Kamis, 24 November 2016

KKBP 01 bag 3

KKBP 01
bag 03

Sejenak tidak terdengar jawaban dari balik pintu. Namun kemudian terdengar orang yang berada di balik pintu itu menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis perlahan, “Aku Mahesa Pawagal ingin bertemu Ki Ajar Wringin Anom.”

Kini Cantrik itulah yang membeku. Dia belum pernah mengenal orang yang bernama Mahesa Pawagal sehingga untuk beberapa saat Cantrik itu menjadi ragu-ragu untuk membuka pintu regol.

“Bukalah!” tiba tiba terdengar suara perlahan di belakang Cantrik itu sehingga membuatnya  terlonjak kaget.

Ketika Cantrik itu kemudian berpaling ke belakang, tampak seorang pemuda yang berbadan kekar dan berwajah cerah sedang memandang ke arahnya sambil tersenyum.

“Kakang Putut Brajamusti,” sambil menganggukkan kepalanya Cantrik itu menyapa, “Apakah Kakang mengenal orang yang berada di balik pintu regol itu?”

Putut Brajamusti mengangguk, “Aku mengenal Paman Mahesa Pawagal  sebagaimana aku mengenal diriku sendiri.”

Laki laki paro baya di depan pintu regol yang masih tertutup itu menjadi berdebar debar. Dengan jelas dia dapat mendengarkan percakapan itu sehingga tumbuh suatu keharuan yang luar biasa begitu mendengar nama seseorang di sebut, Putut Brajamusti.

Lima tahun sudah dia menitipkan Brajamusti di Padepokan Wringin Anom setelah sebelumnya bersembunyi di beberapa tempat secara berpindah-pindah untuk menghindari kejaran prajurit Majapahit kaki tangan Dyah Halujuda atau Mahapati yang masih belum puas mencari keluarga Mpu Sora untuk di binasakan.

Sepuluh tahun sejak peristiwa berdarah di halaman istana Majapahit, Brajamusti ternyata telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tangguh tanggon.

“Segala puji bagi Yang Maha Agung yang telah melindungi hambaNya dari segala mara bahaya,” desis laki laki paro baya yang ternyata bernama Mahesa Pawagal sambil mengusap sudut matanya yang tiba-tiba saja terasa basah.

Ketika Cantrik itu kemudian membuka selarak, di depan Mahesa Pawagal telah berdiri dengan gagahnya seorang pemuda yang sedang tumbuh dan berkembang menyongsong masa depannya dengan penuh gairah, Putut Brajamusti.

“Paman,” sapa pemuda itu dengan cepat sambil melangkah ke depan dan menyambut pelukan Mahesa Pawagal.

“Benar, Brajamusti,” terdengar suara Mahesa Pawagal sendat, “Pamanmu yang datang berkunjung.”

Beberapa Cantrik yang sebelumnya berada di pendapa segera menyambut kedatangan tamu yang kelihatannya sudah sangat akrab dengan Putut Brajamusti. Satu persatu mereka menyalami Mahesa Pawagal yang segera naik ke pendapa diikuti oleh Putut Barajamusti. Sedangkan seorang Cantrik segera masuk ke dalam untuk memberitahu Ki Ajar akan kedatangan Mahesa Pawagal.

Sementara itu, begitu Mahesa Pawagal telah memasuki padepokan, pintu regol padepokan pun segera ditutup rapat dan diselarak dari dalam. Tidak seorang pun yang menyadari, bahkan Mahesa Pawagal pun tidak, bahwa di ujung kelokan jalan sebelum memasuki padepokan Wringin Anom, seseorang yang berpakaian serba hitam dengan ikat kepala menutupi sebagian wajahnya sedang berdiri bagaikan melekat pada sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan.

Untuk beberapa saat orang yang berpakaian serba hitam itu masih mengamat-amati pintu regol padepokan Wringin Anom yang telah tertutup rapat. Akhirnya sambil menarik nafas dalam-dalam dan mengangguk-anggukkan kepalanya, orang itu pun kemudian segera menghilang dalam kegelapan malam.

Sementara itu Ki Ajar ternyata telah menyambut tamunya di pringitan karena udara malam yang cukup dingin terasa menusuk-nusuk kulit dan meremas tulang.

“Akhir-akhir ini aku tidak begitu kuat untuk duduk-duduk di pendapa di malam yang dingin seperti ini,” berkata Ki Ajar sambil mempersilahkan tamunya untuk duduk di pringitan.

“Ah,” Mahesa Pawagal derdesah sambil tertawa pendek, “Apakah angin malam yang dingin ini tidak bisa dilawan dengan aji Lebur Seketi?”

“O, tentu tidak,” sahut Ki Ajar cepat, “Betapapun tinggi ilmu seseorang, namun dia tidak akan mampu melawan waktu, dan kelihatannya aku sudah mulai merasakan itu.”

Mahesa Pawagal menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disadarinya pandangan matanya menelusuri sekujur tubuh Ki Ajar. Lima tahun yang lalu Ki Ajar masih terlihat sehat dan tegap, walaupun usianya sudah cukup tua. Namun kini setelah lima tahun tidak bertemu, betapa Ki Ajar terlihat sebagaimana orang tua kebanyakan, renta dan sedikit bongkok.

“Sudahlah,” berkata Ki Ajar kemudian sambil duduk di hadapan Mahesa Pawagal, sedangkan Putut Brajamusti mengambil tempat di sisi kiri Ki Ajar.


“Sudah sewajarnya yang tua-tua ini mundur dan sebagai gantinya yang muda- muda yang akan tampil menggantikan kiprah kita di atas jagad raya ini,” berkata Ki Ajar selanjutnya.

8 komentar :

  1. Ternyata lelaki paro baya itu mahesa pawagal bukannya ki mbleh, ngapunten ya ki mbleh. Matur nuwun mbah man

    BalasHapus
    Balasan
    1. Teng..tong...anda kurang beruntung ternyata Mahesa Pawagal....nanti Ki mbleh menyusul setelah reengkarnasi menjadi Dhanang Kesatrio...

      Hapus
  2. Ternyata lelaki paro baya itu mahesa pawagal bukannya ki mbleh, ngapunten ya ki mbleh. Matur nuwun mbah man

    BalasHapus
  3. Matur nuwun sanget Mbah Man....

    Dan tebakan selanjutnya siapakah orang yang berpakaian serba hitam dan menutupi mukanya dengan kain hitam ...pokoke serba ireng sehingga Mahesa Pawagalpun tak tau kehadirannya....

    BalasHapus
  4. Matur nuwun mBah-Man, atas wedarannya.

    BalasHapus
  5. Matur nuwun Mbah Man,selalu penasaran saya sama kelanjutan cerita ADBM..

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.