Segera saja orang-orang yang berada di atas
dahan yang paling tinggi kembali meleparkan pandangan mata mereka jauh ke
depan. Sejenak mereka masih menunggu. Lamat-lamat raut wajah ketiga penunggang
kuda itu memang semakin lama semakin jelas. Setelah garis-garis wajah serta
bentuk tubuh ketiga penunggang kuda itu dapat diamati secara jelas, bagaikan
telah berjanji sebelumnya dan lupa akan pesan cantrik Bonggol dan orang
berkumis tipis itu, mereka pun serentak berteriak dengan gegap gempita.
“Raden Wirasena telah dataang..!!”
“Hidup Raden Wirasena..!!!”
“Hidup Trah Sekar Seda Lepen..!!!”
“Balaskan dendam saudara-saudara kami…!!!”
“Hancurkan perdikan Matesih…!!”
“Rebut kembali padepokan Sapta Dhahana…!!!”
“Bumi hanguskan perdikan Matesih dan
boyong putri Matesih Nimas Ratri..!!!” tiba-tiba saja seorang cantrik yang
tinggi kekurus-kurusan dan duduk di cabang yang rendah telah berteriak cukup
lantang di sela-sela gegap gempita teriakan kawan-kawannya.
“He..?!!” seru kawan yang duduk di sebelahnya sambil
menyikut lambung cantrik kurus itu, “Apa maksudmu?”
Cantrik kurus itu berpaling sambil tersenyum
penuh arti. Jawabnya kemudian, “Aku lebih senang menyerbu perdikan Matesih dari
pada merebut kembali padepokan kita.”
Kawannya ternyata masih belum dapat
menangkap maksud cantrik kurus itu. Maka sekali lagi dia bertanya, “Mengapa? Bukankah
merebut padepokan kita berarti kita dapat kembali ke rumah kita yang selama ini
kita tinggali? Padepokan Sapta Dhahana bagiku menyimpan seribu kenangan yang
akan sangat sulit bagiku untuk dilupakan.”
“Ah, apa peduliku,” sahut cantrik kurus
itu, “Aku lebih senang menjarah perdikan Matesih terutama kediaman Ki Gede Matesih.
Tentu banyak barang-barang berharga yang tersimpan di sana. Dan yang paling
berharga tentu puteri Matesih yang cantik jelita itu.”
“He..?!!” kembali kawannya terkejut bukan
alang kepalang mendengar apa yang tersimpan dalam benak Cantrik kurus itu. Tanpa
sadar dia berpaling dan memandang tajam ke arahnya sambil berkata dengan
suara bergetar, “Agaknya otakmu sudah engsle,
jika Raden Surengpati mendengar omonganmu yang ngelantur itu, aku jamin engkau
tidak akan sempat melihat Matahari terbenam hari ini.”
Namun Cantrik kurus itu justru telah
tertawa kecil sambil berbisik ke arah telinga kawannya, “Adik Trah Sekar Seda
Lepen itu nyawanya sudah berada di ujung rambut. Dia tidak akan mampu berbuat
apa-apa seandainya malam ini kita menyerbu Matesih dan aku akan memboyong
puteri yang cantik itu. Dia pasti belum mampu ikut dalam pasukan yang akan
dipimpin langsung oleh Raden Wirasena. Dia akan menjadi penunggu hutan bersama
tabib tua itu.”
“Gila..!!” umpat kawannya berkali-kali. Namun
Cantrik kurus itu justru telah melanjutkan tawanya.
“Engkau akan dibunuh Raden Wirasena!”
kembali kawannya menggeram, “Raden Wirasena sangat sayang kepada adik
satu-satunya itu. Jika engkau mencoba mengganggunya, sama saja engkau membunuh
dirimu sendiri.”
Namun Cantrik kurus itu tampak kembali
tersenyum aneh. Jawabnya kemudian, “Raden Wirasena sama sekali tidak tertarik
dengan urusan tetek bengek yang
melibatkan perempuan. Jika adiknya kemudian mempunyai hubungan khusus dengan
puteri Matesih itu, dia juga tidak akan perduli. Baginya berjuangan meraih
tahta adalah segala-galanya.”
Kawannya tampak termenung beberapa saat. Namun
pada akhirnya dia justru telah ikut tertawa sambil berkata, “Ah, sudahlah. Persetan
dengan semua itu. Bagiku perjuangan Trah Sekar Seda Lepen ini harus berhasil.”
Demikianlah, masih banyak lagi teriakan bersahut-sahutan
dari atas pohon itu yang segera disambut dengan gegap gempita oleh kawan-kawan
mereka yang berada di bawah pohon.
Sejenak dahi cantrik Bonggol berkerut. Tanpa
sadar dia berpaling ke arah orang berkumis tipis itu yang berdiri hanya
beberapa langkah saja di sampingnya.
Namun ternyata orang berkumis tipis itu hanya
tersenyum kecut sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tanpa mengucap sepatah
kata pun dia kemudian melangkah maju keluar dari gerumbul perdu yang cukup
lebat yang tumbuh di hadapannya.
Cantrik Bonggol pun akhirnya mengikuti
langkah orang berkumis tipis itu untuk maju beberapa langkah lagi menyambut
kedatangan pemimpin mereka yang sangat ditunggu-tunggu kehadirannya.
Dalam pada itu beberapa orang yang berada
di atas pohon ternyata telah meluncur turun dengan cepat. Agaknya mereka juga
ingin menyambut kedatangan pemimpin mereka yang sangat di hormati dan di gadang-gadang akan dapat mengeluarkan
mereka dari kehidupan yang penuh papa
cintraka menuju ke bebrayan yang gemah ripah loh jinawi. Tata titi tentrem
kerta raharja, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku.
“Perintahkan
salah seorang cantrik untuk melaporkan kedatangan Raden Wirasena ini,”
tiba-tiba orang berkumis tipis itu berdesis perlahan kepada cantrik Bonggol
yang berjalan di sampingnya.
Cantrik Bonggol pun tanggap. Segera saja
salah seorang cantrik yang berjalan beberapa langkah di belakangnya diberi
isyarat untuk maju mendekatinya.
“Laporkan kepada Raden Surengpati bahwa Kakandanya
telah hadir di tengah-tengah kita,” bisiknya kemudian.
Cantrik itu tampak mengerutkan keningnya.
Tanyanya kemudian dengan nada sedikit ragu-ragu, “Bukankah Raden Surengpati
sedang sakit?”
“Aku tahu,” sahut Cantrik Bonggol cepat, “Tapi
sebelum aku pergi ke tempat ini, aku lihat Raden Surengpati sudah mampu duduk
bersandaran pada sebatang pohon. Semoga berita kedatangan Kakandanya ini akan
semakin memacu semangatnya untuk segera sembuh.”
Cantrik itu tampak menarik nafas
dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. Tanpa bertanya lagi, dia segera
memisahkan diri dengan kawan-kawannya dan berjalan kembali ke dalam hutan.