan para pengawal yang ikut dalam rombongan itu terlonjak kaget. Tak terkecuali Pandan Wangi yang berkuda di depan pun ikut berpaling.
“Kapan aku menjadi kelelawar, ngger?” bertanya pengawal yang berkuda bersamanya itu dengan serta merta dan nada penuh keheranan.
Kembali Bayu Swandana tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Kemarin lusa aku lihat paman tidur seharian di lincak dekat longkangan. Baru menjelang Matahari terbenam paman bangun dan pergi ke pakiwan belakang dapur.”
“Ah!” serentak para pengawal itu tertawa. Pandan Wangi pun tersenyum menanggapi ucapan anak semata wayangnya itu.
“Itu karena paman semalaman habis meronda ke seluruh wilayah kademangan Sangkal Putung,” berkata pengawal yang berkuda bersamanya itu kemudian, “Paman sangat mengantuk dan memang hampir seharian tidur di lincak dekat longkangan itu.”
“Nah, bukankah benar yang aku katakan,” sergah Bayu Swandana cepat, “Saat itu paman sedang menjadi kelelawar. Bekerja di malam hari dan tidur di siang hari.”
“Memang benar, ngger,” seorang pengawal yang berkuda di belakangnya menyahut sambil memacu kudanya menjajari kuda Bayu Swandana, “Kelak engkau akan melihat banyak manusia yang hidupnya seperti kelelawar.”
“Ah, sudahlah,” tiba-tiba tedengar Pandan Wangi yang berkuda di depan memotong. Tanyanya kemudian mengalihkan pembicaraan, “Apakah kita akan melewati Kota Raja?”
“Ya, ya, biyung. Kita lewat Kota Raja!” sahut Bayu Swandana kegirangan, “Aku belum pernah melihat Kota Raja. Alangkah indahnya! Kita dapat bermalam di Kota Raja, biyung.”
“Sebaiknya kita menghindari Kota Raja, nyi,” pengawal yang berkuda bersama Bayu Swandana itu lah yang menjawab, “Jika nyi Pandan Wangi sependapat, kita sedikit ke selatan melewati kademangan Sewon yang besar. Namun aku rasa perjalanan kita tidak akan mengalami banyak hambatan. Berbeda dengan jika kita melewati Kota Raja.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya sambil berpaling sekilas ke belakang. Tanyanya kemudian, “Ada apa dengan Kota Raja jika kita melewatinya?”
“Maaf nyi,” jawab pengawal itu, “Bukan Kota Raja itu sendiri yang menjadi masalah. Namun rombongan ini akan sangat menarik perhatian para prajurit yang menjaga pintu gerbang Kota Raja.”
“Maksudmu, pakaian yang aku kenakan ini akan menarik perhatian mereka?”
“Demikianlah, nyi. Itu  menurut perhitunganku.”
“Ada apa dengan biyung?” tiba-tiba Bayu Swandana menyeluthuk dengan nada bersungut-sungut, “Biyung terlihat sangat cantik dan gagah mengenakan pakaian itu. Apalagi biyung juga membawa sepasang pedang di lambung. Para prajurit  yang menjaga pintu gerbang pasti akan ketakutan.”
Hampir semua orang dalam rombongan itu telah tersenyum mendengar ucapan Bayu Swandana.
“Tidak,ngger,” jawab Pandan Wangi kemudian sambil mengurangi laju kudanya dan menjajari kuda yang ditunggangi pengawal bersama anaknya, “Para prajurit Mataram tidak mengenal rasa takut. Sebaiknya kita memang menghindari Kota Raja. Bukan berarti kita takut dengan para prajurit Mataram. Mereka sangat baik. Namun lebih baik kita menghindari Kota Raja. Kota Raja sangat ramai dan kemungkinannya perjalanan kita akan sangat lambat. Berbeda jika kita melewati kademangan Sewon. Kita dapat berpacu di bulak-bulak panjang sehingga setelah Matahari terbenam kita sudah akan menyeberangi kali Praga.”
“Horee..!!!  Kita akan berpacu lagi!” seru Bayu Swandana gembira, “Aku sudah bosan naik kuda pelan-pelan. Seperti menaiki seekor kerbau.”
“Ah”, beberapa pengawal tertawa. Salah satu dari pengawal yang berkuda di belakang itu pun kemudian menyahut, “Tapi naik kerbau sangat menyenangkan. Kita dapat duduk dengan tenang sambil terkantuk-kantuk.”

Kembali terdengar orang-orang dalam rombongan itu tertawa. Bayu Swandana pun tertawa karena dia sering melakukannya jika musim menggarap sawah tiba. Kakeknya Ki Demang Sangkal Putung mempunyai kerbau yang cukup banyak sehingga dia sering ikut ke sawah sambil menaiki kerbau.


Senin, 22 April 2019

STSD 13 telah terbit

Woro2
Yang merasa belum mendapat kiriman STSD 13 dimohon email ke:
s_sudjatmiko@yahoo.com.au
Matur suwun atas kesabarannya selama ini
salam hormat,
mbah man

Selasa, 19 Maret 2019

STSD 13_07


Segera saja orang-orang yang berada di atas dahan yang paling tinggi kembali meleparkan pandangan mata mereka jauh ke depan. Sejenak mereka masih menunggu. Lamat-lamat raut wajah ketiga penunggang kuda itu memang semakin lama semakin jelas. Setelah garis-garis wajah serta bentuk tubuh ketiga penunggang kuda itu dapat diamati secara jelas, bagaikan telah berjanji sebelumnya dan lupa akan pesan cantrik Bonggol dan orang berkumis tipis itu, mereka pun serentak berteriak dengan gegap gempita.
“Raden Wirasena telah dataang..!!”
“Hidup Raden Wirasena..!!!”
“Hidup Trah Sekar Seda Lepen..!!!”
“Balaskan dendam saudara-saudara kami…!!!”
“Hancurkan perdikan Matesih…!!”
“Rebut kembali padepokan Sapta Dhahana…!!!”
“Bumi hanguskan perdikan Matesih dan boyong putri Matesih Nimas Ratri..!!!” tiba-tiba saja seorang cantrik yang tinggi kekurus-kurusan dan duduk di cabang yang rendah telah berteriak cukup lantang di sela-sela gegap gempita teriakan kawan-kawannya.
“He..?!!” seru kawan yang duduk di sebelahnya sambil menyikut lambung cantrik kurus itu, “Apa maksudmu?”
Cantrik kurus itu berpaling sambil tersenyum penuh arti. Jawabnya kemudian, “Aku lebih senang menyerbu perdikan Matesih dari pada merebut kembali padepokan kita.”
Kawannya ternyata masih belum dapat menangkap maksud cantrik kurus itu. Maka sekali lagi dia bertanya, “Mengapa? Bukankah merebut padepokan kita berarti kita dapat kembali ke rumah kita yang selama ini kita tinggali? Padepokan Sapta Dhahana bagiku menyimpan seribu kenangan yang akan sangat sulit bagiku untuk dilupakan.”
“Ah, apa peduliku,” sahut cantrik kurus itu, “Aku lebih senang menjarah perdikan Matesih terutama kediaman Ki Gede Matesih. Tentu banyak barang-barang berharga yang tersimpan di sana. Dan yang paling berharga tentu puteri Matesih yang cantik jelita itu.”
“He..?!!” kembali kawannya terkejut bukan alang kepalang mendengar apa yang tersimpan dalam benak Cantrik kurus itu. Tanpa sadar dia berpaling dan memandang tajam ke arahnya sambil berkata dengan suara bergetar, “Agaknya otakmu sudah engsle, jika Raden Surengpati mendengar omonganmu yang ngelantur itu, aku jamin engkau tidak akan sempat melihat Matahari terbenam hari ini.”
Namun Cantrik kurus itu justru telah tertawa kecil sambil berbisik ke arah telinga kawannya, “Adik Trah Sekar Seda Lepen itu nyawanya sudah berada di ujung rambut. Dia tidak akan mampu berbuat apa-apa seandainya malam ini kita menyerbu Matesih dan aku akan memboyong puteri yang cantik itu. Dia pasti belum mampu ikut dalam pasukan yang akan dipimpin langsung oleh Raden Wirasena. Dia akan menjadi penunggu hutan bersama tabib tua itu.”
“Gila..!!” umpat kawannya berkali-kali. Namun Cantrik kurus itu justru telah melanjutkan tawanya.
“Engkau akan dibunuh Raden Wirasena!” kembali kawannya menggeram, “Raden Wirasena sangat sayang kepada adik satu-satunya itu. Jika engkau mencoba mengganggunya, sama saja engkau membunuh dirimu sendiri.”
Namun Cantrik kurus itu tampak kembali tersenyum aneh. Jawabnya kemudian, “Raden Wirasena sama sekali tidak tertarik dengan urusan tetek bengek yang melibatkan perempuan. Jika adiknya kemudian mempunyai hubungan khusus dengan puteri Matesih itu, dia juga tidak akan perduli. Baginya berjuangan meraih tahta adalah segala-galanya.”
Kawannya tampak termenung beberapa saat. Namun pada akhirnya dia justru telah ikut tertawa sambil berkata, “Ah, sudahlah. Persetan dengan semua itu. Bagiku perjuangan Trah Sekar Seda Lepen ini harus berhasil.”
Demikianlah,  masih banyak lagi teriakan bersahut-sahutan dari atas pohon itu yang segera disambut dengan gegap gempita oleh kawan-kawan mereka yang berada di bawah pohon.
Sejenak dahi cantrik Bonggol berkerut. Tanpa sadar dia berpaling ke arah orang berkumis tipis itu yang berdiri hanya beberapa langkah saja di sampingnya.
Namun ternyata orang berkumis tipis itu hanya tersenyum kecut sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tanpa mengucap sepatah kata pun dia kemudian melangkah maju keluar dari gerumbul perdu yang cukup lebat yang tumbuh di hadapannya.
Cantrik Bonggol pun akhirnya mengikuti langkah orang berkumis tipis itu untuk maju beberapa langkah lagi menyambut kedatangan pemimpin mereka yang sangat ditunggu-tunggu kehadirannya.
Dalam pada itu beberapa orang yang berada di atas pohon ternyata telah meluncur turun dengan cepat. Agaknya mereka juga ingin menyambut kedatangan pemimpin mereka yang sangat di hormati dan di gadang-gadang akan dapat mengeluarkan mereka dari kehidupan yang penuh papa cintraka menuju ke bebrayan yang gemah ripah loh jinawi. Tata titi tentrem kerta raharja, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku.
 “Perintahkan salah seorang cantrik untuk melaporkan kedatangan Raden Wirasena ini,” tiba-tiba orang berkumis tipis itu berdesis perlahan kepada cantrik Bonggol yang berjalan di sampingnya.
Cantrik Bonggol pun tanggap. Segera saja salah seorang cantrik yang berjalan beberapa langkah di belakangnya diberi isyarat untuk maju mendekatinya.
“Laporkan kepada Raden Surengpati bahwa Kakandanya telah hadir di tengah-tengah kita,” bisiknya kemudian.
Cantrik itu tampak mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian dengan nada sedikit ragu-ragu, “Bukankah Raden Surengpati sedang sakit?”
“Aku tahu,” sahut Cantrik Bonggol cepat, “Tapi sebelum aku pergi ke tempat ini, aku lihat Raden Surengpati sudah mampu duduk bersandaran pada sebatang pohon. Semoga berita kedatangan Kakandanya ini akan semakin memacu semangatnya untuk segera sembuh.”
Cantrik itu tampak menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Tanpa bertanya lagi, dia segera memisahkan diri dengan kawan-kawannya dan berjalan kembali ke dalam hutan.

Senin, 11 Maret 2019

STSD 13_06

Eyang Guru tersenyum sambil memandang wajah Raden Wirasena dan Soma berganti-ganti. Agaknya Eyang Guru berusaha menghilangkan kesan ketegangan itu dari wajahnya. Maka jawabnya kemudian, “Baiklah Raden, aku akan membasuh wajah dan kedua lenganku. Setelah itu kita meneruskan perjalanan.”
Demikianlah setelah Eyang Guru selesai membersihkan diri secukupnya, ketiga orang itu segera naik ke tanggul sungai yang tidak seberapa tinggi. Sejenak kemudian ketiga orang itu pun telah berderap kembali di atas kuda masing-masing.
Dalam pada itu, di hutan sebelah barat kaki bukit Tidar, di antara pepatnya pepohonan dan lebatnya gerumbul di pinggir hutan yang memisahkan hutan itu dengan sebuah gumuk kecil, tampak beberapa orang sedang berjaga-jaga.
Sebagian ada yang duduk-duduk di bawah pohon yang menjorok agak ke dalam sehingga terlindung dari pandangan luar, sebagian justru telah memanjat dan duduk di atas cabang-cabang pohon yang tinggi.
Di hadapan hutan sebelah barat kaki gunung Tidar itu terhampar tanah yang cukup luas dengan berbagai macam tanaman buah-buahan maupun pepohonan liar bercampur jadi satu. Agaknya tanah bera itu adalah bekas pategalan yang pernah digarap akan tetapi telah ditinggalkan oleh pemiliknya.
Tanah bekas pategalan itu sangat luas. Mungkin dulunya telah diolah oleh beberapa orang namun karena jauh dari sumber air, akhirnya ditinggalkan begitu saja.
Beberapa pohon buah-buahan yang sempat ditanam ternyata mampu bertahan dan tumbuh menjulang. Sedangkan berbagai jenis tanaman palawija yang diusahakan ternyata tidak menghasilkan panen yang memuaskan. Sebagai gantinya telah tumbuh gerumbul-gerumbul dan perdu liar serta tanaman menjalar yang menutupi hampir seluruh tanah bekas pategalan itu.
“Apakah engkau telah melihat sesuatu?” tiba-tiba terdengar suara seseorang bertanya dari bawah sebatang pohon besar yang digunakan oleh beberapa orang untuk mengawasi keadaan.
“Belum Kakang Bonggol,” jawab salah seorang yang sedang duduk-duduk di atas sebuah cabang pohon yang tinggi itu, “Sedari tadi kami terus mengamati keadaan dan belum terlihat tanda-tanda kakang Soma telah kembali.”
Orang yang dipanggil kakang Bonggol itu tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil berusaha mempertajam pandangan matanya. Namun yang terlihat di hadapannya hanyalah hamparan pategalan yang hampir berubah menjadi sebuah hutan kecil.
Untuk beberapa saat cantrik Bonggol masih berdiri termangu-mangu di bawah pohon itu. Baru setelah menarik nafas dalam-dalam dia pun kemudian melangkah pergi sambil berkata, “Terus amati keadaan. Menurut perhitunganku, jika Soma memang dapat menjumpai mereka, setelah Matahari tergelincir ke barat, barulah mereka akan memasuki daerah ini.”
Namun langkahnya tertegun ketika salah seorang anak buahnya yang berada di cabang paling tinggi telah berteriak, “Kakang Bonggol..!  Aku melihat tiga ekor kuda! Ya ..! Tiga ekor kuda sedang berpacu ke arah tempat ini!”
Dengan bergegas cantrik Bonggol segera berbalik dan melangkah ke tempat yang lebih terbuka. Namun karena tanah pategalan itu telah hampir menjadi sebuah hutan kecil, pandangan matanya terhalang oleh pepohonan dan gerumbul liar yang tumbuh menjulang tinggi.
Sedangkan beberapa orang yang berada di cabang yang rendah berusaha untuk memanjat lebih tinggi agar pandangan mata mereka tidak terhalang.
“Ya..! Aku juga melihatnya..!” tiba-tiba salah seorang dari mereka ikut berteriak.
“Tiga ekor kuda..!!” teriak yang lain tak kalah kerasnya.
“Ya..ya. aku juga telah melihatnya!!” timpal yang lain.
“Mereka keluar dari balik gumuk kecil itu..!!” seru orang pertama yang melihat ketiga penunggang kuda itu.
“Diam..!!” tiba-tiba terdengar cantrik Bonggol membentak keras sehingga telah mengejutkan anak buahnya yang sedang berada di atas pohon. Sementara beberapa orang yang tersebar di gerumbul dan batang-batang perdu telah tertarik dengan keributan itu dan melangkah mendekat.
“Ada apa ribut-ribut?” bertanya seorang yang berkumis tipis dan berjangggut jarang sesampainya dia di hadapan cantrik Bonggol.
Cantrik Bonggol berpaling sekilas. Jawabnya kemudian, “Para pengawas telah melihat tiga penunggang kuda dari balik gumuk kecil itu dan sedang berpacu ke tempat ini. Namun sikap mereka sungguh memuakkan. Berteriak-teriak seperti laku anjing-anjing pemburu yang melihat seekor pelanduk sembunyi dalam semak.”

Orang-orang yang sedang berada di atas pohon itu terdiam mendengar kata-kata cantrik yang dituakan diantara mereka. Sedangkan orang yang berkumir tipis dan berjanggut jarang itu telah mendongakkan kepalanya ke atas. Katanya kemudian, “Kalian para pengawas tidak selayaknya berbuat demikian. Kita belum tahu siapa yang datang. Segala sesuatunya harus dilakukan dalam keadaan senyap namun tetap dalam kesiap siagaan yang tinggi,” orang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Nah, sekarang apakah kalian sudah dapat mengenali siapa mereka?”

Senin, 04 Maret 2019

STSD 13_05

“Gila!” geram seorang penunggang kuda yang terlihat masih muda dibanding dengan kedua kawan seperjalanannya, “Menurut perhitunganku, sebelum Matahari sepenggalah kita sudah sampai di kaki bukit Tidar sebelah barat. Namun padang perdu ini ternyata cukup sulit untuk dilewati dengan berpacu kencang.”
“Ya, Raden,” jawab penunggang kuda di sebelahnya yang terlihat sudah tua namun masih tampak segar dan kuat, “Namun kita masih punya cukup waktu. Setidaknya kita akan mengirim utusan ke padepokan Setra Gandamayit sebelum Matahari sampai puncaknya.”
Orang yang dipanggil Raden itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sambil berpaling ke belakang dia bertanya, “Soma, apakah tujuan kita masih jauh?”
Orang yang berkuda di belakang itu segera memacu kudanya menjajari kedua kuda yang ada di depan. Jawab Soma kemudian, “Sudah cukup dekat Raden. Setelah padang perdu ini kita berbelok ke kiri dan menelusuri tepian sebuah sungai kecil yang dangkal. Sebelum sungai itu berkelok ke barat, kita berjalan terus dan kemudian menerobos hutan di kaki bukit Tidar sebelah barat.”
Orang yang dipanggil Raden itu menarik nafas dalam-dalam sambil tetap memacu kudanya dengan kecepatan sedang menghindari gerumbul-gerumbul perdu yang banyak bertebaran di padang rumput itu.
“Untunglah kita mendapatkan kuda, Raden,” desis orang yang terlihat sudah sangat sepuh itu, “Jika tidak, mungkin baru sirep bocah kita akan sampai di tujuan.”
Orang yang dipanggil Raden itu tertawa pendek. Katanya kemudian, “Eyang guru benar. Aku tadi sudah hampir putus asa untuk mendapatkan ketiga ekor kuda ini. Untunglah pemilik kuda itu tertarik dengan timang emas yang sedang aku pakai.”
“Sebenarnya aku lebih senang mencekiknya saja sampai mati untuk mendapatkan ketiga ekor kuda ini,” geram orang yang sudah sangat sepuh itu yang ternyata adalah Eyang guru, “Raden terlalu berbaik hati. Dalam keadaan yang serba tidak menentu ini, kita harus berani mengambil keputusan cepat. Apapun akibat yang akan ditimbulkannya.”
Raden Wirasena yang berkuda di sebelahnya tidak menjawab. Hanya tampak keningnya saja yang sedikit berkerut. Sementara Soma yang kembali berkuda di belakang telah menarik nafas dalam-dalam.
Demikianlah ketiga ekor kuda berserta penunggangnya itu pun akhirnya keluar dari padang perdu yang cukup luas itu. Ketika mereka kemudian berbelok ke kiri, sesuai dengan petunjuk Soma, mereka telah menjumpai sebuah sungai yang dangkal dan tidak seberapa lebar namun berair sangat bening. Suara gemericik air di sela-sela batu-batu yang banyak berserakan di dalam sungai itu terdengar  sangat merdu dan terasa menyejukkan kalbu.
Tanpa sadar raden Wirasena memperlambat laju kudanya sambil mengamat-amati sungai yang bertebing landai itu. Eyang Guru dan Soma pun ikut memperlambat kuda mereka.
“Apakah Raden berkenan membersihkan diri di sungai itu?” tiba-tiba  pertanyaan itu terlontar begitu saja dari Eyang Guru.
Sejenak Raden Wirasena mengerutkan keningnya. Dia dan Eyang Guru memang telah menempuh perjalanan semalam suntuk dan sama sekali belum bersentuhan dengan air. Adalah kurang pada tempatnya jika dia dan Eyang Guru terlihat sangat kusut sesampainya mereka berdua nanti di hadapan para pengikutnya.
“Baiklah,” jawab Raden Wirasena kemudian sambil mengekang kudanya sehingga berhenti. Sambil meloncat turun Raden Wirasena meneruskan, “Kita membersihkan diri seperlunya sebelum mencapai hutan sebelah barat kaki bukit Tidar.”
Eyang Guru dan Soma pun serentak ikut mengekang kuda mereka dan mengikuti Raden Wirasena meloncat turun.
Setelah menambatkan kuda-kuda mereka pada batang-batang perdu yang banyak terdapat di tanggul sungai itu, ketiga orang itu pun kemudian menuruni lereng sungai yang landai menuju ke sungai.
Begitu kaki-kaki mereka bersentuhan dengan beningnya air sungai itu, terasa betapa sejuknya air sungai itu membasahi kaki-kaki mereka.
Agaknya Soma yang tidak dapat menahan diri. Segera saja dia membungkuk dan mengambil air yang bening dan sejuk itu dengan kedua telapak tangannya.
“Alangkah segarnya,” desis Soma sambil menyiramkan air itu ke wajahnya. Merasa kurang puas, Soma pun kemudian mengulanginya beberapa kali.
Raden Wirasena tersenyum melihat tingkah Soma. Namun orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu pun akhirnya mengikuti apa yang telah dilakukan Soma, membasahi wajahnya dengan air sungai yang bening dan sejuk.
Sedangkan Eyang Guru untuk beberapa saat masih termangu-mangu di tepian yang basah.  Kedua kakinya terendam air sungai hanya sebatas mata kaki. Namun tampak Eyang Guru sedang memusatkan segenap kemampuannya untuk mendengarkan segala jenis bunyi di sekitarnya.
Bahkan ketika Eyang Guru kemudian kurang yakin dengan apa yang telah didengarnya, segera saja dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menunduk dalam-dalam dan memejamkan kedua matanya.
Raden Wirasena dan Soma tampak terheran-heran melihat tingkah Eyang Guru itu. Namun keduanya hanya membiarkan saja terutama Raden Wirasena. Orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu sadar sepenuhnya bahwa mungkin Eyang Guru telah mendengar sebuah desir yang mencurigakan.
“Apakah desir yang sekarang ditangkap oleh Eyang Guru adalah sama dengan desir yang terdengar beberapa saat yang lalu?” bertanya Raden Wirasena dalam hati dengan jantung yang berdebaran.
Namun Eyang Guru tidak terlalu lama. Segera saja diurai kedua tangannya yang bersilang di dada dan diangkat wajahnya sambil tersenyum. Katanya kemudian, “Marilah Raden. Pendengaran orang setua ini ternyata semakin kabur dan menyesatkan. Atau mungkin kegelisahanku sajalah yang telah mempengaruhi ketajaman panca indraku.”
Raden Wirasena sejenak tertegun mendengar uraian Eyang Guru. Diam-diam kecemasan menggores jantungnya walaupun hanya sesaat. Maka tanyanya kemudian, “Baiklah Eyang Guru. Tetapi apakah Eyang Guru tidak ingin sekedar mencuci muka agar terasa lebih segar sebelum melanjutkan perjalanan?”
Sejenak Eyang Gurur ragu-ragu. Dipandanginya pohon besar yang tumbuh menjulang di tepian seberang sungai. Beberapa saat tadi Eyang Guru melihat daun-daun pohon itu bergetar dengan tidak sewajarnya.
“Aneh,” berkata Eyang Guru kemudian dalam hati sambil kembali mengamat-amati pohon di seberang sungai itu, “Aku tadi sekilas melihat daun-daun pohon itu bergetar dengan tidak sewajarnya. Jika angin yang sangat lembut bertiup menerpa pohon itu, tentu getaran daun-daunnya tidak akan cepat dan sesingkat itu.”
Namun Eyang Guru sudah mencoba menangkap semua getaran di sekelilling tepian itu akan tetapi tidak mendapatkan  sesuatupun yang mencurigakan.

“Eyang Guru?” tiba-tiba suara Raden Wirasena membangunkan lamunannya.

Selasa, 26 Februari 2019

STSD 13_04

“Ah, sudahlah,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil menggeliat dan menjelujurkan kedua kakinya di amben bambu tempat tidurnya, “Mengenang masa lalu tentu tak akan ada habis-habisnya. Biarlah masa lalu tetap menjadi kenangan, sedangkan masa depan adalah harapan,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Kemudian sambil memejamkan kedua matanya dan menyilangkan kedua tangannya di dada dia melanjutkan, “Aku tadi sebenarnya sudah begitu penat menunggu kedatangan kalian berdua. Sekarang aku akan melanjutkan mimpiku yang sempat terputus. Masih cukup waktu untuk sekedar memejamkan mata,” kembali Ki Jayaraga berhenti sejenak. Setelah menguap lebar-lebar dan menutupinya dengan salah satu tangannya, Ki Jayaraga pun kemudian melanjutkan kata-katanya kembali, “Biarlah orang berkerudung itu tetap menjadi rahasia Ki Waskita”
Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan tersenyum mendengar kata-kata guru Glagah Putih itu. Sahut Ki Waskita kemudian, “O, silahkan Ki. Semoga masih bisa mimpi indah di sisa malam ini. Siapa tahu, di alam mimpi nanti Ki Jayaraga akan bertemu dengan orang berkerudung itu.”
“Ah!” Ki Jayaraga yang sudah memejamkan kedua matanya itu masih sempat tertawa pendek. Sementara Ki Bango Lamatan hanya tersenyum kecut.
“Tapi aku tidak akan mengejarnya,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil tetap memejamkan matanya, “Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membujuknya agar dengan suka rela dia mau membuka kerudungnya.”
Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan berpandangan sejenak mendengar gurauan Ki Jayaraga. Namun Ki Waskitalah yang kemudian bertanya, “Tapi bagaimana jika setelah membuka kerudungnya, ternyata dia seorang perempuan yang masih muda dan sangat cantik?”
“Aku akan mengawininya,” sahut Ki Jayaraga acuh sambil memutar tubuhnya menghadap dinding.
“Ah!” tawa kedua orang tua itupun meledak sehingga terdengar kembali sampai di regol depan banjar padukuhan induk.
“Ah, sudahlah,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil tetap menghadap dinding, “Bagaimana aku bisa bermimpi jika kalian tetap saja mengajakku berbicara.”
Kedua orang tua itu tersenyum. Berkata Ki Waskita kemudian, “Baiklah Ki Jayaraga, kami berdua juga akan beristirahat.”
“Silahkan, silahkan,” sahut Ki Jayaraga hampir tak terdengar di antara suara desah nafasnya yang mulai terdengar dalam irama pelan dan teratur.
Kedua orang tua itu sejenak masih saling berpandangan. Namun setelah Ki Waskita memberi isyarat kepada Ki Bango Lamatan, kedua orang tua itupun dengan perlahan segera beranjak dari tempat  duduk mereka.
“Aku akan tidur sampai Matahari naik sepenggalah,” desis Ki Waskita kemudian sambil berjalan menuju pembaringannya.
Ki Bango Lamatan tidak menanggapi. Setelah menguap lebar-lebar dia pun segera menjatuhkan dirinya di amben bambu sebelah Ki Waskita. Terdengar amben bambu itu berderak-derak tertimpa tubuh Ki Bango Lamatan yang tinggi besar.
Ki Jayaraga yang terlihat mulai terlelap itu memang sempat membuka kedua matanya sekejap mendengar suara amben bambu yang berderak-derak. Namun selanjutnya guru Glagah Putih itu pun sudah kembali memejamkan kedua matanya dan terbuai dalam alam mimpi.
Dalam pada itu, langit sebelah timur mulai terlihat bayangan cerah sinar Matahari pagi yang perlahan tapi pasti menjenguk cakrawala. Suasana alam yang semula diliputi kegelapan perlahan menjadi terang. Burung-burungpun mulai berkicau bersahut sahutan di dahan-dahan pepohonan yang rendah. Sementara sekelompok tupai tampak berloncat-loncatan dari dahan ke dahan sambil memperdengarkan lengkingan-lengkingan merdu mereka seakan menyambut sinar Matahari yang pertama kali menyentuh bumi.
Di kediaman Ki Gede Matesih, tampak Ratri dengan tergesa-gesa keluar dari biliknya. Sejenak dipandanginya ruang tengah yang luas itu untuk beberapa saat. Rasa-rasanya dia menangkap sebuah getaran yang aneh yang menyelinap ke dalam lubuk hatinya.
“Aneh,” berkata Ratri kemudian dalam hati sambil mengedarkan pandangan matanya ke seluruh ruangan, “Sepertinya aku merasakan sesuatu yang kurang dalam ruang tengah ini. Tapi aku tidak tahu apakah itu?”
Untuk beberapa saat Ratri masih berdiri termangu-mangu. Dikerahkan seluruh daya ingatnya untuk mencoba menjawab pertanyaan dalam hatinya itu.
“Mengapa ruangan ini terasa asing bagiku?” pertanyaan itu hilir mudik dalam benaknya, “Sepertinya aku tidak melihat sesuatu yang biasanya aku lihat setiap pagi di ruangan ini.”
Tiba-tiba Ratri bagaikan terbangun dari sebuah mimpi buruk. Bayangan seseorang yang sudah sangat dikenalnya melintas cepat dalam benaknya.
“Mbok Pariyem?!” seru Ratri tiba-tiba dengan suara sedikit tertahan, “Ya, mbok Pariyem. Setiap pagi mbok Pariyem selalu membersihkan ruangan ini. Setelah aku terbangun dan keluar bilik, mbok Pariyem selalu menyambutku dengan sebuah senyuman sambil memandangku dengan pandangan yang penuh kasih sayang.”
Berpikir sampai disitu, Ratri segera bergegas melintasi ruang tengah menuju ke pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur.
“Mungkin mbok Pariyem bangun kesiangan,” desis Ratri dalam hati sambil mempercepat langkahnya, “Semalam mungkin dia terlalu lelah dan letih mencari aku yang menghilang, sehingga sampai saat ini mungkin dia belum bangun. Aku akan ke biliknya.”
Ketika Ratri kemudian sampai di depan pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur, segera saja jari-jari yang lentik itu membuka pintu.
Namun alangkah terkejutnya anak gadis satu-satu Ki Gede Matesih itu. Di tengah tengah dapur yang cukup luas itu, beberapa pembantu perempuan Ki Gede tampak sedang duduk dengan gelisah di atas amben yang cukup besar. Begitu mereka melihat Ratri tiba-tiba saja  muncul dari balik pintu, serentak mereka segera berdiri dan kemudian dengan tergesa-gesa menghambur ke arahnya.
“Nimas Ratri, di manakah mbok Pariyem?” bertanya salah seorang yang bertubuh gemuk sesampainya di depan Ratri.
“Ya nduk. Di mana mbok Pariyem? Kami tidak tahu harus berbuat apa tanpa ada perintah dari mbok Pariyem,” sela perempuan yang berbadan kekurus-kurusan.
“Ya,ya. Kami sedari tadi belum melihatnya,” seorang perempuan parobaya menyahut, “Aku sudah mencoba melongok di biliknya. Tapi biliknya kosong.”
“Geledeg di biliknya pun kosong, tidak ada selembar pakaian mbok Pariyem yang tersisa,” kembali yang lain menyahut.
“Jangan jangan dia sengaja meninggalkan rumah Ki Gede,” timpal yang lain, “Tapi mengapa dia pergi tanpa pesan? Terutama kepada kita yang telah bersama-sama ikut membantu rumah tangga Ki Gede ini?”
Pertanyaan bertubi-tubi dari para perempuan pembantu rumah Ki Gede itu benar-benar membuat Ratri bagaikan membeku di tempatnya. Berbagai perasaan bergolak dalam dadanya. Apa yang disampaikan perempuan-perempuan itu benar-benar telah membekukan jantungnya.
“Mbok Pariyem..?” desah Ratri tanpa sadar dengan suara yang lirih dan bergetar. Hanya kata-kata itu yang terucap dari bibir mungil memerah delima itu. Selanjutnya pandangan matanya pun mulai berkunang-kunang.  Ketika sebuah desah kembali terdengar dari bibir mungilnya, tubuhnya pun limbung ke samping.
Jika saja salah satu perempuan pembantu Ki Gede yang berdiri paling dekat tidak segera memeluknya, tentu tubuh Ratri sudah terjatuh di lantai dapur.
“Nimas Ratrii..!!” serentak perempuan-perempuan pembantu Ki Gede Matesih itupun menjerit keras sambil berusaha meraih tubuh Ratri yang limbung dalam pelukan salah satu dari mereka.
“Nduk, sadar..nduk.. nyebut..nyebut!” beberapa perempuan itu tampak berusaha membisikkan doa-doa ke telinga Ratri. Sementara yang lainnya dengan susah payah berusaha membopong Ratri dan membaringkannya di amben besar yang terletak di tengah-tengah ruangan dapur.
Beberapa orang segera memijit-mijit telapak kaki dan pelipis putri satu-satunya Ki Gede Matesih itu. Sedangkan yang lain telah mengambil minyak kelapa yang masih baru dan kemudian  dicampur dengan bawang merah yang telah dilumatkan terlebih dahulu.
“Bawalah kesini,” pinta seorang perempuan parobaya meminta minyak kelapa yang telah dicampur dengan lumatan bawang merah itu.
Seseorang segera mengangsurkan sebuah mangkuk yang berisi ramuan minyak kelapa dan bawang merah. Dengan cekatan perempuan parobaya itupun kemudian mengoleskan ramuan itu ke pelipis dan telapak kaki Ratri. Sementara perempuan-perempuan pembantu rumah Ki Gede yang lain segera ikut merubung dan membantu memijit-mijit kaki, tangan serta pundak Ratri.
“Pergilah ke regol depan,” tiba-tiba perempuan parobaya itu menghentikan pijitannya dan menoleh ke arah perempuan yang duduk di sebelahnya, “Beritahu pengawal yang sedang jaga untuk melaporkan kejadian ini kepada Ki Gede.”
“Tapi Ki Gede belum pulang,” sahut perempuan yang bertubuh agak gemuk itu dengan serta merta.
“Makanya aku minta engkau memberitahu salah satu pengawal untuk menyusul Ki Gede!” sela perempuan parobaya itu dengan suara sedikit keras.
Perintah itu tidak perlu diulangi lagi. Dengan bergegas perempuan pembantu Ki Gede yang bertubuh agak gemuk itu segera bangkit dan dengan setengah berlari meninggalkan dapur menuju ke regol depan.
Dalam pada itu Matahari telah memanjat kaki langit sebelah timur semakin tinggi. Walaupun sinarnya masih belum menggatalkan kulit, namun udara mulai terasa hangat dan badan pun mulai dibasahi oleh bulir-bulir keringat.

Di tengah padang perdu di sebelah selatan gunung Tidar tampak tiga ekor kuda dipacu dengan tergesa-gesa. Walaupun ketiga penunggangnya itu sudah berusaha membuat kuda-kuda mereka melaju dengan kencang, namun gerumbul-gerumbul perdu yang tumbuh berserakan telah menghambat laju kuda-kuda mereka.

Senin, 25 Februari 2019

STSD 13_03

Dalam pada itu, di dalam bilik banjar padukuhan induk, ketiga orang tua itu ternyata masih meneruskan perbincangan mereka.
“Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Jayaraga kemudian setelah tawa mereka mereda, “Apakah Ki Bango Lamatan mengenal juga guru Ki Rangga Agung Sedayu, Kiai Gringsing atau yang lebih dikenal sebagai orang bercambuk? Beliau adalah salah satu angkatan tua yang sudah meninggalkan kita. Namun kedahsyatan ilmunya sampai sekarang masih dikenang. Pada saat terjadi perang tanding antara orang bercambuk melawan orang yang disebut Kakang Panji, sebuah nama yang selalu membayangi pemerintahan Pajang pada waktu itu, mereka berdua telah mengeluarkan berbagai jenis ilmu yang saat ini sudah sangat jarang kita temui.”
Ki Waskita yang mendengar pertanyaan guru Glagah Putih itu tampak terkejut. Namun dengan cepat segera dihapusnya kesan itu dari wajahnya. Sedangkan Ki Bango Lamatan tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam.
Setelah terlebih dahulu menarik nafas panjang, barulah Ki Bango Lamatan kemudian menjawab sambil menggelengkan kepalanya, “Aku tidak mengenal kehidupan pribadinya secara utuh. Aku hanya mendengar kedahsyatan ilmunya yang disadap dari sebuah perguruan yang pernah berjaya di masa akhir kerajaan Majapahit. Itu pun menurut penuturan Kecruk Putih yang bergelar Panembahan Cahya Warastra,” Ki Bango Lamatan berhenti sebentar untuk sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun kedahsyatan ilmunya itu telah aku rasakan sendiri walaupun secara tidak langsung.”
Hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Jayaraga mengerutkan kening mereka dalam-dalam. Bertanya Ki Jayaraga kemudian, “Maksud Ki Bango Lamatan?”
Ki Bango Lamatan menarik nafas panjang terlebih dahulu untuk meredakan dadanya yang tiba-tiba saja terasa pepat. Kenangan pahit itu memang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidupnya.
“Pada awalnya aku mendapat tugas dari Panembahan Cahya Warastra atau Kecruk Putih untuk menemui dan sekaligus membujuk orang bercambuk itu agar bersedia bergabung dengannya, atau setidak-tidaknya tidak berpihak atau mengambil peran baik kepada Mataram maupun Madiun,” jawab Ki Bango Lamatan kemudian memulai ceritanya.
“Kecruk Putih yang mana? Yang terbunuh oleh Ki Patih Mandaraka ataukah saudara kembarnya yang mampu mateg aji Brahala Wuru namun yang mampu dijinakkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu?” Ki Waskita yang beberapa saat hanya diam saja kemudian dengan serta merta menyahut.
Ki Bango Lamatan tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Ki Waskita. Berbagai kenangan dengan saudara kembar Panembahan Cahya Warastra itupun melintas sekilas dalam benaknya.
“Tentu saja Kecruk Putih yang sebenarnya, Ki,” jawab Ki Bango Lamatan kemudian, “Saudara kembar Kecruk Putih itu tidak begitu mengenal keadaan di tanah Jawa ini. Waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu jauh di tanah seberang.”
Hampir bersamaan kepala kedua orang tua itu terangguk-angguk. Sejenak kemudian suasana menjadi sepi. Ketiga orang tua itu pun tampaknya sedang terombang-ambing oleh kenangan masa lalu yang mengasyikkan.
“Bagaimana cerita selanjutnya, Ki? Apakah Ki Bango Lamatan berhasil menjumpai orang bercambuk itu?” bertanya Ki Jayaraga kemudian memecah kesepian.
“Ya, aku berhasil menjumpainya di tepian kali opak,” jawab Ki Bango Lamatan sambil menganggukkan kepalanya.
“Apa jawab orang bercambuk itu, Ki?” desak Ki Jayaraga yang terlihat sangat penasaran itu.
Kembali Ki Bango Lamatan menarik nafas panjang. Ada segores luka yang masih membekas di jantungnya walaupun kini luka itu telah sembuh berkat nasihat dan petunjuk tentang kawruh kehidupan dari Ki Ajar Mintaraga. Namun bekas luka itu tidak akan pernah hilang sepanjang hayat masing dikandung badan.
“Bagaimana, Ki?” kembali terdengar Ki Jayaraga mengajukan sebuah pertanyaan begitu dilihatnya Ki Bango Lamatan justru termenung sejenak.
Ki Bango Lamatan tersenyum mendengar pertanyaan orang yang pernah malang melintang dalam bayang-bayang kehidupan kelam itu. Jawabnya kemudian, “Aku terlalu yakin dengan kemampuanku dan menganggap kemampuan orang bercambuk itu masih selapis di bawahku. Walaupun sebenarnya sebelum berangkat menunaikan tugas, Panembahan Cahya Warastra telah mewanti-wanti jangan sampai aku melukai hatinya ataupun membuatnya gusar.”
Kembali kedua orang tua itu tampak mengerutkan kening mereka dalam-dalam. Dalam hati mereka berdua menduga bahwa Ki Bango Lamatan tentu telah membuat Kiai Gringsing itu tersinggung dan dengan ilmunya yang sangat tinggi telah mengusir Ki Bango Lamatan.
“Apakah orang bercambuk itu kemudian menjadi tersinggung dan mengusir Ki Bango Lamatan?” akhirnya pertanyaan yang menggumpal dalam dada Ki Jayaraga itu pun terlontar keluar.
Namun jawaban Ki Bango Lamatan justru telah membuat kedua orang itu itu terheran-heran.
Sambil menggeleng lemah, Ki Bango Lamatan pun kemudian menjawab, “Tidak, Ki. Orang bercambuk itu tidak berbuat apa-apa kepadaku. Justru muridnya yang bernama Agung Sedayu itulah yang telah mampu mematahkan kesombonganku selama ini.”
“He?!” serentak kedua orang itu pun berseru tertahan dengan nada penuh keheranan.
Untuk sejenak bilik di ruang dalam banjar padukuhan itu menjadi sunyi. Ki Waskita dan Ki Jayaraga benar-benar tidak habis mengerti. Ki Bango Lamatan dapat dikatakan termasuk golongan angkatan tua pada saat itu, walaupun tentu saja belum dapat disejajarkan dengan Kiai Gringsing. Namun penjelasan Ki Bango Lamatan yang baru saja mereka dengar benar-benar di luar nalar.
“Seingatku sebelum pecah perang antara Mataram dengan Madiun kemampuan Angger Agung Sedayu belum menyamai gurunya, walaupun sudah dapat dikatakan jarang ada tandingannya,” berkata Ki Waskita kemudian perlahan seolah ditujukan kepada dirinya sendiri.
“Ada satu kelebihan yang dimiliki oleh Ki Rangga Agung Sedayu,” tiba-tiba saja Ki Bango Lamatan menyela, “Selain berilmu tinggi, Ki Rangga selalu menggunakan otaknya dalam mengatasi setiap permasalahan yang timbul, baik dalam pertempuan maupun di luar pertempuran.”
“Ki Bango Lamatan benar,” sahut Ki jayaraga dengan serta merta. Sedangkan Ki Waskita hanya mengangguk-anggukkan kepalanya karena Ki Waskita sudah membuktikan sendiri. Betapa kemampuan otak Ki Rangga memang sangat cemerlang. Hanya dalam waktu semalam mampu menghafal isi kitab peninggalan perguruan Ki Waskita yang dipinjamkan kepadanya.

“Jarang ada yang memiliki kemampuan seperti itu,” berkata Ki Waskita dalam hati, “Pada awalnya aku mengira Angger Agung Sedayu hanya akan membaca dan menghafal salah satu dari sekian banyak jenis ilmu yang terdapat dalam kitab itu. Namun ternyata dia justru  membaca dan menghafal seluruh isi kitab itu dan memahatkannya di dinding-dinding hatinya untuk di kemudian hari, satu persatu dipelajari dan ditekuninya sampai tuntas.”