Kamis, 24 November 2016

TADBM 416_2

Demikianlah suara derap kaki-kaki kuda di atas jalan berbatu-batu itu telah mengejutkan orang-orang yang sedang bertempur dengan sengitnya di padang rumput lemah cengkar.

Ketika pendengaran Ki Swandaru yang tajam melebihi orang-orang kebanyakan itu lamat-lamat mendengar detingan senjata yang beradu dan sorak sorei yang riuh rendah, sadarlah  Ki Swandaru bahwa telah terjadi pertempuran di lemah Cengkar.

“Mungkin sepasukan prajurit Mataram sedang menghadapi sekelompok orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Atau mungkin  sekelompok orang-orang yang tidak senang melihat Mataram berkembang dan menjadi besar,” berkata Ki Swandaru dalam hati sambil memacu kudanya mendekati lemah Cengkar.

Dalam pada itu Pangeran Ranapati yang telah bersiap untuk membuat perhitungan dengan Pangeran Jayaraga telah dikejutkan oleh suara ledakan cambuk yang menggelegar memecah udara malam.

“Gila!” geram Pangeran Ranapati.

Pada awalnya Pangeran Ranapati menyangka Ki Rangga Agung Sedayu lah yang telah meledakkan cambuk itu. Namun ketika dia  berpaling ke arah medan pertempuran antara Ki Rangga Agung Sedayu melawan Gurunya, terlihat mereka berdua sedang bertempur dengan sengitnya tanpa menggunakan senjata sama sekali.

Tampak Ki Rangga sedang mengerahkan kemampuan ilmunya yang dapat menghilangkan bobot tubuhnya. Setiap kali serangan beruntun datang membadai dari lawannya, dengan ilmu menghilangkan bobot tubuhnya yang hampir sempurna, Ki Rangga dapat melenting tinggi kemudian ketika masih di udara pun Ki Rangga mampu melenting lagi ke arah yang tak terduga.

Namun lawan Ki Rangga kali ini adalah Ki Ageng Selagilang yang lebih dikenal dengan nama  Ki Singawana Sepuh, guru pangeran Ranapati. Dengan ilmunya yang dapat mengelabuhi pengamatan lawan atas keberadaan dirinya, dengan tanpa memberi ruang sedikitpun kepada Ki Rangga, serangan Ki Singawana Sepuh datang bertubi-tubi bagaikan ombak di pantai yang tak henti-hentinya menghempas karang.

Untuk sementara memang Ki Rangga hanya dapat menghindar dan menghindar terus. Lawannya tidak pernah memberi ruang gerak yang cukup untuk balas menyerang. Setiap kali Ki Rangga dengan sapta panggraitanya mampu mengenali keberadaan lawannya yang hilang dari pandangan mata, di saat yang bersamaan itu lah lawannya kembali muncul di tempat yang berbeda sambil melancarkan serangan yang dahsyat.

“Agul-agulnya Mataram itu lambat laun pasti akan kehabisan nafas,” berkata Pangeran Ranapati dalam hati sambil tetap mengawasi jalannya pertempuran mereka berdua, “Guru hanya tinggal menunggu waktu saja, tapi itu pasti akan memakan waktu yang sangat lama. Murid utama orang bercambuk itu pasti memiliki ketahanan  tubuh yang luar biasa. Seharusnya Guru segera saja melepaskan ilmunya yang lain yang lebih dahsyat agar pertempuran segera berakhir. Aku yakin kemampuan ilmu Guru masih berada di atas Ki Rangga.”

Ketika Pangeran Ranapati sedang menilai pertempuran itu dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba saja kembali terdengar ledakan cambuk menggetarkan udara di atas lemah cengkar, disusul dengan ledakan-ledakan cambuk yang lain berturut-turut. Namun ledakan cambuk berikutnya tidaklah sedahsyat ledakan cambuk sebelumnya.

“Siapakah yang sedang bermain-main dengan cambuk yang memuakkan ini?” geram Pangeran Ranapati. Sementara Pangeran Jayaraga justru telah menarik nafas dalam-dalam untuk mengendorkan urat syarafnya yang selama ini terasa sangat tegang.

“Kalau aku tidak salah, tentu saudara muda seperguruan Ki Rangga Agung Sedayu yang datang bersama murid-murid padepokan orang bercambuk yang lain,” desis Pangeran Jayaraga, “Semoga kesulitan yang dialami oleh pasukan Mataram segera teratasi.”

Demikian lah ketika sekali lagi terdengar ledakkan cambuk menggelegar di udara, Pangeran Ranapati pun sudah tidak dapat menahan hatinya lagi.

“Adimas Pangeran,” berkata Pangeran yang keras hati itu kemudian, “Masih ada kesempatan untuk berpikir sekali lagi. Aku akan segera kembali. Tidak perlu banyak waktu bagiku untuk membungkam suara-suara cambuk yang memuakkan itu  selama-lamanya.”


Selesai berkata demikian, tanpa menunggu tanggapan Pangeran Jayaraga, putra laki-laki satu-satu Rara Ambarasari itu dengan lengkah bergegas segera menuju ke tempat suara cambuk yang semakin sering terdengar meledak-ledak.

31 komentar :

  1. Matur nuwun sanget mbah man .... cerita makin seru ... dahsyaaat ... nggak sabar nenggo wedaran lanjutannya MBah ...sehat terus ya Mbah ..

    BalasHapus
    Balasan
    1. sami idem ki..mpun mboten kiyat ngampet

      Hapus
    2. Ki dp kayaknya jam nya sudah sesuai dengan yang sebenarnya, tidak mundur lagi

      Hapus
    3. Leres Ki HRG ... jamnya sudah passs .....

      Hapus
    4. Menawi kaliyan Abu Dhabi benten tigang jam nģih Ki DiPar ?

      Hapus
    5. Leres Ki Djarot Abu Dhabi menawi kaliyan Jakarta, leres benten tigang jam ... menawi kaliyan Maumere nggih benten gangsal jam Ki ..... hehehe

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Matur sembah nuwun Mbah Mandaraka..

    BalasHapus
  4. Matur-nuwun mBah-Man, atas wedarannya, sehat selalu.

    BalasHapus
  5. nuwun mbaaahhhhhh...... bombong manah kulo mbah

    BalasHapus
  6. Wah... Om Djarot wis pinter.
    Hi hi hi... Mblayu... Wedi dibalang ote ote...

    BalasHapus
  7. Keputusan Panembahan untuk buat padepokan sendiri dengan blog.spot ternyata sangat tepat. Muncul wajah wajah baru.
    Siip lah... (eh.. Kok seperti merk minuman)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wajah baru...?
      Apa mari operasi ?
      He...he...he....

      Hapus
    2. Mas Risang, maksudnya wajah baru muka lama atau wajah baru operasi seperti kata Ki Djarot ?

      Hapus
    3. Ki-mBleh, kok lama gak muncul nggih....?

      Hapus
    4. Ki Gembleh Ki Dhanang Ksatrio dan Ki Gatot Wicaksono seperti ilmu Kakang Pembarep adi wuragil apakah sama Ki DiPar?....3 wujud 2 semu 1 asli....hehehe

      Hapus
  8. Maturnuwun mbah Man....Ceritanya makin dahsyat saja...... semoga mbah Man selalu sehat....

    BalasHapus
  9. Nuwun sewu Mbah_Man, baru saja saya transfer ala kadarnya, walaupun tidak berarti tapi kami peduli .....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur suwun Ki Jokowo, semoga Yang Maha Agung dan Maha Pemurah melimpahkan berkah kepada panjenengan sekeluarga, Amiin.

      Hapus
    2. Saya juga bade matur Mbah Man, nuwun sewu kemarin ada sedikit kiriman ke rekening Mbah Putri, mohon dapat ditampi rasa peduli dari saya ...

      Hapus
    3. @ Ki Dipar, Ki Adiswa
      matur suwun sanget kawigatosanipun, mugi Gusti Kang Akaryo Jagad paring rejeki ingkang nuli-nuli kagem panjenengan sakluarga. Amiin

      Hapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.