Rabu, 18 Oktober 2017

STSD 07_10

“Cepat menyebar..!” teriak salah seorang cantrik yang berbadan tinggi besar dan wajahnya penuh dengan jambang, “Jangan bergerak sendiri-sendiri..! Usahakan bergerak dalam kelompok agar tidak mudah terjebak oleh lawan..!"

Para  cantrik yang telah tersadar dari pengaruh sirep itu pun segera tanggap. Mereka membentuk kelompok-kelompk kecil dan bergerak menyusuri setiap jengkal dari halaman padepokan yang luas itu.

Ketika sebuah kelompok kecil sedang menyusuri halaman samping kiri padepokan, mereka telah dikejutkan oleh bekas medan pertempuran Ki Rangga dan Kiai Damar Sasangka. Rumput-rumput dan semak belukar tampak telah hangus terbakar menjadi abu. Sedangkan  tanah  tempat bekas pertempuran itu pun bagaikan sehabis dibajak berpuluh ekor kerbau serta permukaan tanahnya sebagian telah hangus menghitam terkena pancaran ilmu aji sapta dhahana.

“Luar biasa..!” desis mereka tanpa sadar sambil mengamat-amati bekas pertempuran itu. Mereka tidak dapat membayangkan kedahsyatan pertempuran yang baru saja  terjadi.

“Menilik bekas tempat ini yang seperti habis tersapu oleh badai api, tentu guru yang telah mengetrapkan ilmu puncak perguruan kita, aji sapta dhahana,” berkata salah seorang cantrik penuh kebanggaan sambil mengamati bekas sebatang pohon perdu yang telah menjadi abu.

“Ya, aku yakin,” sahut kawan di sebelahnya dengan dada menggembung menahan kekaguman yang tiada taranya, “Namun yang membuat aku sedikit binggung, siapakah lawan yang sedang dihadapi oleh guru, sehingga guru telah mengeluarkan ilmu pamungkasnya?”

“Tentu seorang yang linuwih,” sahut cantrik yang lain dengan nada suara yang penuh dengan tekanan dan kebanggaan, “Namun aku yakin, lawannya itu pasti telah hancur lebur menjadi abu seperti bekas medan pertempuran ini.”

Kawan-kawan lainnya tidak menyahut. Tampak kepala mereka saja yang terangguk-angguk. Betapa dada mereka rasa-rasanya akan meledak karena tidak mampu menampung kebanggaan atas kesaktian guru mereka. Tak habis habisnya mereka mengagumi kedahsyatan ilmu puncak aji sapta dhahana.

“Tapi, di manakah guru sekarang?” tiba-tiba terdengar salah seorang cantrik menyeluthuk.

Untuk beberapa saat mereka hanya dapat saling berpandangan. Ketika mereka kemudian mengedarkan pandangan mata ke seluruh sudut halaman padepokan yang luas itu, mereka justru telah dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang mendebarkan jantung. Dalam keremangan pagi yang masih buram, tampak bayangan sesosok tubuh yang tergeletak agak jauh dari tempat mereka berdiri.

“Siapa..?” hampir setiap mulut telah mengajukan sebuah pertanyaan yang serupa.

Tanpa membuang waktu lagi,  mereka segera berloncatan dan berlari menuju ke arah sesosok tubuh yang tergeletak tak berdaya itu.

Ketika jarak itu semakin dekat, jantung mereka pun bagaikan berhenti berdetak. Rasa-rasanya mereka telah mengenali orang itu.

“Raden Surengpati..!” seru mereka hampir bersamaan sambil  mengerumuni adik orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu.

“Raden..?” desis salah seorang cantrik yang kemudian  berlutut di sisi tubuh Raden Surengpati, “Apakah Raden dapat mendengar kami?”

Cantrik yang lain segera ikut berlutut di sisi tubuh Raden Surengpati. Salah seorang cantrik bahkan  telah memberanikan diri untuk menyentuhnya.

“Masih hangat,” desis cantrik itu yang kemudian berusaha untuk meraba denyut nadi yang berada di leher.

Sejenak cantrik itu mengerutkan keningnya dalam-dalam. Cantrik yang lain pun  menjadi tidak sabar.

“Bagaimana?” bertanya  cantrik yang berlutut di sebelahnya.

Cantrik itu belum menjawab. Hanya kerut merut di dahinya saja yang terlihat semakin dalam.

“He?!” salah satu cantrik agaknya sudah tidak dapat menahan diri lagi, “Cepat katakan keadaan yang sebenarnya! Kita harus bertindak cepat dalam keadaan yang belum menentu ini..!”

Mendengar desakan dari salah satu kawannya, cantrik itu segera melepaskan tangannya dari leher Raden Surengpati. Setelah  menghela nafas panjang, barulah cantrik itu  menjawab,  “Aku tidak yakin kalau aku dapat merasakan denyut nadinya. Namun rasa-rasanya denyut nadi itu memang masih ada walaupun terasa sangat lemah dan jauh. Lebih baik kita bawa ke ruang dalam. Biarlah Tabib padepokan yang akan menolong dan merawatnya jika memang Raden Surengpati ini masih dapat ditolong.”


Tampaknya para cantrik  setuju dengan pendapat salah satu kawannya itu. Tiga orang cantrik segera mengangkat tubuh Raden Surengpati dan membawanya ke ruang dalam.

36 komentar :

  1. Matur nuwun Mbah Man, pertama lagi ..... tetap semangat !

    BalasHapus
  2. Matur nuwun mbah Man, semoga selalu sehat dan wedaran lancar karena semakin seru n tambah penasaran....

    BalasHapus
  3. Kiaine pancen top markotoppp...

    BalasHapus
  4. matur nuwun sanget mbah man ... topppp

    BalasHapus
  5. Mantap .... Makasih Mbah Man, semoga Mbah Man selalu ada dalam lindungan Allah ....

    BalasHapus
  6. Matur nuwun sanget Panembahan.

    BalasHapus
  7. Matur nuwun sanget Panembahan.

    BalasHapus
  8. Jumat berkah......ngalap barokah.....mBah Man sedekah wedaran

    BalasHapus
  9. Jum'at barokah. "Cepat manyebar..." teriak seorang cantrik sambil mencari rontal lanjutan yg mungkin masih terselip di tempat tersembunyi.
    Semoga sehat selalu Mbah_Man dan para canmen semua.

    BalasHapus
  10. masih siap siap nunggu wedaran .....semogaaa

    BalasHapus
  11. Saya sampai tahun 1990 han langganan buku api di bukit menoreh di alun alun bandubg jawa barat. Saya masih ingat buku yang dibaca terakhir di bagian glagah putih dan rara wulan tapa ngidang, setelah itu terputus karena pindah tempat tinggal.Dua bulan yang lalu tak sengaja membuka mbah google dan membaca adbm sampai stsd bagian ini, terima kasih mbah man saya tetep menunggu lanjutan kisah yang menarik ini...

    BalasHapus
  12. Saya sampai tahun 1990 han langganan buku api di bukit menoreh di alun alun bandubg jawa barat. Saya masih ingat buku yang dibaca terakhir di bagian glagah putih dan rara wulan tapa ngidang, setelah itu terputus karena pindah tempat tinggal.Dua bulan yang lalu tak sengaja membuka mbah google dan membaca adbm sampai stsd bagian ini, terima kasih mbah man saya tetep menunggu lanjutan kisah yang menarik ini...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bait terakhir yang enak dibaca :
      "terima kasih mbah man saya tetep menunggu wedaran selanjutnya yang menarik ini...sejak tahun 1990 han"😆😆

      Hapus
  13. Mengikuti kemah peringatan hari santri nasional sambil menunggu kabar mas santri yang membawa ki RAS....

    BalasHapus
  14. Mengikuti kemah peringatan hari santri nasional sambil menunggu kabar mas santri yang membawa ki RAS....

    BalasHapus
  15. Mengikuti kemah peringatan hari santri nasional sambil menunggu kabar mas santri yang membawa ki RAS..

    BalasHapus
  16. Balasan
    1. Artinya : "ini foto saya yang baru" ganteng bukan??

      Hapus
    2. Ini masih blm buka topeng.... masih malu"....in. Wajah semu, Ki. 🤣🤣

      Hapus
    3. Wajah ke-3 ki zy
      Kamsudnya permulaan hari yg baik

      Hapus
  17. Matur nuwun sanget Mbah Man...tulalit again...signalnya baru move on..😆👍🙏

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.