Minggu, 22 Oktober 2017

STSD 07_11

Dalam pada itu Glagah Putih yang telah berhasil meloncati dinding padepokan yang sangat tinggi itu sejenak tertegun. Dari atas dinding dia dapat melihat pemandangan di bawah dengan jelas. Betapa tempat itu bagaikan bekas dilanda kebakaran yang dahsyat. Perdu-perdu dan semak belukar tampak hangus terbakar menjadi abu. Pepohonan yang tinggal hanyalah batangnya saja yang menjulang namun dalam keadaan hangus menjadi arang.

“Alangkah dahsyatnya,” desis Glagah Putih tanpa sadar. Dia tidak dapat membayangkan kedahsyatan benturan yang telah terjadi antara pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu dengan kakak sepupunya, Ki Rangga Agung Sedayu.

Dengan cepat diedarkan pandangan matanya ke setiap sudut  untuk mencari barangkali dia dapat menemukan bayangan kakak sepupunya. Namun yang dicari sama sekali tidak ditemukannya. Bahkan sebuah pertempuran yang sedang berlangsung dengan sengit  telah menarik perhatiannya.

Glagah Putih segera mengenali dengan jelas salah seorang di antaranya.  Beberapa  langkah dari bekas tempat kebakaran itu, agak dekat dengan dinding padepokan, tampak Ki Waskita sedang bertempur menyabung nyawa dengan lawannya.

“Lawan Ki Waskita itu agaknya mempunyai kemampuan sebagaimana Kiai Damar Sasangka,” berkata Glagah Putih dalam hati sambil terus mengamati jalannya pertempuran dari atas dinding, “Namun menilik besarnya api yang menyelimuti tubuh lawan Ki Waskita, orang itu masih berada beberapa lapis di bawah Kiai Damar Sasangka.”

Sejenak Glagah Putih mencoba menilai perempuran yang berlangsung itu. Beberapa saat kemudian tampak suami Rara Wulan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku kira Ki Waskita akan dapat mengimbangi kemampuan lawannya,” berkata Glagah Putih kemudian dalam hati, “Namun Ki Waskita harus benar-benar memperhitungkan dengan cermat, kekuatan wadag ki Waskita yang sudah sepuh harus diperhitungkan sebelum Ki Waskita berhasil menghancurkan pertahanan kekebalan tubuh lawannya.”

Namun ternyata Glagah Putih tidak ingin membuang waktu terlalu lama dengan mengamati pertempuran itu. Ketika pandangan matanya kemudian membentur sesosok tubuh yang terbaring diam beberapa langkah dari arena pertempuran itu, dada Glagah Putih pun berdesir tajam. Dalam keremangan pagi, pandangan mata Glagah Putih yang tajam segera mengenali sesosok tubuh itu.

“Kiai Damar Sasangka..?!” desis Glagah Putih dengan jantung yang berdebaran.

Tanpa membuang waktu lagi, bagaikan seekor burung rajawali yang terbang menukik, anak laki-laki Ki Widura itupun segera meloncat turun. Begitu kedua kakinya yang kokoh itu menjejak di atas tanah, dengan bergegas dia segera mendekati tubuh yang terbaring diam itu.

Dengan langkah yang ringan tanpa menarik perhatian, Glagah Putih segera mendekat. Ketika tubuh yang terbaring diam itu sudah berada tepat di hadapannya, sejenak Glagah Putih justru menjadi ragu-ragu. Tubuh itu benar-benar terbujur kaku tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.

“Ah, biar sajalah,” berkata Glagah Putih kemudian dalam hati, “Aku tidak mempunyai pengetahuan tentang ilmu pengobatan yang mendalam. Aku takut apa yang akan aku lakukan nanti  justru dapat memperparah keadaannya jika memang dia masih ada kemungkinan untuk di tolong.”

Berpikir sampai disitu, Glagah Putih segera memutuskan  meningalkan tempat itu untuk kembali mencari keberadaan kakak sepupunya.

Namun Ki Waskita yang bertempur menghadap ke arah dinding padepokan agaknya melihat kedatangannya. Maka teriak Ki Waskita kemudian sambil terus bertempur, “Glagah Putih!  Kembalilah ke dalam padepokan. Aku mendengar ada suara hiruk pikuk pasukan yang datang! Mungkin mereka adalah Ki Gede Matesih dan para pengawal. Bantulah mereka!”

“Tutup mulutmu orang tua!” bentak lawannya sambil meningkatkan serangannya yang membadai, “Aku telah bersumpah membunuh kalian semua sebagai tebusan atas nyawa guruku!”

Namun yang terdengar kemudian adalah suara tawa Ki Waskita.

Berkata Ki Waskita kemudian di sela-sela tawanya, “Jangan terlalu sesorah Ki Sanak. Menghadapi orang tua seperti aku ini saja engkau sedari tadi belum dapat berbuat banyak. Apalagi dengan sepasukan pengawal dari Matesih!”

“Persetan..!” bentak Putut Sambernyawa sambil menerjang lawannya dengan puluhan lidah api yang membara. Namun Ki Waskita dengan tangkasnya masih dapat menghindar.

Untuk beberapa saat Glagah Putih masih belum beranjak dari tempatnya. Dalam benaknya masih menyisakan tanda tanya tentang keberadaan kakak sepupunya itu.

Maka ketika dia sudah tidak mampu lagi untuk menahan hatinya,  Glagah Putih pun kemudian ikut berteriak, “Ki Waskita! Di manakah kakang Agung Sedayu?”

Ki Waskita yang mendengar pertanyaan Glagah Putih  segera maklum bahwa anak laki-laki Ki Widura itu tentu mengkhawatirkan keadaan Ki Rangga Agung Sedayu.

Maka jawabnya kemudian tak kalah kerasnya, “Kakangmu tidak apa-apa! Dia sedang bersama seseorang untuk menyembuhkan lukanya! Percayalah! Kakangmu dalam keadaan selamat!”


“Omong kosong!” teriak Putut Sambernyawa menggelegar sambil melontarkan berpuluh lidah api yang menyembur dari kedua telapak tangannya, “Dia sekarang ini pasti sedang meregang nyawa, atau bahkan sudah menjadi mayat. Aji sapta dhahana tidak ada duanya. Belum ada seorang pun yang mampu menahan kedahsyatannya. Jika tubuh ki Rangga masih terhindar dari kehancuran, tetapi aku yakin, tubuh bagian dalamnya pasti sudah luluh lantak menjadi abu. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu menahan kedahsyatan aji sapta dhahana!”

8 komentar :

  1. "Omong kosong...!" Orang itu membentak Ki Waskita. Biar kualat dia berani membentak orang yg lebih tua.
    Matur nuwun, Mbah_Man. Dua rontal sekali gus. Sehat selalu, Mbah_Man.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ha..ha..betul kuwalat dah,bentak orang tua..monggo

      Hapus
  2. Matur nuwun Mbah Man, ketinggalan ..... tetap semangat !

    BalasHapus
  3. Matur nuwun Kiai Haji Panembahan. Benar2 pertempuran yang dahsyat dan dipenuhi emosi balas dendam dari Putut Sambernyowo....

    BalasHapus
  4. matur nuwun sanget wedaranipun mbah Man ... baru bisa mampir taman bacaan sudah ada 2 wedaran siap baca .... mantaaapp ....

    BalasHapus
  5. Di sini kok sepi komen? Apakah langsung lompat ke 07_12, karena di sini kurang mengundang perhatian? Nasibnya seperti Bpk. Panglima, diundang akan tetapi sekaligus tdk boleh datang. Eh... maaf, jadi melantur... sejahtra selalu, Mbah_Man.

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.