Senin, 25 Februari 2019

STSD 13_03

Dalam pada itu, di dalam bilik banjar padukuhan induk, ketiga orang tua itu ternyata masih meneruskan perbincangan mereka.
“Ki Bango Lamatan,” berkata Ki Jayaraga kemudian setelah tawa mereka mereda, “Apakah Ki Bango Lamatan mengenal juga guru Ki Rangga Agung Sedayu, Kiai Gringsing atau yang lebih dikenal sebagai orang bercambuk? Beliau adalah salah satu angkatan tua yang sudah meninggalkan kita. Namun kedahsyatan ilmunya sampai sekarang masih dikenang. Pada saat terjadi perang tanding antara orang bercambuk melawan orang yang disebut Kakang Panji, sebuah nama yang selalu membayangi pemerintahan Pajang pada waktu itu, mereka berdua telah mengeluarkan berbagai jenis ilmu yang saat ini sudah sangat jarang kita temui.”
Ki Waskita yang mendengar pertanyaan guru Glagah Putih itu tampak terkejut. Namun dengan cepat segera dihapusnya kesan itu dari wajahnya. Sedangkan Ki Bango Lamatan tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam.
Setelah terlebih dahulu menarik nafas panjang, barulah Ki Bango Lamatan kemudian menjawab sambil menggelengkan kepalanya, “Aku tidak mengenal kehidupan pribadinya secara utuh. Aku hanya mendengar kedahsyatan ilmunya yang disadap dari sebuah perguruan yang pernah berjaya di masa akhir kerajaan Majapahit. Itu pun menurut penuturan Kecruk Putih yang bergelar Panembahan Cahya Warastra,” Ki Bango Lamatan berhenti sebentar untuk sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun kedahsyatan ilmunya itu telah aku rasakan sendiri walaupun secara tidak langsung.”
Hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Jayaraga mengerutkan kening mereka dalam-dalam. Bertanya Ki Jayaraga kemudian, “Maksud Ki Bango Lamatan?”
Ki Bango Lamatan menarik nafas panjang terlebih dahulu untuk meredakan dadanya yang tiba-tiba saja terasa pepat. Kenangan pahit itu memang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidupnya.
“Pada awalnya aku mendapat tugas dari Panembahan Cahya Warastra atau Kecruk Putih untuk menemui dan sekaligus membujuk orang bercambuk itu agar bersedia bergabung dengannya, atau setidak-tidaknya tidak berpihak atau mengambil peran baik kepada Mataram maupun Madiun,” jawab Ki Bango Lamatan kemudian memulai ceritanya.
“Kecruk Putih yang mana? Yang terbunuh oleh Ki Patih Mandaraka ataukah saudara kembarnya yang mampu mateg aji Brahala Wuru namun yang mampu dijinakkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu?” Ki Waskita yang beberapa saat hanya diam saja kemudian dengan serta merta menyahut.
Ki Bango Lamatan tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Ki Waskita. Berbagai kenangan dengan saudara kembar Panembahan Cahya Warastra itupun melintas sekilas dalam benaknya.
“Tentu saja Kecruk Putih yang sebenarnya, Ki,” jawab Ki Bango Lamatan kemudian, “Saudara kembar Kecruk Putih itu tidak begitu mengenal keadaan di tanah Jawa ini. Waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu jauh di tanah seberang.”
Hampir bersamaan kepala kedua orang tua itu terangguk-angguk. Sejenak kemudian suasana menjadi sepi. Ketiga orang tua itu pun tampaknya sedang terombang-ambing oleh kenangan masa lalu yang mengasyikkan.
“Bagaimana cerita selanjutnya, Ki? Apakah Ki Bango Lamatan berhasil menjumpai orang bercambuk itu?” bertanya Ki Jayaraga kemudian memecah kesepian.
“Ya, aku berhasil menjumpainya di tepian kali opak,” jawab Ki Bango Lamatan sambil menganggukkan kepalanya.
“Apa jawab orang bercambuk itu, Ki?” desak Ki Jayaraga yang terlihat sangat penasaran itu.
Kembali Ki Bango Lamatan menarik nafas panjang. Ada segores luka yang masih membekas di jantungnya walaupun kini luka itu telah sembuh berkat nasihat dan petunjuk tentang kawruh kehidupan dari Ki Ajar Mintaraga. Namun bekas luka itu tidak akan pernah hilang sepanjang hayat masing dikandung badan.
“Bagaimana, Ki?” kembali terdengar Ki Jayaraga mengajukan sebuah pertanyaan begitu dilihatnya Ki Bango Lamatan justru termenung sejenak.
Ki Bango Lamatan tersenyum mendengar pertanyaan orang yang pernah malang melintang dalam bayang-bayang kehidupan kelam itu. Jawabnya kemudian, “Aku terlalu yakin dengan kemampuanku dan menganggap kemampuan orang bercambuk itu masih selapis di bawahku. Walaupun sebenarnya sebelum berangkat menunaikan tugas, Panembahan Cahya Warastra telah mewanti-wanti jangan sampai aku melukai hatinya ataupun membuatnya gusar.”
Kembali kedua orang tua itu tampak mengerutkan kening mereka dalam-dalam. Dalam hati mereka berdua menduga bahwa Ki Bango Lamatan tentu telah membuat Kiai Gringsing itu tersinggung dan dengan ilmunya yang sangat tinggi telah mengusir Ki Bango Lamatan.
“Apakah orang bercambuk itu kemudian menjadi tersinggung dan mengusir Ki Bango Lamatan?” akhirnya pertanyaan yang menggumpal dalam dada Ki Jayaraga itu pun terlontar keluar.
Namun jawaban Ki Bango Lamatan justru telah membuat kedua orang itu itu terheran-heran.
Sambil menggeleng lemah, Ki Bango Lamatan pun kemudian menjawab, “Tidak, Ki. Orang bercambuk itu tidak berbuat apa-apa kepadaku. Justru muridnya yang bernama Agung Sedayu itulah yang telah mampu mematahkan kesombonganku selama ini.”
“He?!” serentak kedua orang itu pun berseru tertahan dengan nada penuh keheranan.
Untuk sejenak bilik di ruang dalam banjar padukuhan itu menjadi sunyi. Ki Waskita dan Ki Jayaraga benar-benar tidak habis mengerti. Ki Bango Lamatan dapat dikatakan termasuk golongan angkatan tua pada saat itu, walaupun tentu saja belum dapat disejajarkan dengan Kiai Gringsing. Namun penjelasan Ki Bango Lamatan yang baru saja mereka dengar benar-benar di luar nalar.
“Seingatku sebelum pecah perang antara Mataram dengan Madiun kemampuan Angger Agung Sedayu belum menyamai gurunya, walaupun sudah dapat dikatakan jarang ada tandingannya,” berkata Ki Waskita kemudian perlahan seolah ditujukan kepada dirinya sendiri.
“Ada satu kelebihan yang dimiliki oleh Ki Rangga Agung Sedayu,” tiba-tiba saja Ki Bango Lamatan menyela, “Selain berilmu tinggi, Ki Rangga selalu menggunakan otaknya dalam mengatasi setiap permasalahan yang timbul, baik dalam pertempuan maupun di luar pertempuran.”
“Ki Bango Lamatan benar,” sahut Ki jayaraga dengan serta merta. Sedangkan Ki Waskita hanya mengangguk-anggukkan kepalanya karena Ki Waskita sudah membuktikan sendiri. Betapa kemampuan otak Ki Rangga memang sangat cemerlang. Hanya dalam waktu semalam mampu menghafal isi kitab peninggalan perguruan Ki Waskita yang dipinjamkan kepadanya.

“Jarang ada yang memiliki kemampuan seperti itu,” berkata Ki Waskita dalam hati, “Pada awalnya aku mengira Angger Agung Sedayu hanya akan membaca dan menghafal salah satu dari sekian banyak jenis ilmu yang terdapat dalam kitab itu. Namun ternyata dia justru  membaca dan menghafal seluruh isi kitab itu dan memahatkannya di dinding-dinding hatinya untuk di kemudian hari, satu persatu dipelajari dan ditekuninya sampai tuntas.”

6 komentar :

  1. Matur nuwun sanget Mban Man rezeki pagi dihari ini diawali dengan nostalgia dengan napak tilas kenangan cerita SH Mintardja pada saat beliau menulis ADBM...hehehe

    BalasHapus
  2. Apakah orang itu Kiai grising???.... Kita tunggu episode wedaran selanjutnya... Matursuwun paman ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. keturunan Panembahan Ismaya .. Pasingsingan Sepuh

      Hapus
  3. Mantaps.... Matur nuwun Kiai Haji Panembahan....

    BalasHapus
  4. Alhamdulillah
    Matur nuwun Mbah Man

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.