Ksatria-ksatria
Bumi Pajarakan
Oleh:
Mbah Man
Jilid
01
Bag 1
Matahari
masih menyisakan sinarnya yang buram di pucuk-pucuk pepohonan. Langit mulai dilingkupi oleh kegelapan ketika
tampak seseorang sedang menyusuri tepian sungai yang membelah sebelah barat Kabuyutan
Wringin Anom. Sesekali pandangan matanya menatap langit yang mulai gelap. Suara
gemericik air di bawah kakinya terdengar bagaikan kidung indah menjelang tidur.
Sementara suara burung burung malam yang mulai berkeliaran keluar dari
sarangnya sesekali terdengar jauh di kelokan sungai membuat langkah laki laki
paro baya itu semakin cepat.
“Sebentar
lagi akan gelap,” desis laki laki paro baya itu sambil mempercepat langkahnya,
“Aku harus mencapai padepokan Wringin
Anom sebelum wayah sirep bocah.”
Padepokan
Wringin Anom sebenarnya terletak di padukuhan Parang Parang, sebuah padukuhan
kecil yang terletak di sebelah selatan dari Kabuyutan Wringin Anom. Para
penduduk di sekitar Padepokan itu lebih senang menyebut nama padepokan itu
dengan sebutan padepokan Wringin Anom walaupun sebenarnya terletak di padukuhan
Parang Parang, dan agaknya para penghuni padepokan itu pun tidak pernah mempermasalahkannya.
Ketika
langkah laki laki paro baya itu mencapai sebuah pohon gayam yang tumbuh di
tanggul sungai dekat kelokan, sejenak dia menarik nafas dalam dalam sambil mengedarkan
pandangan matanya ke sekeliling. Setelah
yakin dengan pengamatannya bahwa sejauh ini tidak ada seorang pun yang
mengikuti perjalanannya, laki laki paro baya itu pun segera menyeberangi sungai
yang airnya cukup dangkal hanya setinggi lutut untuk kemudian naik ke tebing
seberang sungai yang cukup terjal.
“Semoga
Ki Ajar Wringin Anom tidak sedang
bepergian ke luar padepokan,” berkata laki laki paro baya itu dalam hati sambil
mulai memanjat tebing yang agak terjal.
Sungai
itu memang sangat jarang dirambah oleh manusia. Selain letaknya yang jauh dari
pemukiman penduduk, juga tebingnya yang cukup terjal membuat para penghuni
padukuhan yang terdekat dengan sungai itu enggan untuk mendatanginya, kecuali jika
ada keperluan khusus yang harus dilakukan.
Ketika
laki-laki paro baya itu kemudin berhasil
memanjat tebing yang cukup terjal , langit pun sudah benar-benar menjadi
gelap. Di hadapannya kini terbentang sebuah rawa-rawa yang cukup luas. Dalam
gelapnya malam, tampak kerlap-kerlip binatang malam yang mempunyai kemampuan
mengeluarkan sinar dari dalam tubuhnya beterbangan kian kemari menambah
indahnya panorama malam.
“Semoga
saja tidak ada buaya-buaya kerdil di rawa-rawa ini,” kembali laki-laki paro
baya itu bergumam kepada dirinya sendiri, “Aku akan mengambil jalan memutar
untuk menghindari kemungkinan terperosok
ke dalam rawa ini. Mungkin ada sejenis binatang buas, sejenis ular berbisa
barangkali yang hidup di dalam rawa.”
Berpikir
sampai disitu, laki laki paro baya itu segera melangkahkan kakinya menyusuri
tepian sungai dari atas tebing. Ketika dirasakannya tanah yang di bawah tebing
tidak lagi mengeluarkan bau khas rawa-rawa, lelaki paro baya itu pun kemudian
menuruni tebing yang cukup landai sambil berjalan merunduk-runduk di antara
lebatnya semak belukar menuju ke arah timur.
Setelah
melewati sebuah padang perdu yang cukup luas, kini di hadapan laki-laki paro
baya itu telah terbentang tanah pesawahan yang cukup luas di sebelah menyebelah
bulak panjang yang menuju ke Kabuyutan Wringin Anom. Tanah pesawahan yang cukup
luas itu tampak gersang dan tandus. Di sana sini semak belukar mulai tumbuh.
Tanggul tanggul banyak yang rusak serta ditumbuhi rumput-rumput liar.
Memang
tanah pesawahan itu digarap hanya mengandalkan hujan yang turun di musim basah.
Pada saat musim kering seperti saat ini, tanah-tanah itu dibiarkan saja bera
dan tak terawat.
“Seandainya
para penghuni Kabuyutan ini mengerti cara bercocok tanam yang baik, tentu sawah-sawah ini tidak akan dibiarkan
terbengkelai,” gumam laki laki paro baya itu sambil berjalan menyusuri bulak
yang panjang menuju regol Kabuyutan Wringin Anom.
“Mereka
harus menaikkan air sungai dengan cara dibendung,” kembali laki laki paro baya
itu berangan-angan, “Dengan menggunakan brunjung-brunjung bambu yang diisi batu
dan diatur sedemikian rupa sehingga dapat menahan arus air sungai, tentu air akan dapat naik ke atas tebing dan
dapat digunakan untuk mengairi sawah.”
Laki-laki
paro baya itu tersenyum. Dalam angan-angannya terbayang kehidupan yang semakin
makmur dari para kawula Kabuyutan Wringin Anom dan sekitarnya.
“Mereka
tidak usah menunggu uluran tangan dan bantuan dari Kerajaan Majapahit,” geram laki laki paro
baya itu tiba-tiba, “Raja dan para Punggawanya hanya mementingkan kemakmuran segolongan
orang-orang tertentu. Mereka telah mabuk dengan kenikmatan
dunia sehingga lupa atas kuwajibannya untuk memberi perlindungan dan
kesejahteraan kepada rakyatnya.”
Berangan-angan
sampai disini, tampak wajah laki laki paro baya itu menjadi murung. Keadaan
pemerintahan yang carut marut telah menumbuhkan tekat di dalam hatinya untuk mengunjungi
padepokan Wringin Anom yang terletak di lereng sebelah selatan gunung Semeru.
Matur nuwun sanget Mbah Man menunggu siapakah gerangan laki laki paruh baya itu? 👍
BalasHapusYang jelas, bukan saya.
BalasHapusHehe....mungkin Dhanang Ksatrio bin Kyai Gembleh...
HapusWah...fitnah yang membuat bangga....
HapusHehe....tapi menurut sinopsis mungkin yang menchungul aa gatot brajamusti dan dhanang ksatrio berperan sebagai kesatria bareskrim....
HapusIkutan nggih mBah-Man, Matur-nuwun.
BalasHapusSiapa gerangan lelaki paro baya itu mbah?
BalasHapusMau tau aja apa mau tahu anget...?
HapusTahu aja
HapusSiapa gerangan lelaki paro baya itu mbah?
BalasHapusSanes kulo Ki HRG ...
HapusHehehe
HapusSugeng Ndalu Mbah Man .... mampir padepokan sekalian coba lewat jalur lain .... mudah2xan bisa ... masih adaptasi ....tp sedeeep ini ada gandhok baru yang bisa dikunjungi .... sehat terus mbah
BalasHapusAmin ya robbal'allamin
HapusPenasaran
BalasHapusMantap...babad majapahit..
BalasHapusPria Paruh Baya : Petani dari Sukowati
BalasHapus