Jumat, 25 November 2016

KKBP 01 bag 04

KKBP 01
bag 04


“Benar Ki Ajar,” sahut Mahesa Pawagal sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Namun para pini sepuh tetap kita minta nasehat dan petunjuknya agar para generasi muda tidak salah dalam melangkah.”

Ki Ajar tersenyum sambil berpaling sekilas ke arah Putut Brajamusti. Katanya kemudian, “Lima tahun sudah anakmas Brajamusti ini berguru di padepokan Wringin Anom,”  Ki Ajar berhenti sebentar, kemudian lanjutnya, “Rasa-rasanya ilmu padepokan Wringin Anom sudah tuntas dan tak tersisa lagi. Namun bukan berarti ilmu dari perguruan ini tidak ada bandingnya. Masih banyak yang harus dikembangkan dan dimatangkan. Semua itu menuntut kesungguhan dan kesabaran.”

Mahesa Pawagal mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar kata-kata Ki Ajar. Ada sebuah kebanggaan tersendiri dalam hatinya bahwa Ki Ajar sendiri telah menyatakan bahwa Putut Brajamusti telah putus segala kawruh yang dipelajarinya dari padepokan Wringin Anom walaupun masih harus dikembangkan dan dimatangkan. Namun setidaknya Putut Brajamusti sudah mempunyai bekal yang lebih dari cukup untuk menyongsong tugas-tugas di masa mendatang.

Sementara Putut Brajamusti yang duduk di sebelah kiri Ki Ajar hanya menundukkan kepalanya saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Nah, sekarang Ki Mahesa Pawagal dapat bercerita tentang perjalanannya,” berkata Ki Ajar kemudian.

Mahesa Pawagal untuk sejenak masih membetulkan letak duduknya. Setelah menarik nafas dalam-dalam untuk mengurai debar jantungnya yang tiba-tiba saja melonjak-lonjak, Mahesa Pawagal pun akhirnya berkata, “Ki Ajar, kedatanganku jauh jauh dari Majapahit ke padepokan Wringin Anom ini untuk meyakinkan bahwa Brajamusti serta seluruh penghuni padepokan dalam keadaan baik-baik.”

Hampir bersamaan Ki Ajar dan Brajamusti mengangguk-angguk. Bertanya Ki Ajar kemudian, “Apakah engkau yakin bahwa perjalananmu tidak ada yang mengikuti?”

Mahesa Pawagal mengerutkan keningnya, jawabnya dengan sedikit nada ragu-ragu, “Sejauh pengamatanku tidak ada seorang pun yang mengikuti perjalananku.”

Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Pandangan matanya menatap lurus ke depan ke arah pintu pringitan yang tertutup rapat. Seolah-olah ingin ditembusnya pintu itu dan menjenguk  apa yang berada di baliknya.

“Segala sesuatunya mungkin saja terjadi,” desis Ki Ajar hampir tak terdengar. Kemudian lanjutnya sambil menatap Mahesa Pawagal, “Anakmas Brajamusti masih menjadi buron kerajaan Majapahit sampai saat ini. Tidak menutup kemungkinan para prajurit sandi kerajaan akan sampai ke tempat terpencil ini melalui jalur yang justru telah engkau buat sendiri.”

Mahesa Pawagal terkejut. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa keinginannya untuk menjenguk Brajamusti ke padepokan Wringin Anom justru akan dapat menuntun orang-orang yang masih mencari kerabat Ken Sora setelah peristiwa pembantaian di halaman istana Majapahit hampir sepuluh tahun yang lalu.

Putut Brajamusti hanya berdiam diri saja mendengar kata kata Gurunya. Ingatannya kembali ke masa lalu ketika peristiwa yang mengerikan itu terjadi. Sepasukan prajurit Majapahit dipimpin oleh Mahapati telah menyerbu rumah kedua orang tuannya yang masih kerabat dekat dengan Ken Sora. Kedua orang tuanya itu telah dituduh menjadi bagian dari pemberontakan Ken Sora dan harus ditumpas. Padahal Ken Sora datang ke halaman istana Majapahit pada waktu itu bermaksud ingin menyerahkan diri dan hanya ditemani oleh Juru Demung dan Gajah Biru. Namun karena kesalah pahaman yang memang sengaja diciptakan oleh Mahapati, mereka bertiga harus menjadi bebanten di halaman istana Majapahit.

Para pengikut Ken Sora pada waktu itu termasuk ayahnya tidak diperkenankan memasuki halaman istana Majapahit. Mereka hanya diperkenankan menunggu di depan pintu gerbang istana. Para pengikut Ken Sora itu tidak bermaksud memberontak, mereka berduyun duyun mengawal Ken Sora menghadap ke istana hanya untuk memberikan dukungan dan simpati agar Sri Maharaja mengenang jasa jasa Ken Sora pada saat dia masih menjadi abdi yang setia dari Raden Wijaya yang kini telah duduk di singgasana Majapahit.

Namun ternyata yang terjadi kemudian adalah sebuah bencana dan sejarah yang kelam dari kehidupan Ken Sora. Para Pujangga menulis rontal rontal kidung kisah ini dengan tinta darah atas riwayat yang terjadi pada diri Ken Sora, seorang abdi yang setia dari Sri Maharaja yang pada waktu itu masih bernama Raden Wijaya, bersama sama melarikan diri dari kejaran pasukan prajurit Kediri, menyeberangi rawa rawa, menuruni jurang yang curam dan kadang harus mendaki tebing tebing yang terjal hanya demi menghindari kejaran para prajurit Kediri.

Tak jarang Ken Sora merelakan dirinya tidur tengkurap di tanah berlumpur untuk menyediakan punggungnya sebagai tempat duduk Raden Wijaya dan istrinya karena saat itu mereka sedang berada di tengah tengah tanah pesawahan dan tidak ada tempat yang bisa dijadikan untuk tempat duduk.


Dengan gugurnya Ken Sora bersama sahabatnya Juru Demung dan Gajah Biru di halaman istana Majapahit, para pengikut Ken Sora yang menunggu di depan Gerbang istana ternyata telah mengalami perlakuan yang sama. Tanpa peringatan terlebih dahulu, mereka telah diserang oleh sepasukan prajurit yang kuat atas perintah Mahapati.

2 komentar :

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.