Melihat Soka Wana tidak
menjawab pertanyaannya dan bahkan hanya diam mematung, membuat Niken Mita Ayu
semakin jengkel. Sambil melangkah menjauh dia berkata, “Sudahlah Ki sanak, aku
akan minta tolong seorang cantrik untuk mengurusmu, memberimu seteguk minum dan
sesuap nasi sesuai dengan permohonanmu, bukankah duniamu selama ini hanya
berkisar urusan itu? Aku tidak yakin bahwa Ki sanak memahami urusan yang lebih njlimet, yang gumelar di atas jagad raya ini dalam hubungannya
dengan jati diri kita, hubungan timbal balik yang menyebabkan jagad raya ini
senantiasa seimbang.”
Tak terperikan kepedihan
hati Soka Wana bagai ditusuk selaksa sembilu mendengar ucapan Gadis Kecil yang
telah menawan hatinya itu. Yang dapat dilakukannya sekarang hanyalah memandangi
saja Niken Mita Ayu yang berjalan tergesa gesa melangkahi tlundak pendapa,
kemudian hilang dibalik pintu pringgitan.
Dalam pada itu, sepeninggal
Niken Mita Ayu, beberapa cantrik yang sedang membersihkan rumput di halaman
samping padepokan tertarik untuk mendekati Soka Wana yang sedang duduk
bersimpuh di depan regol Padepokan.
Seorang cantrik yang
bertelanjang dada, yang masih cukup muda, lebih tua sedikit dari Soka wana
tampak dengan langkah pasti menghampiri Soka Wana. Tubuh bagian atas cantrik
itu berkilat kilat tertimpa sinar matahari pagi yang mulai terasa menyengat
kulit. Ikat kepalanya yang berwarna gelap
itu hanya dikalungkan di leher. Sementara rambutnya yang panjang berwarna
hitam kemerah merahan hanya dibiarkan saja terurai menyentuh pundak.
“Ki sanak,” sapa cantrik
yang bertelanjang dada itu ketika langkahnya terhenti beberapa depa di depan Soka Wana
bersimpuh, “Adakah Ki sanak menunggu
seseorang?”
Hampir diluar sadarnya Soka
Wana menengadah, mengamati sekujur tubuh cantrik yang bertelanjang dada yang
kini berdiri beberapa depa dihadapannya. Cantrik yang bertelanjang dada itu
mempunyai bentuk tubuh yang tegap, kokoh
tetapi tidak begitu tinggi. Kulitnya
berwarna hitam legam bagaikan warna malam di bulan tua. Sementara urat uratnya tampak menonjol
di sana sini yang mengesankan bahwa dia adalah seorang yang mengandalkan
liatnya kulit dan kerasnya tulang.
“He,” bentak cantrik yang
bertelanjang dada itu, “Apakah kedua telingamu tuli, ataukah kelaparan yang
sangat telah membuatmu menjadi bisu?”
“O,” Soka Wana menarik nafas
dalam dalam untuk sekedar meredakan getar hatinya karena bentakan cantrik yang
bertelanjang dada itu, kemudian jawabnya sambil tetap memandang wajah cantrik
yang ada di hadapannya, “Aku menunggu uluran belas kasihan dari gadis penghuni
Padepokan ini untuk sekedar menghilangkan lapar dan dahaga.”
Cantrik yang bertelanjang
dada itu sejenak mengerutkan keningnya, kemudian katanya, “Apakah yang kau
maksud gadis itu Niken Mita Ayu Puspaningratri, putri satu satunya Ki Ajar
Sokaniti?”
Kini giliran Soka Wana yang
tertegun, nama itu begitu indah terdengar di telinganya, Niken Mita Ayu
Puspaningratri, benar benar bunga yang indah yang diharapkannya akan selalu
menghiasi taman hatinya, dan tiba tiba
saja sebuah senyum kecil menghias bibir Soka Wana.
Plak..! sebuah tamparan yang
cukup keras disertai bentakan yang membahana membuyarkan lamunan Soka Wana.
“Keparat, apa yang kau
pikirkan, he..? jangan pernah mencoba berpikiran yang aneh aneh terhadap putri
Padepokan ini, taruhannya adalah darah dan nyawa.”
Selesai mengucapkan
ancamannya, cantrik yang bertelanjang dada itupun segera mundur setapak, tangan kanannya lurus kedepan membentuk sebuah cakar yang
nggegirisi, sementara tangan kirinya bergerak memutar didepan dada membentuk
kepalan tepat didepan ulu hati,
sedangkan kedua kakinya sedikit merendah dengan kaki kiri didepan, siap
melontarkan aji Padepokan Sekar Keluwih yang tiada taranya, Aji Sardula Krida.
“Kakang Sura Ireng,
hentikan....!” tiba tiba seorang cantrik yang tiba di tempat itu mendahului
teman-temannya meloncat kedepan Sura Ireng yang sudah waringuten. Entah
mengapa, setiap kali ada yang berani menyebut nama Niken Mita Ayu
Puspaningratri, apalagi dengan sedikit sanjungan dan pujian di hadapannya, sudah
cukup alasan bagi Sura Ireng untuk menghajarnya, tidak peduli apakah mereka
anak-anak muda dari Kademangan Jati Anom, Kademangan yang terdekat letaknya
dari Padepokan Sekar Keluwih, atau
bahkan para cantrik dari Padepokan Sekar Keluwih itu sendiri.
“Minggirlah, Adi Jumakir,
biar aku selesaikan sekali pemuda kurang ajar ini.” Bentak Sura Ireng tidak
kurang kerasnya dengan teriakan Jumakir, cantrik yang masih terhitung sangat
muda, lebih muda dari Soka Wana.
“Kakang Sura Ireng,” sahut
Jumakir sambil berusaha mengatur kata-katanya agar tidak menyinggung Sura
Ireng, “Sudah pantaskah kesalahan anak muda ini sehingga kakang memutuskan
untuk menghukumnya dengan aji sardula krida.”
“Persetan kau Jumakir, tidak
sadarkah engkau bahwa mungkin saja dia adalah telik sandi yang dikirim oleh
Padepokan Kedungjati untuk memata matai Padepokan kita?”
Matur nuwun mbah
BalasHapusMatur-nuwun mBah-Man, wedarannya,
BalasHapusDi padepokan ini memang harus hati hati untuk menyebut nama Niken Mita Ayu kalau tidak mau ditempeleng oleh Sura Ireng...memang yang nama belakangnya "Ireng" selalh ringan tangan kecuali Alm Ireng Maulana yang tangannya sangat lincah memetik gitar kalau lagi nge-jazz
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man🙏
Maturnuwun panemmbahan Mandaraka..
BalasHapus