Rabu, 30 November 2016

TADBM 416_7

“Kosong?!” seru Glagah Putih terheran-heran.

Sedangkan Ki Jayaraga yang berdiri di belakangnya segera melangkah maju dan melangkahi tlundak pintu memasuki sanggar. Ketika Ki Jayaraga sudah berada di dalam sanggar, sejenak diedarkan pandangan matanya ke seluruh ruang sanggar. Dengan jelas Ki Jayaraga melihat keadaan sanggar yang kosong. Tidak tampak bekas-bekas bahwa sanggar itu baru saja dipakai oleh seseorang.

Glagah Putih yang ikut melangkah masuk pun menjadi semakin heran. Dia benar-benar tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Dengan jelas mereka berdua tadi mendengar suara dentingan senjata beradu dari dalam sanggar. Namun kenyataannya sekarang ini sanggar itu dalam keadaan kosong.

“Bagaimana Guru?” bertanya Glagah Putih kemudian setelah beberapa saat mereka berdua hanya berdiri diam termangu-mangu.

“Aku merasakan sesuatu yang tidak wajar sedang terjadi di dalam sanggar ini,” jawab gurunya sambil menarik nafas dalam-dalam, “Namun aku tidak mampu mengungkapkan, apakah sebenarnya ketidak wajaran itu?”

Glagah Putih hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Usia Glagah Putih masih muda sehingga batinnya belum mampu menangkap getaran-getaran halus di luar kewajaran yang terjadi di sekelilingnya.

“Marilah kita tinggalkan tempat ini,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Agaknya kita memang tidak diperkenankan mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam sanggar ini. Semoga semua itu untuk tujuan kebaikan bagi sesama.”

Selesai berkata demikian Ki Jayaraga segera berbalik dan berjalan keluar sanggar. Sedangkan Glagah Putih tanpa banyak pertanyaan segera mengikuti langkah gurunya. Sesampainya mereka berdua di luar sanggar, Glagah Putih pun segera menutup kembali pintu sanggar.

“Kembalilah ke bilikmu. Masih ada sedikit waktu untuk beristirahat,” berkata Ki Jayaraga kemudian kepada muridnya sambil melangkah menjauhi sanggar.

“Baik Guru,’ jawab Glagah Putih sambil berjalan ke arah berlawanan dengan gurunya. Mereka pun kemudian berpisah untuk menuju ke bilik masing-masing.

Dalam pada itu tiga orang prajurit yang berkedudukan di Jati Anom sedang nganglang di sepanjang bulak panjang yang menghubungkan Kademangan Jati Anom dengan hutan kecil di sebelah barat lemah cengkar. Tiga orang prajurit itu tampak sedang bersenda gurau melepaskan kejemuan sambil berderap perlahan sepanjang bulak.

“Bukankah bulan depan engkau berencana untuk kawin,” bertanya Prajurit yang berkuda paling kanan kepada kawannya yang berkuda di tengah.

“Rencananya memang demikian, Kakang,” jawab prajurit yang berkuda di tengah, “Persiapan sudah matang tinggal menunggu kedatangan Ki Tumenggung Untaradira dari Panaraga.”

“He?” sahut  kawannya yang berkuda di kiri, “Mengapa mesti menunggu kedatangan Ki Tumenggung? Bisa-bisa calon istrimu menjadi perawan tua. Kemungkinan Ki Tumenggung baru pulang dari Panaraga dua atau tiga bulan lagi. Itu pun masih ada kemungkinan Ki Tumenggung justru mendapat tugas untuk mengendalikan keamanan di Panaraga sambil menunggu pengganti Adipati Panaraga yang baru.”

“Ah, macam kau!” geram prajurit yang akan kawin bulan depan itu, “Aku sudah mengajukan permohonan kawin ini kepada Ki Tumenggung sebulan sebelum keberangkatannya ke Panaraga. Apakah aku harus menundanya lagi? Apa kata calon mertuaku nanti? Disangkanya aku mulai berulah dan mau menggagalkan semua rencana ini.”

“Bukan begitu,” sahut prajurit yang berkuda di sebelah kanan, “Engkau dapat mengajukan permohonan kepada perwira tertua yang ada di Jati Anom. Tidak harus menunggu Ki Tumenggung Untaradira jika kepentingannya untuk menjadi saksi dalam perkawinanmu itu. Berita terakhir dari prajurit sandi, pasukan Mataram memang telah meninggalkan Kadipaten Panaraga, namun aku belum mendengar apakah Ki Tumenggung Untaradira ikut kembali ataukah tinggal sementara di Panaraga.”

Prajurit yang bulan depan akan melangsungkan perkawinan itu menjadi berdebar-debar. Keinginannya untuk menghadirkan Ki Tumenggung Untaradira sebagai saksi perkawinannya menjadi pupus. Memang dia dapat mengajukan permohonan kepada perwira tertua yang ada pada saat itu jika memang Ki Tumenggung berhalangan. Namun adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi dirinya dan keluarganya jika Ki Untara sebagai atasannya berkenan hadir sebagai saksi dalam acara perkawinannya nanti.

Tiba-tiba pandangan tajam salah satu prajurit itu menangkap titik-titik di kejauhan. Di kiri kanan bulak yang panjang itu tampak beberapa ekor kuda sedang merumput dengan tenangnya. Memang rumput yang tumbuh di tanggul sebelah menyebelah bulak itu cukup lebat walaupun sebagian mengering kecoklatan karena musim hujan yang belum turun.

“”Kuda-kuda siapa?” pertanyaan itu terloncat begitu saja dari bibirnya.

“Kuda yang mana?” hampir bersamaan kedua kawannya menyahut dengan serta merta.

“Lihatlah!” berkata prajurit yang pertama kali melihat kuda-kuda itu sambil menunjuk ke depan, “Tidak mungkin itu kuda-kuda liar. Pasti sesuatu telah terjadi pada para penunggangnya.”

“Mari kita lihat!” seru prajurit yang bulan depan berencana akan kawin sambil memacu kudanya.


Kedua kawannya pun segera ikut memacu kuda-kuda mereka.

Senin, 28 November 2016

TADBM 416_6

“Marilah,” berkata Ki Jayaraga selanjutnya, “Istrimu tentu sudah lama menunggu.”

Glagah Putih tidak menjawab, hanya kepalanya saja yang terlihat mengangguk. Namun baru saja kakinya melangkah ke pintu bilik, pendengaran Glagah Putih yang tajam lamat-lamat mendengar suara yang mencurigakan di luar sana.

“Apakah engkau mendengar suara yang aneh di malam selarut ini GlagahPutih?” bertanya Ki Jayaraga begitu melihat Glagah Putih menghentikan langkahnya.

“Ya Guru,” jawab Glagah Putih dengan serta merta, “Aku mendengar suara seperti senjata yang sedang beradu.”

“Ya,” berkata Ki Jayaraga, “Suara itu datangnya dari arah sanggar. Aku tidak yakin jika malam-malam menjelang dini hari seperti ini ada orang yang sedang berlatih olah kanuragan.”

Glagah Putih menahan nafasnya sejenak sambil mengerahkan kemampuan untuk mempertajam pendengarannya. Sekarang dengan sangat jelas dia dapat mendengarkan suara senjata beradu berkali-kali seperti suara beradunya senjata orang yang sedang bertempur.

“Siapakah malam-malam begini berlatih di dalam sanggar?” pertanyaan itu muncul dalam benaknya.

Tiba-tiba Glagah Putih teringat bahwa sore tadi selepas jamuan makan malam, Kanjeng Sunan dan kakak sepupunya telah memasuki sanggar hanya berdua saja.

“Mungkinkah kakang Agung Sedayu?” pertanyaan itu tiba-tiba saja terloncat dari bibirnya.

KI Jayaraga tersenyum menanggapi pertanyaan Glagah Putih. Katanya kemudian, “Memang kakangmu bersama Kanjeng Sunan sejak sore tadi telah berada di dalam sanggar. Namun jika memang benar kakangmu masih di sanggar, untuk apa dia berlatih pedang atau sejenisnya? Kakangmu mempunyai senjata khusus. Jika memang kakangmu sedang berlatih, tentu yang terdengar adalah suara ledakan cambuk, bukan dentingan senjata pedang atau sejenisnya yang terbuat dari logam.”

Untuk beberapa saat Glagah Putih menjadi binggung tidak tahu harus berbuata apa. Namun agaknya Ki Jayaraga segera mengambil keputusan.

“Marilah, tidak ada salahnya jika kita melihat apa yang sebenarnya  sedang terjadi di dalam sanggar,”

Glagah Putih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sedikit bergegas dia segera mengikuti langkah gurunya.

Ketika keduanya baru saja keluar dan menutup pintu bilik, tiba-tiba saja dalam keremangan malam di bawah bayang-bayang teritisan, mereka melihat bayangan bulat gemuk dengan nafas yang tersengal sengal setengah berlari menuju ke arah mereka.

“Siapa?” bertanya Glagah Putih kemudian.

“Aku mbok Gumbrek!” jawab bayangan itu dengan setengah berseru dan nafas memburu.

Kedua orang itu sejenak saling berpandangan. Mbok Gumbrek mereka kenal sebagai salah satu pembantu rumah Ki Gede.

“Ki Jayaraga,” berkata mbok Gumbrek kemudian setibanya dia di hadapan mereka berdua dengan nafas yang berkejaran, “Tolonglah Ki, tolonglah aku..!”

“Ya,ya..mbok Gumbrek,” sahut Ki Jayaraga sareh, “Tenanglah. Atur nafasmu dulu sebelum bicara, agar aku dapat mendengar dengan jelas kata-katamu.”

Mbok Gumbrek mengangguk. Dicobanya menarik nafas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan gejolak di dalam dadanya. Sejenak kemudian katanya, “Ki, Aku tadi dibangunkan oleh Nyi Pandan Wangi. Katanya aku  disuruh menjaga Bagus Sadewa oleh Nyi Sekar Mirah di biliknya,” mbok Gumbrek berhenti sebentar untuk mengatur pernafasannya lagi. Lanjutnya kemudian, “Ketika aku pergi ke bilik Nyi Sekar Mirah, aku dapati Nyi Sekar Mirah sudah siap dengan pakaian khususnya dan menjinjing senjata.  Katanya dia akan pergi ke sanggar untuk berlatih dengan Nyi Pandan Wangi.”

Hampir bersamaan kedua orang itu mengerutkan kening. Dengan keterangan mbok Gumbrek itu, mereka dapat menebak apa yang sedang terjadi di dalam sanggar saat ini. Namun betapapun juga, berlatih olah kanuragan di saat seperti ini adalah sangat tidak wajar.

“Baiklah mbok Gumbrek,” berkata Ki Jayaraga akhirnya, “Kembalilah ke bilik. Aku dan Glagah Putih akan menengok ke sanggar. Semoga saja memang benar keduanya hanya sedang berlatih.”

Untuk sejenak mbok Gumbrek masih belum beranjak dari tempatnya. Dipandanginya guru dan murid itu ganti-berganti. Seolah-olah seumur hidupnya belum pernah bertemu dengan keduanya.

KI Jayaraga tersenyum melihat tingkah mbok Gumbrek. Katanya kemudian, “Sudahlah mbok, apa masih ada lagi yang akan engkau sampaikan?”

“O, tidak tidak, Ki,” jawab mbok Gumbrek cepat, “Aku mohon diri untuk kembali.”

“Silahkan,” hampir bersamaan kedua orang itu menyahut.

Sepeninggal mbok Gumbrek, guru dan murid itu segera bergegas menuju ke sanggar. Namun ada keanehan yang terjadi selama mereka berjalan menuju ke sanggar. Suara dentingan senjata beradu itu tiba-tiba saja sudah tidak terdengar lagi.

“Guru?” tanpa sadar Glagah Putih berpaling ke arah gurunya yang berjalan di sebelah kanannya, “Suara itu berhenti.”

Ki Jayaraga mengerutkan keningnya dalam-dalam. Dicobanya untuk mendengarkan dengan seksama suara dari arah sanggar yang tinggal beberapa tombak saja di hadapan mereka. Namun suasana benar-benar sepi. Hanya suara binatang malam saja yang terdengar bersahut sahutan dalam irama yang ajeg.

“Aneh,” desis Ki Jayaraga sambil terus melangkah, “Mungkin benar mereka memang sedang berlatih, dan agaknya sekarang mereka sedang beristirahat untuk melepaskan lelah.”

Glagah Putih yang berjalan di sebelahnya hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya.

Tinggal beberapa langkah lagi mereka akan mencapai sanggar yang pintunya tertutup rapat. Sinar dlupak yang lemah tampak menerobos di celah-celah daun pintu dan dinding-dinding kayu.


Begitu keduanya telah berdiri di depan pintu, tanpa menunggu waktu Glagah Putih segera mendorong daun pintu sanggar. Ternyata pintu sanggar itu tidak diselarak dari dalam, hanya ditutup begitu saja. Namun alangkah terkejutnya mereka berdua, begitu pintu sanggar itu terbuka lebar, apa yang tampak di dalam sanggar itu benar-benar di luar dugaan mereka.

BDBJ 01 bag 02

Melihat Soka Wana tidak menjawab pertanyaannya dan bahkan hanya diam mematung, membuat Niken Mita Ayu semakin jengkel. Sambil melangkah menjauh dia berkata, “Sudahlah Ki sanak, aku akan minta tolong seorang cantrik untuk mengurusmu, memberimu seteguk minum dan sesuap nasi sesuai dengan permohonanmu, bukankah duniamu selama ini hanya berkisar urusan itu? Aku tidak yakin bahwa Ki sanak memahami  urusan yang lebih njlimet, yang  gumelar di atas jagad raya ini dalam hubungannya dengan jati diri kita, hubungan timbal balik yang menyebabkan jagad raya ini senantiasa seimbang.”

Tak terperikan kepedihan hati Soka Wana bagai ditusuk selaksa sembilu mendengar ucapan Gadis Kecil yang telah menawan hatinya itu. Yang dapat dilakukannya sekarang hanyalah memandangi saja Niken Mita Ayu yang berjalan tergesa gesa melangkahi tlundak pendapa, kemudian hilang dibalik pintu pringgitan.

Dalam pada itu, sepeninggal Niken Mita Ayu, beberapa cantrik yang sedang membersihkan rumput di halaman samping padepokan tertarik untuk mendekati Soka Wana yang sedang duduk bersimpuh di depan regol Padepokan.

Seorang cantrik yang bertelanjang dada, yang masih cukup muda, lebih tua sedikit dari Soka wana tampak dengan langkah pasti menghampiri Soka Wana. Tubuh bagian atas cantrik itu berkilat kilat tertimpa sinar matahari pagi yang mulai terasa menyengat kulit. Ikat kepalanya yang berwarna gelap  itu hanya dikalungkan di leher. Sementara rambutnya yang panjang berwarna hitam kemerah merahan hanya dibiarkan saja terurai menyentuh pundak.

“Ki sanak,” sapa cantrik yang bertelanjang dada itu ketika langkahnya terhenti  beberapa depa di depan Soka Wana bersimpuh,  “Adakah Ki sanak menunggu seseorang?”

Hampir diluar sadarnya Soka Wana menengadah, mengamati sekujur tubuh cantrik yang bertelanjang dada yang kini berdiri beberapa depa dihadapannya. Cantrik yang bertelanjang dada itu mempunyai bentuk tubuh yang  tegap, kokoh tetapi tidak begitu  tinggi. Kulitnya berwarna hitam legam bagaikan warna malam di bulan  tua. Sementara urat uratnya tampak menonjol di sana sini yang mengesankan bahwa dia adalah seorang yang mengandalkan liatnya kulit dan kerasnya tulang.

“He,” bentak cantrik yang bertelanjang dada itu, “Apakah kedua telingamu tuli, ataukah kelaparan yang sangat  telah membuatmu menjadi bisu?”

“O,” Soka Wana menarik nafas dalam dalam untuk sekedar meredakan getar hatinya karena bentakan cantrik yang bertelanjang dada itu, kemudian jawabnya sambil tetap memandang wajah cantrik yang ada di hadapannya, “Aku menunggu uluran belas kasihan dari gadis penghuni Padepokan ini untuk sekedar menghilangkan lapar dan dahaga.”

Cantrik yang bertelanjang dada itu sejenak mengerutkan keningnya, kemudian katanya, “Apakah yang kau maksud gadis itu Niken Mita Ayu Puspaningratri, putri satu satunya Ki Ajar Sokaniti?”

Kini giliran Soka Wana yang tertegun, nama itu begitu indah terdengar di telinganya, Niken Mita Ayu Puspaningratri, benar benar bunga yang indah yang diharapkannya akan selalu menghiasi  taman hatinya, dan tiba tiba saja sebuah senyum kecil menghias bibir Soka Wana.

Plak..! sebuah tamparan yang cukup keras disertai bentakan yang membahana membuyarkan lamunan Soka Wana.

“Keparat, apa yang kau pikirkan, he..? jangan pernah mencoba berpikiran yang aneh aneh terhadap putri Padepokan ini, taruhannya adalah darah dan nyawa.”

Selesai mengucapkan ancamannya, cantrik yang bertelanjang dada itupun  segera mundur setapak, tangan kanannya  lurus kedepan membentuk sebuah cakar yang nggegirisi, sementara tangan kirinya bergerak memutar didepan dada membentuk kepalan tepat  didepan ulu hati, sedangkan kedua kakinya sedikit merendah dengan kaki kiri didepan, siap melontarkan aji Padepokan Sekar Keluwih yang tiada taranya, Aji Sardula Krida.

“Kakang Sura Ireng, hentikan....!” tiba tiba seorang cantrik yang tiba di tempat itu mendahului teman-temannya meloncat kedepan Sura Ireng yang sudah waringuten. Entah mengapa, setiap kali ada yang berani menyebut nama Niken Mita Ayu Puspaningratri, apalagi dengan sedikit sanjungan dan pujian di hadapannya, sudah cukup alasan bagi Sura Ireng untuk menghajarnya, tidak peduli apakah mereka anak-anak muda dari Kademangan Jati Anom, Kademangan yang terdekat letaknya dari Padepokan Sekar Keluwih,  atau bahkan para cantrik dari Padepokan Sekar Keluwih itu sendiri.

“Minggirlah, Adi Jumakir, biar aku selesaikan sekali pemuda kurang ajar ini.” Bentak Sura Ireng tidak kurang kerasnya dengan teriakan Jumakir, cantrik yang masih terhitung sangat muda, lebih muda dari Soka Wana.

“Kakang Sura Ireng,” sahut Jumakir sambil berusaha mengatur kata-katanya agar tidak menyinggung Sura Ireng, “Sudah pantaskah kesalahan anak muda ini sehingga kakang memutuskan untuk menghukumnya dengan aji sardula krida.”


“Persetan kau Jumakir, tidak sadarkah engkau bahwa mungkin saja dia adalah telik sandi yang dikirim oleh Padepokan Kedungjati untuk memata matai Padepokan kita?”

KKBP 01 bag 05

Para pengikut Ken Sora yang memang tidak siap untuk berperang itu telah berusaha melawan dengan sekuat tenaga. Seluruhnya binasa di tangan para prajurit Majapahit tak terkecuali ayahnya dalam  peristiwa yang mengerikan itu.

Ternyata Mahapati tidak berhenti sampai disitu, keluarga Ken Sora dan pengikutnya ternyata telah ikut menjadi korban. Mereka telah dikejar dan diserbu dimanapun mereka bersembunyi. Atas jasa Mahesa Pawagal dan Lurah Mandana, dia dapat diselamatkan dari penyerbuan pasukan kerajaan Majapahit pada waktu itu. Setelah disembunyikan secara berpindah-pindah dalam asuhan Mahesa Pawagal selama hampir lima tahun, akhirnya Mahesa Pawagal atas saran dari seorang sahabatnya telah menemukan Padepokan Wringin Anom sebagai tempat yang cocok untuk  persembunyian dan sekaligus menimba ilmu.

“Berita apakah yang engkau bawa dari Majapahit?” pertanyaan Ki Ajar kepada Mahesa Pawagal telah membuyarkan angan-angan Brajamusti.

Sejenak Mahesa Pawagal menarik nafas panjang. Sambil menghembuskan nafasnya  kuat-kuat dia pun kemudian menjawab perlahan, “Sri Maharaja Kertarajasa telah mangkat.”

“He..!” hampir bersamaan Ki Ajar dan Putut Brajamusti terlonjak kaget.

“Benarkah Dyah Sanggramawijaya telah mangkat?” perlahan Ki Ajar bergumam kepada dirinya sendiri. Baginya Sang Maharaja Kertarajasa adalah seorang Raja yang adil dan bijaksana. Walaupun Ki Ajar secara pribadi tidak mengenal dan bahkan belum pernah bertemu, namun kewibawaan pemerintahan Majapahit di bawah Sang Prabu terasa sampai jauh di seluruh pelosok wilayah Majapahit.

“Apakah dewan penasehat dan kerabat istana sudah menentukan penggantinya?” bertanya Ki Ajar kemudian setelah mereka sejenak terdiam.

“Sebenarnya Pangeran Kalagemet yang telah resmi dinobatkan sebagai putra mahkota berhak untuk menggantikan Ayahandanya,” Mahesa Pawagal berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya. Lanjutnya kemudian, “Namun seperti yang telah kita ketahui bersama, pangeran Kalagemet bukan keturunan murni dari tanah Jawa. Ibunya dari tanah Pamalayu. Pengangkatannya sebagai Putra Mahkota pada saat itu pun telah banyak mendapat tentangan dari keluarga istana. Namun pada saat itu orang-orang masih segan dengan Raden Wiajaya.”

Ki Ajar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Brajamusti tetap saja duduk terpekur sambil memandangi anyaman tikar pandan yang saling membelit, menyilang dan menjelujur dengan cukup rumit.

“Ki Mahesa Pawagal,” berkata Ki Ajar selanjutnya, “Biarlah pengganti Sri Maharaja dipikirkan oleh mereka yang berwenang. Sekarang yang ingin aku ketahui adalah, bagaimanakah masa depan Brajamusti sejalan dengan pergantian pucuk  pimpinan di Majapahit? Apakah Brajamusti sudah lepas dari kejaran pemerintah dengan tuduhan pemberontak?”


Mahesa Pawagal menarik nafas dalam-dalam sambil menggelengkan kepalanya. Jawabnya kemudian, “Aku belum tahu Ki Ajar. Semuanya masih menunggu kemanakah angin akan bertiup? Sebaiknya jati diri Brajamusti harus tetap dirahasiakan sebelum benar-benar ada pernyataan pengampunan kepada seluruh kerabat Ken Sora yang dianggap memberontak dari pemerintahan Majapahit.”

TADBM 416_5

Cambuk di tangan mantan perwira Pajang itu berputaran dengan deras. Sesekali ujung cambuk itu menggeliat dan meledak dengan suara yang bergemuruh ketika Ki Widura melecut cambuknya dengan sendal pancing. Bahkan tak jarang juntai cambuknya membentuk pagar berjajar-jajar dengan sangat rapat untuk melindungi serangan lawannya.

Mereka berdua menggunakan jenis senjata yang hampir sama, senjata yang mempunyai jangkauan cukup panjang. Sepasang trisula di tangan anak muda itu bagaikan hidup dan mengetahui ke arah mana gerak lawan. Walaupun Ki widura sudah berusaha dengan sekuat tenaga memagari dirinya dengan putaran cambuknya, kadang-kadang trisula itu masih mampu juga menembusnya.

Setiap kali salah satu trisula itu meluncur menembus benteng pertahanannya, Ki Widura harus dengan bergegas menggeser tubuhnya agar ujung trisula itu tidak sampai mematuk tubuhnya.

“Anak muda ini sangat lincah dan gesit,” desis Ki Widura dalam hati, “Kemampuan memainkan senjatanya sangat luar biasa. Aku bisa kehabisan nafas jika tidak segera mengetahui titik kelemahan permainan sepasang trisulanya.”

Sejenak kemudian Ki Widura telah meningkatkan permainan cambuknya. Disalurkan tenaga cadangan melalui juntai cambuknya sehingga putaran cambuk itu terasa semakin cepat dan rapat serta tenaga yang tersalur melalui ledakan ujung juntai cambuknya pun menjadi semakin kuat.

Dalam pada itu malam telah merambat meninggalkan pusatnya. Udara menjadi semakin dingin dan terasa menggigit tulang. Pada peronda yang sedang berjaga di gardu-gardu semakin merapatkan kain panjangnya untuk  menyelimuti sekujur tubuhnya.

Di bilik Sekar Mirah, mbok Gumbrek berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Sesekali pandang matanya tertuju pada Bagus Sadewa yang tertidur lelap. Sudah di cobanya untuk berbaring di sisi anak laki-laki satu-satunya Sekar Mirah itu. Namun angan-angannya tetap saja gelisah tak tentu arah.

“Aku harus menghadap Ki Gede untuk melaporkan masalah ini,” berkata mbok Gumbrek dalam hati kemudian.

Namun ketika tekadnya sudah bulat, tiba-tiba saja dia menjadi ragu-ragu sendiri. Membangunkan pemimpin Tanah Perdikan Menoreh di malam-malam seperti ini tentu bukan hal yang dapat dilakukan dengan mudah. Apa kata Ki Gede nanti jika memang apa yang dikatakan Sekar Mirah kepadanya itu benar adanya? Berpikir sampai disitu mbok Gumbrek menjadi ketakutan sendiri.

“Tidak, tidak mungkin aku mengganggu istirahat Ki Gede di saat-saat seperti ini,” mbok Gumbrek berhenti berangan-angan sejenak. Tiba-tiba suatu gagasan baru melintas di benaknya, “Bagaimana dengan Ki Jayaraga? Aku kira lebih baik jika aku memberitahu orang tua itu saja.”

Merasa telah mendapatkan jalan keluar atas permasalahan yang sedang terjadi, dengan segera mbok Gumbrek melangkah ke pintu. Namun begitu tangannya meraih selarak dan akan diangkatnya, dia teringat akan tugasnya untuk menjaga Bagus Sadewa.

Sejenak mbok Gumbrek menjadi ragu-ragu kembali. Sambil berpaling ke arah pembaringan dia mencoba berpikir keras. Dia tidak berani meninggalkan Bagus Sadewa begitu saja sendirian di dalam bilik. Jika terjadi sesuatu pada bayi itu, tentu dia yang akan dipersalahkan.

“Aku akan minta mbok Pariyem menunggui bayi itu untuk sejenak saja,” akhirnya sebuah keputusan muncul dalam benaknya. Sambil mengangkat selarak dan membuka pintu bilik, dia kembali berkata kepada dirinya sendiri, “Akan aku katakan padanya, aku hanya ingin pergi ke pakiwan barang sejenak,.tentu mbok Pariyem tidak akan keberatan.”

Setelah menutup pintu bilik terlebih dahulu, dengan bergegas mbok Gumbrek pun segera melangkah menuju dapur.

Sebenarnyalah Ki Jayaraga memang belum tidur di dalam biliknya. Ditemani Glagah Putih, mereka berdua baru saja selesai membicarakan rencana mereka besuk pagi memulai perjalanan menuju ke gunung Tidar.

“Sudahlah Glagah Putih, malam sudah melewati puncaknya,  engkau dapat kembali ke bilikmu. Istrimu tentu sudah menunggu,” berkata Ki Jayaraga sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya.

“Baik Guru,” jawab Glagah Putih sambil ikut bangkit berdiri, “Semoga disisa malam yang sedikit ini kita dapat beristirahat.”

“Tubuhmu sudah terlatih untuk tidak tidur selama tiga hari tiga malam, Glagah Putih,” sahut gurunya sambil tersenyum, “Tentu waktu yang tersisa malam ini sudah lebih dari cukup untuk sekedar melepaskan penat dan lelah.”

Glagah Putih tertawa pendek mendengar gurauan gurunya. Jawabnya kemudian, “Jika muridnya saja mampu untuk bertahan selama tiga hari tiga malam berturut-turut, bagaimana dengan guru sendiri? Tentu guru mampu bertahan hampir sepekan.”

“Tentu tidak,” jawab Ki Jayaraga dengan muka yang terlihat bersungguh-sungguh, “Menurut perhitunganku, aku akan mampu bertahan selama hampir sebulan penuh. Namun setelah itu aku akan tidur untuk selama-lamanya.”


“Ah,” kembali Glagah Putih tertawa.

Jumat, 25 November 2016

TADBM 416_4

 “Setan! Gendruwo! Tetekan!” geram Ki Singawana Sepuh dengan muka yang membara. Baru kali ini dia merasa dipermalukan oleh lawannya. Dengan perlahan dia bangkit berdiri. Tidak tampak tubuhnya mengalami kesakitan akibat serangan lawan. Justru dengan wajah yang merah padam dia segera menggosokkan kedua telapak tangannya sebelum meletakkan telapak tangan kanan yang terbuka di depan dada, sedangkan tangan kirinya yang terkepal ditarik sejajar lambung.

“Aku mengakui keunggulanmu Ki Rangga,” berkata Ki Singawana Sepuh kemudian dengan suara mirip auman seekor singa, “Ketahuilah, aku baru melakukan penjajagan ilmu, belum sampai merambah ke kedalaman ilmuku,” dia berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bersiaplah, aku akan meningkatkan ilmuku selapis. Jika Ki Rangga masih dapat bertahan pada tingkatan ini, tidak ada jalan lain bagiku selain  menggunakan ilmu pamungkasku untuk menghentikan perlawananmu. Dan ketahuilah, selama ini belum pernah ada lawan yang mampu mengimbangi kedahsyatan ilmu pamungkasku.”

Kembali sebuah desir tajam menggores dada Ki Rangga Agung Sedayu. Agaknya lawannya kali ini tidak akan bermain-main lagi. Guru Pangeran Ranapati itu akan merambah ke tingkatan ilmu yang lebih tinggi.

Sejenak kemudian, pandangan batin Ki Rangga melihat sebuah asap tipis kebiru-biruan tampak muncul dari kedua telapak tangan lawannya yang kini kedua-duanya terjulur kedepan. Namun hanya sekejap asap tipis itu pun hilang bagaikan tertiup angin.

“Ilmu apalagi ini,” desis Ki Rangga dalam hati, “Mungkin sejenis tapak dahana atau tapak geni, aku belum tahu.”

Untuk beberapa saat Ki Singawana Sepuh masih berdiam diri. Sementara ketiga ujud Ki Rangga tampak berdiri termangu-mangu menunggu apa yang akan terjadi.

Dalam pada itu Pangeran Ranapati yang sedang berjalan dengan tergesa-gesa sekali lagi telah dikejutkan oleh suara ledakan cambuk diikuti jeritan seseorang yang sedang meregang nyawa.

“Hentikan!” Bentak Pangeran Ranapati begitu melihat seorang laki-laki berumur sekitar setengah abad  dengan perawakan gemuk sedang membantai lawan-lawannya.

Laki-laki berperawakan gemuk yang tak lain adalah Ki Swandaru Geni itu sejenak menghentikan putaran cambuknya. Sambil memutar tubuhnya menghadap penuh kearah kedatangan Pangeran Ranapati, dia ganti membentak, “Tutup mulutmu!  Jangan hanya pandai membentak-bentak! Ini medan pertempuran, bukan tempat main judi atau  minum tuak! Kalau Ki Sanak ingin bertempur, bertempurlah!  Aku siap mengantarkan selembar nyawamu yang tak berguna itu ke alam kelanggengan!”

Bukan main marahnya Pangeran Ranapati mendapatkan dirinya  dibentak-bentak oleh orang yang belum dikenalnya. Seumur hidup baru kali ini dia mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan dari orang yang belum dikenalnya. Segera saja darah di dalam tubuhnya menggelegak dan mendidih sampai ke ubun-ubun. Dengan tangan yang gemetar menahan kemarahan yang dahsyat, tangan kanannya segera meraba hulu keris pusakanya. Sejenak kemudian keris luk sembilan yang berwarna kehitam-hitaman itu pun telah berada di genggaman dan segera diangkatnya tinggi-tinggi.

“Tataplah langit peluklah bumi, jangan rindukan lagi Matahari terbit esok pagi!” teriak Pangeran Ranapati dengan suara yang menggelegar.

Sekarang giliran Ki Swandaru yang terkejut. Tanpa ancang-ancang orang yang berperawakan tinggi besar dengan wajah yang berwibawa itu telah menyerangnya. Keris luk sembilan di tangan lawannya itu mengeluarkan asap hitam pekat yang bergulung meluncur ke arah wajahnya.

Ki Swandaru sadar sepenuhnya. Sebagai murid Kyai Grinsing yang selain berilmu tinggi dalam olah kanuragan, Kyai Gringsing juga dikenal sebagai seorang dukun  yang ahli dalam pengobatan. Walaupun semasa berguru dulu, dia tidak pernah mempelajari ilmu tentang pengobatan, akan tetapi sekali-sekali dia bersama kakak seperguruannya disuruh membantu meracik obat. Di saat-saat itulah kadang Gurunya memberi sedikit pengetahuan tentang berbagai jenis racun dan cara menghindarinya jika memang belum tahu obat penawarnya.

Melihat jenis asap hitam pekat yang bergulung-gulung meluncur ke arahnya, Ki Swandaru segera menyadari bahwa jangan sampai asap tersebut  terhisap ke dalam jalan pernafasannya dan masuk ke paru-paru. Asap hitam pekat itu tentu mengandung racun yang sangat kuat dan jahat.

Dengan sebuah loncatan panjang ke arah kiri, murid kedua orang bercambuk itu segera memutar cambuknya dengan deras di atas kepala. Angin pun segera menderu dan berputar sehingga membuyarkan asap hitam pekat yang meluncur ke arahnya.

Namun belum sempat Ki Swandaru bernafas lega, lawannya telah meluncur kembali ke arahnya secepat tatit yang meloncat di udara. Ujung keris luk sembilan itu sekarang tampak membara dalam gelapnya malam.

Demikianlah kedua orang yang belum saling mengenal itu telah terlibat dalam sebuah pertempuran yang sengit. Cambuk Ki Swandaru tak henti-hentinya meledak-ledak. Semakin lama suara ledakan itu semakin lemah, namun sebagai gantinya setiap kali ujung cambuk itu menggeliat, udara malam di sekitarnya bagaikan diguncang gempa dahsyat dan menghentak setiap dada orang yang berada di sekitarnya.

Beberapa tombak di sebelah Ki Swandaru, Ki Widura yang sudah tidak dapat disebut muda lagi sedang bertempur melawan seorang anak muda yang perkasa bersenjatakan sepasang trisula.

Ki Widura menyadari bahwa lawannya usianya jauh terpaut di bawahnya. Gerakannya sangat cepat dan lincah bagaikan burung sikatan menyambar bilalang di tanah padang. Sepasang trisula yang dihubungkan dengan seutas rantai sepanjang hampir dua depa itu sekali-kali meluncur dan mematuk dada.


Namun Ki Widura berusaha untuk tidak terpancing dengan gerakan lawannya yang sangat lincah  itu. Dengan bertumpu pada kedua kakinya yang kokoh, sekali-kali Ki Widura hanya menggeser kedudukannya selangkah-selangkah jika lawannya berloncatan mengitarinya dan menyerangnya dari segala arah.

TADBM 416_3

Dalam pada itu Ki Rangga yang telah mengerahkan ilmu yang dapat menghilangkan bobot tubuhnya ternyata belum mampu menandingi kecepatan gerak Ki Singawana Sepuh. Beberapa kali serangan Guru Pangeran Ranapati itu mampu menyentuh tubuhnya. Seandainya saja tubuh Ki Rangga tidak dilindungi oleh ilmu kebal yang hampir sempurna, tentu tubuh Ki Rangga sudah lumat di terjang serangan-serangan  lawannya.

“Aku harus mencari cara untuk mengurangi tekanan serangan Ki Ageng,” berkata Ki Rangga dalam hati sambil melenting ke samping kiri menghindari serangan lawannya yang muncul tiba-tiba selangkah di hadapannya. Namun belum sempat Ki Rangga menjejakkan kakinya di atas tanah, Ki Singawana Sepuh yang telah lenyap kembali dari pandangan, tiba-tiba telah muncul di belakangnya dan menghantam punggung.

“Gila!” geram Ki Rangga. Tidak ada kesempatan menghindar atau berbalik arah. Hanya dengan mengetrapkan ilmu kebal setinggi-tingginya punggung Ki Rangga terhindar dari kehancuran. Namun benturan itu telah membuat Ki Rangga terdorong ke depan beberapa langkah.

Pada saat tubuh Ki Rangga terdorong ke depan itu lah, Ki Rangga sengaja menjatuhkan dirinya berguling beberapa kali di tanah sebelum akhirnya Ki Rangga melenting berdiri di atas kedua kakinya yang renggang. Namun yang berdiri tegak dengan kedua kaki renggang ternyata tidak hanya satu orang, melainkan ada tiga  ujud Ki Rangga yang sangat sulit dibedakan antara satu dengan lainnya.

Untuk beberapa saat Ki Singawana Sepuh berdiri termangu-mangu. Serangan susulan yang sedianya akan dilancarkan kepada lawannya segera ditahannya. Ketiga ujud Ki Rangga yang berdiri beberapa langkah di hadapannya benar-benar telah mendebarkan jantungnya.

Ilmu kakang pembarep dan adi wuragil yang sedang disaksikan oleh Ki Singawana Sepuh itu memang sudah sangat jarang dijumpai saat ini, bahkan dapat dikatakan sudah punah. Baru kali ini Guru Pangeran Ranapati itu menjumpai seseorang yang mampu menguasai ilmu yang sudah sangat langka itu dengan sangat sempurna.

“Luar biasa,” gumam Ki Singawan Sepuh tanpa sadar sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Memang bukan cerita kosong tentang kedahsyatan agul-agulnya Mataram ini. Sekilas aku hampir-hampir tidak dapat membedakan ketiga ujudmu Ki Rangga. Namun sebagaimana ilmu-ilmu yang lain, tidak ada ilmu yang benar-benar sempurna. Aku masih dapat menemukan celah untuk mengetahui kelemahan ilmumu itu.”

“Terima kasih Ki Ageng,” jawab salah satu ujud Ki Rangga. Sementara ujud yang lain menyahut, “Walaupun Ki Ageng pada akhirnya akan mampu mengurai ilmuku dan menemukan ujud yang asli, namun aku yakin Ki Ageng masih memerlukan waktu walaupun hanya sekejap sehingga yang hanya sekejap itu cukup bagiku untuk menemukan persembunyian Ki Ageng.”

Ki Singawana Sepuh mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum kecil. Dari cara lawannya menanggapi pernyataannya, dia menyadari sepenuhnya bahwa Ki Rangga ingin menunjukkan kalau dia benar-benar sudah dapat menguasai ujud-ujud semunya dan akan bertindak sesuai dengan kehendak ujud aslinya.

“Walaupun sebuah ujud semu itu mampu menirukan segala gerak gerik ujud aslinya, sejauh pengetahuanku, belum ada seseorang yang mampu memancarkan ilmunya melalui ujud-ujud semu itu sehingga ujud-ujud semu itu akan mempunyai kemampuan sebagaimana ujud aslinya,” berkata dalam hati Ki Singawana Sepuh kemudian.

Berbekal keyakinan itu lah, Ki Singawana Sepuh pun kemudian segera berkata, “Marilah kita teruskan permainan petak umpet ini. Agaknya permainan ini akan menjadi semakin menarik. Masing-masing dari kita harus menemukan tempat persembunyian kita dan sekaligus menghancurkannya.”

Berdesir dada Ki Rangga. Lawannya benar-benar mempunyai keyakinan yang kuat akan dapat dengan mudah menemukan kelemahan ilmunya.

“Mungkin sekarang ini Ki Ageng mengetahui dengan pasti manakah ujudku yang sebenarnya,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Namun dalam sebuah pertempuran yang sengit, aku mempunyai banyak kesempatan untuk menyembunyikan ujudku yang asli.”

Demikian lah akhirnya, dengan tanpa peringatan terlebih dahulu, tiba-tiba saja tubuh Ki Singawana Sepuh lenyap dari pandangan lawannya. Namun Ki Rangga sudah mewaspadai sebelumnya, sehingga begitu lawannya menghilang dari pandangan, ketiga ujud Ki Rangga pun segera meloncat menyatu untuk kemudian berpencar ke tiga arah yang berbeda.

Ki Singawana Sepuh terkejut bukan alang kepalang. Serangannya yang sudah hampir meluncur tertahan sejenak. Guru Pangeran Ranapati itu memerlukan waktu sekejap untuk mengenali ujud asli Ki Rangga. Kesempatan yang hanya sekejap itu sudah cukup bagi Ki Rangga untuk menemukan persembunyian lawan dengan mengetrapkan ilmu sapta panggraitanya. Maka yang terjadi kemudian adalah sangat diluar perhitungan Ki Singawana Sepuh. Serangan ketiga ujud Ki Rangga telah melanda tubuhnya, satu mengarah dada, satu mengarah lambung dan ujud yang terakhir menghantam punggung.

Tidak ada waktu untuk menghindari semua serangan itu. Namun di saat semua serangan itu meluncur dengan bersamaan, Ki Singawana Sepuh segera mengetahui melalui pengamatan batinnya bahwa ujud Ki Rangga yang menyerang dada itu lah ujud yang asli.

Segera saja Ki Singawana Sepuh menyilangkan kedua tangannya di depan dada untuk melindungi dadanya dari terjangan kaki Ki Rangga. Benturan itu memang dahsyat sehingga membuat Ki Rangga terpental ke belakang beberapa langkah. Namun yang terjadi pada diri Ki Singawana Sepuh benar-benar di luar dugaan. Ketika dengan yakinnya Guru Pangeran Ranapati itu menangkis serangan yang mengarah dada, dua serangan lain yang dianggapnya hanyalah serangan dari ujud-ujud semu yang sama sekali tidak banyak berarti, telah melanda bagian tubuhnya yang lain bersamaan dengan benturan di bagian dada.


Terdengar umpatan yang sangat kasar dari mulut Ki Singawana Sepuh. Tubuhnya bagaikan tergencet kekuatan raksasa sehingga Guru Pangeran Ranapati itu pun telah jatuh terduduk. Untuk sejenak ujud Ki Singawan Sepuh pun menjadi terlihat oleh pandangan mata lawannya.

BDBJ jild 01 bag 01

Merah padam raut muka Sura Ireng, matanya yang memerah darah memandang tajam ke seraut wajah cantik yang bersimbah air mata di hadapannya. Tak sekalipun wajah cantik dari Niken Mita Ayu Puspaningratri itu berani menengadah, memandang wajah Sura Ireng yang sedang waringuten ketika dengan pelan tapi tegas dia berkata, “Maafkan aku kakang Sura, aku selama ini menganggap kakang Sura sebagai kakak, tidak lebih dan tidak kurang. Jangan paksa aku mempunyai perasaan seperti yang dikehendaki kakang, perasaan seorang perempuan  terhadap laki laki.”
Sekilas terbayang dalam angan Niken Mita Ayu Puspaningratri ketika dipagi yang cerah, delapan tahun yang lalu ketika dia sedang memetik bunga di dekat regol depan padepokan “Sekar Keluwih” padepokan yang dipimpin oleh ayahandanya, Ki Ajar Sokaniti, seorang anak lelaki yang berumur sekitar tiga tahun lebih tua darinya tampak berjalan mendekati regol padepokan.
Dengan pakaian yang compang camping dan sangat kotor, serta wajah yang pucat, anak lelaki itu mendekati regol padepokan. Langkahnya satu satu menunjukkan betapa dia agak ragu untuk mendekati padepokan Sekar Keluwih.
Niken Mita Ayu hampir saja berteriak meminta pertolongan para cantrik yang sedang membersihkan rumput dihalaman samping padepokan kalau saja tidak dilihatnya dengan tergopoh gopoh anak lelaki itu berlutut di hadapannya. Terdengar suaranya lirih hampir tak terdengar bercampur dengan sedu sedannya yang tersangkut ditenggorokan, “Maafkan aku Nini, seandainya Nini berkenan dihati, semoga Nini dibukakan hati untuk sekedar memberi yang hina ini seteguk air dan segenggam nasi.”
Niken Mita Ayu tertegun sejenak, dipandanginya wajah yang tertunduk lesu dihadapannya, wajah yang merah hitam terbakar matahari.
“Ki sanak,” pelan Niken Mita Ayu berusaha merangkai kata, “Jikalau Ki Sanak berkenan duduklah dipendapa, aku akan menghadap Ayahanda untuk memberitahukan kedatangan Ki sanak.”
Gemetar sekujur tubuh anak muda itu, dengan terpatah patah dia menjawab, “Jangan, Nini, jangan merepotkan Ayahandamu, aku hanyalah seorang yang hina, yang lewat di padepokan ini, sekedar memohon belas kasihan dari Nini.”
Sekali lagi Niken Mita Ayu tertegun. Langkahnya yang sudah hampir terayunpun tertahan sejenak, sekali lagi dipandanginya sesosok  anak muda yang bersimpuh bercampur debu yang menghambur dari jalan setapak menuju regol Padepokan. Sekali ini hati lembut seorang gadis kecil yang bernama Niken Mita Ayu tergetar oleh kepolosan dan kesederhanaan anak muda yang belum dikenalnya ini.

“Siapa namamu?” Lembut Niken Mita Ayu menyapa memecahkan keheningan yang sempat membelenggu mereka berdua.

“Soka Wana, Nini.”

“Hendak kemanakah tujuan Ki sanak? Kalau melihat pakaian Ki sanak, tentu Ki sanak sudah berjalan berhari hari, bahkan mungkin lebih. Apakah yang engkau cari, Ki sanak? Kalau aku tidak salah, Ki sanak pasti umurnya lebih tua dari aku, bolehkah aku memanggilmu  Kakang?”

Bagaikan air pancuran yang mengalir disela sela batu padas di tebing sungai, pertanyaan Niken Mita Ayu kepada Soka Wana. Tanpa disadarinya, dia mendongakkan kepalanya memandang dengan seksama kearah gadis kecil yang berdiri beberapa langkah di hadapannya.

Hati Soka Wana berdesir, gadis kecil di hadapannya ini tak ubahnya sebuah golek kencana, begitu indah sepasang mata yang berbinar itu. Bibir yang amat mungil dibawah hidung yang mancung serta sepasang lesung pipit yang selalu menghiasi pipi yang kemerah merahan. Rambutnya yang hitam mengkilat tertimpa sinar Matahari pagi seakan sutera hitam yang dengan indahnya jatuh tergerai beriak riak menyentuh pundak.

“He, ada apa Ki sanak? “

“Oh, tidak apa apa, Nini...” tergagap Soka Wana mencoba menyembunyikan galau hatinya dengan menundukan wajahnya dalam dalam. Dipandanginya sepasang kakinya yang kotor yang bersimpuh menyatu  dengan debu.

Niken Mita Ayu tersenyum simpul, “Ki sanak belum menjawab pertanyaanku.”

Dengan tetap menundukkan kepalanya dalam dalam, tampak kerut merut di dahi Soka Wana. Katanya kemudian, “Pertanyaan yang manakah, Nini?”

Sepercik keraguan muncul di wajah Niken Mita Ayu, kalau sebelumnya dia begitu kagum dengan kepolosan dan kesederhanaan anak muda yang bernama Soka Wana ini, namun kini ada semacam kejengkelan yang mulai merayapi hatinya. Adakah anak muda ini sengaja mempermainkannya?

“Ki sanak,” agak keras Niken Mita Ayu berkata, “Tidak cukup jelaskah pertanyaanku kepada Ki sanak? Atau memang sengaja Ki sanak mencari persoalan denganku?”

Soka Wana menggeser duduknya setapak kedepan, sambil berusaha merapikan kain panjangnya sebisa mungkin, dianggukkan  kepalanya dalam dalam sambil menjawab, “Sama sekali tidak Nini, tidak ada keberanian sebesar biji sawipun bagiku untuk memperolok Nini, sesungguhnyalah aku terlupakan dengan pertanyaan dari Nini.”

“Apakah yang menyebabkan Ki sanak  terlupakan?” desak Niken Mita Ayu.


Soka Wana termangu mangu sejenak. Bagaimanakah  dia akan menjelaskan persoalan yang sebenarnya terjadi,  jika permasalahan tersebut dapat  menyinggung perasaan seorang gadis kecil yang  menurut penilaiannya kecantikannya hanya dapat ditandingi oleh para dewi -dewi dan putri-putri keraton yang hanya ada dalam dongeng- dongeng dan cerita-cerita babat.

KKBP 01 bag 04

KKBP 01
bag 04


“Benar Ki Ajar,” sahut Mahesa Pawagal sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Namun para pini sepuh tetap kita minta nasehat dan petunjuknya agar para generasi muda tidak salah dalam melangkah.”

Ki Ajar tersenyum sambil berpaling sekilas ke arah Putut Brajamusti. Katanya kemudian, “Lima tahun sudah anakmas Brajamusti ini berguru di padepokan Wringin Anom,”  Ki Ajar berhenti sebentar, kemudian lanjutnya, “Rasa-rasanya ilmu padepokan Wringin Anom sudah tuntas dan tak tersisa lagi. Namun bukan berarti ilmu dari perguruan ini tidak ada bandingnya. Masih banyak yang harus dikembangkan dan dimatangkan. Semua itu menuntut kesungguhan dan kesabaran.”

Mahesa Pawagal mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar kata-kata Ki Ajar. Ada sebuah kebanggaan tersendiri dalam hatinya bahwa Ki Ajar sendiri telah menyatakan bahwa Putut Brajamusti telah putus segala kawruh yang dipelajarinya dari padepokan Wringin Anom walaupun masih harus dikembangkan dan dimatangkan. Namun setidaknya Putut Brajamusti sudah mempunyai bekal yang lebih dari cukup untuk menyongsong tugas-tugas di masa mendatang.

Sementara Putut Brajamusti yang duduk di sebelah kiri Ki Ajar hanya menundukkan kepalanya saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Nah, sekarang Ki Mahesa Pawagal dapat bercerita tentang perjalanannya,” berkata Ki Ajar kemudian.

Mahesa Pawagal untuk sejenak masih membetulkan letak duduknya. Setelah menarik nafas dalam-dalam untuk mengurai debar jantungnya yang tiba-tiba saja melonjak-lonjak, Mahesa Pawagal pun akhirnya berkata, “Ki Ajar, kedatanganku jauh jauh dari Majapahit ke padepokan Wringin Anom ini untuk meyakinkan bahwa Brajamusti serta seluruh penghuni padepokan dalam keadaan baik-baik.”

Hampir bersamaan Ki Ajar dan Brajamusti mengangguk-angguk. Bertanya Ki Ajar kemudian, “Apakah engkau yakin bahwa perjalananmu tidak ada yang mengikuti?”

Mahesa Pawagal mengerutkan keningnya, jawabnya dengan sedikit nada ragu-ragu, “Sejauh pengamatanku tidak ada seorang pun yang mengikuti perjalananku.”

Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Pandangan matanya menatap lurus ke depan ke arah pintu pringitan yang tertutup rapat. Seolah-olah ingin ditembusnya pintu itu dan menjenguk  apa yang berada di baliknya.

“Segala sesuatunya mungkin saja terjadi,” desis Ki Ajar hampir tak terdengar. Kemudian lanjutnya sambil menatap Mahesa Pawagal, “Anakmas Brajamusti masih menjadi buron kerajaan Majapahit sampai saat ini. Tidak menutup kemungkinan para prajurit sandi kerajaan akan sampai ke tempat terpencil ini melalui jalur yang justru telah engkau buat sendiri.”

Mahesa Pawagal terkejut. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa keinginannya untuk menjenguk Brajamusti ke padepokan Wringin Anom justru akan dapat menuntun orang-orang yang masih mencari kerabat Ken Sora setelah peristiwa pembantaian di halaman istana Majapahit hampir sepuluh tahun yang lalu.

Putut Brajamusti hanya berdiam diri saja mendengar kata kata Gurunya. Ingatannya kembali ke masa lalu ketika peristiwa yang mengerikan itu terjadi. Sepasukan prajurit Majapahit dipimpin oleh Mahapati telah menyerbu rumah kedua orang tuannya yang masih kerabat dekat dengan Ken Sora. Kedua orang tuanya itu telah dituduh menjadi bagian dari pemberontakan Ken Sora dan harus ditumpas. Padahal Ken Sora datang ke halaman istana Majapahit pada waktu itu bermaksud ingin menyerahkan diri dan hanya ditemani oleh Juru Demung dan Gajah Biru. Namun karena kesalah pahaman yang memang sengaja diciptakan oleh Mahapati, mereka bertiga harus menjadi bebanten di halaman istana Majapahit.

Para pengikut Ken Sora pada waktu itu termasuk ayahnya tidak diperkenankan memasuki halaman istana Majapahit. Mereka hanya diperkenankan menunggu di depan pintu gerbang istana. Para pengikut Ken Sora itu tidak bermaksud memberontak, mereka berduyun duyun mengawal Ken Sora menghadap ke istana hanya untuk memberikan dukungan dan simpati agar Sri Maharaja mengenang jasa jasa Ken Sora pada saat dia masih menjadi abdi yang setia dari Raden Wijaya yang kini telah duduk di singgasana Majapahit.

Namun ternyata yang terjadi kemudian adalah sebuah bencana dan sejarah yang kelam dari kehidupan Ken Sora. Para Pujangga menulis rontal rontal kidung kisah ini dengan tinta darah atas riwayat yang terjadi pada diri Ken Sora, seorang abdi yang setia dari Sri Maharaja yang pada waktu itu masih bernama Raden Wijaya, bersama sama melarikan diri dari kejaran pasukan prajurit Kediri, menyeberangi rawa rawa, menuruni jurang yang curam dan kadang harus mendaki tebing tebing yang terjal hanya demi menghindari kejaran para prajurit Kediri.

Tak jarang Ken Sora merelakan dirinya tidur tengkurap di tanah berlumpur untuk menyediakan punggungnya sebagai tempat duduk Raden Wijaya dan istrinya karena saat itu mereka sedang berada di tengah tengah tanah pesawahan dan tidak ada tempat yang bisa dijadikan untuk tempat duduk.


Dengan gugurnya Ken Sora bersama sahabatnya Juru Demung dan Gajah Biru di halaman istana Majapahit, para pengikut Ken Sora yang menunggu di depan Gerbang istana ternyata telah mengalami perlakuan yang sama. Tanpa peringatan terlebih dahulu, mereka telah diserang oleh sepasukan prajurit yang kuat atas perintah Mahapati.