“Kosong?!” seru Glagah Putih
terheran-heran.
Sedangkan Ki Jayaraga yang
berdiri di belakangnya segera melangkah maju dan melangkahi tlundak pintu memasuki
sanggar. Ketika Ki Jayaraga sudah berada di dalam sanggar, sejenak diedarkan
pandangan matanya ke seluruh ruang sanggar. Dengan jelas Ki Jayaraga melihat
keadaan sanggar yang kosong. Tidak tampak bekas-bekas bahwa sanggar itu baru
saja dipakai oleh seseorang.
Glagah Putih yang ikut
melangkah masuk pun menjadi semakin heran. Dia benar-benar tidak percaya dengan
penglihatannya sendiri. Dengan jelas mereka berdua tadi mendengar suara
dentingan senjata beradu dari dalam sanggar. Namun kenyataannya sekarang ini
sanggar itu dalam keadaan kosong.
“Bagaimana Guru?” bertanya
Glagah Putih kemudian setelah beberapa saat mereka berdua hanya berdiri diam
termangu-mangu.
“Aku merasakan sesuatu yang
tidak wajar sedang terjadi di dalam sanggar ini,” jawab gurunya sambil menarik
nafas dalam-dalam, “Namun aku tidak mampu mengungkapkan, apakah sebenarnya ketidak
wajaran itu?”
Glagah Putih hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepalanya. Usia Glagah Putih masih muda sehingga batinnya
belum mampu menangkap getaran-getaran halus di luar kewajaran yang terjadi di
sekelilingnya.
“Marilah kita tinggalkan
tempat ini,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Agaknya kita memang tidak
diperkenankan mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam sanggar ini. Semoga
semua itu untuk tujuan kebaikan bagi sesama.”
Selesai berkata demikian Ki
Jayaraga segera berbalik dan berjalan keluar sanggar. Sedangkan Glagah Putih
tanpa banyak pertanyaan segera mengikuti langkah gurunya. Sesampainya mereka
berdua di luar sanggar, Glagah Putih pun segera menutup kembali pintu sanggar.
“Kembalilah ke bilikmu.
Masih ada sedikit waktu untuk beristirahat,” berkata Ki Jayaraga kemudian
kepada muridnya sambil melangkah menjauhi sanggar.
“Baik Guru,’ jawab Glagah
Putih sambil berjalan ke arah berlawanan dengan gurunya. Mereka pun kemudian
berpisah untuk menuju ke bilik masing-masing.
Dalam pada itu tiga orang
prajurit yang berkedudukan di Jati Anom sedang nganglang di sepanjang bulak panjang yang menghubungkan Kademangan Jati Anom dengan hutan kecil di sebelah
barat lemah cengkar. Tiga orang prajurit itu tampak sedang bersenda gurau
melepaskan kejemuan sambil berderap perlahan sepanjang bulak.
“Bukankah bulan depan engkau
berencana untuk kawin,” bertanya Prajurit yang berkuda paling kanan kepada
kawannya yang berkuda di tengah.
“Rencananya memang demikian,
Kakang,” jawab prajurit yang berkuda di tengah, “Persiapan sudah matang tinggal
menunggu kedatangan Ki Tumenggung Untaradira dari Panaraga.”
“He?” sahut kawannya yang berkuda di kiri, “Mengapa mesti
menunggu kedatangan Ki Tumenggung? Bisa-bisa calon istrimu menjadi perawan tua.
Kemungkinan Ki Tumenggung baru pulang dari Panaraga dua atau tiga bulan lagi. Itu
pun masih ada kemungkinan Ki Tumenggung justru mendapat tugas untuk
mengendalikan keamanan di Panaraga sambil menunggu pengganti Adipati Panaraga
yang baru.”
“Ah, macam kau!” geram
prajurit yang akan kawin bulan depan itu, “Aku sudah mengajukan permohonan
kawin ini kepada Ki Tumenggung sebulan sebelum keberangkatannya ke Panaraga. Apakah
aku harus menundanya lagi? Apa kata calon mertuaku nanti? Disangkanya aku mulai
berulah dan mau menggagalkan semua rencana ini.”
“Bukan begitu,” sahut prajurit
yang berkuda di sebelah kanan, “Engkau dapat mengajukan permohonan kepada
perwira tertua yang ada di Jati Anom. Tidak harus menunggu Ki Tumenggung
Untaradira jika kepentingannya untuk menjadi saksi dalam perkawinanmu itu. Berita
terakhir dari prajurit sandi, pasukan Mataram memang telah meninggalkan
Kadipaten Panaraga, namun aku belum mendengar apakah Ki Tumenggung Untaradira
ikut kembali ataukah tinggal sementara di Panaraga.”
Prajurit yang bulan depan
akan melangsungkan perkawinan itu menjadi berdebar-debar. Keinginannya untuk
menghadirkan Ki Tumenggung Untaradira sebagai saksi perkawinannya menjadi
pupus. Memang dia dapat mengajukan permohonan kepada perwira tertua yang ada
pada saat itu jika memang Ki Tumenggung berhalangan. Namun adalah sebuah
kebanggaan tersendiri bagi dirinya dan keluarganya jika Ki Untara sebagai
atasannya berkenan hadir sebagai saksi dalam acara perkawinannya nanti.
Tiba-tiba pandangan tajam
salah satu prajurit itu menangkap titik-titik di kejauhan. Di kiri kanan bulak yang panjang
itu tampak beberapa ekor kuda sedang merumput dengan tenangnya. Memang rumput
yang tumbuh di tanggul sebelah menyebelah bulak itu cukup lebat walaupun
sebagian mengering kecoklatan karena musim hujan yang belum turun.
“”Kuda-kuda siapa?”
pertanyaan itu terloncat begitu saja dari bibirnya.
“Kuda yang mana?” hampir
bersamaan kedua kawannya menyahut dengan serta merta.
“Lihatlah!” berkata prajurit
yang pertama kali melihat kuda-kuda itu sambil menunjuk ke depan, “Tidak
mungkin itu kuda-kuda liar. Pasti sesuatu telah terjadi pada para
penunggangnya.”
“Mari kita lihat!” seru
prajurit yang bulan depan berencana akan kawin sambil memacu kudanya.
Kedua kawannya pun segera
ikut memacu kuda-kuda mereka.