KKBP 01
bag 04
“Benar
Ki Ajar,” sahut Mahesa Pawagal sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Namun
para pini sepuh tetap kita minta nasehat dan petunjuknya agar para generasi
muda tidak salah dalam melangkah.”
Ki Ajar
tersenyum sambil berpaling sekilas ke arah Putut Brajamusti. Katanya kemudian,
“Lima tahun sudah anakmas Brajamusti ini berguru di padepokan Wringin
Anom,” Ki Ajar berhenti sebentar,
kemudian lanjutnya, “Rasa-rasanya ilmu padepokan Wringin Anom sudah tuntas dan
tak tersisa lagi. Namun bukan berarti ilmu dari perguruan ini tidak ada
bandingnya. Masih banyak yang harus dikembangkan dan dimatangkan. Semua itu
menuntut kesungguhan dan kesabaran.”
Mahesa
Pawagal mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar kata-kata Ki Ajar. Ada sebuah
kebanggaan tersendiri dalam hatinya bahwa Ki Ajar sendiri telah menyatakan
bahwa Putut Brajamusti telah putus segala kawruh yang dipelajarinya dari
padepokan Wringin Anom walaupun masih harus dikembangkan dan dimatangkan. Namun
setidaknya Putut Brajamusti sudah mempunyai bekal yang lebih dari cukup untuk
menyongsong tugas-tugas di masa mendatang.
Sementara
Putut Brajamusti yang duduk di sebelah kiri Ki Ajar hanya menundukkan kepalanya
saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Nah,
sekarang Ki Mahesa Pawagal dapat bercerita tentang perjalanannya,” berkata Ki
Ajar kemudian.
Mahesa
Pawagal untuk sejenak masih membetulkan letak duduknya. Setelah menarik nafas
dalam-dalam untuk mengurai debar jantungnya yang tiba-tiba saja
melonjak-lonjak, Mahesa Pawagal pun akhirnya berkata, “Ki Ajar, kedatanganku
jauh jauh dari Majapahit ke padepokan Wringin Anom ini untuk meyakinkan bahwa
Brajamusti serta seluruh penghuni padepokan dalam keadaan baik-baik.”
Hampir
bersamaan Ki Ajar dan Brajamusti mengangguk-angguk. Bertanya Ki Ajar kemudian,
“Apakah engkau yakin bahwa perjalananmu tidak ada yang mengikuti?”
Mahesa
Pawagal mengerutkan keningnya, jawabnya dengan sedikit nada ragu-ragu, “Sejauh
pengamatanku tidak ada seorang pun yang mengikuti perjalananku.”
Ki Ajar
menarik nafas dalam-dalam. Pandangan matanya menatap lurus ke depan ke arah
pintu pringitan yang tertutup rapat. Seolah-olah ingin ditembusnya pintu itu
dan menjenguk apa yang berada di
baliknya.
“Segala
sesuatunya mungkin saja terjadi,” desis Ki Ajar hampir tak terdengar. Kemudian
lanjutnya sambil menatap Mahesa Pawagal, “Anakmas Brajamusti masih menjadi
buron kerajaan Majapahit sampai saat ini. Tidak menutup kemungkinan para
prajurit sandi kerajaan akan sampai ke tempat terpencil ini melalui jalur yang justru
telah engkau buat sendiri.”
Mahesa
Pawagal terkejut. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa keinginannya untuk
menjenguk Brajamusti ke padepokan Wringin Anom justru akan dapat menuntun
orang-orang yang masih mencari kerabat Ken Sora setelah peristiwa pembantaian di
halaman istana Majapahit hampir sepuluh tahun yang lalu.
Putut Brajamusti
hanya berdiam diri saja mendengar kata kata Gurunya. Ingatannya kembali ke masa
lalu ketika peristiwa yang mengerikan itu terjadi. Sepasukan prajurit Majapahit
dipimpin oleh Mahapati telah menyerbu rumah kedua orang tuannya yang masih
kerabat dekat dengan Ken Sora. Kedua orang tuanya itu telah dituduh menjadi
bagian dari pemberontakan Ken Sora dan harus ditumpas. Padahal Ken Sora datang
ke halaman istana Majapahit pada waktu itu bermaksud ingin menyerahkan diri dan
hanya ditemani oleh Juru Demung dan Gajah Biru. Namun karena kesalah pahaman
yang memang sengaja diciptakan oleh Mahapati, mereka bertiga harus menjadi bebanten
di halaman istana Majapahit.
Para
pengikut Ken Sora pada waktu itu termasuk ayahnya tidak diperkenankan memasuki
halaman istana Majapahit. Mereka hanya diperkenankan menunggu di depan pintu
gerbang istana. Para pengikut Ken Sora itu tidak bermaksud memberontak, mereka
berduyun duyun mengawal Ken Sora menghadap ke istana hanya untuk memberikan
dukungan dan simpati agar Sri Maharaja mengenang jasa jasa Ken Sora pada saat
dia masih menjadi abdi yang setia dari Raden Wijaya yang kini telah duduk di
singgasana Majapahit.
Namun
ternyata yang terjadi kemudian adalah sebuah bencana dan sejarah yang kelam
dari kehidupan Ken Sora. Para Pujangga menulis rontal rontal kidung kisah ini
dengan tinta darah atas riwayat yang terjadi pada diri Ken Sora, seorang abdi
yang setia dari Sri Maharaja yang pada waktu itu masih bernama Raden Wijaya,
bersama sama melarikan diri dari kejaran pasukan prajurit Kediri, menyeberangi
rawa rawa, menuruni jurang yang curam dan kadang harus mendaki tebing tebing
yang terjal hanya demi menghindari kejaran para prajurit Kediri.
Tak
jarang Ken Sora merelakan dirinya tidur tengkurap di tanah berlumpur untuk
menyediakan punggungnya sebagai tempat duduk Raden Wijaya dan istrinya karena
saat itu mereka sedang berada di tengah tengah tanah pesawahan dan tidak ada
tempat yang bisa dijadikan untuk tempat duduk.
Dengan
gugurnya Ken Sora bersama sahabatnya Juru Demung dan Gajah Biru di halaman
istana Majapahit, para pengikut Ken Sora yang menunggu di depan Gerbang istana
ternyata telah mengalami perlakuan yang sama. Tanpa peringatan terlebih dahulu,
mereka telah diserang oleh sepasukan prajurit yang kuat atas perintah Mahapati.
Matur-nuwun mBah-Man, atas Wedaran di hari Jum'at.
BalasHapusMatur nuwun mbah
BalasHapus