Selasa, 27 Juni 2017

Lanjutan JJYT 01

Kuda-kuda itu memang tidak dipacu dengan kencang, namun hanya berderap dalam irama yang ajeg. Sejenak kemudian kuda-kuda itu pun telah berhenti tepat di depan regol Padepokan.

Dengan tangkasnya keempat penunggang kuda itu pun segera meloncat turun.

“Selamat siang, Ki Sanak,” berkata salah satu penunggang kuda itu sambil menganggukkan kepalanya, “Kami berempat datang dari perguruan Blarak Sineret di kaki bukit Sindara.”

Para cantrik yang berada di regol itu sejenak saling berpandangan. Rasa-rasanya nama perguruan Blarak Sineret itu masih asing di telinga mereka.

Widarba yang merasa dirinya sebagai cantrik tertua di antara mereka segera maju selangkah. Katanya kemudian, “Maaf Ki Sanak. Aku memang tidak sedang bertugas jaga di padepokan ini, namun aku adalah Widarba, cantrik tertua di padepokan ini.”

“O,” sahut penunggang kuda itu, “Maafkan kami Ki Widarba. Namaku Putut Gagar Mayang dan ketiga orang ini adalah adik-adik seperguruanku. Kedatangan kami adalah untuk menghadap pemimpin perguruan ini, Ki Dipasura atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden Lembu Gandang, Ksatria bersenjata canggah bermata lengkung.”

Berdesir dada Widarba. Ki Dipasura sudah agak lama meninggal dunia. Memang keberadaan perguruan Sari pati yang terpencil dan jauh dari keramaian itu yang membuat perguruan Sari Pati hampir tidak dikenal. Hanya perguruan-perguruan seangkatan saja yang masih mengenalnya. Itu pun sebatas berita terakhir yang mereka dengar saja. Semenjak kerajaan Majapahit runtuh, perguruan Sari Pati memang telah menarik diri dan hidup dalam keterasingan.

Wregu yang berdiri di belakang Widarba segera menggamitnya sambil berdesis perlahan, “Kakang, bagaimana mungkin mereka bisa mengenal Ki Dipasura? Sedangkan nama perguruan mereka rasa-rasanya masih asing di telinga kita.”

Widarba menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling sekilas ke belakang. Namun akhirnya Widarba pun berkata, “Ki sanak semua, silahkan masuk. Kita dapat berbincang-bincang di pendapa agar lebih leluasa dan dapat saling mengenal lebih jauh terhadap perguruan kita masing-masing.”

Selesai berkata demikian  Widarba segera memberi isyarat kepada beberapa cantrik untuk menerima kendali kuda tamu-tamu itu.

Agaknya Putut Gagar Mayang tidak sempat berpikir terlampau jauh. Segera saja diserahkan kendali kudanya kepada salah seorang cantrik Sari Pati yang menghampirinya. Demikian juga ketiga adik seperguruannya segera mengikuti apa yang telah diperbuat oleh Putut Gagar Mayang.


“Marilah,” berkata Widarba kemudian sambil mempersilahkan keempat tamunya untuk berjalan memasuki regol.

8 komentar :

  1. sehubungan gandhok JJYT masih bermasalah, dan mbah man sdh mencoba wedaran disana namun amblas terus, maka mbah man mencoba wedaran di gandhok ini untuk sementara menunggu gandhok JJYT pulih kembali.
    matur suwun

    BalasHapus
  2. Oh... seperti itu? Semoga gandhok secepatnya pulih spt semula. Matur nuwun, Mbah_Man.

    BalasHapus
  3. Matur nuwun sanget Mbah Man

    "Minal aidin wal faizhin"🙏🙏

    Perguruan Blarak Sineret seperti nama jenis keris bermotif daun kelapa dengan nama pusaka Kiai Kanjeng Cadhong yang banyak digemari oleh pecinta keris...Mbah Man memang pancen oye😆😆😆

    Siiplah....

    BalasHapus
  4. matur nuwun sanget wedaranipun mbah man .... nembe saget mampir taman bacaan ... kangen muter muter taman .... semoga mbah man sekeluarga selalu sehat ya mbah ....

    BalasHapus
  5. Alhamdilillah....sudah aman.... tidak ada cegatan plombir lagi....

    ....hehehe.....

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.