KKBP 01
bag 2
Tak
terasa langkah laki laki paro baya itu telah semakin dekat dengan regol Kabuyutan
Wringin Anom. Dari jarak yang sudah semakin dekat itu, laki-laki paro baya itu
telah dapat melihat sinar lampu dlupak yang di pasang di kiri kanan regol Kabuyutan
Wringin Anom.
Sejenak
laki-laki paro baya itu menahan langkahnya. Ada sebersit keraguan yang
menyelinap di dalam hatinya ketika regol Kabuyutan Wringin Anom tinggal
beberapa puluh langkah saja dari hadapannya.
“Apa
yang harus aku katakan jika para penjaga regol itu bertanya tentang diriku?”
bertanya laki laki paro baya itu dalam hati.
Kabuyutan
Wringin Anom memang sebuah Kabuyutan yang cukup aman terletak di sebelah
selatan lereng gunung Semeru. Namun demikian, para pengawal Kabuyutan Wringin
Anom senantiasa bersiaga. Setiap malam secara bergiliran para pengawal Kabuyutan
menjaga gardu-gardu serta pintu-pintu gerbang dibantu oleh anak-anak muda Kabuyutan.
“Sebaiknya
aku mengindari para pengawal,” berkata laki laki paro baya itu kemudian,
“Walaupun aku harus melewati semak belukar, namun itu lebih baik dari pada
harus menjawab pertanyaan para penjaga regol dan para pengawal yang sedang
meronda.”
Dengan
langkah lebar, laki laki paro baya itu pun kemudian berbelok ke kanan keluar
dari jalur semula. Setelah naik ke pematang sawah di kanan jalan, laki laki
paro baya itu pun mulai menyeberangi
tanah pesawahan yang kering.
Beberapa
saat kemudian ketika kotak kotak sawah yang diseberanginya telah berganti
dengan semak belukar, laki laki paro baya itu pun melanjutkan perjalanannya dengan
menyusuri jalan setapak yang hanya tampak samar-samar di antara gerumbul dan
semak belukar serta rumput ilalang yang tumbuh merapat berjajar-jajar.
Malam baru saja melewati sirep bocah. Laki laki paro baya itu telah mencapai pinggir
padukuhan Parang Parang sebelah barat. Dengan mengendap-endap, laki laki paro
baya itu mencoba mendekati dinding padukuhan sebelah barat yang cukup tinggi.
“Aku
akan melompati dinding ini,” berkata laki laki paro baya itu, “Semoga saja
tidak ada peronda yang sedang nganglang melewati tempat ini.”
Sejenak
kemudian laki laki paro baya itu pun telah berdiri melekat dinding. Dipusatkan
segala nalar budinya dan indra pendengarannya untuk mencoba mendengarkan suara
maupun gerak yang ada di seberang dinding. Ketika laki laki paro baya itu sudah
yakin dengan pengamatannya, dengan merendahkan kedua lututnya terlebih dahulu,
laki laki paro baya itu pun bagaikan terbang telah meloncat dan hinggap
menelungkup di atas dinding padukuhan.
Untuk
beberapa saat dia masih berdiam diri sambil mencoba untuk mempertajam pendengaran
dan penglihatannya. Ketika dia sudah yakin tidak ada seorang pun yang ada di
sekitar dinding padukuhan itu, bagaikan seekor tupai, laki laki paro baya itu
pun kemudian meloncat turun.
“Padepokan
Wringin Anom tinggal selangkah lagi,” desis laki laki itu dalam hati, “Semoga
Ki Ajar ada di Padepokan karena hanya Ki Ajar lah yang mengenal diriku di
padepokan itu.”
Namun
laki laki paro baya itu menjadi ragu-ragu sejenak. Pikirannya melayang pada
seraut wajah anak yang masih sangat muda yang dibawanya ke padepokan Wringin
Anom lima tahun yang lalu.
“Semoga
dia masih ingat kepadaku,” desis laki laki paro baya itu sambil menarik nafas
dalam-dalam.
Dengan
perlahan akhirnya dilangkahkan kakinya menyusuri jalan padukuhan yang telah
sepi. Ketika tanpa disadarinya dia menengadahkan wajah ke langit, tampak betapa
bersihnya langit tanpa selembar awan pun. Bintang gemintang mulai tampak
bermunculan menghiasi langit yang gelap.
“Musim
kering ini agaknya masih akan berlangsung lama,” desis laki laki itu sambil
mengamat-amati pohon-pohon sepanjang jalan padukuhan yang tampak kering dan
meranggas. Hanya pohon-pohon besar sajalah yang masih tampak hijau daunnya
karena mempunyai akar yang menghujam jauh sampai ke dalam bumi sehingga mampu menghisap air dari dalam tanah.
Ketika
regol padepokan itu samar-samar sudah terlihat dalam keremangan malam, langkah
laki laki paro baya itu pun bagaikan di kejar hantu. Dalam beberapa saat
kemudian dia telah berdiri di depan regol padepokan yang pintunya tertutup
rapat dan diselarak dari dalam.
Sejenak
dia ragu-ragu untuk mengetuk pintu. Ketika pandangan matanya mencoba mengenali
huruf huruf yang tertulis di atas regol, laki laki itu pun segera memutuskan
untuk mengetuk pintu, apapun yang terjadi.
Malam
memang belum terlalu dalam. Baru saja lewat sirep bocah, dan agaknya para
Cantrik yang sedang duduk-duduk di pendapa telah mendengar ketukan di pintu
regol padepokan.
Seorang
Cantrik yang masih muda dengan tergesa-gesa segera turun dari pendapa. Sambil
berjalan setengah berlari dia menyeberangi halaman padepokan yang luas menuju
ke regol depan padepokan Wringin Anom.
“Siapa?”
bertanya Cantrik itu sambil memegang selarak pintu, siap untuk membuka pintu
regol.
“Aku
ingin bertemu dengan Ki Ajar Wringin Anom,” terdengar suara dengan nada berat
dan dalam dari balik pintu.
“Tolong
sebut nama Ki Sanak,” berkata Cantrik itu kemudian, “Kami tidak menerima tamu
orang-orang yang tidak kami kenal.”
"Tolong sebutkan nama kisanak"...Aku....aku...laki laki paruh baya..iya sebutkan namanya!!....sebentar Mbah Man sedang memilih nama siapa kiranya ....silahkan yang mau kirim bubur metah putih untuk mendaftarkan namanya.....
BalasHapusAh lupa ...matur nuwun sanget Mbah Man...
HapusBegitu pintunya di buka yang mecungul ternyata ki mbleh
HapusHehe...Ki gembleh reengkarnasi didi Ksatrio Dhanang...pendekar ulat sutra.....
Hapusyamg mencungul cantrik senior arep dodolan jadah dan telo goreng Ki .....
HapusMatur-nuwun mBah-Man, sehat selalu.
BalasHapusSugeng dalu Ki Widiaxo.....gandhok nangke hurufne cilik..
HapusMalah penak nggo mbahas balapan grobag
Hapus