Selasa, 22 November 2016

KKBP jilid 01

Ksatria-ksatria Bumi Pajarakan
Oleh: Mbah Man
Jilid 01
 Bag 1

Matahari masih menyisakan sinarnya yang buram di pucuk-pucuk pepohonan.  Langit mulai dilingkupi oleh kegelapan ketika tampak seseorang sedang menyusuri tepian sungai yang membelah sebelah barat Kabuyutan Wringin Anom. Sesekali pandangan matanya menatap langit yang mulai gelap. Suara gemericik air di bawah kakinya terdengar bagaikan kidung indah menjelang tidur. Sementara suara burung burung malam yang mulai berkeliaran keluar dari sarangnya sesekali terdengar jauh di kelokan sungai membuat langkah laki laki paro baya itu semakin cepat.

“Sebentar lagi akan gelap,” desis laki laki paro baya itu sambil mempercepat langkahnya, “Aku harus mencapai padepokan  Wringin Anom  sebelum wayah sirep bocah.”

Padepokan Wringin Anom sebenarnya terletak di padukuhan Parang Parang, sebuah padukuhan kecil yang terletak di sebelah selatan dari Kabuyutan Wringin Anom. Para penduduk di sekitar Padepokan itu lebih senang menyebut nama padepokan itu dengan sebutan padepokan Wringin Anom walaupun sebenarnya terletak di padukuhan Parang Parang, dan agaknya para penghuni padepokan itu pun tidak pernah mempermasalahkannya.
Ketika langkah laki laki paro baya itu mencapai sebuah pohon gayam yang tumbuh di tanggul sungai dekat kelokan, sejenak dia menarik nafas dalam dalam sambil mengedarkan pandangan matanya ke  sekeliling. Setelah yakin dengan pengamatannya bahwa sejauh ini tidak ada seorang pun yang mengikuti perjalanannya, laki laki paro baya itu pun segera menyeberangi sungai yang airnya cukup dangkal hanya setinggi lutut untuk kemudian naik ke tebing seberang sungai yang cukup terjal.

“Semoga Ki Ajar Wringin Anom  tidak sedang bepergian ke luar padepokan,” berkata laki laki paro baya itu dalam hati sambil mulai memanjat tebing yang agak terjal.

Sungai itu memang sangat jarang dirambah oleh manusia. Selain letaknya yang jauh dari pemukiman penduduk, juga tebingnya yang cukup terjal membuat para penghuni padukuhan yang terdekat dengan sungai itu enggan untuk mendatanginya, kecuali jika ada keperluan khusus yang harus dilakukan.

Ketika laki-laki paro baya itu kemudin berhasil  memanjat tebing yang cukup terjal , langit pun sudah benar-benar menjadi gelap. Di hadapannya kini terbentang sebuah rawa-rawa yang cukup luas. Dalam gelapnya malam, tampak kerlap-kerlip binatang malam yang mempunyai kemampuan mengeluarkan sinar dari dalam tubuhnya beterbangan kian kemari menambah indahnya panorama malam.

“Semoga saja tidak ada buaya-buaya kerdil di rawa-rawa ini,” kembali laki-laki paro baya itu bergumam kepada dirinya sendiri, “Aku akan mengambil jalan memutar untuk menghindari  kemungkinan terperosok ke dalam rawa ini. Mungkin ada sejenis binatang buas, sejenis ular berbisa barangkali yang hidup di dalam rawa.”

Berpikir sampai disitu, laki laki paro baya itu segera melangkahkan kakinya menyusuri tepian sungai dari atas tebing. Ketika dirasakannya tanah yang di bawah tebing tidak lagi mengeluarkan bau khas rawa-rawa, lelaki paro baya itu pun kemudian menuruni tebing yang cukup landai sambil berjalan merunduk-runduk di antara lebatnya semak belukar menuju ke arah timur.

Setelah melewati sebuah padang perdu yang cukup luas, kini di hadapan laki-laki paro baya itu telah terbentang tanah pesawahan yang cukup luas di sebelah menyebelah bulak panjang yang menuju ke Kabuyutan Wringin Anom. Tanah pesawahan yang cukup luas itu tampak gersang dan tandus. Di sana sini semak belukar mulai tumbuh. Tanggul tanggul banyak yang rusak serta ditumbuhi rumput-rumput liar.

Memang tanah pesawahan itu digarap hanya mengandalkan hujan yang turun di musim basah. Pada saat musim kering seperti saat ini, tanah-tanah itu dibiarkan saja bera dan tak terawat.

“Seandainya para penghuni Kabuyutan ini mengerti cara bercocok tanam  yang baik, tentu sawah-sawah ini tidak akan dibiarkan terbengkelai,” gumam laki laki paro baya itu sambil berjalan menyusuri bulak yang panjang menuju regol Kabuyutan Wringin Anom.

“Mereka harus menaikkan air sungai dengan cara dibendung,” kembali laki laki paro baya itu berangan-angan, “Dengan menggunakan brunjung-brunjung bambu yang diisi batu dan diatur sedemikian rupa sehingga dapat menahan arus air sungai,  tentu air akan dapat naik ke atas tebing dan dapat digunakan untuk mengairi sawah.”

Laki-laki paro baya itu tersenyum. Dalam angan-angannya terbayang kehidupan yang semakin makmur dari para kawula Kabuyutan Wringin Anom dan sekitarnya.

“Mereka tidak usah menunggu uluran tangan dan bantuan dari Kerajaan Majapahit,” geram laki laki paro baya itu tiba-tiba, “Raja dan para Punggawanya  hanya mementingkan kemakmuran segolongan orang-orang tertentu. Mereka telah mabuk dengan kenikmatan dunia sehingga lupa atas kuwajibannya untuk memberi perlindungan dan kesejahteraan kepada rakyatnya.”


Berangan-angan sampai disini, tampak wajah laki laki paro baya itu menjadi murung. Keadaan pemerintahan yang carut marut telah menumbuhkan tekat di dalam hatinya untuk mengunjungi padepokan Wringin Anom yang terletak di lereng sebelah selatan  gunung Semeru.

17 komentar :

  1. Matur nuwun sanget Mbah Man menunggu siapakah gerangan laki laki paruh baya itu? 👍

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Hehe....mungkin Dhanang Ksatrio bin Kyai Gembleh...

      Hapus
    2. Wah...fitnah yang membuat bangga....

      Hapus
    3. Hehe....tapi menurut sinopsis mungkin yang menchungul aa gatot brajamusti dan dhanang ksatrio berperan sebagai kesatria bareskrim....

      Hapus
  3. Ikutan nggih mBah-Man, Matur-nuwun.

    BalasHapus
  4. Siapa gerangan lelaki paro baya itu mbah?

    BalasHapus
  5. Siapa gerangan lelaki paro baya itu mbah?

    BalasHapus
  6. Sugeng Ndalu Mbah Man .... mampir padepokan sekalian coba lewat jalur lain .... mudah2xan bisa ... masih adaptasi ....tp sedeeep ini ada gandhok baru yang bisa dikunjungi .... sehat terus mbah

    BalasHapus
  7. Pria Paruh Baya : Petani dari Sukowati

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.