Senin, 28 November 2016

TADBM 416_5

Cambuk di tangan mantan perwira Pajang itu berputaran dengan deras. Sesekali ujung cambuk itu menggeliat dan meledak dengan suara yang bergemuruh ketika Ki Widura melecut cambuknya dengan sendal pancing. Bahkan tak jarang juntai cambuknya membentuk pagar berjajar-jajar dengan sangat rapat untuk melindungi serangan lawannya.

Mereka berdua menggunakan jenis senjata yang hampir sama, senjata yang mempunyai jangkauan cukup panjang. Sepasang trisula di tangan anak muda itu bagaikan hidup dan mengetahui ke arah mana gerak lawan. Walaupun Ki widura sudah berusaha dengan sekuat tenaga memagari dirinya dengan putaran cambuknya, kadang-kadang trisula itu masih mampu juga menembusnya.

Setiap kali salah satu trisula itu meluncur menembus benteng pertahanannya, Ki Widura harus dengan bergegas menggeser tubuhnya agar ujung trisula itu tidak sampai mematuk tubuhnya.

“Anak muda ini sangat lincah dan gesit,” desis Ki Widura dalam hati, “Kemampuan memainkan senjatanya sangat luar biasa. Aku bisa kehabisan nafas jika tidak segera mengetahui titik kelemahan permainan sepasang trisulanya.”

Sejenak kemudian Ki Widura telah meningkatkan permainan cambuknya. Disalurkan tenaga cadangan melalui juntai cambuknya sehingga putaran cambuk itu terasa semakin cepat dan rapat serta tenaga yang tersalur melalui ledakan ujung juntai cambuknya pun menjadi semakin kuat.

Dalam pada itu malam telah merambat meninggalkan pusatnya. Udara menjadi semakin dingin dan terasa menggigit tulang. Pada peronda yang sedang berjaga di gardu-gardu semakin merapatkan kain panjangnya untuk  menyelimuti sekujur tubuhnya.

Di bilik Sekar Mirah, mbok Gumbrek berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Sesekali pandang matanya tertuju pada Bagus Sadewa yang tertidur lelap. Sudah di cobanya untuk berbaring di sisi anak laki-laki satu-satunya Sekar Mirah itu. Namun angan-angannya tetap saja gelisah tak tentu arah.

“Aku harus menghadap Ki Gede untuk melaporkan masalah ini,” berkata mbok Gumbrek dalam hati kemudian.

Namun ketika tekadnya sudah bulat, tiba-tiba saja dia menjadi ragu-ragu sendiri. Membangunkan pemimpin Tanah Perdikan Menoreh di malam-malam seperti ini tentu bukan hal yang dapat dilakukan dengan mudah. Apa kata Ki Gede nanti jika memang apa yang dikatakan Sekar Mirah kepadanya itu benar adanya? Berpikir sampai disitu mbok Gumbrek menjadi ketakutan sendiri.

“Tidak, tidak mungkin aku mengganggu istirahat Ki Gede di saat-saat seperti ini,” mbok Gumbrek berhenti berangan-angan sejenak. Tiba-tiba suatu gagasan baru melintas di benaknya, “Bagaimana dengan Ki Jayaraga? Aku kira lebih baik jika aku memberitahu orang tua itu saja.”

Merasa telah mendapatkan jalan keluar atas permasalahan yang sedang terjadi, dengan segera mbok Gumbrek melangkah ke pintu. Namun begitu tangannya meraih selarak dan akan diangkatnya, dia teringat akan tugasnya untuk menjaga Bagus Sadewa.

Sejenak mbok Gumbrek menjadi ragu-ragu kembali. Sambil berpaling ke arah pembaringan dia mencoba berpikir keras. Dia tidak berani meninggalkan Bagus Sadewa begitu saja sendirian di dalam bilik. Jika terjadi sesuatu pada bayi itu, tentu dia yang akan dipersalahkan.

“Aku akan minta mbok Pariyem menunggui bayi itu untuk sejenak saja,” akhirnya sebuah keputusan muncul dalam benaknya. Sambil mengangkat selarak dan membuka pintu bilik, dia kembali berkata kepada dirinya sendiri, “Akan aku katakan padanya, aku hanya ingin pergi ke pakiwan barang sejenak,.tentu mbok Pariyem tidak akan keberatan.”

Setelah menutup pintu bilik terlebih dahulu, dengan bergegas mbok Gumbrek pun segera melangkah menuju dapur.

Sebenarnyalah Ki Jayaraga memang belum tidur di dalam biliknya. Ditemani Glagah Putih, mereka berdua baru saja selesai membicarakan rencana mereka besuk pagi memulai perjalanan menuju ke gunung Tidar.

“Sudahlah Glagah Putih, malam sudah melewati puncaknya,  engkau dapat kembali ke bilikmu. Istrimu tentu sudah menunggu,” berkata Ki Jayaraga sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya.

“Baik Guru,” jawab Glagah Putih sambil ikut bangkit berdiri, “Semoga disisa malam yang sedikit ini kita dapat beristirahat.”

“Tubuhmu sudah terlatih untuk tidak tidur selama tiga hari tiga malam, Glagah Putih,” sahut gurunya sambil tersenyum, “Tentu waktu yang tersisa malam ini sudah lebih dari cukup untuk sekedar melepaskan penat dan lelah.”

Glagah Putih tertawa pendek mendengar gurauan gurunya. Jawabnya kemudian, “Jika muridnya saja mampu untuk bertahan selama tiga hari tiga malam berturut-turut, bagaimana dengan guru sendiri? Tentu guru mampu bertahan hampir sepekan.”

“Tentu tidak,” jawab Ki Jayaraga dengan muka yang terlihat bersungguh-sungguh, “Menurut perhitunganku, aku akan mampu bertahan selama hampir sebulan penuh. Namun setelah itu aku akan tidur untuk selama-lamanya.”


“Ah,” kembali Glagah Putih tertawa.

14 komentar :

  1. matur nuwun mbah_man....isuk isuk wis ono suguhan rontal... :-)

    BalasHapus
  2. Sugeng enjang ca/men padepokan Sekar Keluwih...
    Matur nuwun ki Panembahan Mandaraka paring wedharan enjang meniko..
    Mugiyo tansah pinaringan kesarasan soho barokah saking Allah swt sedoyo kemawon.

    BalasHapus
  3. ...Matur nuwun Mbah_Man ....nambah malih nggih...

    BalasHapus
  4. Matur Suwun mBah...

    Koyone TADBM mmg sedilit maneh tamat.....dilanjut dg petualangan generasi Bagus Sadewo

    BalasHapus
  5. Matur nuwun Mbah Man

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. Maturnuwun Mbah Man, mugi2 tansah pinaringan sehat wal 'afiat.

    BalasHapus
  8. Matur-nuwun mbahman,sehat selalu,

    BalasHapus
  9. Matur nuwun sanget Mbah Man....dan matur nuwun telah ditampilkan Mbok Pariyem saya sangat kenal dengan beliau masakan gudegnya enak sekali...👍🙏🙏

    BalasHapus
  10. Alhamdulillaah.... gogrokan rontal yang menandakan mbah Man sehat wal afiat.....

    BalasHapus
  11. Alhamdulillah...
    Pas. Nginguk dan ada waktu luang kok yo wadah rontal.
    Rejeki...
    Matur suwun Panembahan

    BalasHapus
  12. matur nuwun sanget mbah man .... baru bisa mampir padepokan sudah ada wedaran .... sehat terus ya Mbah Man ...

    BalasHapus
  13. Sangat menghibur, sikap bercandanya begitu hidup. Matur nuwun Mbah Man, mugi Mbah Man tansah pinaringan kasarasan

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.