“Gila!” geram seorang penunggang kuda
yang terlihat masih muda dibanding dengan kedua kawan seperjalanannya, “Menurut
perhitunganku, sebelum Matahari sepenggalah kita sudah sampai di kaki bukit
Tidar sebelah barat. Namun padang perdu ini ternyata cukup sulit untuk dilewati
dengan berpacu kencang.”
“Ya, Raden,” jawab penunggang kuda di
sebelahnya yang terlihat sudah tua namun masih tampak segar dan kuat, “Namun
kita masih punya cukup waktu. Setidaknya kita akan mengirim utusan ke padepokan
Setra Gandamayit sebelum Matahari sampai puncaknya.”
Orang yang dipanggil Raden itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sambil berpaling ke belakang dia
bertanya, “Soma, apakah tujuan kita masih jauh?”
Orang yang berkuda di belakang itu segera
memacu kudanya menjajari kedua kuda yang ada di depan. Jawab Soma kemudian,
“Sudah cukup dekat Raden. Setelah padang perdu ini kita berbelok ke kiri dan
menelusuri tepian sebuah sungai kecil yang dangkal. Sebelum sungai itu berkelok
ke barat, kita berjalan terus dan kemudian menerobos hutan di kaki bukit Tidar
sebelah barat.”
Orang yang dipanggil Raden itu menarik
nafas dalam-dalam sambil tetap memacu kudanya dengan kecepatan sedang
menghindari gerumbul-gerumbul perdu yang banyak bertebaran di padang rumput
itu.
“Untunglah kita mendapatkan kuda, Raden,”
desis orang yang terlihat sudah sangat sepuh itu, “Jika tidak, mungkin baru
sirep bocah kita akan sampai di tujuan.”
Orang yang dipanggil Raden itu tertawa
pendek. Katanya kemudian, “Eyang guru benar. Aku tadi sudah hampir putus asa untuk
mendapatkan ketiga ekor kuda ini. Untunglah pemilik kuda itu tertarik dengan
timang emas yang sedang aku pakai.”
“Sebenarnya aku lebih senang mencekiknya saja
sampai mati untuk mendapatkan ketiga ekor kuda ini,” geram orang yang sudah
sangat sepuh itu yang ternyata adalah Eyang guru, “Raden terlalu berbaik hati.
Dalam keadaan yang serba tidak menentu ini, kita harus berani mengambil
keputusan cepat. Apapun akibat yang akan ditimbulkannya.”
Raden Wirasena yang berkuda di sebelahnya
tidak menjawab. Hanya tampak keningnya saja yang sedikit berkerut. Sementara
Soma yang kembali berkuda di belakang telah menarik nafas dalam-dalam.
Demikianlah ketiga ekor kuda berserta
penunggangnya itu pun akhirnya keluar dari padang perdu yang cukup luas itu.
Ketika mereka kemudian berbelok ke kiri, sesuai dengan petunjuk Soma, mereka
telah menjumpai sebuah sungai yang dangkal dan tidak seberapa lebar namun
berair sangat bening. Suara gemericik air di sela-sela batu-batu yang banyak
berserakan di dalam sungai itu terdengar sangat merdu dan terasa menyejukkan kalbu.
Tanpa sadar raden Wirasena memperlambat
laju kudanya sambil mengamat-amati sungai yang bertebing landai itu. Eyang Guru
dan Soma pun ikut memperlambat kuda mereka.
“Apakah Raden berkenan membersihkan diri
di sungai itu?” tiba-tiba pertanyaan itu
terlontar begitu saja dari Eyang Guru.
Sejenak Raden Wirasena mengerutkan
keningnya. Dia dan Eyang Guru memang telah menempuh perjalanan semalam suntuk
dan sama sekali belum bersentuhan dengan air. Adalah kurang pada tempatnya jika
dia dan Eyang Guru terlihat sangat kusut sesampainya mereka berdua nanti di
hadapan para pengikutnya.
“Baiklah,” jawab Raden Wirasena kemudian
sambil mengekang kudanya sehingga berhenti. Sambil meloncat turun Raden
Wirasena meneruskan, “Kita membersihkan diri seperlunya sebelum mencapai hutan
sebelah barat kaki bukit Tidar.”
Eyang Guru dan Soma pun serentak ikut
mengekang kuda mereka dan mengikuti Raden Wirasena meloncat turun.
Setelah menambatkan kuda-kuda mereka pada
batang-batang perdu yang banyak terdapat di tanggul sungai itu, ketiga orang
itu pun kemudian menuruni lereng sungai yang landai menuju ke sungai.
Begitu kaki-kaki mereka bersentuhan
dengan beningnya air sungai itu, terasa betapa sejuknya air sungai itu
membasahi kaki-kaki mereka.
Agaknya Soma yang tidak dapat menahan diri.
Segera saja dia membungkuk dan mengambil air yang bening dan sejuk itu dengan
kedua telapak tangannya.
“Alangkah segarnya,” desis Soma sambil
menyiramkan air itu ke wajahnya. Merasa kurang puas, Soma pun kemudian
mengulanginya beberapa kali.
Raden Wirasena tersenyum melihat tingkah
Soma. Namun orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu pun akhirnya mengikuti
apa yang telah dilakukan Soma, membasahi wajahnya dengan air sungai yang bening
dan sejuk.
Sedangkan Eyang Guru untuk beberapa saat
masih termangu-mangu di tepian yang basah. Kedua kakinya terendam air sungai hanya
sebatas mata kaki. Namun tampak Eyang Guru sedang memusatkan segenap
kemampuannya untuk mendengarkan segala jenis bunyi di sekitarnya.
Bahkan ketika Eyang Guru kemudian kurang
yakin dengan apa yang telah didengarnya, segera saja dia menyilangkan kedua
tangannya di depan dada sambil menunduk dalam-dalam dan memejamkan kedua
matanya.
Raden Wirasena dan Soma tampak
terheran-heran melihat tingkah Eyang Guru itu. Namun keduanya hanya membiarkan
saja terutama Raden Wirasena. Orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu
sadar sepenuhnya bahwa mungkin Eyang Guru telah mendengar sebuah desir yang
mencurigakan.
“Apakah desir yang sekarang ditangkap
oleh Eyang Guru adalah sama dengan desir yang terdengar beberapa saat yang
lalu?” bertanya Raden Wirasena dalam hati dengan jantung yang berdebaran.
Namun Eyang Guru tidak terlalu lama.
Segera saja diurai kedua tangannya yang bersilang di dada dan diangkat wajahnya
sambil tersenyum. Katanya kemudian, “Marilah Raden. Pendengaran orang setua ini
ternyata semakin kabur dan menyesatkan. Atau mungkin kegelisahanku sajalah yang
telah mempengaruhi ketajaman panca indraku.”
Raden Wirasena sejenak tertegun mendengar
uraian Eyang Guru. Diam-diam kecemasan menggores jantungnya walaupun hanya
sesaat. Maka tanyanya kemudian, “Baiklah Eyang Guru. Tetapi apakah Eyang Guru
tidak ingin sekedar mencuci muka agar terasa lebih segar sebelum melanjutkan
perjalanan?”
Sejenak Eyang Gurur ragu-ragu.
Dipandanginya pohon besar yang tumbuh menjulang di tepian seberang sungai.
Beberapa saat tadi Eyang Guru melihat daun-daun pohon itu bergetar dengan tidak
sewajarnya.
“Aneh,” berkata Eyang Guru kemudian dalam
hati sambil kembali mengamat-amati pohon di seberang sungai itu, “Aku tadi
sekilas melihat daun-daun pohon itu bergetar dengan tidak sewajarnya. Jika
angin yang sangat lembut bertiup menerpa pohon itu, tentu getaran daun-daunnya
tidak akan cepat dan sesingkat itu.”
Namun Eyang Guru sudah mencoba menangkap
semua getaran di sekelilling tepian itu akan tetapi tidak mendapatkan sesuatupun yang mencurigakan.
“Eyang Guru?” tiba-tiba suara Raden
Wirasena membangunkan lamunannya.
Matur sembah nuwun Panembaham, mugi2 Panembahan tansah kaparingan kataharjan. Aamiin YRA
BalasHapusMatur nuwun Ki Haji Panembahan Mandaraka ... tetap semangat !
BalasHapusTerimakasih Mbah Man !
BalasHapusAlhamdulillah
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man
Matur nuwun Panembahan...TOPS...
BalasHapusRubiq arradea...matur suwun mbah
BalasHapusRubiq arradea...matur suwun mbah
BalasHapusRubiq arradea...matur suwun mbah
BalasHapusdpt hadiah payung
HapusPlus mangkok cap dua ayam
Hapusmantab, matur nuwun mBahMan........ sehat selalu. AAmiin..
BalasHapusMantap mbahman..matur nuwun mbah.. padepokan mbah man makin bergeliat
BalasHapusMakasih Mbah Man ... Lanjut Mbah.....
BalasHapusmatur sembah nuwun kagem Mbah Man ugi sederek sedoyo...
BalasHapusmugi-mugi sowan kulo mboten ngebak-ngebak'i gandok...
saya salah satu penggemar serial : Api di Bukit Menoreh mahakarya Ki S.H Mintarja...
namun sebelum beliau bisa menyelesaikan'nya , beliau telah di panggil yang Yang Maha Kuasa...
kelanjutan serial ADBM jadi mengambang , saya menemukan beberapa versi lanjutan'nya. tapi , menurut pendapat saya , versi Mbah Man adalah yang paling pas...
kagem Mbah Man , selamat berkarya...