Dalam pada itu, di
dalam bilik banjar padukuhan induk, ketiga orang tua itu ternyata masih
meneruskan perbincangan mereka.
“Ki Bango Lamatan,”
berkata Ki Jayaraga kemudian setelah tawa mereka mereda, “Apakah Ki Bango
Lamatan mengenal juga guru Ki Rangga Agung Sedayu, Kiai Gringsing atau yang
lebih dikenal sebagai orang bercambuk? Beliau adalah salah satu angkatan tua
yang sudah meninggalkan kita. Namun kedahsyatan ilmunya sampai sekarang masih
dikenang. Pada saat terjadi perang tanding antara orang bercambuk melawan orang
yang disebut Kakang Panji, sebuah nama yang selalu membayangi pemerintahan
Pajang pada waktu itu, mereka berdua telah mengeluarkan berbagai jenis ilmu
yang saat ini sudah sangat jarang kita temui.”
Ki Waskita yang
mendengar pertanyaan guru Glagah Putih itu tampak terkejut. Namun dengan cepat
segera dihapusnya kesan itu dari wajahnya. Sedangkan Ki Bango Lamatan tampak
mengerutkan keningnya dalam-dalam.
Setelah terlebih
dahulu menarik nafas panjang, barulah Ki Bango Lamatan kemudian menjawab sambil
menggelengkan kepalanya, “Aku tidak mengenal kehidupan pribadinya secara utuh.
Aku hanya mendengar kedahsyatan ilmunya yang disadap dari sebuah perguruan yang
pernah berjaya di masa akhir kerajaan Majapahit. Itu pun menurut penuturan
Kecruk Putih yang bergelar Panembahan Cahya Warastra,” Ki Bango Lamatan
berhenti sebentar untuk sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun
kedahsyatan ilmunya itu telah aku rasakan sendiri walaupun secara tidak
langsung.”
Hampir bersamaan Ki
Waskita dan Ki Jayaraga mengerutkan kening mereka dalam-dalam. Bertanya Ki
Jayaraga kemudian, “Maksud Ki Bango Lamatan?”
Ki Bango Lamatan
menarik nafas panjang terlebih dahulu untuk meredakan dadanya yang tiba-tiba
saja terasa pepat. Kenangan pahit itu memang tidak akan pernah terlupakan
sepanjang hidupnya.
“Pada awalnya aku
mendapat tugas dari Panembahan Cahya Warastra atau Kecruk Putih untuk menemui
dan sekaligus membujuk orang bercambuk itu agar bersedia bergabung dengannya,
atau setidak-tidaknya tidak berpihak atau mengambil peran baik kepada Mataram maupun
Madiun,” jawab Ki Bango Lamatan kemudian memulai ceritanya.
“Kecruk Putih yang
mana? Yang terbunuh oleh Ki Patih Mandaraka ataukah saudara kembarnya yang
mampu mateg aji Brahala Wuru namun yang mampu dijinakkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu?”
Ki Waskita yang beberapa saat hanya diam saja kemudian dengan serta merta
menyahut.
Ki Bango Lamatan
tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Ki Waskita. Berbagai kenangan dengan
saudara kembar Panembahan Cahya Warastra itupun melintas sekilas dalam
benaknya.
“Tentu saja Kecruk Putih
yang sebenarnya, Ki,” jawab Ki Bango Lamatan kemudian, “Saudara kembar Kecruk Putih
itu tidak begitu mengenal keadaan di tanah Jawa ini. Waktunya dihabiskan untuk
menuntut ilmu jauh di tanah seberang.”
Hampir bersamaan kepala
kedua orang tua itu terangguk-angguk. Sejenak kemudian suasana menjadi sepi.
Ketiga orang tua itu pun tampaknya sedang terombang-ambing oleh kenangan masa
lalu yang mengasyikkan.
“Bagaimana cerita
selanjutnya, Ki? Apakah Ki Bango Lamatan berhasil menjumpai orang bercambuk
itu?” bertanya Ki Jayaraga kemudian memecah kesepian.
“Ya, aku berhasil
menjumpainya di tepian kali opak,” jawab Ki Bango Lamatan sambil menganggukkan
kepalanya.
“Apa jawab orang
bercambuk itu, Ki?” desak Ki Jayaraga yang terlihat sangat penasaran itu.
Kembali Ki Bango
Lamatan menarik nafas panjang. Ada segores luka yang masih membekas di
jantungnya walaupun kini luka itu telah sembuh berkat nasihat dan petunjuk
tentang kawruh kehidupan dari Ki Ajar Mintaraga. Namun bekas luka itu tidak
akan pernah hilang sepanjang hayat masing dikandung badan.
“Bagaimana, Ki?”
kembali terdengar Ki Jayaraga mengajukan sebuah pertanyaan begitu dilihatnya Ki
Bango Lamatan justru termenung sejenak.
Ki Bango Lamatan
tersenyum mendengar pertanyaan orang yang pernah malang melintang dalam
bayang-bayang kehidupan kelam itu. Jawabnya kemudian, “Aku terlalu yakin dengan
kemampuanku dan menganggap kemampuan orang bercambuk itu masih selapis di
bawahku. Walaupun sebenarnya sebelum berangkat menunaikan tugas, Panembahan
Cahya Warastra telah mewanti-wanti jangan sampai aku melukai hatinya ataupun
membuatnya gusar.”
Kembali kedua orang
tua itu tampak mengerutkan kening mereka dalam-dalam. Dalam hati mereka berdua
menduga bahwa Ki Bango Lamatan tentu telah membuat Kiai Gringsing itu tersinggung
dan dengan ilmunya yang sangat tinggi telah mengusir Ki Bango Lamatan.
“Apakah orang
bercambuk itu kemudian menjadi tersinggung dan mengusir Ki Bango Lamatan?”
akhirnya pertanyaan yang menggumpal dalam dada Ki Jayaraga itu pun terlontar
keluar.
Namun jawaban Ki
Bango Lamatan justru telah membuat kedua orang itu itu terheran-heran.
Sambil menggeleng
lemah, Ki Bango Lamatan pun kemudian menjawab, “Tidak, Ki. Orang bercambuk itu
tidak berbuat apa-apa kepadaku. Justru muridnya yang bernama Agung Sedayu itulah
yang telah mampu mematahkan kesombonganku selama ini.”
“He?!” serentak kedua
orang itu pun berseru tertahan dengan nada penuh keheranan.
Untuk sejenak bilik
di ruang dalam banjar padukuhan itu menjadi sunyi. Ki Waskita dan Ki Jayaraga
benar-benar tidak habis mengerti. Ki Bango Lamatan dapat dikatakan termasuk
golongan angkatan tua pada saat itu, walaupun tentu saja belum dapat
disejajarkan dengan Kiai Gringsing. Namun penjelasan Ki Bango Lamatan yang baru
saja mereka dengar benar-benar di luar nalar.
“Seingatku sebelum
pecah perang antara Mataram dengan Madiun kemampuan Angger Agung Sedayu belum menyamai
gurunya, walaupun sudah dapat dikatakan jarang ada tandingannya,” berkata Ki
Waskita kemudian perlahan seolah ditujukan kepada dirinya sendiri.
“Ada satu kelebihan
yang dimiliki oleh Ki Rangga Agung Sedayu,” tiba-tiba saja Ki Bango Lamatan
menyela, “Selain berilmu tinggi, Ki Rangga selalu menggunakan otaknya dalam
mengatasi setiap permasalahan yang timbul, baik dalam pertempuan maupun di luar
pertempuran.”
“Ki Bango Lamatan
benar,” sahut Ki jayaraga dengan serta merta. Sedangkan Ki Waskita hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya karena Ki Waskita sudah membuktikan sendiri.
Betapa kemampuan otak Ki Rangga memang sangat cemerlang. Hanya dalam waktu
semalam mampu menghafal isi kitab peninggalan perguruan Ki Waskita yang dipinjamkan
kepadanya.
“Jarang ada yang
memiliki kemampuan seperti itu,” berkata Ki Waskita dalam hati, “Pada awalnya
aku mengira Angger Agung Sedayu hanya akan membaca dan menghafal salah satu
dari sekian banyak jenis ilmu yang terdapat dalam kitab itu. Namun ternyata dia
justru membaca dan menghafal seluruh isi
kitab itu dan memahatkannya di dinding-dinding hatinya untuk di kemudian hari, satu
persatu dipelajari dan ditekuninya sampai tuntas.”
Matur nuwun sanget Mban Man rezeki pagi dihari ini diawali dengan nostalgia dengan napak tilas kenangan cerita SH Mintardja pada saat beliau menulis ADBM...hehehe
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man ...
BalasHapusApakah orang itu Kiai grising???.... Kita tunggu episode wedaran selanjutnya... Matursuwun paman ...
BalasHapusketurunan Panembahan Ismaya .. Pasingsingan Sepuh
HapusMantaps.... Matur nuwun Kiai Haji Panembahan....
BalasHapusAlhamdulillah
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man