Senin, 04 Maret 2019

STSD 13_05

“Gila!” geram seorang penunggang kuda yang terlihat masih muda dibanding dengan kedua kawan seperjalanannya, “Menurut perhitunganku, sebelum Matahari sepenggalah kita sudah sampai di kaki bukit Tidar sebelah barat. Namun padang perdu ini ternyata cukup sulit untuk dilewati dengan berpacu kencang.”
“Ya, Raden,” jawab penunggang kuda di sebelahnya yang terlihat sudah tua namun masih tampak segar dan kuat, “Namun kita masih punya cukup waktu. Setidaknya kita akan mengirim utusan ke padepokan Setra Gandamayit sebelum Matahari sampai puncaknya.”
Orang yang dipanggil Raden itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sambil berpaling ke belakang dia bertanya, “Soma, apakah tujuan kita masih jauh?”
Orang yang berkuda di belakang itu segera memacu kudanya menjajari kedua kuda yang ada di depan. Jawab Soma kemudian, “Sudah cukup dekat Raden. Setelah padang perdu ini kita berbelok ke kiri dan menelusuri tepian sebuah sungai kecil yang dangkal. Sebelum sungai itu berkelok ke barat, kita berjalan terus dan kemudian menerobos hutan di kaki bukit Tidar sebelah barat.”
Orang yang dipanggil Raden itu menarik nafas dalam-dalam sambil tetap memacu kudanya dengan kecepatan sedang menghindari gerumbul-gerumbul perdu yang banyak bertebaran di padang rumput itu.
“Untunglah kita mendapatkan kuda, Raden,” desis orang yang terlihat sudah sangat sepuh itu, “Jika tidak, mungkin baru sirep bocah kita akan sampai di tujuan.”
Orang yang dipanggil Raden itu tertawa pendek. Katanya kemudian, “Eyang guru benar. Aku tadi sudah hampir putus asa untuk mendapatkan ketiga ekor kuda ini. Untunglah pemilik kuda itu tertarik dengan timang emas yang sedang aku pakai.”
“Sebenarnya aku lebih senang mencekiknya saja sampai mati untuk mendapatkan ketiga ekor kuda ini,” geram orang yang sudah sangat sepuh itu yang ternyata adalah Eyang guru, “Raden terlalu berbaik hati. Dalam keadaan yang serba tidak menentu ini, kita harus berani mengambil keputusan cepat. Apapun akibat yang akan ditimbulkannya.”
Raden Wirasena yang berkuda di sebelahnya tidak menjawab. Hanya tampak keningnya saja yang sedikit berkerut. Sementara Soma yang kembali berkuda di belakang telah menarik nafas dalam-dalam.
Demikianlah ketiga ekor kuda berserta penunggangnya itu pun akhirnya keluar dari padang perdu yang cukup luas itu. Ketika mereka kemudian berbelok ke kiri, sesuai dengan petunjuk Soma, mereka telah menjumpai sebuah sungai yang dangkal dan tidak seberapa lebar namun berair sangat bening. Suara gemericik air di sela-sela batu-batu yang banyak berserakan di dalam sungai itu terdengar  sangat merdu dan terasa menyejukkan kalbu.
Tanpa sadar raden Wirasena memperlambat laju kudanya sambil mengamat-amati sungai yang bertebing landai itu. Eyang Guru dan Soma pun ikut memperlambat kuda mereka.
“Apakah Raden berkenan membersihkan diri di sungai itu?” tiba-tiba  pertanyaan itu terlontar begitu saja dari Eyang Guru.
Sejenak Raden Wirasena mengerutkan keningnya. Dia dan Eyang Guru memang telah menempuh perjalanan semalam suntuk dan sama sekali belum bersentuhan dengan air. Adalah kurang pada tempatnya jika dia dan Eyang Guru terlihat sangat kusut sesampainya mereka berdua nanti di hadapan para pengikutnya.
“Baiklah,” jawab Raden Wirasena kemudian sambil mengekang kudanya sehingga berhenti. Sambil meloncat turun Raden Wirasena meneruskan, “Kita membersihkan diri seperlunya sebelum mencapai hutan sebelah barat kaki bukit Tidar.”
Eyang Guru dan Soma pun serentak ikut mengekang kuda mereka dan mengikuti Raden Wirasena meloncat turun.
Setelah menambatkan kuda-kuda mereka pada batang-batang perdu yang banyak terdapat di tanggul sungai itu, ketiga orang itu pun kemudian menuruni lereng sungai yang landai menuju ke sungai.
Begitu kaki-kaki mereka bersentuhan dengan beningnya air sungai itu, terasa betapa sejuknya air sungai itu membasahi kaki-kaki mereka.
Agaknya Soma yang tidak dapat menahan diri. Segera saja dia membungkuk dan mengambil air yang bening dan sejuk itu dengan kedua telapak tangannya.
“Alangkah segarnya,” desis Soma sambil menyiramkan air itu ke wajahnya. Merasa kurang puas, Soma pun kemudian mengulanginya beberapa kali.
Raden Wirasena tersenyum melihat tingkah Soma. Namun orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu pun akhirnya mengikuti apa yang telah dilakukan Soma, membasahi wajahnya dengan air sungai yang bening dan sejuk.
Sedangkan Eyang Guru untuk beberapa saat masih termangu-mangu di tepian yang basah.  Kedua kakinya terendam air sungai hanya sebatas mata kaki. Namun tampak Eyang Guru sedang memusatkan segenap kemampuannya untuk mendengarkan segala jenis bunyi di sekitarnya.
Bahkan ketika Eyang Guru kemudian kurang yakin dengan apa yang telah didengarnya, segera saja dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menunduk dalam-dalam dan memejamkan kedua matanya.
Raden Wirasena dan Soma tampak terheran-heran melihat tingkah Eyang Guru itu. Namun keduanya hanya membiarkan saja terutama Raden Wirasena. Orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu sadar sepenuhnya bahwa mungkin Eyang Guru telah mendengar sebuah desir yang mencurigakan.
“Apakah desir yang sekarang ditangkap oleh Eyang Guru adalah sama dengan desir yang terdengar beberapa saat yang lalu?” bertanya Raden Wirasena dalam hati dengan jantung yang berdebaran.
Namun Eyang Guru tidak terlalu lama. Segera saja diurai kedua tangannya yang bersilang di dada dan diangkat wajahnya sambil tersenyum. Katanya kemudian, “Marilah Raden. Pendengaran orang setua ini ternyata semakin kabur dan menyesatkan. Atau mungkin kegelisahanku sajalah yang telah mempengaruhi ketajaman panca indraku.”
Raden Wirasena sejenak tertegun mendengar uraian Eyang Guru. Diam-diam kecemasan menggores jantungnya walaupun hanya sesaat. Maka tanyanya kemudian, “Baiklah Eyang Guru. Tetapi apakah Eyang Guru tidak ingin sekedar mencuci muka agar terasa lebih segar sebelum melanjutkan perjalanan?”
Sejenak Eyang Gurur ragu-ragu. Dipandanginya pohon besar yang tumbuh menjulang di tepian seberang sungai. Beberapa saat tadi Eyang Guru melihat daun-daun pohon itu bergetar dengan tidak sewajarnya.
“Aneh,” berkata Eyang Guru kemudian dalam hati sambil kembali mengamat-amati pohon di seberang sungai itu, “Aku tadi sekilas melihat daun-daun pohon itu bergetar dengan tidak sewajarnya. Jika angin yang sangat lembut bertiup menerpa pohon itu, tentu getaran daun-daunnya tidak akan cepat dan sesingkat itu.”
Namun Eyang Guru sudah mencoba menangkap semua getaran di sekelilling tepian itu akan tetapi tidak mendapatkan  sesuatupun yang mencurigakan.

“Eyang Guru?” tiba-tiba suara Raden Wirasena membangunkan lamunannya.

14 komentar :

  1. Matur sembah nuwun Panembaham, mugi2 Panembahan tansah kaparingan kataharjan. Aamiin YRA

    BalasHapus
  2. Matur nuwun Ki Haji Panembahan Mandaraka ... tetap semangat !

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah
    Matur nuwun Mbah Man

    BalasHapus
  4. Matur nuwun Panembahan...TOPS...

    BalasHapus
  5. Rubiq arradea...matur suwun mbah

    BalasHapus
  6. Rubiq arradea...matur suwun mbah

    BalasHapus
  7. Rubiq arradea...matur suwun mbah

    BalasHapus
  8. mantab, matur nuwun mBahMan........ sehat selalu. AAmiin..

    BalasHapus
  9. Mantap mbahman..matur nuwun mbah.. padepokan mbah man makin bergeliat

    BalasHapus
  10. Makasih Mbah Man ... Lanjut Mbah.....

    BalasHapus
  11. matur sembah nuwun kagem Mbah Man ugi sederek sedoyo...

    mugi-mugi sowan kulo mboten ngebak-ngebak'i gandok...

    saya salah satu penggemar serial : Api di Bukit Menoreh mahakarya Ki S.H Mintarja...

    namun sebelum beliau bisa menyelesaikan'nya , beliau telah di panggil yang Yang Maha Kuasa...

    kelanjutan serial ADBM jadi mengambang , saya menemukan beberapa versi lanjutan'nya. tapi , menurut pendapat saya , versi Mbah Man adalah yang paling pas...

    kagem Mbah Man , selamat berkarya...

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.