Kamis, 02 Mei 2019

STSD 14







 “Ternyata sifat Ki Swandaru telah menurun kepada anaknya,” hampir setiap dada telah terguncang oleh pernyataan sikap Bayu Swandana itu.
“Kasihan Nyi Pandan Wangi,”  seorang pengawal yang rambutnya mulai beruban melanjutkan angan-angannya,  “Semoga Ki Argapati di Menoreh lambat laun akan mampu membentuk anak ini menjadi anak yang andap asor dan berbudi luhur serta menjadi harapan bagi masa depan kedua daerah yang besar itu.”
Sedangkan perempuan parobaya yang ternyata adalah Pandan Wangi, ibu Bayu Swandana itu justru telah terpekur di atas kudanya yang berderap perlahan. Berbagai tanggapan pun telah tumbuh di dalam hatinya.
“Ayah Demang memang terlalu memanjakannya,” berkata Pandan Wangi dalam hati sambil terus mengendalikan kudanya agar tidak berderap terlalu kencang, “Apapun tingkah lakunya selalu dibenarkan dan didukung. Mungkin kenangan atas kakang Swandaru telah membuat ayah Demang berbuat seperti itu.”
Demikianlah kelima kuda ekor itu berderap terus menyusuri pinggir hutan yang masih cukup lebat. Sesekali mereka melihat beberapa ekor kera bergelantungan di pepohonan di pinggir hutan. Terdengar suara mereka yang ribut dan saling bersahut-sahutan.
“Paman,” tiba-tiba Bayu Swandana menyeluthuk, “Mengapa kera-kera itu mengikuti kita?”
Orang yang dipanggil paman itu tersenyum sebelum menjawab. Jawabnya kemudian, “Tentu saja mereka bercuriga terhadap kita. Mereka selalu bercuriga terhadap sesuatu yang mereka anggap asing dan berbahaya bagi kelompok mereka. Sebenarnyalah mereka hanya berusaha mengawal kita sampai keluar hutan untuk meyakinkan bahwa kita tidak akan mengganggu mereka.”
Tampak kepala Bayu Swandana terangguk-angguk. Kemudian sambil sedikit berteriak dia bertanya kepada Pandan Wangi yang berkuda di depan, “Biyung, masih lamakah perjalanan ini?”
Pandan Wangi yang kembali berkuda di depan berpaling ke belakang sekilas sambil menjawab, “Sedikit lagi, ngger. Bersabarlah. Nanti setelah sampai di kediaman kakek Argapati, engkau dapat beristirahat sepuas-puasnya.”
“Aku tidak akan tidur,biyung,” sela Bayu Swandana cepat, “Aku akan mengajak kakek Argapati untuk berkuda berkeliling perdikan Menoreh.”
Pandan Wangi tersenyum mendengar ucapan anak laki-laki satu-satunya yang terdengar penuh semangat itu. Beberapa pengawal yang ikut dalam rombongan itu pun tampak tersenyum.
“Malam-malam engkau akan berkuda, ngger?” tiba-tiba salah seorang pengawal yang berkuda di belakang bertanya.
Bayu Swandana berusaha berpaling ke belakang untuk melihat pengawal yang bertanya itu. Namun pandangan matanya tertutup tubuh pengawal yang berkuda dengannya. Maka jawabnya sambil sedikit berteriak, “Apa salahnya berkuda malam-malam? Udara malam tidak sepanas siang hari sehingga kita tidak akan cepat lelah dan dapat berkuda sepuas-puasnya.”
“Namun kuda juga perlu beristirahat,” sahut pengawal yang berkuda bersamanya, “Sebagaimana manusia, binatang juga perlu beristirahat di malam hari.”
“Tapi kelelawar itu justru berkeliaran di malam hari,” sergah Bayu Swandana cepat, “Pohon jambu di belakang dapur itu buahnya yang sudah masak habis dimakan kelelawar. Padahal aku baru mau memetiknya keesokan harinya.”
Orang-orang yang mendengar gerutu Bayu Swandana itu tak urung telah tersenyum geli.
“Ngger, Tuhan Yang Maha Agung menciptakan makhlukNya berbeda-beda,” jawab pengawal yang berkuda dengannya sambil tersenyum sareh, “Ada makhluk yang memang menggunakan siang hari untuk bekerja dan malam hari untuk berisitrahat, contohnya kita sebagai manusia. Namun ada juga makhluk yang menggunakan siang hari untuk beristirahat dan malam hari untuk mencari makan, salah satunya adalah kelelawar itu.”
“Tapi manusia kadang-kadang ada yang hidupnya seperti kelelawar,” sahut Bayu Swandana cepat.
“Apa maksudmu, ngger?”  sahut pengawal yang berkuda bersamanya dengan kerut merut di dahi.
Bayu Swandana tertawa pendek. Jawabnya kemudian sambil tangannya kanannya menunjuk ke belakang, ke arah pengawal yang berkuda bersamanya, “Paman sendiri yang aku lihat kemarin menjadi kelelawar.”
“He?!” hampir bersamaan para pengawal yang ikut dalam rombongan itu terlonjak kaget. Tak terkecuali Pandan Wangi yang berkuda di depan pun ikut berpaling.
“Kapan aku menjadi kelelawar, ngger?” bertanya pengawal yang berkuda bersamanya itu dengan serta merta dan nada penuh keheranan.
Kembali Bayu Swandana tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Kemarin lusa aku lihat paman tidur seharian di lincak dekat longkangan. Baru menjelang Matahari terbenam paman bangun dan pergi ke pakiwan belakang dapur.”
“Ah!” serentak para pengawal itu tertawa. Pandan Wangi pun tersenyum menanggapi ucapan anak semata wayangnya itu.
“Itu karena paman semalaman habis meronda ke seluruh wilayah kademangan Sangkal Putung,” berkata pengawal yang berkuda bersamanya itu kemudian, “Paman sangat mengantuk dan memang hampir seharian tidur di lincak dekat longkangan itu.”
“Nah, bukankah benar yang aku katakan,” sergah Bayu Swandana cepat, “Saat itu paman sedang menjadi kelelawar. Bekerja di malam hari dan tidur di siang hari.”
“Memang benar, ngger,” seorang pengawal yang berkuda di belakangnya menyahut sambil memacu kudanya menjajari kuda Bayu Swandana, “Kelak engkau akan melihat banyak manusia yang hidupnya seperti kelelawar.”
“Ah, sudahlah,” tiba-tiba tedengar Pandan Wangi yang berkuda di depan memotong. Tanyanya kemudian mengalihkan pembicaraan, “Apakah kita akan melewati Kota Raja?”
“Ya, ya, biyung. Kita lewat Kota Raja!” sahut Bayu Swandana kegirangan, “Aku belum pernah melihat Kota Raja. Alangkah indahnya! Kita dapat bermalam di Kota Raja, biyung.”
“Sebaiknya kita menghindari Kota Raja, nyi,” pengawal yang berkuda bersama Bayu Swandana itu lah yang menjawab, “Jika nyi Pandan Wangi sependapat, kita sedikit ke selatan melewati kademangan Sewon yang besar. Namun aku rasa perjalanan kita tidak akan mengalami banyak hambatan. Berbeda dengan jika kita melewati Kota Raja.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya sambil berpaling sekilas ke belakang. Tanyanya kemudian, “Ada apa dengan Kota Raja jika kita melewatinya?”
“Maaf nyi,” jawab pengawal itu, “Bukan Kota Raja itu sendiri yang menjadi masalah. Namun rombongan ini akan sangat menarik perhatian para prajurit yang menjaga pintu gerbang Kota Raja.”
“Maksudmu, pakaian yang aku kenakan ini akan menarik perhatian mereka?”
“Demikianlah, nyi. Itu  menurut perhitunganku.”
“Ada apa dengan biyung?” tiba-tiba Bayu Swandana menyeluthuk dengan nada bersungut-sungut, “Biyung terlihat sangat cantik dan gagah mengenakan pakaian itu. Apalagi biyung juga membawa sepasang pedang di lambung. Para prajurit  yang menjaga pintu gerbang pasti akan ketakutan.”
Hampir semua orang dalam rombongan itu telah tersenyum mendengar ucapan Bayu Swandana.
“Tidak,ngger,” jawab Pandan Wangi kemudian sambil mengurangi laju kudanya dan menjajari kuda yang ditunggangi pengawal bersama anaknya, “Para prajurit Mataram tidak mengenal rasa takut. Sebaiknya kita memang menghindari Kota Raja. Bukan berarti kita takut dengan para prajurit Mataram. Mereka sangat baik. Namun lebih baik kita menghindari Kota Raja. Kota Raja sangat ramai dan kemungkinannya perjalanan kita akan sangat lambat. Berbeda jika kita melewati kademangan Sewon. Kita dapat berpacu di bulak-bulak panjang sehingga setelah Matahari terbenam kita sudah akan menyeberangi kali Praga.”
“Horee..!!!  Kita akan berpacu lagi!” seru Bayu Swandana gembira, “Aku sudah bosan naik kuda pelan-pelan. Seperti menaiki seekor kerbau.”
“Ah”, beberapa pengawal tertawa. Salah satu dari pengawal yang berkuda di belakang itu pun kemudian menyahut, “Tapi naik kerbau sangat menyenangkan. Kita dapat duduk dengan tenang sambil terkantuk-kantuk.”

Kembali terdengar orang-orang dalam rombongan itu tertawa. Bayu Swandana pun tertawa karena dia sering melakukannya jika musim menggarap sawah tiba. Kakeknya Ki Demang Sangkal Putung mempunyai kerbau yang cukup banyak sehingga dia sering ikut ke sawah sambil menaiki kerbau.