Kamis, 26 Oktober 2017

STSD 07_14

“Nah,” berkata Ki Brukut kemudian tanpa melepaskan tatapan matanya pada Ki Jayaraga, “Kali ini engkau benar-benar akan mati. Ilmu pamungkasku ini jarang ada yang mampu menandinginya. Engkau akan mati lumat menjadi seonggok daging dan pecahan tulang!”

Diam-diam jantung ki Jayaraga berdesir tajam. Lawannya ini memang sedari tadi terus mengancamnya walaupun berkali-kali dia belum dapat membuktikan ancamannya itu. Namun kali ini Ki Jayaraga tidak berani bersikap gegabah. Sejenak kemudian guru Glagah Putih itupun segera mengetrapkan ilmu yang menjadi andalannya, aji sigar bumi.

Demikianlah akhirnya, diawali dengan sebuah teriakan yang menggelegar, Ki Brukut telah meloncat secepat kilat  menerjang ke arah lawannya.

Dalam pada itu dari arah belakang bangunan induk, tampak beberapa cantrik padepokan Sapta Dhahana sedang berlari-larian menuju ke halaman sebelah barat padepokan. Namun langkah mereka telah terhenti begitu mendengar suara ledakan dahsyat  yang mengguncang tempat itu.

“Jangan mendekat..!” teriak salah seorang cantrik yang datang terlebih dahulu  di tempat itu kepada kawan-kawannya yang datang kemudian.

“Mengapa kakang?” bertanya seorang cantrik yang bertubuh kecil sambil mengatur pernafasannya yang sedikit tersengal.

“Mereka orang-orang yang berilmu tinggi, diluar jangkauan penalaran kita. Lebih baik kita tidak usah ikut campur,” jawab cantrik yang pertama kali datang di tempat itu.

Sejenak kemudian, beberapa cantrik yang berdatangan telah berkerumun di dekat kedua cantrik itu. Namun mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat.

Dalam pada itu, Ki Bango Lamatan yang sedang bertempur beberapa tombak dari lingkaran pertempuran Ki Jayaraga telah menahan nafas. Betapa pun juga, Ki Bango Lamatan belum mengetahui tingkat kemampuan yang sebenarnya dari Ki Jayaraga. Ada sebersit keraguan begitu melihat Ki Jayaraga terlempar ke belakang beberapa langkah. Sejenak orang tua itu tampak terhuyung-huyung untuk mempertahankan keseimbangannya. Namun ternyata Ki Jayaraga tidak mampu mempertahankan  keseimbangannya dan pada akhirnya jatuh tersungkur di atas tanah yang berdebu.

Ki Bango Lamatan terkejut bukan alang kepalang. Namun tidak ada kesempatan baginya untuk sekedar melihat keadaan Ki Jayaraga. Pada saat yang bersamaan ternyata lawannya telah memutuskan untuk membenturkan puncak ilmunya.

Ki Kebo Mengo, orang kepercayaan Raden Wirasena itu telah menggeram sambil menekuk rendah kedua lututnya. Kedua tangannya justru telah dilipat ke belakang. Sementara kepalanya merunduk dalam-dalam dengan dagu sampai menyentuh dada.

Sekejap Ki Bango Lamatan mengerutkan keningnya. Namun dia segera menyadari. Agaknya inilah puncak ilmu lawannya yang disebut aji mahesa kurda itu.

Menyadari lawan akan menggunakan kepalanya sebagai senjata untuk menyerangnya, Ki Bango Lamatan segera menyalurkan puncak ilmunya pada sisi telapak tangan kanannya. Ternyata Ki Bango Lamatan bermaksud menghancurkan kepala lawan dengan pukulan sisi telapak tangan kanannya itu.

Tanpa membuang waktu lagi, Ki Kebo Mengo segera mengeluarkan suara mirip dengusan seekor kerbau yang sedang marah. Dengan teriakan yang menggelegar, tubuhnya meluncur dengan kepala siap menghantam dada lawannya.

Namun Ki Bango Lamatan sudah bersiaga penuh. Dengan kuda-kuda yang kokoh, diangkatnya tangan kanannya tinggi-tinggi. Sementara tangan kirinya bersilang melindungi dada.

Sejenak kemudian dengan sepenuh keyakinan, Ki Bango Lamatan pun telah mengayunkan tangan kanannya dengan derasnya menyambut serudukan kepala ki Kebo Mengo.

Akan tetapi yang terjadi kemudian benar-benar diluar perhitungan Ki Bango Lamatan. Sesaat sebelum sisi telapak tangan kanannya membentur batok kepala lawannya, tiba-tiba saja kedua tangan Ki Kebo Mengo yang terlipat ke belakang terayun ke depan dengan derasnya menghantam lambung kanan dan kiri lawannya yang terbuka.

Sudah tidak ada lagi kesempatan bagi ki Bango Lamatan untuk mengurungkan serangannya dan memilih melindungi lambung kanannya. Jika itu yang dilakukan, tentu kepala lawan dengan derasnya akan menghancurkan dadanya.

Yang dapat dilakukannya kemudian hanyalah menurunkan siku tangan kirinya untuk melindungi lambung kirinya. Sementara lambung kanannya tetap terbuka sehingga telah menerima hantaman yang telak dari lawannya.

Yang terdengar kemudian adalah suara ledakan kepala Ki Kebo Mengo yang hancur terkena pukulan Ki Bango Lamatan. Sedangkan Ki Bango Lamatan sendiri telah berseru keras menahan hantaman yang telak pada lambung kanannya.

Untuk sejenak tubuh Ki Bango Lamatan telah terlempar berputaran beberapa kali sebelum akhirnya jatuh terjerembab di atas tanah yang berdebu.

Dalam pada itu cantrik-cantrik yang berkerumun di halaman sebelah barat padepokan telah semakin banyak. Mereka benar-benar telah dibuat terbengong-bengong oleh  kejadian dua kali berturut-turut yang terjadi hampir bersamaan.

“Kakang, apakah kita perlu mendekat?” desis cantrik bertubuh kecil itu kemudian.

Cantrik yang dipanggil kakang itu sejenak mengernyitkan kedua alisnya. Pandangan matanya nanar memperhatikan empat sosok tubuh yang tergeletak tak bergerak.

“Kita harus menolong Ki Kebo Mengo dan Ki Brukut,” tiba-tiba salah satu cantrik menyelutuk.

“Ya, betul. Aku setuju,” sahut salah satu cantrik.

“Tapi Ki Kebo Mengo kelihatannya sudah tidak mungkin diselamatkan,” terdengar salah satu cantrik berdesis perlahan namun cukup jelas terdengar.

“Ya, kasihan Ki Kebo Mengo. Kepalanya telah hancur,” berkata beberapa cantrik dengan suara bergetar menahan kengerian yang sangat. Mereka tidak berani melihat tubuh orang kepercayaan raden Wirasena itu.

“Tapi aku yakin Ki Brukut pasti masih dapat bertahan,” sahut yang lainnya.

“Tapi bagaimana dengan kedua lawannya?” tiba-tiba cantrik yang dipanggil kakang itu balik bertanya.

“Kita bunuh saja kedua orang itu,” hampir bersamaan cantrik-cantrik yang berkerumun itu menjawab dengan suara yang bergeremang.

“Ya, Kita bunuh saja..!” salah seorang cantrik memberanikan diri bersuara keras.

“Setuju..bunuh mereka..!”

“Bunuh.!.Bunuh..! Bunuh..!” teriak cantrik-cantrik itu pada akhirnya bersahut-sahutan.


Entah  siapa yang terlebih dahulu bergerak menghunus senjata. Tiba-tiba saja ditangan mereka telah tergenggam senjata masing-masing siap untuk merajam tubuh Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan yang terlihat masih tergeletak tak bergerak.

Rabu, 25 Oktober 2017

STSD 07_13

“Mereka sangat cerdik Ki Gede,” desis Ki Kamituwa yang berdiri di sebelah Ki Gede, “Mereka melempar panah dan lembing dari balik dinding. Kita akan kesulitan untuk membalasnya. Sementara persediaan anak panah kita sangat terbatas. Sedangkan mereka tentu mempunyai persediaan anak panah dan lembing yang jumlahnya tak terbatas, karena mereka berada di rumah mereka sendiri.”

Ki Gede menarik nafas panjang. Hati Ki Gede menjadi agak bimbang. Jika Ki Gede memutuskan untuk menggedor pintu gerbang itu dengan sebatang pohon, tentu korban akan segera berjatuhan di pihak pengawal Matesih. Memang para pengawal yang berperisai dapat melindungi mereka yang membawa batang pohon itu. Namun lawan dapat saja menyerang bagian tubuh yang terlihat dan tak terlindungi, seperti kaki misalnya.

Ketika beberapa anak panah kemudian berhasil menyusup di antara rapatnya barisan perisai itu, satu dua orang pengawal telah mengaduh kesakitan. Walaupun anak panah itu tidak sampai menimbulkan luka yang parah, namun darah mulai menitik di pihak pasukan Matesih.

“Mundur..!” tiba-tiba terdengar aba-aba dari Ki Gede. Tombak pendek di tangan kanannya di angkat  tinggi-tinggi kemudian ujungnya diputar dua kali. Pasukan pengawal Matesih pun dengan teratur bergerak mundur sampai sejauh jangkauan aman dari panah dan lembing lawan.

Begitu pasukan pengawal Matesih mundur beberapa tombak ke belakang, gelombang serangan anak panah dan lembing itu pun dengan sendirinya telah berhenti.

Sejenak kemudian, satu dua orang pengawal yang sempat tersentuh anak panah lawan segera mengobati luka mereka. Luka-luka itu memang tidak akan banyak berarti. Namun jika tidak segera diobati, tidak menutup kemungkinan jika mereka telah terjun dalam pertempuran yang sebenarnya, luka itu dapat mengalirkan darah kembali, dan lambat laun itu akan dapat mempengaruhi ketahanan tubuh mereka.

Dalam pada itu pertempuran di halaman sebelah barat padepokan telah merambah ke ilmu simpanan masing-masing. Ki Jayaraga yang bertempur melawan Ki Brukut telah dikejutkan oleh sejenis ilmu yang sudah jarang ditemukan.

Pada awalnya guru Glagah Putih itu belum menyadari ketika lawannya bergerak berputar-putar dengan cepatnya mengelilingi dirinya. Dari kedua tangan Ki Brukut menyambar-nyambar angin dingin yang terasa menerpa tubuhnya.

“Ilmu apa lagi yang akan dipamerkan oleh orang ini?” berkata Ki Jayaraga dalam hati sambil terus mengimbangi gerak lawannya. Karena lawannya bergerak mengitari dirinya, Ki Jayaraga pun akhirnya ikut bergerak berputaran untuk menghindari kesempatan lawan  menyerangnya dari arah belakang.

Lambat laun Ki Jayaraga merasakan sesuatu yang aneh sedang menjalari kesadarannya. Sinar Matahari yang masih sangat lemah serta angin pagi yang bertiup sepoi-sepoi terasa bagaikan membelai-belai tengkuknya. Ditambah dengan gerak Ki Jayaraga yang terus berputaran mengikuti gerak lawan telah membuat kepala Ki Jayaraga menjadi pening.

“Gila!” geram Ki Jayaraga dalam hati sambil berusaha menghilangkan rasa pening di kepalanya yang semakin mencengkeram otaknya.

Namun Ki Jayaraga bertempur terus. Sementara semakin lama gerak putaran lawannya semakin cepat dan Ki Jayaraga mulai mengalami kesulitan untuk mengatasi rasa pening yang mencengkeram otaknya. Sejalan dengan rasa pening yang tak tertahankan itu,  Ki Jayaraga pun merasakan kekuatannya sedikit demi sedikit juga mulai terasa melemah.

Ki Jayaraga menjadi heran sendiri dengan keadaan dirinya. Memang usia Ki Jayaraga sudah cukup tua, sehingga sudah sewajarnya jika tenaga wadagnya ikut menyusut seiring dengan bertambahnya usia. Namun dia merasa tenaga cadangannya masih sangat mendukung. Dengan tenaga cadangan yang nyaris sempurna, kekuatan wadagnya yang mulai menyusut masih dapat diatasinya.

Namun yang terjadi kini benar-benar diluar penalarannya. Tenaga cadangannya lambat laun juga mulai ikut menyusut.

Sebenarnyalah Ki Jayaraga telah terpancing oleh gerakan lawan yang berputaran mengelilingi dirinya. Selain itu sentuhan angin yang menerpa dari kedua belah tangan lawannya terasa betapa sejuk dan lembutnya sehingga lambat laun telah mempengaruhi daya penalarannya.

“Anak iblis!” geram Ki Jayaraga dalam hati begitu menyadari selain rasa pening dan tenaganya yang perlahan menyusut, rasa kantuk yang luar biasa kini mulai terasa  mengganggunya.

Untunglah ki Jayaraga yang telah banyak makan asam garamnya pertempuran itu segera menyadari apa yang sedang terjadi. Agaknya lawan memiliki sejenis ilmu yang dapat mempengaruhi daya penalarannya. Selain rasa pening dan kantuk yang tak tertahankan, tenaganya pun terasa semakin lama semakin menyusut.

“Gila! Ini harus segera dihentikan!” geram Ki Jayaraga dalam hati sambil berusaha mengerahkan ketahanan nalar dan budinya untuk melawan rasa pening dan kantuk yang tiada taranya itu, “Rasa-rasanya aku pernah mengenali ilmu semacam ini. Namun agaknya orang ini telah mengetrapkan ilmunya dengan sangat halus sehingga aku hampir luput mengenalinya.”

Setelah yakin dengan kesimpulannya, Ki Jayaraga segera meloncat mundur keluar dari lingkaran pertempuran untuk mengambil jarak. Ketika Ki Brukut kemudian memburunya untuk menjaga jarak agar tetap mampu mempengaruhi lawan dengan ilmunya, tanah sejengkal di hadapannya tiba-tiba saja telah meledak menyemburkan uap air yang mendidih serta bergumpal-gumpal tanah yang membara.

“Syetaan..!” teriak Ki Brukut sambil meloncat mundur menghindari semburan uap air panas yang hampir menyentuh kakinya.

Kesempatan itu segera dipergunakan oleh Ki Jayaraga dengan sebaik-baiknya. Setelah menyilangkan kedua tangannya sekejap di depan dada, terasa hawa yang segar menyelusuri sekujur tubuhnya sehingga rasa pening dan kantuk  yang mencengkeramnya selama ini perlahan mulai menghilang. Sejalan dengan itu, tenaganya pun terasa mulai pulih kembali.


Ketika ki Jayaraga kemudian memandang ke depan, tampak lawannya itu sedang menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Sejenak kemudian tangan kanannya terlihat bergerak ke depan membentuk sebuah cakar yang nggegirisi. Sedangkan tangan kirinya terkepal di samping pinggang. Sementara sepasang matanya menatap tajam ke arah Ki Jayaraga dengan tatapan liar, seliar tatapan seekor singa gurun.

Minggu, 22 Oktober 2017

STSD 07_12

Betapa desir yang sangat tajam telah menggores jantung ki Waskita dan Glagah Putih. Walaupun Ki Waskita telah diberi tahu keadaan Ki Rangga oleh seseorang yang menyebut dirinya Mas Santri beberapa saat yang lalu, namun dia belum melihat sendiri keadaan Ki Rangga yang sesungguhnya.

Glagah Putih menggeram keras untuk menghilangkan kegelisahan yang menggumpal di dalam dadanya. Ketika terpandang kembali tubuh pemimpin perguruan Sapta Dhahana yang terbujur diam selangkah di hadapannya, jantung Glagah Putih pun bagaikan meledak.

“Jika Kiai Damar Sasangka yang telah mengetrapkan puncak aji sapta dhahana  saja sekarang terbujur diam, bagaimana dengan keadaan Kakang Agung Sedayu sendiri?” pertanyaan itu tiba-tiba saja melonjak di dalam hatinya.

“Ki Waskita..!” teriak Glagah Putih akhirnya untuk menghilangkan galau hatinya, “Ke arah manakah Kakang Agung sedayu dibawa pergi? Aku akan menyusulnya..!”

Untuk beberapa saat ki Waskita belum mampu menjawab. Serangan lawannya benar-benar menyulitkannya untuk sekedar menjawab pertanyaan Glagah Putih. Dengan dahsyatnya lawan  yang usianya jauh lebih muda darinya itu menyerang dari segala penjuru.

Ketika Ki Waskita kemudian mampu membebaskan dirinya dari kesulitan, dia segera menjawab pertanyaan Glagah Putih, “Aku tidak tahu arah yang sebenarnya, Glagah Putih! Namun menurut panggraitaku, kakangmu itu telah dibawa pergi ke arah utara!”

Begitu Ki Waskita selesai berkata, Glagah Putih telah meloncat berlari menerobos lebatnya hutan sebelah timur Gunung Tidar menuju ke arah utara.

Glagah Putih benar-benar sudah tidak memperdulikan apapun yang terjadi di sekitarnya. Pikirannya hanya tertuju kepada keselamatan kakak sepupunya itu.

“Di dalam padepokan masih ada guru dan Ki Bango Lamatan,” berkata Glagah Putih kemudian dalam hati sambil terus menerobos hutan yang cukup lebat, “Beliau berdua aku kira sudah lebih dari cukup untuk membantu Ki Gede Matesih dan pasukan pengawalnya.”

Berpikir sampai disitu, Glagah Putih semakin mempercepat perjalanannya. Sesekali dia harus merunduk untuk menghindari sulur-sulur pepohonan yang bergayut rendah. Bahkan dia kadang-kadang harus meloncati dan meniti batang-batang pohon hutan yang tumbang silang melintang.

“Mungkin di tempat ini pernah melanda puting beliung atau angin puyuh sehingga banyak pohon-pohon besar yang tumbang,” membatin Glagah Putih sambil terus bergerak maju.

Dalam pada itu, matahari benar-benar telah terbit di ufuk timur. Namun sinarnya belum mampu menembus lebatnya hutan yang membujur dari  arah timur sampai utara  lereng gunung Tidar.  Hanya pantulan cahaya Matahari  di langit yang cerah yang membuat hutan itu menjadi sedikit terang.

“Matahari telah terbit,” gumam Glagah Putih sambil terus bergerak. Hatinya benar-benar telah dicengkam oleh kegelisahan yang tiada taranya.

Dalam pada itu Ki Gede Matesih dan pasukan pengawalnya telah tertahan di depan pintu gerbang padepokan Sapta Dhahana yang tinggi dan terlihat sangat kokoh.

Beberapa puluh langkah sebelum mencapai pintu gerbang, Ki Gede segera mengangkat tombak pendek di tangan kanannya tinggi-tinggi. Pasukan pengawal perdikan Matesih pun segera menghentikan langkah.

 Ki Kamituwa segera melangkah mendekati Ki Gede.

“Ki Gede,” bertanya ki Kamituwa kemudian, “Apakah Ki Gede mempunyai rencana?”

Sejenak Ki Gede mengamati pintu gerbang yang tertutup rapat beberapa puluh langkah di hadapannya. Jawabnya kemudian, “Kita harus mampu membuka paksa pintu gerbang itu. Namun kita juga pertimbangkan korban yang mungkin akan berjatuhan  jika kita terlalu memaksakan.”

Ki Kamituwa menarik nafas dalam sambil mengernyitkan keningnya. Tanpa sadar pandangan matanya mengarah ke pintu gerbang yang tinggi dan kokoh itu.

“Ki Gede,” berkata Ki Kamituwa kemudian, “Apakah tidak sebaiknya kita mempergunakan sebatang pohon yang cukup besar untuk menggedor pintu gerbang itu?”

Ki Gede tampak menganggukkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Kemungkinan itu bisa dicoba. Sementara para pengawal dapat melindungi mereka yang memanggul batang pohon itu dengan perisai mereka.”

Ki Kamituwa mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Namun baru saja Ki Kamituwa berpaling ke belakang untuk memerintahkan beberapa pengawal menebang pohon yang cukup besar, mereka telah dikejutkan oleh berpuluh anak panah dan lembing yang meluncur dari atas dinding padepokan.

Namun dengan tangkasnya para pengawal yang membawa perisai segera mendesak ke depan. Sebelum anak-anak panah dan lembing itu mengenai salah satu dari mereka, dinding perisai telah terbentuk di depan pasukan.

Ki Gede mengeram. Ternyata memasuki padepokan  Sapta Dhahana tidak semudah yang mereka bayangkan. Menurut penuturan Ki Ajar Mintaraga sebelum mereka berangkat, para cantrik penghuni padepokan sedang terlelap oleh pengaruh sirep. Namun agaknya kedatangan pasukan pengawal itu agak sedikit terlambat sehingga kini para penghuni padepokan telah sadar sepenuhnya dengan apa yang sedang terjadi.

Hampir saja Ki Gede memerintahkan untuk membalas serangan itu. Namu ketika Ki Gede mengamati dengan seksama lawan yang berada di atas dinding, jantung ki Gede rasa-rasanya akan meledak.


Ternyata dengan sangat cerdiknya para penghuni padepokan itu tidak berdiri di atas dinding sambil melemparkan anak panah dan lembing. Mereka hanya sekilas terlihat muncul di atas dinding untuk melemparkan anak panah dan lembing kemudian menghilang di balik dinding. Dengan demikian pasukan pengawal Matesih akan kesulitan untuk balas menyerang.

STSD 07_11

Dalam pada itu Glagah Putih yang telah berhasil meloncati dinding padepokan yang sangat tinggi itu sejenak tertegun. Dari atas dinding dia dapat melihat pemandangan di bawah dengan jelas. Betapa tempat itu bagaikan bekas dilanda kebakaran yang dahsyat. Perdu-perdu dan semak belukar tampak hangus terbakar menjadi abu. Pepohonan yang tinggal hanyalah batangnya saja yang menjulang namun dalam keadaan hangus menjadi arang.

“Alangkah dahsyatnya,” desis Glagah Putih tanpa sadar. Dia tidak dapat membayangkan kedahsyatan benturan yang telah terjadi antara pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu dengan kakak sepupunya, Ki Rangga Agung Sedayu.

Dengan cepat diedarkan pandangan matanya ke setiap sudut  untuk mencari barangkali dia dapat menemukan bayangan kakak sepupunya. Namun yang dicari sama sekali tidak ditemukannya. Bahkan sebuah pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengit  telah menarik perhatiannya.

Glagah Putih segera mengenali dengan jelas salah seorang di antaranya.  Beberapa  langkah dari bekas tempat kebakaran itu, agak dekat dengan dinding padepokan, tampak Ki Waskita sedang bertempur menyabung nyawa dengan lawannya.

“Lawan Ki Waskita itu agaknya mempunyai kemampuan sebagaimana Kiai Damar Sasangka,” berkata Glagah Putih dalam hati sambil terus mengamati jalannya pertempuran dari atas dinding, “Namun menilik besarnya api yang menyelimuti tubuh lawan Ki Waskita, orang itu masih berada beberapa lapis di bawah Kiai Damar Sasangka.”

Sejenak Glagah Putih mencoba menilai perempuran yang berlangsung itu. Beberapa saat kemudian tampak suami Rara Wulan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku kira Ki Waskita akan dapat mengimbangi kemampuan lawannya,” berkata Glagah Putih kemudian dalam hati, “Namun Ki Waskita harus benar-benar memperhitungkan dengan cermat, kekuatan wadag ki Waskita yang sudah sepuh harus diperhitungkan sebelum Ki Waskita berhasil menghancurkan pertahanan kekebalan tubuh lawannya.”

Namun ternyata Glagah Putih tidak ingin membuang waktu terlalu lama dengan mengamati pertempuran itu. Ketika pandangan matanya kemudian membentur sesosok tubuh yang terbaring diam beberapa langkah dari arena pertempuran itu, dada Glagah Putih pun berdesir tajam. Dalam keremangan pagi, pandangan mata Glagah Putih yang tajam segera mengenali sesosok tubuh itu.

“Kiai Damar Sasangka..?!” desis Glagah Putih dengan jantung yang berdebaran.

Tanpa membuang waktu lagi, bagaikan seekor burung rajawali yang terbang menukik, anak laki-laki Ki Widura itupun segera meloncat turun. Begitu kedua kakinya yang kokoh itu menjejak di atas tanah, dengan bergegas dia segera mendekati tubuh yang terbaring diam itu.

Dengan langkah yang ringan tanpa menarik perhatian, Glagah Putih segera mendekat. Ketika tubuh yang terbaring diam itu sudah berada tepat di hadapannya, sejenak Glagah Putih justru menjadi ragu-ragu. Tubuh itu benar-benar terbujur kaku tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.

“Ah, biar sajalah,” berkata Glagah Putih kemudian dalam hati, “Aku tidak mempunyai pengetahuan tentang ilmu pengobatan yang mendalam. Aku takut apa yang akan aku lakukan nanti  justru dapat memperparah keadaannya jika memang dia masih ada kemungkinan untuk di tolong.”

Berpikir sampai disitu, Glagah Putih segera memutuskan  meningalkan tempat itu untuk kembali mencari keberadaan kakak sepupunya.

Namun Ki Waskita yang bertempur menghadap ke arah dinding padepokan agaknya melihat kedatangannya. Maka teriak Ki Waskita kemudian sambil terus bertempur, “Glagah Putih!  Kembalilah ke dalam padepokan. Aku mendengar ada suara hiruk pikuk pasukan yang datang! Mungkin mereka adalah Ki Gede Matesih dan para pengawal. Bantulah mereka!”

“Tutup mulutmu orang tua!” bentak lawannya sambil meningkatkan serangannya yang membadai, “Aku telah bersumpah membunuh kalian semua sebagai tebusan atas nyawa guruku!”

Namun yang terdengar kemudian adalah suara tawa Ki Waskita.

Berkata Ki Waskita kemudian di sela-sela tawanya, “Jangan terlalu sesorah Ki Sanak. Menghadapi orang tua seperti aku ini saja engkau sedari tadi belum dapat berbuat banyak. Apalagi dengan sepasukan pengawal dari Matesih!”

“Persetan..!” bentak Putut Sambernyawa sambil menerjang lawannya dengan puluhan lidah api yang membara. Namun Ki Waskita dengan tangkasnya masih dapat menghindar.

Untuk beberapa saat Glagah Putih masih belum beranjak dari tempatnya. Dalam benaknya masih menyisakan tanda tanya tentang keberadaan kakak sepupunya itu.

Maka ketika dia sudah tidak mampu lagi untuk menahan hatinya,  Glagah Putih pun kemudian ikut berteriak, “Ki Waskita! Di manakah kakang Agung Sedayu?”

Ki Waskita yang mendengar pertanyaan Glagah Putih  segera maklum bahwa anak laki-laki Ki Widura itu tentu mengkhawatirkan keadaan Ki Rangga Agung Sedayu.

Maka jawabnya kemudian tak kalah kerasnya, “Kakangmu tidak apa-apa! Dia sedang bersama seseorang untuk menyembuhkan lukanya! Percayalah! Kakangmu dalam keadaan selamat!”


“Omong kosong!” teriak Putut Sambernyawa menggelegar sambil melontarkan berpuluh lidah api yang menyembur dari kedua telapak tangannya, “Dia sekarang ini pasti sedang meregang nyawa, atau bahkan sudah menjadi mayat. Aji sapta dhahana tidak ada duanya. Belum ada seorang pun yang mampu menahan kedahsyatannya. Jika tubuh ki Rangga masih terhindar dari kehancuran, tetapi aku yakin, tubuh bagian dalamnya pasti sudah luluh lantak menjadi abu. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu menahan kedahsyatan aji sapta dhahana!”

Rabu, 18 Oktober 2017

STSD 07_10

“Cepat menyebar..!” teriak salah seorang cantrik yang berbadan tinggi besar dan wajahnya penuh dengan jambang, “Jangan bergerak sendiri-sendiri..! Usahakan bergerak dalam kelompok agar tidak mudah terjebak oleh lawan..!"

Para  cantrik yang telah tersadar dari pengaruh sirep itu pun segera tanggap. Mereka membentuk kelompok-kelompk kecil dan bergerak menyusuri setiap jengkal dari halaman padepokan yang luas itu.

Ketika sebuah kelompok kecil sedang menyusuri halaman samping kiri padepokan, mereka telah dikejutkan oleh bekas medan pertempuran Ki Rangga dan Kiai Damar Sasangka. Rumput-rumput dan semak belukar tampak telah hangus terbakar menjadi abu. Sedangkan  tanah  tempat bekas pertempuran itu pun bagaikan sehabis dibajak berpuluh ekor kerbau serta permukaan tanahnya sebagian telah hangus menghitam terkena pancaran ilmu aji sapta dhahana.

“Luar biasa..!” desis mereka tanpa sadar sambil mengamat-amati bekas pertempuran itu. Mereka tidak dapat membayangkan kedahsyatan pertempuran yang baru saja  terjadi.

“Menilik bekas tempat ini yang seperti habis tersapu oleh badai api, tentu guru yang telah mengetrapkan ilmu puncak perguruan kita, aji sapta dhahana,” berkata salah seorang cantrik penuh kebanggaan sambil mengamati bekas sebatang pohon perdu yang telah menjadi abu.

“Ya, aku yakin,” sahut kawan di sebelahnya dengan dada menggembung menahan kekaguman yang tiada taranya, “Namun yang membuat aku sedikit binggung, siapakah lawan yang sedang dihadapi oleh guru, sehingga guru telah mengeluarkan ilmu pamungkasnya?”

“Tentu seorang yang linuwih,” sahut cantrik yang lain dengan nada suara yang penuh dengan tekanan dan kebanggaan, “Namun aku yakin, lawannya itu pasti telah hancur lebur menjadi abu seperti bekas medan pertempuran ini.”

Kawan-kawan lainnya tidak menyahut. Tampak kepala mereka saja yang terangguk-angguk. Betapa dada mereka rasa-rasanya akan meledak karena tidak mampu menampung kebanggaan atas kesaktian guru mereka. Tak habis habisnya mereka mengagumi kedahsyatan ilmu puncak aji sapta dhahana.

“Tapi, di manakah guru sekarang?” tiba-tiba terdengar salah seorang cantrik menyeluthuk.

Untuk beberapa saat mereka hanya dapat saling berpandangan. Ketika mereka kemudian mengedarkan pandangan mata ke seluruh sudut halaman padepokan yang luas itu, mereka justru telah dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang mendebarkan jantung. Dalam keremangan pagi yang masih buram, tampak bayangan sesosok tubuh yang tergeletak agak jauh dari tempat mereka berdiri.

“Siapa..?” hampir setiap mulut telah mengajukan sebuah pertanyaan yang serupa.

Tanpa membuang waktu lagi,  mereka segera berloncatan dan berlari menuju ke arah sesosok tubuh yang tergeletak tak berdaya itu.

Ketika jarak itu semakin dekat, jantung mereka pun bagaikan berhenti berdetak. Rasa-rasanya mereka telah mengenali orang itu.

“Raden Surengpati..!” seru mereka hampir bersamaan sambil  mengerumuni adik orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu.

“Raden..?” desis salah seorang cantrik yang kemudian  berlutut di sisi tubuh Raden Surengpati, “Apakah Raden dapat mendengar kami?”

Cantrik yang lain segera ikut berlutut di sisi tubuh Raden Surengpati. Salah seorang cantrik bahkan  telah memberanikan diri untuk menyentuhnya.

“Masih hangat,” desis cantrik itu yang kemudian berusaha untuk meraba denyut nadi yang berada di leher.

Sejenak cantrik itu mengerutkan keningnya dalam-dalam. Cantrik yang lain pun  menjadi tidak sabar.

“Bagaimana?” bertanya  cantrik yang berlutut di sebelahnya.

Cantrik itu belum menjawab. Hanya kerut merut di dahinya saja yang terlihat semakin dalam.

“He?!” salah satu cantrik agaknya sudah tidak dapat menahan diri lagi, “Cepat katakan keadaan yang sebenarnya! Kita harus bertindak cepat dalam keadaan yang belum menentu ini..!”

Mendengar desakan dari salah satu kawannya, cantrik itu segera melepaskan tangannya dari leher Raden Surengpati. Setelah  menghela nafas panjang, barulah cantrik itu  menjawab,  “Aku tidak yakin kalau aku dapat merasakan denyut nadinya. Namun rasa-rasanya denyut nadi itu memang masih ada walaupun terasa sangat lemah dan jauh. Lebih baik kita bawa ke ruang dalam. Biarlah Tabib padepokan yang akan menolong dan merawatnya jika memang Raden Surengpati ini masih dapat ditolong.”


Tampaknya para cantrik  setuju dengan pendapat salah satu kawannya itu. Tiga orang cantrik segera mengangkat tubuh Raden Surengpati dan membawanya ke ruang dalam.

Senin, 16 Oktober 2017

STSD 07_09

Dalam pada itu Ki Gede Matesih dan pasukan pengawalnya telah tiba di kaki bukit tidar dan mulai mendaki ke atas. Samar-samar dalam keremangan pagi gerbang padepokan Sapta Dhahana sudah mulai terlihat.

“Cepat..!” seru Ki Gede Matesih sambil mengangkat tombak pendek di tangan kanannya tinggi-tinggi.

Mendengar perintah pemimpinnya, dengan segera para pengawal  mempercepat lari mereka. Sambil menghunus senjata masing-masing, para pengawal itupun telah bersorak-sorai sambil mengacu-acukan senjata mereka.

Dalam pada itu, Ki Kamituwa dan pasukan pengawalnya ternyata telah mampu memperpendek jarak dengan pasukan di depannya. Mereka pun kemudian segera bergabung menjadi satu dengan pasukan pengawal Ki Gede Matesih. Sorak sorai pasukan yang telah bergabung itu pun terdengar semakin membahana merobek udara padi di gunung Tidar. Sementara dengan perlahan cahaya fajar di langit  timur mulai membayang. Burung-burung pun berkicau dengan riangnya menyambut kedatangan sinar Matahari yang pertama kali menyentuh bumi.

Ketika sinar Matahari yang pertama kemudian telah menyentuh regol padepokan Sapta Dhahana, beberapa cantrik yang sedang terlelap tidur di regol depan karena pengaruh sirep mulai tampak tersadar. Salah seorang yang mempunyai kemampuan melebihi kawan-kawannya  ternyata telah mulai menggeliat dan membuka matanya.

Memang  kantuk itu rasa-rasanya masih bergelayut di pelupuk matanya. Namun ketika kesadaran mulai memasuki otaknya, sebagai seorang cantrik yang sedang mengemban tugas jaga di regol depan, dia segera menyadari keadaannya.

“He?!” seru cantrik itu sambil terlonjak kaget demi mendapatkan dirinya tidur bersandaran pintu gerbang yang setengah terbuka, “Apa yang terjadi?”

Belum sempat dia menyadari keadaan sepenuhnya, lamat-lamat telinganya mendengar suara riuh rendah dari lereng bukit Tidar yang menuju ke gerbang padepokan.

Ketika dia kemudian dengan tergesa-gesa bangkit berdiri dan memalingkan wajahnya ke arah kaki bukit, dalam keremangan cahaya pagi  tampak  sepasukan orang-orang bersenjata lengkap sedang berlari-larian mendaki lereng bukit Tidar yang tidak begitu terjal.

“Gila! Siapakah mereka sebenarnya?” geram cantrik itu

Namun cantrik itu segera tanggap. Tidak ada waktu lagi untuk membangunkan para cantrik yang sedang bertugas jaga itu satu-persatu. Dengan cepat dia segera berlari ke arah kentongan yang tergantung di ujung gardu di sebelah regol. Tanpa membuang waktu, kentongan itu pun kemudian dipukulnya dengan nada titir.

Sejenak kemudian, suara titir pun telah menggema memenuhi udara pegunungan Tidar.

Beberapa cantrik yang berjaga di regol depan pun segera terbangun. Untuk beberapa saat sebagian dari mereka memang masih tampak kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa .

“Tutup pintu gerbang!!” tiba-tiba terdengar teriakan cantrik yang pertama kali terbangun itu sambil terus membunyikan kentongan, “Sebagian cantrik segera pergi ke barak!  Bangunkan semua cantrik! Padepokan sedang dalam bahaya! Musuh sudah di depan mata..!”

Ternyata para cantrik itu justru telah menjadi bingung begitu mendengar perintah yang bertubi-tubi itu. Namun salah seorang cantrik yang bertubuh kurus dengan cekatan segera berlari ke regol untuk mendorong pintu gerbang.

“Bantu aku!” teriaknya kemudian sambil terus mendorong pintu gerbang yang cukup tinggi dan lebar itu.

Dua orang cantrik segera meloncat dan membantu mendorong pintu gerbang. Sekilas di antara daun pintu gerbang yang hampir tertutup itu, mereka masih sempat melihat pasukan yang cukup besar dengan senjata lengkap tampak sedang berlari-larian mendaki lereng. Suara mereka terdengar seperti suara segerombolan lebah yang sedang marah. Senjata mereka yang teracu-acu mendebarkan jantung tampak berkilat-kilat tertimpa sinar matahari pagi.

“Cepat!” teriak cantrik yang bertubuh kurus itu memberi aba-aba kawan-kawannya.

Sejenak kemudian pintu gerbang regol depan padepokan itupun telah tertutup rapat dan diselarak kuat-kuat dari dalam. Sementara dua orang cantrik segera bersiap untuk berlari ke barak membangunkan para cantrik yang lain.


Namun suara kentongan dalam nada titir itu ternyata telah membangunkan mereka. Beberapa cantrik yang telah terbangun segera menyambar senjata mereka masing-masing. Sebelum dua orang cantrik yang bertugas jaga di regol depan itu berangkat ke barak-barak, tampak dari arah belakang bangunan induk padepokan, beberapa cantrik dengan senjata terhunus sedang berlarian menuju ke halaman depan padepokan.

Jumat, 13 Oktober 2017

STSD 07_08

Glagah Putih merasakan sekujur tubuhnya bagaikan terpanggang di  atas bara api dari tempurung kelapa. Beberapa bagian tubuhnya bahkan terasa pedih dan panas. Ketika Glagah Putih kemudian  mencoba bangkit berdiri, betapa tulang belulangnya bagaikan telah berpatahan. Sementara di beberapa bagian tubuhnya, sebagian kulitnya ternyata telah melepuh terbakar.

Sejenak Glagah Putih mencoba untuk memperbaiki keadaannya dengan menarik nafas dalam-dalam beberapa kali untuk melonggarkan pernafasannya yang bagaikan tersumbat. Ketika pandangan matanya kemudian mengarah ke depan, tampak tubuh Raden Surengpati terbujur diam, entah pingsan atau mati.

Setelah merasakan tubuhnya sedikit demi sedikit mulai terasa menjadi segar kembali, Glagah Putih pun segera meneruskan usahanya untuk berdiri tegak. Begitu merasakan keadaannya sudah semakin membaik, Glagah Putih pun sudah tidak dapat menahan diri lagi. Dengan bergegas dia segera berlari menuju ke arah dinding padepokan sebelah timur.

Dalam pada itu beberapa puluh tombak dari tempat pertempuran Ki Waskita melawan Putut Sambernyawa, di antara lebatnya pepohonan hutan sebelah timur gunung Tidar, tampak dua orang sedang berjalan perlahan meninggalkan tempat itu.

“Eyang,” berkata seorang perempuan yang terlihat masih muda dan cantik, “Mengapa pada saat terjadi benturan tadi, Eyang tidak berusaha menolong Ki Rangga?”

Orang berperawakan tinggi besar yang berjalan di sebelahnya tidak segera menjawab. Setelah menarik nafas panjang, barulah dia kemudian menjawab, “Rara, yang membangunkan Ki Rangga dari puncak samadinya tadi bukanlah aku. Sebelum kita tiba di tempat ini, panggraitaku sudah mengatakan bahwa ada dua orang yang terlebih dahulu telah berada di tempat ini.”

“Siapakah sebenarnya mereka itu, Eyang?” sahut perempuan muda itu dengan serta merta.

Orang yang di panggil Eyang itu menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu. Namun yang jelas mereka berada di pihak Mataram karena telah menolong Ki Rangga di saat-saat lawannya mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghancurkan Ki Rangga. Jika Ki Rangga masih tenggelam dalam puncak samadinya, tentu petualangan Ki Rangga sebagai agul-agulnya Mataram telah berakhir di sini.”

Sejenak suasana menjadi hening. Hanya suara gemerisik dedaunan kering di atas tanah  lembab yang terinjak oleh kaki mereka  saja yang terdengar dalam irama ajeg. Sementara tanda-tanda datangnya sang fajar mulai tampak menjelang.

“Eyang,” kembali terdengar suara perempuan cantik itu, “Kemanakah kedua orang itu akan membawa Ki Rangga?”

“Aku tidak tahu Rara.”

“Setidaknya Eyang dapat menduga-duga.”

“Bagaimana aku akan dapat menduga jika aku tidak mengenal mereka berdua.”

Kembali suasana menjadi hening. Kerut merut tampak di dahi perempuan muda yang cantik itu. Sepasang alisnya yang bak semut beriring itu tampak hampir menyatu, namun justru telah menambah kecantikan dan daya tariknya.

“Ah, aku tahu,” tiba-tiba perempuan cantik itu terdengar berseru gembira, “Seharusnya Eyang tahu ke mana sebenarnya mereka berdua itu pergi.  Aku yakin Eyang mampu melihat arah kepergian kedua orang itu, terutama yang masih muda tadi. Dengan demikian Eyang dapat   menduga  dari daerah mana sebenarnya kedua orang itu berasal.”

“Sudahlah Rara,” orang tinggi besar itu cepat-cepat memotong, “Tidak usah menduga-duga yang kita belum tahu kejelasannya. Lebih baik kita mendoakan ki Rangga, semoga dia segera mendapatkan pertolongan dan keadaannya segera membaik.”

Tampak bibir indah itu cemberut. Sepasang mata yang indah bak bintang timur itu pun ikut meredup. Sementara di kedua sudut matanya mulai terlihat butiran air yang mengambang.

Terdengar helaan nafas yang sangat dalam dari orang tinggi besar yang berjalan di sebelahnya. Ada sedikit keraguan yang menyelinap di dalam hatinya untuk berterus terang. Sebenarnyalah mata hatinya telah mampu menangkap siapakah kedua orang yang membawa Ki Rangga beberapa saat yang lalu itu.

“Jika aku mengatakan yang sebenarnya,” demikian orang itu berkata dalam hati, “Tidak menutup kemungkinan dia akan merengek-rengek untuk meminta aku mengikuti kedua orang itu tadi. Sedangkan aku masih belum ada kepentingan untuk bertemu dengan salah satu dari mereka. Namun suatu saat aku memang ingin bertemu dengan orang linuwih itu untuk sekedar bertukar pikiran tentang  jantraning ngaurip.”

“Rara,” berkata orang itu kemudian pada akhirnya, “Lebih baik kita segera mempercepat perjalanan kita menuju Kendalisada. Sepeninggal Kiai Damar Sasangka, padepokan Sapta Dhahana tentu dengan mudah akan dapat dikuasi oleh Ki Gede Matesih dan pasukannya.”


Tidak terdengar jawaban yang terlontar dari bibir mungil nan indah itu. Hanya sebuah anggukkan perlahan saja yang terlihat.

Senin, 09 Oktober 2017

STSD 07_07

“Luar biasa,” berkata Ki Waskita dalam hati, “Siapakah sebenarnya anak muda itu? Jika masih semuda itu dia sudah menguasai ilmu sedemikian ngedab-edabi, tentu ayah dan sekaligus gurunya itu mempunyai kemampuan yang tiada taranya.”

Namun jauh di lubuk hati Ki Waskita telah terucap sebuah rasa syukur yang ikhlas. Ki Rangga ternyata telah mendapat perawatan di tangan seorang yang linuwih. Tentu kesehatan Ki Rangga akan segera  pulih dengan cepat seperti sedia kala.

Walaupun demikian, sepercik keragu-raguan masih saja hinggap di salah satu sudut  dalam hatinya. Manusia memang hanya mampu berusaha, Yang Maha Agung jugalah yang akan menentukan. Apabila ketentuan Yang Maha Agung itu yang akan berlaku, manusia hanya dapat pasrah untuk menerima dan berusaha dengan ikhlas untuk menjalankannya.

“Nah, bersiaplah untuk mati!” tiba-tiba terdengar geram Putut Sambernyawa membangunkan lamunan Ki Waskita. Ketika Ki Waskita kemudian mengamati lawannya yang berdiri beberapa langkah saja di hadapannya, tampak murid utama perguruan Sapta Dhahana itu telah bersiap  menyalakan api untuk membakar tubuhnya.

Ki Waskita menarik nafas panjang. Tanpa sadar diamatinya kedua tangannya. Di lengan kiri masih membelit kain ikat kepalanya. Sedangkan di tangan kanan, seutas ikat pinggang telah siap melayani tandang Putut yang garang itu.

Sejenak kemudian, tanpa menunggu waktu lagi, serangan Putut Sambernyawa pun segera datang membadai menerjang lawannya.

Namun lawannya adalah Ki Waskita, orang tua yang sudah putus segala kawruh lahir maupun batin. Dengan mengandalkan kekuatan pada ujung ikat pinggangnya yang terbuat dari besi baja pilihan, serangan Ki Waskita pun mematuk-matuk ke segala bagian yang berbahaya dari tubuh lawannya.

“Rahasia orang ini agaknya terletak pada ketahanan tubuhnya,” demikian Ki Waskita berpikir sambil terus bertempur, “Jika aku mampu menggoyahkan ketahanan tubuhnya sedikit demi sedikit, api yang menyelimuti tubuhnya itu akan berbalik membakar tubuhnya sendiri.”

Berpikir sampai disitu, Ki Waskita segera meningkatkan serangannya. Ikat pinggang di tangan kanannya berputar semakin deras dan sesekali meluncur mematuk mengarah ke bagian-bagian tubuh lawannya yang berbahaya. Sedangkan tangan kirinya yang terbalut kain ikat kepalanya sibuk menangkis lidah-lidah api yang berhamburan menerjang ke arahnya.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang sedang bertempur melawan Raden Surengpati menjadi sangat gelisah. Dia telah mendengar ledakan yang dahsyat tadi, namun sejauh itu dia belum mengetahui apa yang sebenarnya  telah terjadi dengan kakak sepupunya.

Beberapa saat tadi dia sempat melihat Kiai Damar Sasangka menghindar dari bayangan semu Ki Rangga dan kemudian berlari meloncati dinding Padepokan sebelah timur. Ketika bayangan pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu menghilang ke balik dinding, Glagah Putih kembali melihat seseorang dari arah halaman belakang berlari meloncati dinding padepokan menyusul Kiai Damar Sasangka, dan Glagah Putih pun sangat mengenalnya sebagai Ki Waskita.

Begitu ledakan dahsyat itu terdengar membahana dan mengguncang udara padepokan Sapta Dhahana, Glagah Putih kembali melihat seseorang yang tidak dikenalnya berlari menyusul Ki Waskita meloncati dinding.

"Apakah sebenarnya yang telah terjadi?" pertanyaan itu sangat mengusik hati Glagah Putih, "Mengapa bayangan semu Kakang Agung Sedayu ikut menghilang bersama dengan menghilangnya Kiai Damar Sasangka?"

Namun Glagah Putih tidak mampu memecahkan teka-teki yang telah menyesaki benaknya.

Ternyata perhatian Glagah Putih yang terpecah itu telah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh lawannya. Ketika Glagah Putih yang gelisah itu mencoba memperhatikan kembali dinding padepokan sebelah timur untuk sekedar menduga-duga apa yang telah terjadi, sambaran angin bercampur api yang membara telah menyentuh  pundaknya. 

“Gila..!” teriak Glagah Putih sambil meloncat kesamping. Rasa pedih disertai panas membakar  terasa menyengat pundaknya.

Namun lawannya tidak mau melepaskannya. Sekali lagi sebuah serangan meluncur menyambar dada.

Tidak ada jalan lain bagi Glagah Putih selain menjatuhkan diri bergulingan  menjauhi garis serangan lawan. Begitu Glagah Putih kemudian melenting berdiri, kedua tangannya telah teracu ke depan, siap melontarkan aji pamungkasnya, aji Namaskara.

Raden Surengpati yang sudah merasa di atas angin itu terkejut melihat sikap Glagah Putih, namun semuanya sudah terlambat. Raden Surengpati pun segera menghentakkan puncak ilmunya. Angin pusaran bercampur panasnya api melanda Glagah Putih  dengan dahsyatnya.

Glagah Putih yang telah mengambil keputusan untuk segera mengakhiri pertempuran itu sudah tidak dapat berpikir panjang lagi. Dia harus segera mengetahui keadaan kakak sepupunya itu. Sejenak kemudian, dari kedua telapak tangannya yang terbuka menghadap ke depan, meluncur sinar yang menyilaukan menghantam badai api yang menerjangnya.

Benturan pun terjadi dengan dahsyatnya. Ledakan disertai dengan semburan api telah melanda tempat itu. Kedua orang itu pun sama-sama telah terlempar ke belakang sebelum akhirnya jatuh bergulingan di atas tanah.