KKBP 01
bag 03
Sejenak
tidak terdengar jawaban dari balik pintu. Namun kemudian terdengar orang yang
berada di balik pintu itu menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis perlahan,
“Aku Mahesa Pawagal ingin bertemu Ki Ajar Wringin Anom.”
Kini
Cantrik itulah yang membeku. Dia belum pernah mengenal orang yang bernama
Mahesa Pawagal sehingga untuk beberapa saat Cantrik itu menjadi ragu-ragu untuk
membuka pintu regol.
“Bukalah!”
tiba tiba terdengar suara perlahan di belakang Cantrik itu sehingga membuatnya terlonjak kaget.
Ketika
Cantrik itu kemudian berpaling ke belakang, tampak seorang pemuda yang berbadan
kekar dan berwajah cerah sedang memandang ke arahnya sambil tersenyum.
“Kakang
Putut Brajamusti,” sambil menganggukkan kepalanya Cantrik itu menyapa, “Apakah
Kakang mengenal orang yang berada di balik pintu regol itu?”
Putut
Brajamusti mengangguk, “Aku mengenal Paman Mahesa Pawagal sebagaimana aku mengenal diriku sendiri.”
Laki
laki paro baya di depan pintu regol yang masih tertutup itu menjadi berdebar
debar. Dengan jelas dia dapat mendengarkan percakapan itu sehingga tumbuh suatu
keharuan yang luar biasa begitu mendengar nama seseorang di sebut, Putut
Brajamusti.
Lima
tahun sudah dia menitipkan Brajamusti di Padepokan Wringin Anom setelah
sebelumnya bersembunyi di beberapa tempat secara berpindah-pindah untuk
menghindari kejaran prajurit Majapahit kaki tangan Dyah Halujuda atau Mahapati
yang masih belum puas mencari keluarga Mpu Sora untuk di binasakan.
Sepuluh
tahun sejak peristiwa berdarah di halaman istana Majapahit, Brajamusti ternyata
telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tangguh tanggon.
“Segala
puji bagi Yang Maha Agung yang telah melindungi hambaNya dari segala mara bahaya,”
desis laki laki paro baya yang ternyata bernama Mahesa Pawagal sambil mengusap
sudut matanya yang tiba-tiba saja terasa basah.
Ketika
Cantrik itu kemudian membuka selarak, di depan Mahesa Pawagal telah berdiri
dengan gagahnya seorang pemuda yang sedang tumbuh dan berkembang menyongsong
masa depannya dengan penuh gairah, Putut Brajamusti.
“Paman,”
sapa pemuda itu dengan cepat sambil melangkah ke depan dan menyambut pelukan
Mahesa Pawagal.
“Benar,
Brajamusti,” terdengar suara Mahesa Pawagal sendat, “Pamanmu yang datang
berkunjung.”
Beberapa
Cantrik yang sebelumnya berada di pendapa segera menyambut kedatangan tamu yang
kelihatannya sudah sangat akrab dengan Putut Brajamusti. Satu persatu mereka
menyalami Mahesa Pawagal yang segera naik ke pendapa diikuti oleh Putut
Barajamusti. Sedangkan seorang Cantrik segera masuk ke dalam untuk memberitahu
Ki Ajar akan kedatangan Mahesa Pawagal.
Sementara
itu, begitu Mahesa Pawagal telah memasuki padepokan, pintu regol padepokan pun
segera ditutup rapat dan diselarak dari dalam. Tidak seorang pun yang
menyadari, bahkan Mahesa Pawagal pun tidak, bahwa di ujung kelokan jalan sebelum
memasuki padepokan Wringin Anom, seseorang yang berpakaian serba hitam dengan
ikat kepala menutupi sebagian wajahnya sedang berdiri bagaikan melekat pada sebatang
pohon yang tumbuh di pinggir jalan.
Untuk
beberapa saat orang yang berpakaian serba hitam itu masih mengamat-amati pintu
regol padepokan Wringin Anom yang telah tertutup rapat. Akhirnya sambil menarik
nafas dalam-dalam dan mengangguk-anggukkan kepalanya, orang itu pun kemudian segera menghilang
dalam kegelapan malam.
Sementara
itu Ki Ajar ternyata telah menyambut tamunya di pringitan karena udara malam
yang cukup dingin terasa menusuk-nusuk kulit dan meremas tulang.
“Akhir-akhir
ini aku tidak begitu kuat untuk duduk-duduk di pendapa di malam yang dingin
seperti ini,” berkata Ki Ajar sambil mempersilahkan tamunya untuk duduk di
pringitan.
“Ah,”
Mahesa Pawagal derdesah sambil tertawa pendek, “Apakah angin malam yang dingin
ini tidak bisa dilawan dengan aji Lebur Seketi?”
“O, tentu
tidak,” sahut Ki Ajar cepat, “Betapapun tinggi ilmu seseorang, namun dia tidak
akan mampu melawan waktu, dan kelihatannya aku sudah mulai merasakan itu.”
Mahesa
Pawagal menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disadarinya pandangan matanya
menelusuri sekujur tubuh Ki Ajar. Lima tahun yang lalu Ki Ajar masih terlihat
sehat dan tegap, walaupun usianya sudah cukup tua. Namun kini setelah lima
tahun tidak bertemu, betapa Ki Ajar terlihat sebagaimana orang tua kebanyakan,
renta dan sedikit bongkok.
“Sudahlah,”
berkata Ki Ajar kemudian sambil duduk di hadapan Mahesa Pawagal, sedangkan
Putut Brajamusti mengambil tempat di sisi kiri Ki Ajar.
“Sudah
sewajarnya yang tua-tua ini mundur dan sebagai gantinya yang muda- muda yang
akan tampil menggantikan kiprah kita di atas jagad raya ini,” berkata Ki Ajar
selanjutnya.
Ternyata lelaki paro baya itu mahesa pawagal bukannya ki mbleh, ngapunten ya ki mbleh. Matur nuwun mbah man
BalasHapusTeng..tong...anda kurang beruntung ternyata Mahesa Pawagal....nanti Ki mbleh menyusul setelah reengkarnasi menjadi Dhanang Kesatrio...
HapusTernyata lelaki paro baya itu mahesa pawagal bukannya ki mbleh, ngapunten ya ki mbleh. Matur nuwun mbah man
BalasHapusHoreeee....nomoro uno komeno
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man....
BalasHapusDan tebakan selanjutnya siapakah orang yang berpakaian serba hitam dan menutupi mukanya dengan kain hitam ...pokoke serba ireng sehingga Mahesa Pawagalpun tak tau kehadirannya....
Matur nuwun mBah-Man, atas wedarannya.
BalasHapusMaturnuwun mbah
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man,selalu penasaran saya sama kelanjutan cerita ADBM..
BalasHapus