Cambuk di tangan mantan
perwira Pajang itu berputaran dengan deras. Sesekali ujung cambuk itu
menggeliat dan meledak dengan suara yang bergemuruh ketika Ki Widura melecut
cambuknya dengan sendal pancing. Bahkan tak jarang juntai cambuknya membentuk
pagar berjajar-jajar dengan sangat rapat untuk melindungi serangan lawannya.
Mereka berdua menggunakan
jenis senjata yang hampir sama, senjata yang mempunyai jangkauan cukup panjang.
Sepasang trisula di tangan anak muda itu bagaikan hidup dan mengetahui ke arah
mana gerak lawan. Walaupun Ki widura sudah berusaha dengan sekuat tenaga
memagari dirinya dengan putaran cambuknya, kadang-kadang trisula itu masih
mampu juga menembusnya.
Setiap kali salah satu
trisula itu meluncur menembus benteng pertahanannya, Ki Widura harus dengan
bergegas menggeser tubuhnya agar ujung trisula itu tidak sampai mematuk
tubuhnya.
“Anak muda ini sangat lincah
dan gesit,” desis Ki Widura dalam hati, “Kemampuan memainkan senjatanya
sangat luar biasa. Aku bisa kehabisan nafas jika tidak segera mengetahui titik
kelemahan permainan sepasang trisulanya.”
Sejenak kemudian Ki Widura
telah meningkatkan permainan cambuknya. Disalurkan tenaga cadangan melalui
juntai cambuknya sehingga putaran cambuk itu terasa semakin cepat dan rapat serta
tenaga yang tersalur melalui ledakan ujung juntai cambuknya pun menjadi semakin
kuat.
Dalam pada itu malam telah
merambat meninggalkan pusatnya. Udara menjadi semakin dingin dan terasa
menggigit tulang. Pada peronda yang sedang berjaga di gardu-gardu semakin
merapatkan kain panjangnya untuk menyelimuti sekujur tubuhnya.
Di bilik Sekar Mirah, mbok
Gumbrek berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Sesekali pandang matanya tertuju
pada Bagus Sadewa yang tertidur lelap. Sudah di cobanya untuk berbaring di sisi
anak laki-laki satu-satunya Sekar Mirah itu. Namun angan-angannya tetap saja
gelisah tak tentu arah.
“Aku harus menghadap Ki Gede
untuk melaporkan masalah ini,” berkata mbok Gumbrek dalam hati kemudian.
Namun ketika tekadnya sudah
bulat, tiba-tiba saja dia menjadi ragu-ragu sendiri. Membangunkan pemimpin
Tanah Perdikan Menoreh di malam-malam seperti ini tentu bukan hal yang dapat
dilakukan dengan mudah. Apa kata Ki Gede nanti jika memang apa yang dikatakan
Sekar Mirah kepadanya itu benar adanya? Berpikir sampai disitu mbok Gumbrek
menjadi ketakutan sendiri.
“Tidak, tidak mungkin aku
mengganggu istirahat Ki Gede di saat-saat seperti ini,” mbok Gumbrek berhenti
berangan-angan sejenak. Tiba-tiba suatu gagasan baru melintas di benaknya, “Bagaimana
dengan Ki Jayaraga? Aku kira lebih baik jika aku memberitahu orang tua itu saja.”
Merasa telah mendapatkan
jalan keluar atas permasalahan yang sedang terjadi, dengan segera mbok Gumbrek
melangkah ke pintu. Namun begitu tangannya meraih selarak dan akan diangkatnya,
dia teringat akan tugasnya untuk menjaga Bagus Sadewa.
Sejenak mbok Gumbrek menjadi
ragu-ragu kembali. Sambil berpaling ke arah pembaringan dia mencoba berpikir
keras. Dia tidak berani meninggalkan Bagus Sadewa begitu saja sendirian di
dalam bilik. Jika terjadi sesuatu pada bayi itu, tentu dia yang akan dipersalahkan.
“Aku akan minta mbok Pariyem
menunggui bayi itu untuk sejenak saja,” akhirnya sebuah keputusan muncul dalam
benaknya. Sambil mengangkat selarak dan membuka pintu bilik, dia kembali
berkata kepada dirinya sendiri, “Akan aku katakan padanya, aku hanya ingin
pergi ke pakiwan barang sejenak,.tentu mbok Pariyem tidak akan keberatan.”
Setelah menutup pintu bilik terlebih
dahulu, dengan bergegas mbok Gumbrek pun segera melangkah menuju dapur.
Sebenarnyalah Ki Jayaraga
memang belum tidur di dalam biliknya. Ditemani Glagah Putih, mereka berdua baru
saja selesai membicarakan rencana mereka besuk pagi memulai perjalanan menuju
ke gunung Tidar.
“Sudahlah Glagah Putih,
malam sudah melewati puncaknya, engkau
dapat kembali ke bilikmu. Istrimu tentu sudah menunggu,” berkata Ki Jayaraga
sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya.
“Baik Guru,” jawab Glagah
Putih sambil ikut bangkit berdiri, “Semoga disisa malam yang sedikit ini kita
dapat beristirahat.”
“Tubuhmu sudah terlatih
untuk tidak tidur selama tiga hari tiga malam, Glagah Putih,” sahut gurunya
sambil tersenyum, “Tentu waktu yang tersisa malam ini sudah lebih dari cukup
untuk sekedar melepaskan penat dan lelah.”
Glagah Putih tertawa pendek
mendengar gurauan gurunya. Jawabnya kemudian, “Jika muridnya saja mampu untuk
bertahan selama tiga hari tiga malam berturut-turut, bagaimana dengan guru
sendiri? Tentu guru mampu bertahan hampir sepekan.”
“Tentu tidak,” jawab Ki
Jayaraga dengan muka yang terlihat bersungguh-sungguh, “Menurut perhitunganku, aku akan
mampu bertahan selama hampir sebulan penuh. Namun setelah itu aku akan tidur
untuk selama-lamanya.”
“Ah,” kembali Glagah Putih
tertawa.
matur nuwun mbah_man....isuk isuk wis ono suguhan rontal... :-)
BalasHapusSugeng enjang ca/men padepokan Sekar Keluwih...
BalasHapusMatur nuwun ki Panembahan Mandaraka paring wedharan enjang meniko..
Mugiyo tansah pinaringan kesarasan soho barokah saking Allah swt sedoyo kemawon.
...Matur nuwun Mbah_Man ....nambah malih nggih...
BalasHapusMatur Suwun mBah...
BalasHapusKoyone TADBM mmg sedilit maneh tamat.....dilanjut dg petualangan generasi Bagus Sadewo
Matur nuwun Mbah Man
BalasHapusMatur nuwun mbah
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMaturnuwun Mbah Man, mugi2 tansah pinaringan sehat wal 'afiat.
BalasHapusMatur-nuwun mbahman,sehat selalu,
BalasHapusMatur nuwun sanget Mbah Man....dan matur nuwun telah ditampilkan Mbok Pariyem saya sangat kenal dengan beliau masakan gudegnya enak sekali...👍🙏🙏
BalasHapusAlhamdulillaah.... gogrokan rontal yang menandakan mbah Man sehat wal afiat.....
BalasHapusAlhamdulillah...
BalasHapusPas. Nginguk dan ada waktu luang kok yo wadah rontal.
Rejeki...
Matur suwun Panembahan
matur nuwun sanget mbah man .... baru bisa mampir padepokan sudah ada wedaran .... sehat terus ya Mbah Man ...
BalasHapusSangat menghibur, sikap bercandanya begitu hidup. Matur nuwun Mbah Man, mugi Mbah Man tansah pinaringan kasarasan
BalasHapus