“Mereka sangat cerdik Ki
Gede,” desis Ki Kamituwa yang berdiri di sebelah Ki Gede, “Mereka melempar
panah dan lembing dari balik dinding. Kita akan kesulitan untuk membalasnya.
Sementara persediaan anak panah kita sangat terbatas. Sedangkan mereka tentu
mempunyai persediaan anak panah dan lembing yang jumlahnya tak terbatas, karena
mereka berada di rumah mereka sendiri.”
Ki Gede menarik nafas
panjang. Hati Ki Gede menjadi agak bimbang. Jika Ki Gede memutuskan untuk
menggedor pintu gerbang itu dengan sebatang pohon, tentu korban akan segera
berjatuhan di pihak pengawal Matesih. Memang para pengawal yang berperisai
dapat melindungi mereka yang membawa batang pohon itu. Namun lawan dapat saja
menyerang bagian tubuh yang terlihat dan tak terlindungi, seperti kaki
misalnya.
Ketika beberapa anak panah
kemudian berhasil menyusup di antara rapatnya barisan perisai itu, satu dua
orang pengawal telah mengaduh kesakitan. Walaupun anak panah itu tidak sampai
menimbulkan luka yang parah, namun darah mulai menitik di pihak pasukan
Matesih.
“Mundur..!”
tiba-tiba terdengar aba-aba dari Ki Gede. Tombak pendek di tangan kanannya di
angkat tinggi-tinggi kemudian ujungnya
diputar dua kali. Pasukan pengawal Matesih pun dengan teratur bergerak mundur
sampai sejauh jangkauan aman dari panah dan lembing lawan.
Begitu
pasukan pengawal Matesih mundur beberapa tombak ke belakang, gelombang serangan
anak panah dan lembing itu pun dengan sendirinya telah berhenti.
Sejenak
kemudian, satu dua orang pengawal yang sempat tersentuh anak panah lawan segera
mengobati luka mereka. Luka-luka itu memang tidak akan banyak berarti. Namun
jika tidak segera diobati, tidak menutup kemungkinan jika mereka telah terjun
dalam pertempuran yang sebenarnya, luka itu dapat mengalirkan darah kembali,
dan lambat laun itu akan dapat mempengaruhi ketahanan tubuh mereka.
Dalam pada itu pertempuran
di halaman sebelah barat padepokan telah merambah ke ilmu simpanan
masing-masing. Ki Jayaraga yang bertempur melawan Ki Brukut telah dikejutkan
oleh sejenis ilmu yang sudah jarang ditemukan.
Pada awalnya guru Glagah
Putih itu belum menyadari ketika lawannya bergerak berputar-putar dengan
cepatnya mengelilingi dirinya. Dari kedua tangan Ki Brukut menyambar-nyambar
angin dingin yang terasa menerpa tubuhnya.
“Ilmu apa lagi yang akan
dipamerkan oleh orang ini?” berkata Ki Jayaraga dalam hati sambil terus
mengimbangi gerak lawannya. Karena lawannya bergerak mengitari dirinya, Ki
Jayaraga pun akhirnya ikut bergerak berputaran untuk menghindari kesempatan
lawan menyerangnya dari arah belakang.
Lambat laun Ki Jayaraga
merasakan sesuatu yang aneh sedang menjalari kesadarannya. Sinar Matahari yang
masih sangat lemah serta angin pagi yang bertiup sepoi-sepoi terasa bagaikan
membelai-belai tengkuknya. Ditambah dengan gerak Ki Jayaraga yang terus
berputaran mengikuti gerak lawan telah membuat kepala Ki Jayaraga menjadi
pening.
“Gila!” geram Ki Jayaraga
dalam hati sambil berusaha menghilangkan rasa pening di kepalanya yang semakin
mencengkeram otaknya.
Namun Ki Jayaraga bertempur
terus. Sementara semakin lama gerak putaran lawannya semakin cepat dan Ki
Jayaraga mulai mengalami kesulitan untuk mengatasi rasa pening yang
mencengkeram otaknya. Sejalan dengan rasa pening yang tak tertahankan itu, Ki Jayaraga pun merasakan kekuatannya
sedikit demi sedikit juga mulai terasa melemah.
Ki Jayaraga menjadi heran
sendiri dengan keadaan dirinya. Memang usia Ki Jayaraga sudah cukup tua,
sehingga sudah sewajarnya jika tenaga wadagnya ikut menyusut seiring dengan
bertambahnya usia. Namun dia merasa tenaga cadangannya masih sangat mendukung.
Dengan tenaga cadangan yang nyaris sempurna, kekuatan wadagnya yang mulai
menyusut masih dapat diatasinya.
Namun yang terjadi kini
benar-benar diluar penalarannya. Tenaga cadangannya lambat laun juga mulai ikut
menyusut.
Sebenarnyalah Ki Jayaraga
telah terpancing oleh gerakan lawan yang berputaran mengelilingi dirinya.
Selain itu sentuhan angin yang menerpa dari kedua belah tangan lawannya terasa betapa
sejuk dan lembutnya sehingga lambat laun telah mempengaruhi daya penalarannya.
“Anak iblis!” geram Ki
Jayaraga dalam hati begitu menyadari selain rasa pening dan tenaganya yang
perlahan menyusut, rasa kantuk yang luar biasa kini mulai terasa mengganggunya.
Untunglah ki Jayaraga yang
telah banyak makan asam garamnya pertempuran itu segera menyadari apa yang
sedang terjadi. Agaknya lawan memiliki sejenis ilmu yang dapat mempengaruhi daya
penalarannya. Selain rasa pening dan kantuk yang tak tertahankan, tenaganya pun
terasa semakin lama semakin menyusut.
“Gila! Ini harus segera dihentikan!” geram Ki Jayaraga
dalam hati sambil berusaha mengerahkan ketahanan nalar dan budinya untuk
melawan rasa pening dan kantuk yang tiada taranya itu, “Rasa-rasanya aku pernah
mengenali ilmu semacam ini. Namun agaknya orang ini telah mengetrapkan ilmunya dengan sangat halus sehingga
aku hampir luput mengenalinya.”
Setelah yakin dengan kesimpulannya,
Ki Jayaraga segera meloncat mundur keluar dari lingkaran pertempuran untuk mengambil
jarak. Ketika Ki Brukut kemudian memburunya untuk menjaga jarak agar tetap
mampu mempengaruhi lawan dengan ilmunya, tanah sejengkal di hadapannya
tiba-tiba saja telah meledak menyemburkan uap air yang mendidih serta
bergumpal-gumpal tanah yang membara.
“Syetaan..!” teriak Ki Brukut
sambil meloncat mundur menghindari semburan uap air panas yang hampir menyentuh
kakinya.
Kesempatan itu segera
dipergunakan oleh Ki Jayaraga dengan sebaik-baiknya. Setelah menyilangkan kedua
tangannya sekejap di depan dada, terasa hawa yang segar menyelusuri sekujur
tubuhnya sehingga rasa pening dan kantuk yang mencengkeramnya selama ini perlahan mulai
menghilang. Sejalan dengan itu, tenaganya pun terasa mulai pulih kembali.
Ketika ki Jayaraga kemudian
memandang ke depan, tampak lawannya itu sedang menggosok-gosokkan kedua telapak
tangannya. Sejenak kemudian tangan kanannya terlihat bergerak ke depan membentuk sebuah
cakar yang nggegirisi. Sedangkan tangan kirinya terkepal di samping pinggang.
Sementara sepasang matanya menatap tajam ke arah Ki Jayaraga dengan tatapan
liar, seliar tatapan seekor singa gurun.
matur suwun mBah...menawi rinaning penggalih, mbok sekali2 tripple mBah....ben do bungah
BalasHapusMatur suwun mBah.....niku usulanipon mas aryo mboten usah di-turuti kemawon....manawi mBah_Man maringi kuartalan wedaran (nek jaman rumiyin nampi rapor SD. pas kuartalan)...namine mboten nuruti mas aryo.....
Hapus....hehehe.....
Matur suwun Mbah Man, kulo kinten usulan Mas Aryo kaleh Dik Har niku sae, nopo meleh umpami dipun turuti. Yen kulo usul malah mboten neko2 Mbah, namung nyuwun salah setunggale usulun niku wou dipun realisasikan mawon hehehe
Hapus
Hapus“Anak iblis!” geram Ki Jayaraga.
“Syetaan..!” teriak Ki Brukut.
"Sudah ... sudah...!!" kataku kemudian "sesama genderuwo gayam mbok sing rukun, ora usah padu".
.... dilanjut Mbah Man, sumonggo ....
Mantaps... Ternyata Ki Jayaraga masih bertarung dengan sengitnya...
BalasHapusMatur nuwun Panembahan...
Matur nuwun Mbah Man ..... tetap semangat !
BalasHapusterima kasih Mbah Man
BalasHapusKi Jayaraga keteteran.... mbok ya keluarkan "sigar Bumi" ben sigar si Brukut kuwi.
BalasHapusMatur nuwun Mbah_Man.
Matur nuwun sanget mbah Man, seri 7-13 ipun.
BalasHapusMatur nuwun sanget mbah Man, seri 7-13 ipun.
BalasHapusMatur nuwun sanget mbah Man, seri 7-13 ipun.
BalasHapusMatur nuwun sanget tripelanippon
BalasHapusSelamet pagi semua... semoga sehat dan barokah selalu untuk para can_men.
BalasHapusAamiin...
HapusDinten kemis biasane wedaran
BalasHapuspancen wonten wedaran kok.
Hapus