Kuda-kuda itu memang tidak
dipacu dengan kencang, namun hanya berderap dalam irama yang ajeg. Sejenak
kemudian kuda-kuda itu pun telah berhenti tepat di depan regol Padepokan.
Dengan tangkasnya keempat penunggang
kuda itu pun segera meloncat turun.
“Selamat siang, Ki Sanak,”
berkata salah satu penunggang kuda itu sambil menganggukkan kepalanya, “Kami
berempat datang dari perguruan Blarak Sineret di kaki bukit Sindara.”
Para cantrik yang berada di
regol itu sejenak saling berpandangan. Rasa-rasanya nama perguruan Blarak
Sineret itu masih asing di telinga mereka.
Widarba yang merasa dirinya
sebagai cantrik tertua di antara mereka segera maju selangkah. Katanya
kemudian, “Maaf Ki Sanak. Aku memang tidak sedang bertugas jaga di padepokan
ini, namun aku adalah Widarba, cantrik tertua di padepokan ini.”
“O,” sahut penunggang kuda
itu, “Maafkan kami Ki Widarba. Namaku Putut Gagar Mayang dan ketiga orang ini
adalah adik-adik seperguruanku. Kedatangan kami adalah untuk menghadap pemimpin
perguruan ini, Ki Dipasura atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden Lembu
Gandang, Ksatria bersenjata canggah bermata lengkung.”
Berdesir dada Widarba. Ki
Dipasura sudah agak lama meninggal dunia. Memang keberadaan perguruan Sari pati
yang terpencil dan jauh dari keramaian itu yang membuat perguruan Sari Pati
hampir tidak dikenal. Hanya perguruan-perguruan seangkatan saja yang masih
mengenalnya. Itu pun sebatas berita terakhir yang mereka dengar saja. Semenjak
kerajaan Majapahit runtuh, perguruan Sari Pati memang telah menarik diri dan
hidup dalam keterasingan.
Wregu yang berdiri di
belakang Widarba segera menggamitnya sambil berdesis perlahan, “Kakang,
bagaimana mungkin mereka bisa mengenal Ki Dipasura? Sedangkan nama perguruan
mereka rasa-rasanya masih asing di telinga kita.”
Widarba menarik nafas
dalam-dalam sambil berpaling sekilas ke belakang. Namun akhirnya Widarba pun berkata, “Ki sanak semua, silahkan
masuk. Kita dapat berbincang-bincang di pendapa agar lebih leluasa dan dapat
saling mengenal lebih jauh terhadap perguruan kita masing-masing.”
Selesai berkata demikian Widarba segera memberi isyarat kepada beberapa
cantrik untuk menerima kendali kuda tamu-tamu itu.
Agaknya Putut Gagar Mayang
tidak sempat berpikir terlampau jauh. Segera saja diserahkan kendali kudanya
kepada salah seorang cantrik Sari Pati yang menghampirinya. Demikian juga
ketiga adik seperguruannya segera mengikuti apa yang telah diperbuat oleh Putut
Gagar Mayang.
“Marilah,” berkata Widarba
kemudian sambil mempersilahkan keempat tamunya untuk berjalan memasuki regol.