Selasa, 19 Maret 2019

STSD 13_07


Segera saja orang-orang yang berada di atas dahan yang paling tinggi kembali meleparkan pandangan mata mereka jauh ke depan. Sejenak mereka masih menunggu. Lamat-lamat raut wajah ketiga penunggang kuda itu memang semakin lama semakin jelas. Setelah garis-garis wajah serta bentuk tubuh ketiga penunggang kuda itu dapat diamati secara jelas, bagaikan telah berjanji sebelumnya dan lupa akan pesan cantrik Bonggol dan orang berkumis tipis itu, mereka pun serentak berteriak dengan gegap gempita.
“Raden Wirasena telah dataang..!!”
“Hidup Raden Wirasena..!!!”
“Hidup Trah Sekar Seda Lepen..!!!”
“Balaskan dendam saudara-saudara kami…!!!”
“Hancurkan perdikan Matesih…!!”
“Rebut kembali padepokan Sapta Dhahana…!!!”
“Bumi hanguskan perdikan Matesih dan boyong putri Matesih Nimas Ratri..!!!” tiba-tiba saja seorang cantrik yang tinggi kekurus-kurusan dan duduk di cabang yang rendah telah berteriak cukup lantang di sela-sela gegap gempita teriakan kawan-kawannya.
“He..?!!” seru kawan yang duduk di sebelahnya sambil menyikut lambung cantrik kurus itu, “Apa maksudmu?”
Cantrik kurus itu berpaling sambil tersenyum penuh arti. Jawabnya kemudian, “Aku lebih senang menyerbu perdikan Matesih dari pada merebut kembali padepokan kita.”
Kawannya ternyata masih belum dapat menangkap maksud cantrik kurus itu. Maka sekali lagi dia bertanya, “Mengapa? Bukankah merebut padepokan kita berarti kita dapat kembali ke rumah kita yang selama ini kita tinggali? Padepokan Sapta Dhahana bagiku menyimpan seribu kenangan yang akan sangat sulit bagiku untuk dilupakan.”
“Ah, apa peduliku,” sahut cantrik kurus itu, “Aku lebih senang menjarah perdikan Matesih terutama kediaman Ki Gede Matesih. Tentu banyak barang-barang berharga yang tersimpan di sana. Dan yang paling berharga tentu puteri Matesih yang cantik jelita itu.”
“He..?!!” kembali kawannya terkejut bukan alang kepalang mendengar apa yang tersimpan dalam benak Cantrik kurus itu. Tanpa sadar dia berpaling dan memandang tajam ke arahnya sambil berkata dengan suara bergetar, “Agaknya otakmu sudah engsle, jika Raden Surengpati mendengar omonganmu yang ngelantur itu, aku jamin engkau tidak akan sempat melihat Matahari terbenam hari ini.”
Namun Cantrik kurus itu justru telah tertawa kecil sambil berbisik ke arah telinga kawannya, “Adik Trah Sekar Seda Lepen itu nyawanya sudah berada di ujung rambut. Dia tidak akan mampu berbuat apa-apa seandainya malam ini kita menyerbu Matesih dan aku akan memboyong puteri yang cantik itu. Dia pasti belum mampu ikut dalam pasukan yang akan dipimpin langsung oleh Raden Wirasena. Dia akan menjadi penunggu hutan bersama tabib tua itu.”
“Gila..!!” umpat kawannya berkali-kali. Namun Cantrik kurus itu justru telah melanjutkan tawanya.
“Engkau akan dibunuh Raden Wirasena!” kembali kawannya menggeram, “Raden Wirasena sangat sayang kepada adik satu-satunya itu. Jika engkau mencoba mengganggunya, sama saja engkau membunuh dirimu sendiri.”
Namun Cantrik kurus itu tampak kembali tersenyum aneh. Jawabnya kemudian, “Raden Wirasena sama sekali tidak tertarik dengan urusan tetek bengek yang melibatkan perempuan. Jika adiknya kemudian mempunyai hubungan khusus dengan puteri Matesih itu, dia juga tidak akan perduli. Baginya berjuangan meraih tahta adalah segala-galanya.”
Kawannya tampak termenung beberapa saat. Namun pada akhirnya dia justru telah ikut tertawa sambil berkata, “Ah, sudahlah. Persetan dengan semua itu. Bagiku perjuangan Trah Sekar Seda Lepen ini harus berhasil.”
Demikianlah,  masih banyak lagi teriakan bersahut-sahutan dari atas pohon itu yang segera disambut dengan gegap gempita oleh kawan-kawan mereka yang berada di bawah pohon.
Sejenak dahi cantrik Bonggol berkerut. Tanpa sadar dia berpaling ke arah orang berkumis tipis itu yang berdiri hanya beberapa langkah saja di sampingnya.
Namun ternyata orang berkumis tipis itu hanya tersenyum kecut sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tanpa mengucap sepatah kata pun dia kemudian melangkah maju keluar dari gerumbul perdu yang cukup lebat yang tumbuh di hadapannya.
Cantrik Bonggol pun akhirnya mengikuti langkah orang berkumis tipis itu untuk maju beberapa langkah lagi menyambut kedatangan pemimpin mereka yang sangat ditunggu-tunggu kehadirannya.
Dalam pada itu beberapa orang yang berada di atas pohon ternyata telah meluncur turun dengan cepat. Agaknya mereka juga ingin menyambut kedatangan pemimpin mereka yang sangat di hormati dan di gadang-gadang akan dapat mengeluarkan mereka dari kehidupan yang penuh papa cintraka menuju ke bebrayan yang gemah ripah loh jinawi. Tata titi tentrem kerta raharja, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku.
 “Perintahkan salah seorang cantrik untuk melaporkan kedatangan Raden Wirasena ini,” tiba-tiba orang berkumis tipis itu berdesis perlahan kepada cantrik Bonggol yang berjalan di sampingnya.
Cantrik Bonggol pun tanggap. Segera saja salah seorang cantrik yang berjalan beberapa langkah di belakangnya diberi isyarat untuk maju mendekatinya.
“Laporkan kepada Raden Surengpati bahwa Kakandanya telah hadir di tengah-tengah kita,” bisiknya kemudian.
Cantrik itu tampak mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian dengan nada sedikit ragu-ragu, “Bukankah Raden Surengpati sedang sakit?”
“Aku tahu,” sahut Cantrik Bonggol cepat, “Tapi sebelum aku pergi ke tempat ini, aku lihat Raden Surengpati sudah mampu duduk bersandaran pada sebatang pohon. Semoga berita kedatangan Kakandanya ini akan semakin memacu semangatnya untuk segera sembuh.”
Cantrik itu tampak menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Tanpa bertanya lagi, dia segera memisahkan diri dengan kawan-kawannya dan berjalan kembali ke dalam hutan.

Senin, 11 Maret 2019

STSD 13_06

Eyang Guru tersenyum sambil memandang wajah Raden Wirasena dan Soma berganti-ganti. Agaknya Eyang Guru berusaha menghilangkan kesan ketegangan itu dari wajahnya. Maka jawabnya kemudian, “Baiklah Raden, aku akan membasuh wajah dan kedua lenganku. Setelah itu kita meneruskan perjalanan.”
Demikianlah setelah Eyang Guru selesai membersihkan diri secukupnya, ketiga orang itu segera naik ke tanggul sungai yang tidak seberapa tinggi. Sejenak kemudian ketiga orang itu pun telah berderap kembali di atas kuda masing-masing.
Dalam pada itu, di hutan sebelah barat kaki bukit Tidar, di antara pepatnya pepohonan dan lebatnya gerumbul di pinggir hutan yang memisahkan hutan itu dengan sebuah gumuk kecil, tampak beberapa orang sedang berjaga-jaga.
Sebagian ada yang duduk-duduk di bawah pohon yang menjorok agak ke dalam sehingga terlindung dari pandangan luar, sebagian justru telah memanjat dan duduk di atas cabang-cabang pohon yang tinggi.
Di hadapan hutan sebelah barat kaki gunung Tidar itu terhampar tanah yang cukup luas dengan berbagai macam tanaman buah-buahan maupun pepohonan liar bercampur jadi satu. Agaknya tanah bera itu adalah bekas pategalan yang pernah digarap akan tetapi telah ditinggalkan oleh pemiliknya.
Tanah bekas pategalan itu sangat luas. Mungkin dulunya telah diolah oleh beberapa orang namun karena jauh dari sumber air, akhirnya ditinggalkan begitu saja.
Beberapa pohon buah-buahan yang sempat ditanam ternyata mampu bertahan dan tumbuh menjulang. Sedangkan berbagai jenis tanaman palawija yang diusahakan ternyata tidak menghasilkan panen yang memuaskan. Sebagai gantinya telah tumbuh gerumbul-gerumbul dan perdu liar serta tanaman menjalar yang menutupi hampir seluruh tanah bekas pategalan itu.
“Apakah engkau telah melihat sesuatu?” tiba-tiba terdengar suara seseorang bertanya dari bawah sebatang pohon besar yang digunakan oleh beberapa orang untuk mengawasi keadaan.
“Belum Kakang Bonggol,” jawab salah seorang yang sedang duduk-duduk di atas sebuah cabang pohon yang tinggi itu, “Sedari tadi kami terus mengamati keadaan dan belum terlihat tanda-tanda kakang Soma telah kembali.”
Orang yang dipanggil kakang Bonggol itu tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil berusaha mempertajam pandangan matanya. Namun yang terlihat di hadapannya hanyalah hamparan pategalan yang hampir berubah menjadi sebuah hutan kecil.
Untuk beberapa saat cantrik Bonggol masih berdiri termangu-mangu di bawah pohon itu. Baru setelah menarik nafas dalam-dalam dia pun kemudian melangkah pergi sambil berkata, “Terus amati keadaan. Menurut perhitunganku, jika Soma memang dapat menjumpai mereka, setelah Matahari tergelincir ke barat, barulah mereka akan memasuki daerah ini.”
Namun langkahnya tertegun ketika salah seorang anak buahnya yang berada di cabang paling tinggi telah berteriak, “Kakang Bonggol..!  Aku melihat tiga ekor kuda! Ya ..! Tiga ekor kuda sedang berpacu ke arah tempat ini!”
Dengan bergegas cantrik Bonggol segera berbalik dan melangkah ke tempat yang lebih terbuka. Namun karena tanah pategalan itu telah hampir menjadi sebuah hutan kecil, pandangan matanya terhalang oleh pepohonan dan gerumbul liar yang tumbuh menjulang tinggi.
Sedangkan beberapa orang yang berada di cabang yang rendah berusaha untuk memanjat lebih tinggi agar pandangan mata mereka tidak terhalang.
“Ya..! Aku juga melihatnya..!” tiba-tiba salah seorang dari mereka ikut berteriak.
“Tiga ekor kuda..!!” teriak yang lain tak kalah kerasnya.
“Ya..ya. aku juga telah melihatnya!!” timpal yang lain.
“Mereka keluar dari balik gumuk kecil itu..!!” seru orang pertama yang melihat ketiga penunggang kuda itu.
“Diam..!!” tiba-tiba terdengar cantrik Bonggol membentak keras sehingga telah mengejutkan anak buahnya yang sedang berada di atas pohon. Sementara beberapa orang yang tersebar di gerumbul dan batang-batang perdu telah tertarik dengan keributan itu dan melangkah mendekat.
“Ada apa ribut-ribut?” bertanya seorang yang berkumis tipis dan berjangggut jarang sesampainya dia di hadapan cantrik Bonggol.
Cantrik Bonggol berpaling sekilas. Jawabnya kemudian, “Para pengawas telah melihat tiga penunggang kuda dari balik gumuk kecil itu dan sedang berpacu ke tempat ini. Namun sikap mereka sungguh memuakkan. Berteriak-teriak seperti laku anjing-anjing pemburu yang melihat seekor pelanduk sembunyi dalam semak.”

Orang-orang yang sedang berada di atas pohon itu terdiam mendengar kata-kata cantrik yang dituakan diantara mereka. Sedangkan orang yang berkumir tipis dan berjanggut jarang itu telah mendongakkan kepalanya ke atas. Katanya kemudian, “Kalian para pengawas tidak selayaknya berbuat demikian. Kita belum tahu siapa yang datang. Segala sesuatunya harus dilakukan dalam keadaan senyap namun tetap dalam kesiap siagaan yang tinggi,” orang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Nah, sekarang apakah kalian sudah dapat mengenali siapa mereka?”

Senin, 04 Maret 2019

STSD 13_05

“Gila!” geram seorang penunggang kuda yang terlihat masih muda dibanding dengan kedua kawan seperjalanannya, “Menurut perhitunganku, sebelum Matahari sepenggalah kita sudah sampai di kaki bukit Tidar sebelah barat. Namun padang perdu ini ternyata cukup sulit untuk dilewati dengan berpacu kencang.”
“Ya, Raden,” jawab penunggang kuda di sebelahnya yang terlihat sudah tua namun masih tampak segar dan kuat, “Namun kita masih punya cukup waktu. Setidaknya kita akan mengirim utusan ke padepokan Setra Gandamayit sebelum Matahari sampai puncaknya.”
Orang yang dipanggil Raden itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sambil berpaling ke belakang dia bertanya, “Soma, apakah tujuan kita masih jauh?”
Orang yang berkuda di belakang itu segera memacu kudanya menjajari kedua kuda yang ada di depan. Jawab Soma kemudian, “Sudah cukup dekat Raden. Setelah padang perdu ini kita berbelok ke kiri dan menelusuri tepian sebuah sungai kecil yang dangkal. Sebelum sungai itu berkelok ke barat, kita berjalan terus dan kemudian menerobos hutan di kaki bukit Tidar sebelah barat.”
Orang yang dipanggil Raden itu menarik nafas dalam-dalam sambil tetap memacu kudanya dengan kecepatan sedang menghindari gerumbul-gerumbul perdu yang banyak bertebaran di padang rumput itu.
“Untunglah kita mendapatkan kuda, Raden,” desis orang yang terlihat sudah sangat sepuh itu, “Jika tidak, mungkin baru sirep bocah kita akan sampai di tujuan.”
Orang yang dipanggil Raden itu tertawa pendek. Katanya kemudian, “Eyang guru benar. Aku tadi sudah hampir putus asa untuk mendapatkan ketiga ekor kuda ini. Untunglah pemilik kuda itu tertarik dengan timang emas yang sedang aku pakai.”
“Sebenarnya aku lebih senang mencekiknya saja sampai mati untuk mendapatkan ketiga ekor kuda ini,” geram orang yang sudah sangat sepuh itu yang ternyata adalah Eyang guru, “Raden terlalu berbaik hati. Dalam keadaan yang serba tidak menentu ini, kita harus berani mengambil keputusan cepat. Apapun akibat yang akan ditimbulkannya.”
Raden Wirasena yang berkuda di sebelahnya tidak menjawab. Hanya tampak keningnya saja yang sedikit berkerut. Sementara Soma yang kembali berkuda di belakang telah menarik nafas dalam-dalam.
Demikianlah ketiga ekor kuda berserta penunggangnya itu pun akhirnya keluar dari padang perdu yang cukup luas itu. Ketika mereka kemudian berbelok ke kiri, sesuai dengan petunjuk Soma, mereka telah menjumpai sebuah sungai yang dangkal dan tidak seberapa lebar namun berair sangat bening. Suara gemericik air di sela-sela batu-batu yang banyak berserakan di dalam sungai itu terdengar  sangat merdu dan terasa menyejukkan kalbu.
Tanpa sadar raden Wirasena memperlambat laju kudanya sambil mengamat-amati sungai yang bertebing landai itu. Eyang Guru dan Soma pun ikut memperlambat kuda mereka.
“Apakah Raden berkenan membersihkan diri di sungai itu?” tiba-tiba  pertanyaan itu terlontar begitu saja dari Eyang Guru.
Sejenak Raden Wirasena mengerutkan keningnya. Dia dan Eyang Guru memang telah menempuh perjalanan semalam suntuk dan sama sekali belum bersentuhan dengan air. Adalah kurang pada tempatnya jika dia dan Eyang Guru terlihat sangat kusut sesampainya mereka berdua nanti di hadapan para pengikutnya.
“Baiklah,” jawab Raden Wirasena kemudian sambil mengekang kudanya sehingga berhenti. Sambil meloncat turun Raden Wirasena meneruskan, “Kita membersihkan diri seperlunya sebelum mencapai hutan sebelah barat kaki bukit Tidar.”
Eyang Guru dan Soma pun serentak ikut mengekang kuda mereka dan mengikuti Raden Wirasena meloncat turun.
Setelah menambatkan kuda-kuda mereka pada batang-batang perdu yang banyak terdapat di tanggul sungai itu, ketiga orang itu pun kemudian menuruni lereng sungai yang landai menuju ke sungai.
Begitu kaki-kaki mereka bersentuhan dengan beningnya air sungai itu, terasa betapa sejuknya air sungai itu membasahi kaki-kaki mereka.
Agaknya Soma yang tidak dapat menahan diri. Segera saja dia membungkuk dan mengambil air yang bening dan sejuk itu dengan kedua telapak tangannya.
“Alangkah segarnya,” desis Soma sambil menyiramkan air itu ke wajahnya. Merasa kurang puas, Soma pun kemudian mengulanginya beberapa kali.
Raden Wirasena tersenyum melihat tingkah Soma. Namun orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu pun akhirnya mengikuti apa yang telah dilakukan Soma, membasahi wajahnya dengan air sungai yang bening dan sejuk.
Sedangkan Eyang Guru untuk beberapa saat masih termangu-mangu di tepian yang basah.  Kedua kakinya terendam air sungai hanya sebatas mata kaki. Namun tampak Eyang Guru sedang memusatkan segenap kemampuannya untuk mendengarkan segala jenis bunyi di sekitarnya.
Bahkan ketika Eyang Guru kemudian kurang yakin dengan apa yang telah didengarnya, segera saja dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menunduk dalam-dalam dan memejamkan kedua matanya.
Raden Wirasena dan Soma tampak terheran-heran melihat tingkah Eyang Guru itu. Namun keduanya hanya membiarkan saja terutama Raden Wirasena. Orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu sadar sepenuhnya bahwa mungkin Eyang Guru telah mendengar sebuah desir yang mencurigakan.
“Apakah desir yang sekarang ditangkap oleh Eyang Guru adalah sama dengan desir yang terdengar beberapa saat yang lalu?” bertanya Raden Wirasena dalam hati dengan jantung yang berdebaran.
Namun Eyang Guru tidak terlalu lama. Segera saja diurai kedua tangannya yang bersilang di dada dan diangkat wajahnya sambil tersenyum. Katanya kemudian, “Marilah Raden. Pendengaran orang setua ini ternyata semakin kabur dan menyesatkan. Atau mungkin kegelisahanku sajalah yang telah mempengaruhi ketajaman panca indraku.”
Raden Wirasena sejenak tertegun mendengar uraian Eyang Guru. Diam-diam kecemasan menggores jantungnya walaupun hanya sesaat. Maka tanyanya kemudian, “Baiklah Eyang Guru. Tetapi apakah Eyang Guru tidak ingin sekedar mencuci muka agar terasa lebih segar sebelum melanjutkan perjalanan?”
Sejenak Eyang Gurur ragu-ragu. Dipandanginya pohon besar yang tumbuh menjulang di tepian seberang sungai. Beberapa saat tadi Eyang Guru melihat daun-daun pohon itu bergetar dengan tidak sewajarnya.
“Aneh,” berkata Eyang Guru kemudian dalam hati sambil kembali mengamat-amati pohon di seberang sungai itu, “Aku tadi sekilas melihat daun-daun pohon itu bergetar dengan tidak sewajarnya. Jika angin yang sangat lembut bertiup menerpa pohon itu, tentu getaran daun-daunnya tidak akan cepat dan sesingkat itu.”
Namun Eyang Guru sudah mencoba menangkap semua getaran di sekelilling tepian itu akan tetapi tidak mendapatkan  sesuatupun yang mencurigakan.

“Eyang Guru?” tiba-tiba suara Raden Wirasena membangunkan lamunannya.