Jumat, 25 November 2016

BDBJ jild 01 bag 01

Merah padam raut muka Sura Ireng, matanya yang memerah darah memandang tajam ke seraut wajah cantik yang bersimbah air mata di hadapannya. Tak sekalipun wajah cantik dari Niken Mita Ayu Puspaningratri itu berani menengadah, memandang wajah Sura Ireng yang sedang waringuten ketika dengan pelan tapi tegas dia berkata, “Maafkan aku kakang Sura, aku selama ini menganggap kakang Sura sebagai kakak, tidak lebih dan tidak kurang. Jangan paksa aku mempunyai perasaan seperti yang dikehendaki kakang, perasaan seorang perempuan  terhadap laki laki.”
Sekilas terbayang dalam angan Niken Mita Ayu Puspaningratri ketika dipagi yang cerah, delapan tahun yang lalu ketika dia sedang memetik bunga di dekat regol depan padepokan “Sekar Keluwih” padepokan yang dipimpin oleh ayahandanya, Ki Ajar Sokaniti, seorang anak lelaki yang berumur sekitar tiga tahun lebih tua darinya tampak berjalan mendekati regol padepokan.
Dengan pakaian yang compang camping dan sangat kotor, serta wajah yang pucat, anak lelaki itu mendekati regol padepokan. Langkahnya satu satu menunjukkan betapa dia agak ragu untuk mendekati padepokan Sekar Keluwih.
Niken Mita Ayu hampir saja berteriak meminta pertolongan para cantrik yang sedang membersihkan rumput dihalaman samping padepokan kalau saja tidak dilihatnya dengan tergopoh gopoh anak lelaki itu berlutut di hadapannya. Terdengar suaranya lirih hampir tak terdengar bercampur dengan sedu sedannya yang tersangkut ditenggorokan, “Maafkan aku Nini, seandainya Nini berkenan dihati, semoga Nini dibukakan hati untuk sekedar memberi yang hina ini seteguk air dan segenggam nasi.”
Niken Mita Ayu tertegun sejenak, dipandanginya wajah yang tertunduk lesu dihadapannya, wajah yang merah hitam terbakar matahari.
“Ki sanak,” pelan Niken Mita Ayu berusaha merangkai kata, “Jikalau Ki Sanak berkenan duduklah dipendapa, aku akan menghadap Ayahanda untuk memberitahukan kedatangan Ki sanak.”
Gemetar sekujur tubuh anak muda itu, dengan terpatah patah dia menjawab, “Jangan, Nini, jangan merepotkan Ayahandamu, aku hanyalah seorang yang hina, yang lewat di padepokan ini, sekedar memohon belas kasihan dari Nini.”
Sekali lagi Niken Mita Ayu tertegun. Langkahnya yang sudah hampir terayunpun tertahan sejenak, sekali lagi dipandanginya sesosok  anak muda yang bersimpuh bercampur debu yang menghambur dari jalan setapak menuju regol Padepokan. Sekali ini hati lembut seorang gadis kecil yang bernama Niken Mita Ayu tergetar oleh kepolosan dan kesederhanaan anak muda yang belum dikenalnya ini.

“Siapa namamu?” Lembut Niken Mita Ayu menyapa memecahkan keheningan yang sempat membelenggu mereka berdua.

“Soka Wana, Nini.”

“Hendak kemanakah tujuan Ki sanak? Kalau melihat pakaian Ki sanak, tentu Ki sanak sudah berjalan berhari hari, bahkan mungkin lebih. Apakah yang engkau cari, Ki sanak? Kalau aku tidak salah, Ki sanak pasti umurnya lebih tua dari aku, bolehkah aku memanggilmu  Kakang?”

Bagaikan air pancuran yang mengalir disela sela batu padas di tebing sungai, pertanyaan Niken Mita Ayu kepada Soka Wana. Tanpa disadarinya, dia mendongakkan kepalanya memandang dengan seksama kearah gadis kecil yang berdiri beberapa langkah di hadapannya.

Hati Soka Wana berdesir, gadis kecil di hadapannya ini tak ubahnya sebuah golek kencana, begitu indah sepasang mata yang berbinar itu. Bibir yang amat mungil dibawah hidung yang mancung serta sepasang lesung pipit yang selalu menghiasi pipi yang kemerah merahan. Rambutnya yang hitam mengkilat tertimpa sinar Matahari pagi seakan sutera hitam yang dengan indahnya jatuh tergerai beriak riak menyentuh pundak.

“He, ada apa Ki sanak? “

“Oh, tidak apa apa, Nini...” tergagap Soka Wana mencoba menyembunyikan galau hatinya dengan menundukan wajahnya dalam dalam. Dipandanginya sepasang kakinya yang kotor yang bersimpuh menyatu  dengan debu.

Niken Mita Ayu tersenyum simpul, “Ki sanak belum menjawab pertanyaanku.”

Dengan tetap menundukkan kepalanya dalam dalam, tampak kerut merut di dahi Soka Wana. Katanya kemudian, “Pertanyaan yang manakah, Nini?”

Sepercik keraguan muncul di wajah Niken Mita Ayu, kalau sebelumnya dia begitu kagum dengan kepolosan dan kesederhanaan anak muda yang bernama Soka Wana ini, namun kini ada semacam kejengkelan yang mulai merayapi hatinya. Adakah anak muda ini sengaja mempermainkannya?

“Ki sanak,” agak keras Niken Mita Ayu berkata, “Tidak cukup jelaskah pertanyaanku kepada Ki sanak? Atau memang sengaja Ki sanak mencari persoalan denganku?”

Soka Wana menggeser duduknya setapak kedepan, sambil berusaha merapikan kain panjangnya sebisa mungkin, dianggukkan  kepalanya dalam dalam sambil menjawab, “Sama sekali tidak Nini, tidak ada keberanian sebesar biji sawipun bagiku untuk memperolok Nini, sesungguhnyalah aku terlupakan dengan pertanyaan dari Nini.”

“Apakah yang menyebabkan Ki sanak  terlupakan?” desak Niken Mita Ayu.


Soka Wana termangu mangu sejenak. Bagaimanakah  dia akan menjelaskan persoalan yang sebenarnya terjadi,  jika permasalahan tersebut dapat  menyinggung perasaan seorang gadis kecil yang  menurut penilaiannya kecantikannya hanya dapat ditandingi oleh para dewi -dewi dan putri-putri keraton yang hanya ada dalam dongeng- dongeng dan cerita-cerita babat.

4 komentar :

  1. Matur-nuwun, mBah-Man atas rewrite BDBJ,ditenggo lajengaannipun.

    BalasHapus
  2. Soka wana muncul lagi, ditunggu kelanjutannya mbah

    BalasHapus
  3. Soka wana muncul lagi, ditunggu kelanjutannya mbah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Niken Mita Ayu tersenyum simpul...

      Matur nuwun sanget Mbah Man....

      Hapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.