Selasa, 22 November 2016

TADBM 415 hal 75-80

Dalam pada itu sepeninggal Ki Rangga Agung Sedayu yang telah terikat dengan lawannya Ki Singawana Sepuh, Pangeran Ranapati segera melangkah mendekati lawannya kembali, Ki Tumenggung Purbarana.

“Ki Tumenggung,” berkata Pangeran Ranapati kemudian sesampainya dia di hadapan Ki Tumenggung Purbarana, “Beruntunglah Ki Tumenggung masih dapat mengulur nyawa Ki Tumenggung beberapa saat. Namun sekarang aku sudah muak dengan semua ini. Dengan satu kali serangan saja, aku jamin Ki Tumenggung sudah tidak dapat melihat terbitnya Matahari esok pagi.”

Berdesir dada Ki Tumenggung. Nyawanya benar-benar sudah di ujung ubun-ubun. Namun sebagai seorang prajurit, Ki Tumenggung yang sudah kenyang makan asam garamnya pertempuran tidak menjadi gentar atau bernyali kecil. Sudah berpuluh pertempuran yang dialaminya sejak dia mengabdikan dirinya di dunia keprajuritan dan sudah sering dirinya mengalami hal seperti itu. Kini di hadapannya sedang berdiri seseorang yang telah membuat Kadipaten Panaraga yang dulunya tenang dan damai menjadi porak poranda dilanda kekuatan dahsyat prajurit Mataram.

Dengan memanjatkan doa kepada Sang Maha Pencipta, Ki Tumenggung pun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi saat-saat yang menentukan bagi kelangsungan hidupnya. Ketika sekilas terlihat olehnya sebuah pedang panjang tergolek beberapa langkah di samping kirinya, dengan sekali loncat, pedang panjang itu pun sudah tergenggam di tangannya.

Pangeran Ranapati yang melihat Ki Tumenggung telah menggenggam senjatanya kembali justru tertawa berkepanjangan. Katanya kemudian di sela-sela tawanya, “Ki Tumenggung! Apakah engkau masih akan menunjukkan kehebatan ilmu pedangmu? Baiklah, agaknya engkau ingin mati sebagai prajurit sejati. Prajurit sejati mati dengan senjata tetap melekat di tangannya.”

Selesai berkata demikian, dengan teriakan menggelegar Pangeran Ranapati meloncat ke depan. Tangannya yang menggenggam keris luk sembilan terjulur lurus mengarah jantung. Sementara orang-orang yang bertempur di sekitar medan pertempuran itu sama menahan nafas. Mereka bertempur sambil mengawasi apa yang akan terjadi selanjutnya.

Gerakan Pangeran Ranapati benar-benar secepat tatit yang meloncat di udara. Tidak ada kesempatan sama sekali bagi Ki Tumenggung untuk menghindar. Dengan sepenuh hati dan kekuatan yang tersisa, Ki Tumenggung mencoba menangkis   senjata lawannya agar garis serangannya berbelok arah.

Namun kekuatan Pangeran Ranapati benar-benar diluar kemampuan Ki Tumenggung. Keris luk sembilan yang berwarna kehitam-hitaman itu sama sekali tidak berbelok arah. Yang terjadi kemudian benar-benar mengerikan. Terdengar keluhan tertahan dari bibir Ki Tumenggung ketika keris luk sembilan itu menghujam dadanya dan menembus jantung. Tubuh ki Tumenggung itu pun terdorong beberapa langkah ke belakang oleh kekuatan terjangan lawan. Ketika lawannya kemudian dengan sebuah sentakan menjabut senjatanya, tubuh Ki Tumenggung yang sudah sangat lemah itu pun kemudian terhuyung huyung dan jatuh terjerembab bersimbah darah.

Medan pertempuran pun menjadi gempar. Segera saja para pengikut Pangeran Ranapati berteriak-teriak dan bersorak sorai dengan riuhnya menyambut kemenangan pemimpin mereka. Seakan akan kemenangan telah tergenggam di tangan mereka. Sedangkan para prajurit hanya dapat menggeretakkan gigi  sambil menahan gejolak di dalam dada  begitu melihat pemimpin mereka jatuh tersungkur. Namun para prajurit itu tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka sendiri pun sedang berjuang menyelamatkan selembar nyawa masing-masing.

Sedangkan di lingkaran pertempuran yang agak jauh, Ki Rangga Agung Sedayu sekilas masih sempat melihat pada saat Ki Tumenggung jatuh tersungkur. Tidak ada kesempatan sama sekali bagi Ki Rangga untuk menilai pertempuran keduanya karena lawannya kali ini benar-benar memiliki ilmu yang ngedab edabi. Bayangan tubuh lawannya bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi sehingga sangat sulit ditangkap oleh mata wadag. Bayangan tubuh lawannya kadang sesaat hilang dari pandangan dan sesaat kemudian muncul kembali di tempat yang tak terduga sambil melancarkan  serangan yang dahsyat. Ki Rangga benar-benar harus berjuang sekuat tenaga mengetrapkan aji sapta pandulu, sapta pangrungu dan sapta pangganda untuk mengetahui keberadaan lawannya yang selalu berubah tempat dengan cara yang sangat cepat.

“Hem,” desah Ki Rangga sambil mulai mengetrapkan aji sapta panggraitanya serta melindungi tubuh dengan ilmu kebalnya, “Seandainya Ki Ageng ini bisa menghilang sebagaimana Ki Bango Lamatan, tentu lebih mudah bagiku untuk mengetahui keberadaannya. Namun yang yang dilakukan oleh Ki Ageng ini lain. Kadang dia tampak sesaat, kemudian dia menghilang lagi dengan perubahan yang sangat cepat. Kadang aku terlambat mengetahui keberadaannya sementara serangannya telah datang membadai.”

“Kita bertempur terus!” tiba-tiba terdengar teriakan salah satu Lurah Prajurit membuyarkan angan-angan Ki Rangga. Lurah Prajurit itu bertugas mengendalikan jalannya pertempuran sepeninggal Ki Tumenggung, “Atas nama Mataram dan menjunjung tinggi kebenaran, kita bertempur sampai titik darah penghabisan!”

Sekarang giliran prajurit Mataram yang bersorak sorai untuk membangkitkan semangat mereka sepeninggal Ki Tumenggung Purbarana.

Dalam pada itu, Ki Lurah Adiwaswa yang bertempur di dekat arena pertempuran Ki Tumenggung benar-benar tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Kemarahan yang dahsyat telah membakar jantungnya. Namun dia harus melihat kenyataan, ilmu orang yang menyebut dirinya Pangeran trah Mataram itu memang diluar jangkauan Ki Tumenggung Purbarana.

“Nah, Pemimpinmu sudah terkapar tak bernyawa,” berkata Kyai Dadap Ireng sambil tertawa, “Sebentar lagi tubuhmu yang akan tergeletak di padang rumput lemah cengkar ini.”

Ki Lurah Adiwaswa tidak menjawab. Justru serangannya yang datang membadai. Pedang di tangan kanannya berputaran menyambar-nyambar tubuh lawannya dari segenap penjuru.
Kyai Dadap Ireng harus berloncatan mundur. Orang tua itu tak henti-hentinya mengumpat-umpat. Ketika putaran pedang lawannya benar-benar membuatnya terkurung, dengan cepat dia mengambil sesuatu dari balik bajunya.

Terkejut Ki Lurah Adiwaswa begitu melihat senjata yang tergenggam di tangan kanan lawannya. Sejenak serangannya berhenti dengan sendirinya. Dipandangi senjata di tangan kanan lawannya itu tanpa berkedip. Degup jantung di dalam rongga dadanya pun semakin kencang.

“Apakah ada yang aneh dengan senjataku ini, Ki Lurah?” bertanya Kyai Dadap Ireng sambil tertawa.

Ki Lurah Adiwaswa tidak menjawab, namun pandangan matanya tidak lepas dari senjata yang tergenggam di tangan kanan lawannya itu.

“Seekor ular welang, benar-benar seekor  ular hidup,” desis Ki Lurah dalam hati. Bagaimana pun juga, senjata lawannya yang berupa seekor ular hidup dan tentu saja  sangat berbisa itu  telah menggetarkan hati Ki Lurah.

“Semoga engkau tidak terkena gigitan ular kesayanganku ini, Ki Lurah,” berkata Kyai Dadap Ireng selanjutnya, “Karena gigitan sekecil gigitan seekor semut pun sudah cukup untuk mengantarkan nyawamu ke alam kelanggengan.”

Selesai berkata demikian, tiba-tiba saja Kyai Dadap Ireng bagaikan terbang meloncat menyambar lawannya. Senjata di tangan kanannya yang berupa seekor ular hidup itu pun menjulur  dan mematuk kening.

Tentu saja Ki Lurah Adiwaswa tidak tinggal diam.  Sambil menghindar ke samping, senjatanya pun terayun deras menebas kepala ular yang memagut kearah kepalanya.

Kyai Dadap Ireng ternyata tidak akan membiarkan ular kesayangan terputus kepalanya terkena sabetan pedang lawan. Dengan cepat ditariknya kembali senjata khususnya itu dan sebagai gantinya tumit kaki kirinya terayun deras ke arah lambung.

Demikian lah sejenak kemudian  keduanya pun segera terlibat kembali dalam pertempuran yang sengit.

Dalam pada itu Pangeran Ranapati yang telah kehilangan lawannya untuk beberapa saat masih berdiri termangu-mangu di tempatnya. Ketika dilihatnya jasad Ki Tumenggung yang tertelungkup  itu sama sekali tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan, dengan perlahan disarungkan kembali keris luk sembilan itu ke  wrangkanya.

Ketika Pangeran yang keras hati itu kemudian berpaling ke arah kiri, samar-samar di balik hiruk pikuknya pertempuran tampak seseorang sedang berdiri terpekur agak jauh di luar lingkaran pertempuran sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Adimas Pangeran Jayaraga,” desis Pangeran Ranapati dalam hati sambil melangkah mendekat, berjalan di antara riuhnya pertempuran.

Orang yang berdiri di luar lingkaran pertempuran itu memang Pangeran Jayaraga. Dengan jelas Pangeran Jayaraga telah menyaksikan akhir pertempuran antara Ki Tumenggung Purbarana melawan Pangeran  Ranapati.

Ada sepercik niat untuk membantu Ki Tumenggung yang sudah dalam keadaan sangat terdesak. Namun tiba-tiba saja di lubuk hatinya yang paling dalam, telah muncul sepercik keragu-raguan.

“Kedudukanku sekarang ini hanyalah sebagai seorang tawanan. Tidak ada yang dapat aku perbuat selain menunggu hukuman apa yang akan dijatuhkan oleh Kakanda Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati kepadaku,” berkata Pangeran Jayaraga dalam hati sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam.

Ketika pendengaran Pangeran Jayaraga yang tajam melebihi orang kebanyakan itu mendengar langkah  satu-satu mendekat ke arahnya, baru lah Pangeran yang semasa mudanya bernama Raden Mas Barthotot itu mengangkat wajahnya. Sejenak raut wajah Pangeran yang pernah dipercaya menjadi Adipati di Panaraga itu memerah darah. Seseorang yang selama ini sangat dipercaya namun yang telah meninggalkan dirinya begitu saja di saat pasukan Mataram telah mengepung istana, telah berdiri di hadapannya hanya beberapa langkah saja, Pangeran Ranapati.


Bersambung ke jilid 416

50 komentar :

  1. Terima kasih banyak buat mbah man.....tambah seru

    BalasHapus
  2. Assallamualaikum wr wb ...Mbah Man...Badai di Bumi Jipang akan menderu lagi matur nuwun sanget...👍🙏🙏

    BalasHapus
  3. terimakasih mbah man..sangat menarik..

    BalasHapus
  4. Maturnuwun Mbah_Man atas seri barunya ; Ksatria Ksatria Bumi Pajarakan. Namun seri yang lama "Jatuhnya Benteng Pajarakan" masih akan tetap dilanjutkan to Mbah ?
    Kami para cantrik tetap setia menunggu.... Nuwun.

    BalasHapus
  5. Matur nuwun Ki Haji Panembahan Mandaraka, sekarang tinggal di rumah sendiri, jadi tambah luar biasa .....

    BalasHapus
  6. Maturnuwun Mbah_Man.....
    ttd, gembleh.

    BalasHapus
  7. Wah....
    Alhamdulillah...
    Panembahan wis kersa yasa Padepokan piyambak.
    Matur suwun Panembahan, Risang bisa istirahat sekarang

    eng ... ing ....eng ......

    BalasHapus
  8. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  9. Matur nuwun sanget Mbah Man, selamat atas padepokan barunya ... saya nderek nyantrik disini mbah ....

    BalasHapus
  10. Matur-nuwun mBah-Man, Selamat atas padepokan barunya.

    BalasHapus
  11. Maturnuwun Mbah_Man.....
    ttd, gembleh.

    BalasHapus
  12. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  13. akhire iso mecungul juga..berjuang soko esuk mau...muteri padepokan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lha mbok kula diajari carane ngangge WP saged mlebet komen to Ki PA....

      Hapus
    2. kulo mboten ngangge wp....ngangge PW

      Hapus
  14. Enae glosoran neng padhepokan anyar....isih resik ambune wangi...mbok Gumbrek memang rajin....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ati ati kepleset Ki Adiwaswa .....

      Hapus
    2. Sugeng dalu Kanjeng Dimas P memang masih agak licin jalan ke padepokan sekar keluwih karena sepur kluthuk tidak liwat disini langsung kepala stasiun yang bawa rontal mungkin kalau jurusan Gagakseta masinis sepur kluthuk yang bawa rontal....

      Hapus
  15. Nyuwun pirsa, Dhanang ksatrio=Ki mbleh?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Inggih Ki Suharno kurang lebih sama dengan Ki Gembleh....
      Ada kode ttd nya

      Hapus
    2. Nyuwun sewu, punapa Suharno Hadi = Nyi Rien ?

      Hapus
    3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    4. Sanes ki mbleh. Kula niki 'harno restu galih ' alias 'hrg'

      Hapus
    5. Sanes ki mbleh. Kula niki 'harno restu galih ' alias 'hrg'

      Hapus
    6. Sugeng ndalu, Ki HRG, Ki Mbleh lan Ki Lurah Adiwaswa .....

      Hapus
    7. Ndalù ki dp. Pindah tempat bermain.

      Hapus
  16. Coba lagi ini kok masih bingung kalau masuk dari laptop ....

    BalasHapus
  17. Sugeng enjang para kadang sutresna...
    Harak inggih dhawah sami wilujeng to.....?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sugeng enjang Raden Dhanang Ksatrio ....kulo Pura Pura Ninja nganggo avatar jilbab....

      Hapus
    2. Sugeng endang raden dhanang ksatrio (dk) & lurah adiwa swarna (as),monggo sami wilujeng

      Hapus
    3. Monggo Ki Suharno ada bacaan di KKBP bag 2 dan ada sayembara dari Mbah Man....

      Hapus
    4. Oh gitu ya. Coba deh, matur nuwun ki adiwa

      Hapus
  18. Hehe....ternyata bisa juga menchungulkan avatar Pura Pura Ninja...

    BalasHapus
  19. Bolak balik kejedot pintu padepokane Mbah Man..aduuhh....

    BalasHapus
  20. Akhirnya bisa masuk juga...tp untung pintune ga penyok...
    Sugeng enjang Mbah Man...
    Selamat pagi sedoyo mawon kepanggih malih kalih kulo wonten mriki..

    #isin jane melu2 bae ndusel ndusel..hehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sugeng dalu Nyi Rien...memang pintune agak pendek...😊

      Hapus
    2. Sugeng dalu ugi ki..sugeng dalu waktu padepokan nggih... 😅😊
      Ki Adiwa...ajari kulo mencungulkan gambar kancane avatar dong..hehe

      Hapus
    3. Inggih kulo dulu Sugeng tetonggo Nyi Endang....hehe

      Menchunguli avatar diklik namanya "rien maulina" nanti keluar blognya ada status profil pencet saja yg gambar kamera ...saya juga iseng jadi punya blog sekarang hehe...Mbah Man pinter bikin promisi membuat blog😆😆

      Hapus
  21. Alhamdulillah, Matur sembah Nuwun Mbah Man kagem lontaripun.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.