Rabu, 25 Oktober 2017

STSD 07_13

“Mereka sangat cerdik Ki Gede,” desis Ki Kamituwa yang berdiri di sebelah Ki Gede, “Mereka melempar panah dan lembing dari balik dinding. Kita akan kesulitan untuk membalasnya. Sementara persediaan anak panah kita sangat terbatas. Sedangkan mereka tentu mempunyai persediaan anak panah dan lembing yang jumlahnya tak terbatas, karena mereka berada di rumah mereka sendiri.”

Ki Gede menarik nafas panjang. Hati Ki Gede menjadi agak bimbang. Jika Ki Gede memutuskan untuk menggedor pintu gerbang itu dengan sebatang pohon, tentu korban akan segera berjatuhan di pihak pengawal Matesih. Memang para pengawal yang berperisai dapat melindungi mereka yang membawa batang pohon itu. Namun lawan dapat saja menyerang bagian tubuh yang terlihat dan tak terlindungi, seperti kaki misalnya.

Ketika beberapa anak panah kemudian berhasil menyusup di antara rapatnya barisan perisai itu, satu dua orang pengawal telah mengaduh kesakitan. Walaupun anak panah itu tidak sampai menimbulkan luka yang parah, namun darah mulai menitik di pihak pasukan Matesih.

“Mundur..!” tiba-tiba terdengar aba-aba dari Ki Gede. Tombak pendek di tangan kanannya di angkat  tinggi-tinggi kemudian ujungnya diputar dua kali. Pasukan pengawal Matesih pun dengan teratur bergerak mundur sampai sejauh jangkauan aman dari panah dan lembing lawan.

Begitu pasukan pengawal Matesih mundur beberapa tombak ke belakang, gelombang serangan anak panah dan lembing itu pun dengan sendirinya telah berhenti.

Sejenak kemudian, satu dua orang pengawal yang sempat tersentuh anak panah lawan segera mengobati luka mereka. Luka-luka itu memang tidak akan banyak berarti. Namun jika tidak segera diobati, tidak menutup kemungkinan jika mereka telah terjun dalam pertempuran yang sebenarnya, luka itu dapat mengalirkan darah kembali, dan lambat laun itu akan dapat mempengaruhi ketahanan tubuh mereka.

Dalam pada itu pertempuran di halaman sebelah barat padepokan telah merambah ke ilmu simpanan masing-masing. Ki Jayaraga yang bertempur melawan Ki Brukut telah dikejutkan oleh sejenis ilmu yang sudah jarang ditemukan.

Pada awalnya guru Glagah Putih itu belum menyadari ketika lawannya bergerak berputar-putar dengan cepatnya mengelilingi dirinya. Dari kedua tangan Ki Brukut menyambar-nyambar angin dingin yang terasa menerpa tubuhnya.

“Ilmu apa lagi yang akan dipamerkan oleh orang ini?” berkata Ki Jayaraga dalam hati sambil terus mengimbangi gerak lawannya. Karena lawannya bergerak mengitari dirinya, Ki Jayaraga pun akhirnya ikut bergerak berputaran untuk menghindari kesempatan lawan  menyerangnya dari arah belakang.

Lambat laun Ki Jayaraga merasakan sesuatu yang aneh sedang menjalari kesadarannya. Sinar Matahari yang masih sangat lemah serta angin pagi yang bertiup sepoi-sepoi terasa bagaikan membelai-belai tengkuknya. Ditambah dengan gerak Ki Jayaraga yang terus berputaran mengikuti gerak lawan telah membuat kepala Ki Jayaraga menjadi pening.

“Gila!” geram Ki Jayaraga dalam hati sambil berusaha menghilangkan rasa pening di kepalanya yang semakin mencengkeram otaknya.

Namun Ki Jayaraga bertempur terus. Sementara semakin lama gerak putaran lawannya semakin cepat dan Ki Jayaraga mulai mengalami kesulitan untuk mengatasi rasa pening yang mencengkeram otaknya. Sejalan dengan rasa pening yang tak tertahankan itu,  Ki Jayaraga pun merasakan kekuatannya sedikit demi sedikit juga mulai terasa melemah.

Ki Jayaraga menjadi heran sendiri dengan keadaan dirinya. Memang usia Ki Jayaraga sudah cukup tua, sehingga sudah sewajarnya jika tenaga wadagnya ikut menyusut seiring dengan bertambahnya usia. Namun dia merasa tenaga cadangannya masih sangat mendukung. Dengan tenaga cadangan yang nyaris sempurna, kekuatan wadagnya yang mulai menyusut masih dapat diatasinya.

Namun yang terjadi kini benar-benar diluar penalarannya. Tenaga cadangannya lambat laun juga mulai ikut menyusut.

Sebenarnyalah Ki Jayaraga telah terpancing oleh gerakan lawan yang berputaran mengelilingi dirinya. Selain itu sentuhan angin yang menerpa dari kedua belah tangan lawannya terasa betapa sejuk dan lembutnya sehingga lambat laun telah mempengaruhi daya penalarannya.

“Anak iblis!” geram Ki Jayaraga dalam hati begitu menyadari selain rasa pening dan tenaganya yang perlahan menyusut, rasa kantuk yang luar biasa kini mulai terasa  mengganggunya.

Untunglah ki Jayaraga yang telah banyak makan asam garamnya pertempuran itu segera menyadari apa yang sedang terjadi. Agaknya lawan memiliki sejenis ilmu yang dapat mempengaruhi daya penalarannya. Selain rasa pening dan kantuk yang tak tertahankan, tenaganya pun terasa semakin lama semakin menyusut.

“Gila! Ini harus segera dihentikan!” geram Ki Jayaraga dalam hati sambil berusaha mengerahkan ketahanan nalar dan budinya untuk melawan rasa pening dan kantuk yang tiada taranya itu, “Rasa-rasanya aku pernah mengenali ilmu semacam ini. Namun agaknya orang ini telah mengetrapkan ilmunya dengan sangat halus sehingga aku hampir luput mengenalinya.”

Setelah yakin dengan kesimpulannya, Ki Jayaraga segera meloncat mundur keluar dari lingkaran pertempuran untuk mengambil jarak. Ketika Ki Brukut kemudian memburunya untuk menjaga jarak agar tetap mampu mempengaruhi lawan dengan ilmunya, tanah sejengkal di hadapannya tiba-tiba saja telah meledak menyemburkan uap air yang mendidih serta bergumpal-gumpal tanah yang membara.

“Syetaan..!” teriak Ki Brukut sambil meloncat mundur menghindari semburan uap air panas yang hampir menyentuh kakinya.

Kesempatan itu segera dipergunakan oleh Ki Jayaraga dengan sebaik-baiknya. Setelah menyilangkan kedua tangannya sekejap di depan dada, terasa hawa yang segar menyelusuri sekujur tubuhnya sehingga rasa pening dan kantuk  yang mencengkeramnya selama ini perlahan mulai menghilang. Sejalan dengan itu, tenaganya pun terasa mulai pulih kembali.


Ketika ki Jayaraga kemudian memandang ke depan, tampak lawannya itu sedang menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Sejenak kemudian tangan kanannya terlihat bergerak ke depan membentuk sebuah cakar yang nggegirisi. Sedangkan tangan kirinya terkepal di samping pinggang. Sementara sepasang matanya menatap tajam ke arah Ki Jayaraga dengan tatapan liar, seliar tatapan seekor singa gurun.

16 komentar :

  1. matur suwun mBah...menawi rinaning penggalih, mbok sekali2 tripple mBah....ben do bungah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur suwun mBah.....niku usulanipon mas aryo mboten usah di-turuti kemawon....manawi mBah_Man maringi kuartalan wedaran (nek jaman rumiyin nampi rapor SD. pas kuartalan)...namine mboten nuruti mas aryo.....

      ....hehehe.....

      Hapus
    2. Matur suwun Mbah Man, kulo kinten usulan Mas Aryo kaleh Dik Har niku sae, nopo meleh umpami dipun turuti. Yen kulo usul malah mboten neko2 Mbah, namung nyuwun salah setunggale usulun niku wou dipun realisasikan mawon hehehe

      Hapus

    3. “Anak iblis!” geram Ki Jayaraga.
      “Syetaan..!” teriak Ki Brukut.
      "Sudah ... sudah...!!" kataku kemudian "sesama genderuwo gayam mbok sing rukun, ora usah padu".

      .... dilanjut Mbah Man, sumonggo ....

      Hapus
  2. Mantaps... Ternyata Ki Jayaraga masih bertarung dengan sengitnya...
    Matur nuwun Panembahan...

    BalasHapus
  3. Matur nuwun Mbah Man ..... tetap semangat !

    BalasHapus
  4. Ki Jayaraga keteteran.... mbok ya keluarkan "sigar Bumi" ben sigar si Brukut kuwi.
    Matur nuwun Mbah_Man.

    BalasHapus
  5. Matur nuwun sanget mbah Man, seri 7-13 ipun.

    BalasHapus
  6. Matur nuwun sanget mbah Man, seri 7-13 ipun.

    BalasHapus
  7. Matur nuwun sanget mbah Man, seri 7-13 ipun.

    BalasHapus
  8. Selamet pagi semua... semoga sehat dan barokah selalu untuk para can_men.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.