Rabu, 23 November 2016

KKBP 01

KKBP 01
bag 2

Tak terasa langkah laki laki paro baya itu telah semakin dekat dengan regol Kabuyutan Wringin Anom. Dari jarak yang sudah semakin dekat itu, laki-laki paro baya itu telah dapat melihat sinar lampu dlupak yang di pasang di kiri kanan regol Kabuyutan Wringin Anom.

Sejenak laki-laki paro baya itu menahan langkahnya. Ada sebersit keraguan yang menyelinap di dalam hatinya ketika regol Kabuyutan Wringin Anom tinggal beberapa puluh langkah saja dari hadapannya.

“Apa yang harus aku katakan jika para penjaga regol itu bertanya tentang diriku?” bertanya laki laki paro baya itu dalam hati.

Kabuyutan Wringin Anom memang sebuah Kabuyutan yang cukup aman terletak di sebelah selatan lereng gunung Semeru. Namun demikian, para pengawal Kabuyutan Wringin Anom senantiasa bersiaga. Setiap malam secara bergiliran para pengawal Kabuyutan menjaga gardu-gardu serta pintu-pintu gerbang dibantu oleh anak-anak muda Kabuyutan.

“Sebaiknya aku mengindari para pengawal,” berkata laki laki paro baya itu kemudian, “Walaupun aku harus melewati semak belukar, namun itu lebih baik dari pada harus menjawab pertanyaan para penjaga regol dan para pengawal yang sedang meronda.”

Dengan langkah lebar, laki laki paro baya itu pun kemudian berbelok ke kanan keluar dari jalur semula. Setelah naik ke pematang sawah di kanan jalan, laki laki paro baya itu pun  mulai menyeberangi tanah pesawahan yang kering.

Beberapa saat kemudian ketika kotak kotak sawah yang diseberanginya telah berganti dengan semak belukar, laki laki paro baya itu pun melanjutkan perjalanannya dengan menyusuri jalan setapak yang hanya tampak samar-samar di antara gerumbul dan semak belukar serta rumput ilalang yang tumbuh merapat berjajar-jajar.

Malam baru saja melewati sirep bocah. Laki laki paro baya itu telah mencapai pinggir padukuhan Parang Parang sebelah barat. Dengan mengendap-endap, laki laki paro baya itu mencoba mendekati dinding padukuhan sebelah barat yang cukup tinggi.

“Aku akan melompati dinding ini,” berkata laki laki paro baya itu, “Semoga saja tidak ada peronda yang sedang nganglang melewati tempat ini.”

Sejenak kemudian laki laki paro baya itu pun telah berdiri melekat dinding. Dipusatkan segala nalar budinya dan indra pendengarannya untuk mencoba mendengarkan suara maupun gerak yang ada di seberang dinding. Ketika laki laki paro baya itu sudah yakin dengan pengamatannya, dengan merendahkan kedua lututnya terlebih dahulu, laki laki paro baya itu pun bagaikan terbang telah meloncat dan hinggap menelungkup di atas dinding padukuhan.

Untuk beberapa saat dia masih berdiam diri sambil mencoba untuk mempertajam pendengaran dan penglihatannya. Ketika dia sudah yakin tidak ada seorang pun yang ada di sekitar dinding padukuhan itu, bagaikan seekor tupai, laki laki paro baya itu pun kemudian meloncat turun.

“Padepokan Wringin Anom tinggal selangkah lagi,” desis laki laki itu dalam hati, “Semoga Ki Ajar ada di Padepokan karena hanya Ki Ajar lah yang mengenal diriku di padepokan itu.”

Namun laki laki paro baya itu menjadi ragu-ragu sejenak. Pikirannya melayang pada seraut wajah anak yang masih sangat muda yang dibawanya ke padepokan Wringin Anom lima tahun yang lalu.

“Semoga dia masih ingat kepadaku,” desis laki laki paro baya itu sambil menarik nafas dalam-dalam.

Dengan perlahan akhirnya dilangkahkan kakinya menyusuri jalan padukuhan yang telah sepi. Ketika tanpa disadarinya dia menengadahkan wajah ke langit, tampak betapa bersihnya langit tanpa selembar awan pun. Bintang gemintang mulai tampak bermunculan menghiasi langit yang gelap.

“Musim kering ini agaknya masih akan berlangsung lama,” desis laki laki itu sambil mengamat-amati pohon-pohon sepanjang jalan padukuhan yang tampak kering dan meranggas. Hanya pohon-pohon besar sajalah yang masih tampak hijau daunnya karena mempunyai akar yang menghujam jauh sampai ke dalam bumi sehingga  mampu  menghisap air dari dalam tanah.

Ketika regol padepokan itu samar-samar sudah terlihat dalam keremangan malam, langkah laki laki paro baya itu pun bagaikan di kejar hantu. Dalam beberapa saat kemudian dia telah berdiri di depan regol padepokan yang pintunya tertutup rapat dan diselarak dari dalam.

Sejenak dia ragu-ragu untuk mengetuk pintu. Ketika pandangan matanya mencoba mengenali huruf huruf yang tertulis di atas regol, laki laki itu pun segera memutuskan untuk mengetuk pintu, apapun yang terjadi.

Malam memang belum terlalu dalam. Baru saja lewat sirep bocah, dan agaknya para Cantrik yang sedang duduk-duduk di pendapa telah mendengar ketukan di pintu regol padepokan.

Seorang Cantrik yang masih muda dengan tergesa-gesa segera turun dari pendapa. Sambil berjalan setengah berlari dia menyeberangi halaman padepokan yang luas menuju ke regol depan padepokan Wringin Anom.

“Siapa?” bertanya Cantrik itu sambil memegang selarak pintu, siap untuk membuka pintu regol.

“Aku ingin bertemu dengan Ki Ajar Wringin Anom,” terdengar suara dengan nada berat dan dalam dari balik pintu.


“Tolong sebut nama Ki Sanak,” berkata Cantrik itu kemudian, “Kami tidak menerima tamu orang-orang yang tidak kami kenal.”

8 komentar :

  1. "Tolong sebutkan nama kisanak"...Aku....aku...laki laki paruh baya..iya sebutkan namanya!!....sebentar Mbah Man sedang memilih nama siapa kiranya ....silahkan yang mau kirim bubur metah putih untuk mendaftarkan namanya.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah lupa ...matur nuwun sanget Mbah Man...

      Hapus
    2. Begitu pintunya di buka yang mecungul ternyata ki mbleh

      Hapus
    3. Hehe...Ki gembleh reengkarnasi didi Ksatrio Dhanang...pendekar ulat sutra.....

      Hapus
    4. yamg mencungul cantrik senior arep dodolan jadah dan telo goreng Ki .....

      Hapus
  2. Matur-nuwun mBah-Man, sehat selalu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sugeng dalu Ki Widiaxo.....gandhok nangke hurufne cilik..

      Hapus
    2. Malah penak nggo mbahas balapan grobag

      Hapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.