Senin, 28 November 2016

BDBJ 01 bag 02

Melihat Soka Wana tidak menjawab pertanyaannya dan bahkan hanya diam mematung, membuat Niken Mita Ayu semakin jengkel. Sambil melangkah menjauh dia berkata, “Sudahlah Ki sanak, aku akan minta tolong seorang cantrik untuk mengurusmu, memberimu seteguk minum dan sesuap nasi sesuai dengan permohonanmu, bukankah duniamu selama ini hanya berkisar urusan itu? Aku tidak yakin bahwa Ki sanak memahami  urusan yang lebih njlimet, yang  gumelar di atas jagad raya ini dalam hubungannya dengan jati diri kita, hubungan timbal balik yang menyebabkan jagad raya ini senantiasa seimbang.”

Tak terperikan kepedihan hati Soka Wana bagai ditusuk selaksa sembilu mendengar ucapan Gadis Kecil yang telah menawan hatinya itu. Yang dapat dilakukannya sekarang hanyalah memandangi saja Niken Mita Ayu yang berjalan tergesa gesa melangkahi tlundak pendapa, kemudian hilang dibalik pintu pringgitan.

Dalam pada itu, sepeninggal Niken Mita Ayu, beberapa cantrik yang sedang membersihkan rumput di halaman samping padepokan tertarik untuk mendekati Soka Wana yang sedang duduk bersimpuh di depan regol Padepokan.

Seorang cantrik yang bertelanjang dada, yang masih cukup muda, lebih tua sedikit dari Soka wana tampak dengan langkah pasti menghampiri Soka Wana. Tubuh bagian atas cantrik itu berkilat kilat tertimpa sinar matahari pagi yang mulai terasa menyengat kulit. Ikat kepalanya yang berwarna gelap  itu hanya dikalungkan di leher. Sementara rambutnya yang panjang berwarna hitam kemerah merahan hanya dibiarkan saja terurai menyentuh pundak.

“Ki sanak,” sapa cantrik yang bertelanjang dada itu ketika langkahnya terhenti  beberapa depa di depan Soka Wana bersimpuh,  “Adakah Ki sanak menunggu seseorang?”

Hampir diluar sadarnya Soka Wana menengadah, mengamati sekujur tubuh cantrik yang bertelanjang dada yang kini berdiri beberapa depa dihadapannya. Cantrik yang bertelanjang dada itu mempunyai bentuk tubuh yang  tegap, kokoh tetapi tidak begitu  tinggi. Kulitnya berwarna hitam legam bagaikan warna malam di bulan  tua. Sementara urat uratnya tampak menonjol di sana sini yang mengesankan bahwa dia adalah seorang yang mengandalkan liatnya kulit dan kerasnya tulang.

“He,” bentak cantrik yang bertelanjang dada itu, “Apakah kedua telingamu tuli, ataukah kelaparan yang sangat  telah membuatmu menjadi bisu?”

“O,” Soka Wana menarik nafas dalam dalam untuk sekedar meredakan getar hatinya karena bentakan cantrik yang bertelanjang dada itu, kemudian jawabnya sambil tetap memandang wajah cantrik yang ada di hadapannya, “Aku menunggu uluran belas kasihan dari gadis penghuni Padepokan ini untuk sekedar menghilangkan lapar dan dahaga.”

Cantrik yang bertelanjang dada itu sejenak mengerutkan keningnya, kemudian katanya, “Apakah yang kau maksud gadis itu Niken Mita Ayu Puspaningratri, putri satu satunya Ki Ajar Sokaniti?”

Kini giliran Soka Wana yang tertegun, nama itu begitu indah terdengar di telinganya, Niken Mita Ayu Puspaningratri, benar benar bunga yang indah yang diharapkannya akan selalu menghiasi  taman hatinya, dan tiba tiba saja sebuah senyum kecil menghias bibir Soka Wana.

Plak..! sebuah tamparan yang cukup keras disertai bentakan yang membahana membuyarkan lamunan Soka Wana.

“Keparat, apa yang kau pikirkan, he..? jangan pernah mencoba berpikiran yang aneh aneh terhadap putri Padepokan ini, taruhannya adalah darah dan nyawa.”

Selesai mengucapkan ancamannya, cantrik yang bertelanjang dada itupun  segera mundur setapak, tangan kanannya  lurus kedepan membentuk sebuah cakar yang nggegirisi, sementara tangan kirinya bergerak memutar didepan dada membentuk kepalan tepat  didepan ulu hati, sedangkan kedua kakinya sedikit merendah dengan kaki kiri didepan, siap melontarkan aji Padepokan Sekar Keluwih yang tiada taranya, Aji Sardula Krida.

“Kakang Sura Ireng, hentikan....!” tiba tiba seorang cantrik yang tiba di tempat itu mendahului teman-temannya meloncat kedepan Sura Ireng yang sudah waringuten. Entah mengapa, setiap kali ada yang berani menyebut nama Niken Mita Ayu Puspaningratri, apalagi dengan sedikit sanjungan dan pujian di hadapannya, sudah cukup alasan bagi Sura Ireng untuk menghajarnya, tidak peduli apakah mereka anak-anak muda dari Kademangan Jati Anom, Kademangan yang terdekat letaknya dari Padepokan Sekar Keluwih,  atau bahkan para cantrik dari Padepokan Sekar Keluwih itu sendiri.

“Minggirlah, Adi Jumakir, biar aku selesaikan sekali pemuda kurang ajar ini.” Bentak Sura Ireng tidak kurang kerasnya dengan teriakan Jumakir, cantrik yang masih terhitung sangat muda, lebih muda dari Soka Wana.

“Kakang Sura Ireng,” sahut Jumakir sambil berusaha mengatur kata-katanya agar tidak menyinggung Sura Ireng, “Sudah pantaskah kesalahan anak muda ini sehingga kakang memutuskan untuk menghukumnya dengan aji sardula krida.”


“Persetan kau Jumakir, tidak sadarkah engkau bahwa mungkin saja dia adalah telik sandi yang dikirim oleh Padepokan Kedungjati untuk memata matai Padepokan kita?”

4 komentar :

  1. Matur-nuwun mBah-Man, wedarannya,

    BalasHapus
  2. Di padepokan ini memang harus hati hati untuk menyebut nama Niken Mita Ayu kalau tidak mau ditempeleng oleh Sura Ireng...memang yang nama belakangnya "Ireng" selalh ringan tangan kecuali Alm Ireng Maulana yang tangannya sangat lincah memetik gitar kalau lagi nge-jazz

    Matur nuwun sanget Mbah Man🙏

    BalasHapus
  3. Maturnuwun panemmbahan Mandaraka..

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.