Dalam pada itu Glagah Putih
yang telah berhasil meloncati dinding padepokan yang sangat tinggi itu sejenak
tertegun. Dari atas dinding dia dapat melihat pemandangan di bawah dengan
jelas. Betapa tempat itu bagaikan bekas dilanda kebakaran yang dahsyat.
Perdu-perdu dan semak belukar tampak hangus terbakar menjadi abu. Pepohonan
yang tinggal hanyalah batangnya saja yang menjulang namun dalam keadaan hangus
menjadi arang.
“Alangkah dahsyatnya,” desis
Glagah Putih tanpa sadar. Dia tidak dapat membayangkan kedahsyatan benturan
yang telah terjadi antara pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu dengan kakak
sepupunya, Ki Rangga Agung Sedayu.
Dengan cepat diedarkan
pandangan matanya ke setiap sudut untuk
mencari barangkali dia dapat menemukan bayangan kakak sepupunya. Namun yang
dicari sama sekali tidak ditemukannya. Bahkan sebuah pertempuran yang sedang
berlangsung dengan sengit telah menarik
perhatiannya.
Glagah Putih segera
mengenali dengan jelas salah seorang di antaranya. Beberapa
langkah dari bekas tempat kebakaran itu, agak dekat dengan dinding
padepokan, tampak Ki Waskita sedang bertempur menyabung nyawa dengan lawannya.
“Lawan Ki Waskita itu
agaknya mempunyai kemampuan sebagaimana Kiai Damar Sasangka,” berkata Glagah
Putih dalam hati sambil terus mengamati jalannya pertempuran dari atas dinding,
“Namun menilik besarnya api yang menyelimuti tubuh lawan Ki Waskita, orang itu
masih berada beberapa lapis di bawah Kiai Damar Sasangka.”
Sejenak Glagah Putih mencoba
menilai perempuran yang berlangsung itu. Beberapa saat kemudian tampak suami
Rara Wulan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku kira Ki Waskita akan
dapat mengimbangi kemampuan lawannya,” berkata Glagah Putih kemudian dalam
hati, “Namun Ki Waskita harus benar-benar memperhitungkan dengan cermat,
kekuatan wadag ki Waskita yang sudah sepuh harus diperhitungkan sebelum Ki
Waskita berhasil menghancurkan pertahanan kekebalan tubuh lawannya.”
Namun ternyata Glagah Putih
tidak ingin membuang waktu terlalu lama dengan mengamati pertempuran itu.
Ketika pandangan matanya kemudian membentur sesosok tubuh yang terbaring diam
beberapa langkah dari arena pertempuran itu, dada Glagah Putih pun berdesir
tajam. Dalam keremangan pagi, pandangan mata Glagah Putih yang tajam segera mengenali
sesosok tubuh itu.
“Kiai Damar Sasangka..?!”
desis Glagah Putih dengan jantung yang berdebaran.
Tanpa membuang waktu lagi, bagaikan
seekor burung rajawali yang terbang menukik, anak laki-laki Ki Widura itupun
segera meloncat turun. Begitu kedua kakinya yang kokoh itu menjejak di atas tanah,
dengan bergegas dia segera mendekati tubuh yang terbaring diam itu.
Dengan langkah yang ringan
tanpa menarik perhatian, Glagah Putih segera mendekat. Ketika tubuh yang
terbaring diam itu sudah berada tepat di hadapannya, sejenak Glagah Putih justru
menjadi ragu-ragu. Tubuh itu benar-benar terbujur kaku tidak ada tanda-tanda
kehidupan sama sekali.
“Ah, biar sajalah,” berkata
Glagah Putih kemudian dalam hati, “Aku tidak mempunyai pengetahuan tentang ilmu
pengobatan yang mendalam. Aku takut apa yang akan aku lakukan nanti justru dapat memperparah keadaannya jika
memang dia masih ada kemungkinan untuk di tolong.”
Berpikir sampai disitu,
Glagah Putih segera memutuskan
meningalkan tempat itu untuk kembali mencari keberadaan kakak sepupunya.
Namun Ki Waskita yang
bertempur menghadap ke arah dinding padepokan agaknya melihat kedatangannya.
Maka teriak Ki Waskita kemudian sambil terus bertempur, “Glagah Putih! Kembalilah ke dalam padepokan. Aku mendengar
ada suara hiruk pikuk pasukan yang datang! Mungkin mereka adalah Ki Gede
Matesih dan para pengawal. Bantulah mereka!”
“Tutup mulutmu orang tua!”
bentak lawannya sambil meningkatkan serangannya yang membadai, “Aku telah
bersumpah membunuh kalian semua sebagai tebusan atas nyawa guruku!”
Namun yang terdengar kemudian adalah
suara tawa Ki Waskita.
Berkata Ki Waskita kemudian
di sela-sela tawanya, “Jangan terlalu sesorah Ki Sanak. Menghadapi orang tua
seperti aku ini saja engkau sedari tadi belum dapat berbuat banyak. Apalagi
dengan sepasukan pengawal dari Matesih!”
“Persetan..!” bentak Putut
Sambernyawa sambil menerjang lawannya dengan puluhan lidah api yang membara.
Namun Ki Waskita dengan tangkasnya masih dapat menghindar.
Untuk beberapa saat Glagah
Putih masih belum beranjak dari tempatnya. Dalam benaknya masih menyisakan
tanda tanya tentang keberadaan kakak sepupunya itu.
Maka ketika dia sudah tidak
mampu lagi untuk menahan hatinya, Glagah
Putih pun kemudian ikut berteriak, “Ki Waskita! Di manakah kakang Agung
Sedayu?”
Ki Waskita yang mendengar
pertanyaan Glagah Putih segera maklum bahwa anak laki-laki Ki Widura itu
tentu mengkhawatirkan keadaan Ki Rangga Agung Sedayu.
Maka jawabnya kemudian tak
kalah kerasnya, “Kakangmu tidak apa-apa! Dia sedang bersama seseorang untuk
menyembuhkan lukanya! Percayalah! Kakangmu dalam keadaan selamat!”
“Omong kosong!” teriak Putut
Sambernyawa menggelegar sambil melontarkan berpuluh lidah api yang menyembur
dari kedua telapak tangannya, “Dia sekarang ini pasti sedang meregang nyawa,
atau bahkan sudah menjadi mayat. Aji sapta dhahana tidak ada duanya. Belum ada
seorang pun yang mampu menahan kedahsyatannya. Jika tubuh ki Rangga masih
terhindar dari kehancuran, tetapi aku yakin, tubuh bagian dalamnya pasti sudah
luluh lantak menjadi abu. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu menahan
kedahsyatan aji sapta dhahana!”
"Omong kosong...!" Orang itu membentak Ki Waskita. Biar kualat dia berani membentak orang yg lebih tua.
BalasHapusMatur nuwun, Mbah_Man. Dua rontal sekali gus. Sehat selalu, Mbah_Man.
ha..ha..betul kuwalat dah,bentak orang tua..monggo
HapusTerima Kasih Mbah Man
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man, ketinggalan ..... tetap semangat !
BalasHapusMatur nuwun Kiai Haji Panembahan. Benar2 pertempuran yang dahsyat dan dipenuhi emosi balas dendam dari Putut Sambernyowo....
BalasHapusTerima Kasih Banyak Mbah Man
BalasHapusmatur nuwun sanget wedaranipun mbah Man ... baru bisa mampir taman bacaan sudah ada 2 wedaran siap baca .... mantaaapp ....
BalasHapusDi sini kok sepi komen? Apakah langsung lompat ke 07_12, karena di sini kurang mengundang perhatian? Nasibnya seperti Bpk. Panglima, diundang akan tetapi sekaligus tdk boleh datang. Eh... maaf, jadi melantur... sejahtra selalu, Mbah_Man.
BalasHapus