Jumat, 25 November 2016

TADBM 416_4

 “Setan! Gendruwo! Tetekan!” geram Ki Singawana Sepuh dengan muka yang membara. Baru kali ini dia merasa dipermalukan oleh lawannya. Dengan perlahan dia bangkit berdiri. Tidak tampak tubuhnya mengalami kesakitan akibat serangan lawan. Justru dengan wajah yang merah padam dia segera menggosokkan kedua telapak tangannya sebelum meletakkan telapak tangan kanan yang terbuka di depan dada, sedangkan tangan kirinya yang terkepal ditarik sejajar lambung.

“Aku mengakui keunggulanmu Ki Rangga,” berkata Ki Singawana Sepuh kemudian dengan suara mirip auman seekor singa, “Ketahuilah, aku baru melakukan penjajagan ilmu, belum sampai merambah ke kedalaman ilmuku,” dia berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bersiaplah, aku akan meningkatkan ilmuku selapis. Jika Ki Rangga masih dapat bertahan pada tingkatan ini, tidak ada jalan lain bagiku selain  menggunakan ilmu pamungkasku untuk menghentikan perlawananmu. Dan ketahuilah, selama ini belum pernah ada lawan yang mampu mengimbangi kedahsyatan ilmu pamungkasku.”

Kembali sebuah desir tajam menggores dada Ki Rangga Agung Sedayu. Agaknya lawannya kali ini tidak akan bermain-main lagi. Guru Pangeran Ranapati itu akan merambah ke tingkatan ilmu yang lebih tinggi.

Sejenak kemudian, pandangan batin Ki Rangga melihat sebuah asap tipis kebiru-biruan tampak muncul dari kedua telapak tangan lawannya yang kini kedua-duanya terjulur kedepan. Namun hanya sekejap asap tipis itu pun hilang bagaikan tertiup angin.

“Ilmu apalagi ini,” desis Ki Rangga dalam hati, “Mungkin sejenis tapak dahana atau tapak geni, aku belum tahu.”

Untuk beberapa saat Ki Singawana Sepuh masih berdiam diri. Sementara ketiga ujud Ki Rangga tampak berdiri termangu-mangu menunggu apa yang akan terjadi.

Dalam pada itu Pangeran Ranapati yang sedang berjalan dengan tergesa-gesa sekali lagi telah dikejutkan oleh suara ledakan cambuk diikuti jeritan seseorang yang sedang meregang nyawa.

“Hentikan!” Bentak Pangeran Ranapati begitu melihat seorang laki-laki berumur sekitar setengah abad  dengan perawakan gemuk sedang membantai lawan-lawannya.

Laki-laki berperawakan gemuk yang tak lain adalah Ki Swandaru Geni itu sejenak menghentikan putaran cambuknya. Sambil memutar tubuhnya menghadap penuh kearah kedatangan Pangeran Ranapati, dia ganti membentak, “Tutup mulutmu!  Jangan hanya pandai membentak-bentak! Ini medan pertempuran, bukan tempat main judi atau  minum tuak! Kalau Ki Sanak ingin bertempur, bertempurlah!  Aku siap mengantarkan selembar nyawamu yang tak berguna itu ke alam kelanggengan!”

Bukan main marahnya Pangeran Ranapati mendapatkan dirinya  dibentak-bentak oleh orang yang belum dikenalnya. Seumur hidup baru kali ini dia mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan dari orang yang belum dikenalnya. Segera saja darah di dalam tubuhnya menggelegak dan mendidih sampai ke ubun-ubun. Dengan tangan yang gemetar menahan kemarahan yang dahsyat, tangan kanannya segera meraba hulu keris pusakanya. Sejenak kemudian keris luk sembilan yang berwarna kehitam-hitaman itu pun telah berada di genggaman dan segera diangkatnya tinggi-tinggi.

“Tataplah langit peluklah bumi, jangan rindukan lagi Matahari terbit esok pagi!” teriak Pangeran Ranapati dengan suara yang menggelegar.

Sekarang giliran Ki Swandaru yang terkejut. Tanpa ancang-ancang orang yang berperawakan tinggi besar dengan wajah yang berwibawa itu telah menyerangnya. Keris luk sembilan di tangan lawannya itu mengeluarkan asap hitam pekat yang bergulung meluncur ke arah wajahnya.

Ki Swandaru sadar sepenuhnya. Sebagai murid Kyai Grinsing yang selain berilmu tinggi dalam olah kanuragan, Kyai Gringsing juga dikenal sebagai seorang dukun  yang ahli dalam pengobatan. Walaupun semasa berguru dulu, dia tidak pernah mempelajari ilmu tentang pengobatan, akan tetapi sekali-sekali dia bersama kakak seperguruannya disuruh membantu meracik obat. Di saat-saat itulah kadang Gurunya memberi sedikit pengetahuan tentang berbagai jenis racun dan cara menghindarinya jika memang belum tahu obat penawarnya.

Melihat jenis asap hitam pekat yang bergulung-gulung meluncur ke arahnya, Ki Swandaru segera menyadari bahwa jangan sampai asap tersebut  terhisap ke dalam jalan pernafasannya dan masuk ke paru-paru. Asap hitam pekat itu tentu mengandung racun yang sangat kuat dan jahat.

Dengan sebuah loncatan panjang ke arah kiri, murid kedua orang bercambuk itu segera memutar cambuknya dengan deras di atas kepala. Angin pun segera menderu dan berputar sehingga membuyarkan asap hitam pekat yang meluncur ke arahnya.

Namun belum sempat Ki Swandaru bernafas lega, lawannya telah meluncur kembali ke arahnya secepat tatit yang meloncat di udara. Ujung keris luk sembilan itu sekarang tampak membara dalam gelapnya malam.

Demikianlah kedua orang yang belum saling mengenal itu telah terlibat dalam sebuah pertempuran yang sengit. Cambuk Ki Swandaru tak henti-hentinya meledak-ledak. Semakin lama suara ledakan itu semakin lemah, namun sebagai gantinya setiap kali ujung cambuk itu menggeliat, udara malam di sekitarnya bagaikan diguncang gempa dahsyat dan menghentak setiap dada orang yang berada di sekitarnya.

Beberapa tombak di sebelah Ki Swandaru, Ki Widura yang sudah tidak dapat disebut muda lagi sedang bertempur melawan seorang anak muda yang perkasa bersenjatakan sepasang trisula.

Ki Widura menyadari bahwa lawannya usianya jauh terpaut di bawahnya. Gerakannya sangat cepat dan lincah bagaikan burung sikatan menyambar bilalang di tanah padang. Sepasang trisula yang dihubungkan dengan seutas rantai sepanjang hampir dua depa itu sekali-kali meluncur dan mematuk dada.


Namun Ki Widura berusaha untuk tidak terpancing dengan gerakan lawannya yang sangat lincah  itu. Dengan bertumpu pada kedua kakinya yang kokoh, sekali-kali Ki Widura hanya menggeser kedudukannya selangkah-selangkah jika lawannya berloncatan mengitarinya dan menyerangnya dari segala arah.

32 komentar :

  1. Matur-nuwun mBah-Man, dobelan rontalnya.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Matur nuwun mbah Man paring wedharanipun...

    BalasHapus
  4. Sugeng dalu,ndherek dados cantrik wonten padhepokanipun Panembahan Mandaraka.

    BalasHapus
  5. Matur nuwun mbah. Double wedaran

    BalasHapus
  6. Matur suwun mBah

    Kadosipun biyen nate ngendiko nek bade wedaran 416 sakbuku....#melawanlupa

    BalasHapus
  7. Balasan
    1. Ki Ageng Selagilang sedang main petak umpet,Swandaru dan Pangeran Ranapati sedang main jaran kepang,Ki Widura sedang main gobak sodor,Pangeran Jayaraga sedang komat kamit baca mantra main jaelangkung ....pakai..helm...helm😆

      Hapus
  8. Matur nuwun Mbah_Man ..... bekal akhir pekan !

    BalasHapus
  9. Sugeng enjang ca/men padhepokan sekar keluwih mugi pikantuk rohmat soho barokah saking Allah swt.

    BalasHapus
  10. Ups..... baru bisa hadir di Padepokan Sekarkeluwih
    Ngisi daftar hadir dulu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sugeng enjang....monggo Ki Satpam ngopi dulu sepur kluthuknya diparkir saja, sugeng endang sedang menyiapkan jadual keberangkatannya....

      Hapus
  11. Sugeng kalih Endang, sugeng makarya

    BalasHapus
  12. Happy weekend,,, semoga aja tidak kosongan...

    BalasHapus
  13. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  14. Mantaap, ono dobelan...matur nuwun mbah_man....

    BalasHapus
  15. Hebat, akan ads pertarungan yang dahsyat. Matur nuwun, mugi Mbah Man tansah pinayungsn mring Gusti Allah, amien

    BalasHapus
  16. Matur nuwun mbah man .... wedarannya makin buat deg deg plassss ...... penasarannn kangen tandangnya Ki RAS ...

    BalasHapus
  17. Kalau bisa d buat halaman khusus untuk ADBM dari seri pertama, biar lebih asyik.
    Makasih.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.