“Nah,” berkata Ki Brukut
kemudian tanpa melepaskan tatapan matanya pada Ki Jayaraga, “Kali ini engkau
benar-benar akan mati. Ilmu pamungkasku ini jarang ada yang mampu menandinginya.
Engkau akan mati lumat menjadi seonggok daging dan pecahan tulang!”
Diam-diam jantung ki
Jayaraga berdesir tajam. Lawannya ini memang sedari tadi terus mengancamnya
walaupun berkali-kali dia belum dapat membuktikan ancamannya itu. Namun kali
ini Ki Jayaraga tidak berani bersikap gegabah. Sejenak kemudian guru Glagah
Putih itupun segera mengetrapkan ilmu yang menjadi andalannya, aji sigar bumi.
Demikianlah akhirnya, diawali dengan sebuah teriakan yang menggelegar, Ki Brukut telah meloncat secepat
kilat menerjang ke arah lawannya.
Dalam pada itu dari arah
belakang bangunan induk, tampak beberapa cantrik padepokan Sapta Dhahana sedang
berlari-larian menuju ke halaman sebelah barat padepokan. Namun langkah mereka
telah terhenti begitu mendengar suara ledakan dahsyat yang mengguncang tempat itu.
“Jangan mendekat..!” teriak
salah seorang cantrik yang datang terlebih dahulu di tempat itu kepada kawan-kawannya yang
datang kemudian.
“Mengapa kakang?” bertanya
seorang cantrik yang bertubuh kecil sambil mengatur pernafasannya yang sedikit
tersengal.
“Mereka orang-orang yang
berilmu tinggi, diluar jangkauan penalaran kita. Lebih baik kita tidak usah
ikut campur,” jawab cantrik yang pertama kali datang di tempat itu.
Sejenak kemudian, beberapa
cantrik yang berdatangan telah berkerumun di dekat kedua cantrik itu. Namun
mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat.
Dalam pada itu, Ki Bango Lamatan yang sedang bertempur beberapa tombak dari lingkaran pertempuran Ki
Jayaraga telah menahan nafas. Betapa pun juga, Ki Bango Lamatan belum
mengetahui tingkat kemampuan yang sebenarnya dari Ki Jayaraga. Ada sebersit
keraguan begitu melihat Ki Jayaraga terlempar ke belakang beberapa langkah.
Sejenak orang tua itu tampak terhuyung-huyung untuk mempertahankan keseimbangannya.
Namun ternyata Ki Jayaraga tidak mampu mempertahankan keseimbangannya dan pada akhirnya jatuh
tersungkur di atas tanah yang berdebu.
Ki Bango Lamatan terkejut
bukan alang kepalang. Namun tidak ada kesempatan baginya untuk sekedar melihat
keadaan Ki Jayaraga. Pada saat yang bersamaan ternyata lawannya telah
memutuskan untuk membenturkan puncak ilmunya.
Ki Kebo Mengo, orang
kepercayaan Raden Wirasena itu telah menggeram sambil menekuk rendah kedua
lututnya. Kedua tangannya justru telah dilipat ke belakang. Sementara kepalanya
merunduk dalam-dalam dengan dagu sampai menyentuh dada.
Sekejap Ki Bango Lamatan
mengerutkan keningnya. Namun dia segera menyadari. Agaknya inilah puncak ilmu
lawannya yang disebut aji mahesa kurda itu.
Menyadari lawan akan menggunakan
kepalanya sebagai senjata untuk menyerangnya, Ki Bango Lamatan segera menyalurkan
puncak ilmunya pada sisi telapak tangan kanannya. Ternyata Ki Bango Lamatan
bermaksud menghancurkan kepala lawan dengan pukulan sisi telapak tangan
kanannya itu.
Tanpa membuang waktu lagi,
Ki Kebo Mengo segera mengeluarkan suara mirip dengusan seekor kerbau yang sedang
marah. Dengan teriakan yang menggelegar, tubuhnya meluncur dengan kepala siap
menghantam dada lawannya.
Namun Ki Bango Lamatan sudah
bersiaga penuh. Dengan kuda-kuda yang kokoh, diangkatnya tangan kanannya
tinggi-tinggi. Sementara tangan kirinya bersilang melindungi dada.
Sejenak kemudian dengan
sepenuh keyakinan, Ki Bango Lamatan pun telah mengayunkan tangan kanannya dengan
derasnya menyambut serudukan kepala ki Kebo Mengo.
Akan tetapi yang terjadi
kemudian benar-benar diluar perhitungan Ki Bango Lamatan. Sesaat sebelum sisi
telapak tangan kanannya membentur batok kepala lawannya, tiba-tiba saja kedua
tangan Ki Kebo Mengo yang terlipat ke belakang terayun ke depan dengan derasnya
menghantam lambung kanan dan kiri lawannya yang terbuka.
Sudah tidak ada lagi kesempatan
bagi ki Bango Lamatan untuk mengurungkan serangannya dan memilih melindungi
lambung kanannya. Jika itu yang dilakukan, tentu kepala lawan dengan derasnya
akan menghancurkan dadanya.
Yang dapat dilakukannya kemudian
hanyalah menurunkan siku tangan kirinya untuk melindungi lambung kirinya.
Sementara lambung kanannya tetap terbuka sehingga telah menerima hantaman yang
telak dari lawannya.
Yang terdengar kemudian
adalah suara ledakan kepala Ki Kebo Mengo yang hancur terkena pukulan Ki Bango
Lamatan. Sedangkan Ki Bango Lamatan sendiri telah berseru keras menahan hantaman
yang telak pada lambung kanannya.
Untuk sejenak tubuh Ki Bango
Lamatan telah terlempar berputaran beberapa kali sebelum akhirnya jatuh terjerembab
di atas tanah yang berdebu.
Dalam pada itu
cantrik-cantrik yang berkerumun di halaman sebelah barat padepokan telah
semakin banyak. Mereka benar-benar telah dibuat terbengong-bengong oleh kejadian dua kali berturut-turut yang terjadi hampir
bersamaan.
“Kakang, apakah kita perlu mendekat?”
desis cantrik bertubuh kecil itu kemudian.
Cantrik yang dipanggil
kakang itu sejenak mengernyitkan kedua alisnya. Pandangan matanya nanar
memperhatikan empat sosok tubuh yang tergeletak tak bergerak.
“Kita harus menolong Ki Kebo
Mengo dan Ki Brukut,” tiba-tiba salah satu cantrik menyelutuk.
“Ya, betul. Aku setuju,”
sahut salah satu cantrik.
“Tapi Ki Kebo Mengo
kelihatannya sudah tidak mungkin diselamatkan,” terdengar salah satu cantrik
berdesis perlahan namun cukup jelas terdengar.
“Ya, kasihan Ki Kebo Mengo.
Kepalanya telah hancur,” berkata beberapa cantrik dengan suara bergetar menahan
kengerian yang sangat. Mereka tidak berani melihat tubuh orang kepercayaan
raden Wirasena itu.
“Tapi aku yakin Ki Brukut
pasti masih dapat bertahan,” sahut yang lainnya.
“Tapi bagaimana dengan kedua
lawannya?” tiba-tiba cantrik yang dipanggil kakang itu balik bertanya.
“Kita bunuh saja kedua orang
itu,” hampir bersamaan cantrik-cantrik yang berkerumun itu menjawab dengan
suara yang bergeremang.
“Ya, Kita bunuh saja..!”
salah seorang cantrik memberanikan diri bersuara keras.
“Setuju..bunuh mereka..!”
“Bunuh.!.Bunuh..! Bunuh..!”
teriak cantrik-cantrik itu pada akhirnya bersahut-sahutan.
Entah siapa yang terlebih dahulu bergerak menghunus
senjata. Tiba-tiba saja ditangan mereka telah tergenggam senjata masing-masing
siap untuk merajam tubuh Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan yang terlihat masih tergeletak
tak bergerak.