“Setan! Gendruwo! Tetekan!” geram Ki Singawana
Sepuh dengan muka yang membara. Baru kali ini dia merasa dipermalukan oleh
lawannya. Dengan perlahan dia bangkit berdiri. Tidak tampak tubuhnya mengalami
kesakitan akibat serangan lawan. Justru dengan wajah yang merah padam dia
segera menggosokkan kedua telapak tangannya sebelum meletakkan telapak tangan
kanan yang terbuka di depan dada, sedangkan tangan kirinya yang terkepal
ditarik sejajar lambung.
“Aku mengakui keunggulanmu
Ki Rangga,” berkata Ki Singawana Sepuh kemudian dengan suara mirip auman seekor
singa, “Ketahuilah, aku baru melakukan penjajagan ilmu, belum sampai merambah
ke kedalaman ilmuku,” dia berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bersiaplah,
aku akan meningkatkan ilmuku selapis. Jika Ki Rangga masih dapat bertahan pada
tingkatan ini, tidak ada jalan lain bagiku selain menggunakan ilmu pamungkasku untuk menghentikan
perlawananmu. Dan ketahuilah, selama ini belum pernah ada lawan yang mampu mengimbangi kedahsyatan
ilmu pamungkasku.”
Kembali sebuah desir tajam
menggores dada Ki Rangga Agung Sedayu. Agaknya lawannya kali ini tidak akan bermain-main
lagi. Guru Pangeran Ranapati itu akan merambah ke tingkatan ilmu yang lebih
tinggi.
Sejenak kemudian, pandangan
batin Ki Rangga melihat sebuah asap tipis kebiru-biruan tampak muncul dari
kedua telapak tangan lawannya yang kini kedua-duanya terjulur kedepan. Namun hanya
sekejap asap tipis itu pun hilang bagaikan tertiup angin.
“Ilmu apalagi ini,” desis Ki
Rangga dalam hati, “Mungkin sejenis tapak dahana atau tapak geni, aku belum
tahu.”
Untuk beberapa saat Ki Singawana
Sepuh masih berdiam diri. Sementara ketiga ujud Ki Rangga tampak berdiri termangu-mangu
menunggu apa yang akan terjadi.
Dalam pada itu Pangeran
Ranapati yang sedang berjalan dengan tergesa-gesa sekali lagi telah dikejutkan
oleh suara ledakan cambuk diikuti jeritan seseorang yang sedang meregang nyawa.
“Hentikan!” Bentak Pangeran
Ranapati begitu melihat seorang laki-laki berumur sekitar setengah abad dengan
perawakan gemuk sedang membantai lawan-lawannya.
Laki-laki berperawakan gemuk
yang tak lain adalah Ki Swandaru Geni itu sejenak menghentikan putaran
cambuknya. Sambil memutar tubuhnya menghadap penuh kearah kedatangan Pangeran
Ranapati, dia ganti membentak, “Tutup mulutmu! Jangan hanya pandai membentak-bentak! Ini medan
pertempuran, bukan tempat main judi atau minum tuak! Kalau Ki Sanak ingin bertempur,
bertempurlah! Aku siap mengantarkan
selembar nyawamu yang tak berguna itu ke alam kelanggengan!”
Bukan main marahnya Pangeran
Ranapati mendapatkan dirinya dibentak-bentak oleh orang yang belum dikenalnya.
Seumur hidup baru kali ini dia mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan dari
orang yang belum dikenalnya. Segera saja darah di dalam tubuhnya menggelegak
dan mendidih sampai ke ubun-ubun. Dengan tangan yang gemetar menahan kemarahan
yang dahsyat, tangan kanannya segera meraba hulu keris pusakanya. Sejenak kemudian
keris luk sembilan yang berwarna kehitam-hitaman itu pun telah berada di
genggaman dan segera diangkatnya tinggi-tinggi.
“Tataplah langit peluklah
bumi, jangan rindukan lagi Matahari terbit esok pagi!” teriak Pangeran Ranapati
dengan suara yang menggelegar.
Sekarang giliran Ki Swandaru
yang terkejut. Tanpa ancang-ancang orang yang berperawakan tinggi besar dengan
wajah yang berwibawa itu telah menyerangnya. Keris luk sembilan di tangan
lawannya itu mengeluarkan asap hitam pekat yang bergulung meluncur ke arah
wajahnya.
Ki Swandaru sadar
sepenuhnya. Sebagai murid Kyai Grinsing yang selain berilmu tinggi dalam olah
kanuragan, Kyai Gringsing juga dikenal sebagai seorang dukun yang ahli dalam pengobatan. Walaupun semasa
berguru dulu, dia tidak pernah mempelajari ilmu tentang pengobatan, akan tetapi
sekali-sekali dia bersama kakak seperguruannya disuruh membantu meracik obat. Di
saat-saat itulah kadang Gurunya memberi sedikit pengetahuan tentang berbagai
jenis racun dan cara menghindarinya jika memang belum tahu obat penawarnya.
Melihat jenis asap hitam
pekat yang bergulung-gulung meluncur ke arahnya, Ki Swandaru segera menyadari bahwa
jangan sampai asap tersebut terhisap ke
dalam jalan pernafasannya dan masuk ke paru-paru. Asap hitam pekat itu tentu
mengandung racun yang sangat kuat dan jahat.
Dengan sebuah loncatan
panjang ke arah kiri, murid kedua orang bercambuk itu segera memutar cambuknya dengan deras di atas kepala. Angin pun segera menderu dan berputar sehingga membuyarkan asap
hitam pekat yang meluncur ke arahnya.
Namun belum sempat Ki Swandaru
bernafas lega, lawannya telah meluncur kembali ke arahnya secepat tatit yang
meloncat di udara. Ujung keris luk sembilan itu sekarang tampak membara dalam
gelapnya malam.
Demikianlah kedua orang yang
belum saling mengenal itu telah terlibat dalam sebuah pertempuran yang sengit. Cambuk
Ki Swandaru tak henti-hentinya meledak-ledak. Semakin lama suara ledakan itu
semakin lemah, namun sebagai gantinya setiap kali ujung cambuk itu menggeliat,
udara malam di sekitarnya bagaikan diguncang gempa dahsyat dan menghentak
setiap dada orang yang berada di sekitarnya.
Beberapa tombak di sebelah
Ki Swandaru, Ki Widura yang sudah tidak dapat disebut muda lagi sedang bertempur
melawan seorang anak muda yang perkasa bersenjatakan sepasang trisula.
Ki Widura menyadari bahwa
lawannya usianya jauh terpaut di bawahnya. Gerakannya sangat cepat dan lincah
bagaikan burung sikatan menyambar bilalang di tanah padang. Sepasang trisula
yang dihubungkan dengan seutas rantai sepanjang hampir dua depa itu sekali-kali
meluncur dan mematuk dada.
Namun Ki Widura berusaha
untuk tidak terpancing dengan gerakan lawannya yang sangat lincah itu. Dengan bertumpu pada kedua kakinya yang
kokoh, sekali-kali Ki Widura hanya menggeser kedudukannya selangkah-selangkah
jika lawannya berloncatan mengitarinya dan menyerangnya dari segala arah.
Matur-nuwun mBah-Man, dobelan rontalnya.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMatur nuwun mbah Man paring wedharanipun...
BalasHapusSugeng dalu,ndherek dados cantrik wonten padhepokanipun Panembahan Mandaraka.
BalasHapusmatur nuwun Mbah-Man
BalasHapusMatur nuwun mbah. Double wedaran
BalasHapusMatur suwun mBah
BalasHapusKadosipun biyen nate ngendiko nek bade wedaran 416 sakbuku....#melawanlupa
Matur nuwun Mbah Man
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man 🙏
BalasHapusKi Ageng Selagilang sedang main petak umpet,Swandaru dan Pangeran Ranapati sedang main jaran kepang,Ki Widura sedang main gobak sodor,Pangeran Jayaraga sedang komat kamit baca mantra main jaelangkung ....pakai..helm...helm😆
HapusMatur nuwun Mbah_Man ..... bekal akhir pekan !
BalasHapusSugeng enjang ca/men padhepokan sekar keluwih mugi pikantuk rohmat soho barokah saking Allah swt.
BalasHapusUps..... baru bisa hadir di Padepokan Sekarkeluwih
BalasHapusNgisi daftar hadir dulu...
Sugeng enjang....monggo Ki Satpam ngopi dulu sepur kluthuknya diparkir saja, sugeng endang sedang menyiapkan jadual keberangkatannya....
HapusSugeng endang
BalasHapusSugeng kalih Endang, sugeng makarya
BalasHapusSippp mbah...
BalasHapusSippp mbah...
BalasHapusJazakallah mBah Man....
BalasHapusHadir...
BalasHapusHappy weekend,,, semoga aja tidak kosongan...
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus....and then be continued
BalasHapus....and then be continued
BalasHapusMantaap, ono dobelan...matur nuwun mbah_man....
BalasHapusHebat, akan ads pertarungan yang dahsyat. Matur nuwun, mugi Mbah Man tansah pinayungsn mring Gusti Allah, amien
BalasHapusAsyik, matur nuwun Mbah Man
BalasHapusMatur nuwun mbah man .... wedarannya makin buat deg deg plassss ...... penasarannn kangen tandangnya Ki RAS ...
BalasHapusKalau bisa d buat halaman khusus untuk ADBM dari seri pertama, biar lebih asyik.
BalasHapusMakasih.
Matur nuwun mbah man
BalasHapusMatur nuwun mbah man
BalasHapus