Merah padam raut muka Sura
Ireng, matanya yang memerah darah memandang tajam ke seraut wajah cantik yang
bersimbah air mata di hadapannya. Tak sekalipun wajah cantik dari Niken Mita
Ayu Puspaningratri itu berani menengadah, memandang wajah Sura Ireng yang
sedang waringuten ketika dengan pelan tapi tegas dia berkata, “Maafkan aku
kakang Sura, aku selama ini menganggap kakang Sura sebagai kakak, tidak lebih
dan tidak kurang. Jangan paksa aku mempunyai perasaan seperti yang dikehendaki
kakang, perasaan seorang perempuan terhadap laki laki.”
Sekilas terbayang dalam
angan Niken Mita Ayu Puspaningratri ketika dipagi yang cerah, delapan tahun
yang lalu ketika dia sedang memetik bunga di dekat regol depan padepokan “Sekar
Keluwih” padepokan yang dipimpin oleh ayahandanya, Ki Ajar Sokaniti, seorang
anak lelaki yang berumur sekitar tiga tahun lebih tua darinya tampak berjalan
mendekati regol padepokan.
Dengan pakaian yang
compang camping dan sangat kotor, serta wajah yang pucat, anak lelaki itu
mendekati regol padepokan. Langkahnya satu satu menunjukkan betapa dia agak
ragu untuk mendekati padepokan Sekar Keluwih.
Niken Mita Ayu hampir saja
berteriak meminta pertolongan para cantrik yang sedang membersihkan rumput
dihalaman samping padepokan kalau saja tidak dilihatnya dengan tergopoh gopoh
anak lelaki itu berlutut di hadapannya. Terdengar suaranya lirih hampir tak
terdengar bercampur dengan sedu sedannya yang tersangkut ditenggorokan, “Maafkan
aku Nini, seandainya Nini berkenan dihati, semoga Nini dibukakan hati untuk
sekedar memberi yang hina ini seteguk air dan segenggam nasi.”
Niken Mita Ayu tertegun
sejenak, dipandanginya wajah yang tertunduk lesu dihadapannya, wajah yang merah
hitam terbakar matahari.
“Ki sanak,” pelan Niken
Mita Ayu berusaha merangkai kata, “Jikalau Ki Sanak berkenan duduklah
dipendapa, aku akan menghadap Ayahanda untuk memberitahukan kedatangan Ki
sanak.”
Gemetar sekujur tubuh anak
muda itu, dengan terpatah patah dia menjawab, “Jangan, Nini, jangan merepotkan
Ayahandamu, aku hanyalah seorang yang hina, yang lewat di padepokan ini,
sekedar memohon belas kasihan dari Nini.”
Sekali lagi Niken Mita Ayu
tertegun. Langkahnya yang sudah hampir terayunpun tertahan sejenak, sekali lagi
dipandanginya sesosok anak muda yang bersimpuh
bercampur debu yang menghambur dari jalan setapak menuju regol Padepokan.
Sekali ini hati lembut seorang gadis kecil yang bernama Niken Mita Ayu tergetar
oleh kepolosan dan kesederhanaan anak muda yang belum dikenalnya ini.
“Siapa namamu?” Lembut Niken
Mita Ayu menyapa memecahkan keheningan yang sempat membelenggu mereka berdua.
“Soka Wana, Nini.”
“Hendak kemanakah tujuan Ki
sanak? Kalau melihat pakaian Ki sanak, tentu Ki sanak sudah berjalan berhari
hari, bahkan mungkin lebih. Apakah yang engkau cari, Ki sanak? Kalau aku tidak
salah, Ki sanak pasti umurnya lebih tua dari aku, bolehkah aku memanggilmu Kakang?”
Bagaikan air pancuran yang
mengalir disela sela batu padas di tebing sungai, pertanyaan Niken Mita Ayu
kepada Soka Wana. Tanpa disadarinya, dia mendongakkan kepalanya memandang
dengan seksama kearah gadis kecil yang berdiri beberapa langkah di hadapannya.
Hati Soka Wana berdesir,
gadis kecil di hadapannya ini tak ubahnya sebuah golek kencana, begitu indah
sepasang mata yang berbinar itu. Bibir yang amat mungil dibawah hidung yang
mancung serta sepasang lesung pipit yang selalu menghiasi pipi yang kemerah
merahan. Rambutnya yang hitam mengkilat tertimpa sinar Matahari pagi seakan
sutera hitam yang dengan indahnya jatuh tergerai beriak riak menyentuh pundak.
“He, ada apa Ki sanak? “
“Oh, tidak apa apa, Nini...”
tergagap Soka Wana mencoba menyembunyikan galau hatinya dengan menundukan
wajahnya dalam dalam. Dipandanginya sepasang kakinya yang kotor yang bersimpuh
menyatu dengan debu.
Niken Mita Ayu tersenyum
simpul, “Ki sanak belum menjawab pertanyaanku.”
Dengan tetap menundukkan
kepalanya dalam dalam, tampak kerut merut di dahi Soka Wana. Katanya kemudian, “Pertanyaan
yang manakah, Nini?”
Sepercik keraguan muncul di
wajah Niken Mita Ayu, kalau sebelumnya dia begitu kagum dengan kepolosan dan
kesederhanaan anak muda yang bernama Soka Wana ini, namun kini ada semacam
kejengkelan yang mulai merayapi hatinya. Adakah anak muda ini sengaja
mempermainkannya?
“Ki sanak,” agak keras Niken
Mita Ayu berkata, “Tidak cukup jelaskah pertanyaanku kepada Ki sanak? Atau
memang sengaja Ki sanak mencari persoalan denganku?”
Soka Wana menggeser duduknya
setapak kedepan, sambil berusaha merapikan kain panjangnya sebisa mungkin,
dianggukkan kepalanya dalam dalam sambil
menjawab, “Sama sekali tidak Nini, tidak ada keberanian sebesar biji sawipun
bagiku untuk memperolok Nini, sesungguhnyalah aku terlupakan dengan pertanyaan
dari Nini.”
“Apakah yang menyebabkan Ki
sanak terlupakan?” desak Niken Mita Ayu.
Soka Wana termangu mangu
sejenak. Bagaimanakah dia akan
menjelaskan persoalan yang sebenarnya terjadi, jika permasalahan tersebut dapat menyinggung perasaan seorang gadis kecil
yang menurut penilaiannya kecantikannya
hanya dapat ditandingi oleh para dewi -dewi dan putri-putri keraton yang hanya
ada dalam dongeng- dongeng dan cerita-cerita babat.
Matur-nuwun, mBah-Man atas rewrite BDBJ,ditenggo lajengaannipun.
BalasHapusSoka wana muncul lagi, ditunggu kelanjutannya mbah
BalasHapusSoka wana muncul lagi, ditunggu kelanjutannya mbah
BalasHapusNiken Mita Ayu tersenyum simpul...
HapusMatur nuwun sanget Mbah Man....