Selasa, 12 Februari 2019

STSD 13_02

Kedua orang tua itu sejenak terdiam sambil menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Waskita masih tetap pada pendiriannya untuk tidak membuka jati diri orang berkerudung itu. Berbagai dugaan pun hilir mudik dalam benak mereka. Namun sesungguhnya, mereka berdua walaupun tidak terucapkan telah menebak sebuah nama, terutama Ki Jayaraga.
“Nah,” berkata Ki Waskita kemudian begitu melihat kedua sahabatnya itu sepertinya telah dapat menerima penjelasan serta alasan-alasan yang dikemukakannya, “Aku kira penjelasanku tentang orang berkerudung itu sudah cukup. Aku tidak perlu mengungkap jati diri orang berkerudung itu dengan sebenar-benarnya. Aku juga tidak perlu menyebut sebuah nama ataupun gelar. Kalian berdua bebas untuk menebaknya.”
“Ki Waskita,’” tiba-tiba Ki Bango Lamatan menyela, “Sebenarnyalah aku tidak mempunyai gambaran yang pasti tentang orang berkerudung itu,” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak untuk sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun menurut panggraitaku, orang berkerudung itu pasti dari golongan angkatan tua yang masih tersisa dengan kemampuan ilmu yang ngedab-edabi. Aku kira hanya tinggal beberapa orang saja saat ini.”
“Sejauh manakah Ki Bango Lamatan mengenal golongan yang disebut angkatan tua itu?” sahut Ki Jayaraga kemudian. Sementara Ki Waskita hanya dapat menahan nafas mendengar pertanyaan Ki Jayaraga.
Sejenak Ki Bango Lamatan termenung. Berbagai kenangan hilir mudik dalam benaknya. Kenangan masa-masa muda yang penuh dengan tantangan namun mengandung harapan setinggi langit.
“Bagaiman Ki Bango Lamatan?” desak Ki Jayaraga  membangunkan lamunan orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu.
Ki Bango Lamatan tersenyum mendengar pertanyaan Ki Jayaraga yang terkesan sedikit penasaran. Sambil tetap tersenyum Ki Bango Lamatanpun kemudian menjawab, “Sampai saat ini,  aku masih mengenal beberapa orang yang dapat dikatakan sebagi golongan   angkatan tua itu.”
Hampir bersamaan Ki Waskita dan Ki Jayaraga mengerutkan kening mereka dalam-dalam. Ki Waskita lah yang kemudian mengajukan pertanyaan, “Siapakah yang Ki Bango Lamatan maksud?”
Kembali Ki Bango Lamatan terseyum penuh arti. Jawabnya kemudian, “Di antara golongan angkatan tua yang masih ada itu sekarang ada di sini, walaupun sudah cukup sepuh, akan tetapi masih menyimpan ilmu yang pilih tanding dan dahsyat tiada taranya.”
Kembali kedua orang tua itu mengerutkan keningnya. Namun Ki Jayaraga yang memang senang bergurau itu akhirnya menimpali, “Ya, aku juga mengenali mereka. Salah satunya sekarang sudah benar-benar tua bangka. Tergeletak di atas amben tak berdaya. Dengan penyakit tua yang mulai menggerogoti usianya. Tinggal menunggu kapan waktunya tiba. Dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa.”
“Ah!” Ki Bango Lamatan dan Ki Waskita pun tidak mampu menahan tawa mereka.
“Lain halnya dengan Ki Waskita,” lanjut Ki Jayaraga kemudian sambil memandang Ki Waskita dengan sebuah senyuman yang menggoda, “Ki Waskita adalah salah satu angkatan tua yang sampai sekarang masih mampu menjaga kebugaran tubuhnya. Itu terbukti di usianya yang sudah senja, masih mampu mengawini dan membahagiakan seorang janda.”
“Ah!” kali ini tawa ketiga orang tua itu begitu kerasnya sehingga sampai terdengar di regol depan banjar padukuhan induk.
Para pengawal yang sedang bertugas jaga pun menjadi saling pandang sejenak. Namun merekapun segera tersenyum sambil mengangguk-angguk.
“Orang-orang aneh,” salah satu pengawal menyelutuk, “Bukannya tidur, mereka malah bergurau. Apakah orang-orang tua itu tidak merasa lelah atau mengantuk setelah berkeliaran hampir sepanjang malam?”
“Tentu tidak,” seorang yang berperawakan kurus menyahut, “Mereka orang-orang luar biasa. Tentu mereka sudah kalis dari segala rasa payah dan kantuk yang biasa menghinggapi orang-orang kebanyakan seperti kita ini.”
Pengawal yang lain tidak menanggapi. Namun tampak kepala mereka saja yang terangguk-angguk.
Namun tiba-tiba seorang pengawal yang lain berdesis perlahan, “Tentu mereka sedang mengenang masa-masa muda mereka yang gemilang. Menjelajahi Tanah ini dari ujung ke ujung. Dengan berbekal kemampuan ilmu  yang tinggi, memungkinkan mereka untuk berbuat apa saja menurut sekehendak hati mereka.”
“Ah, tentu tidak,” pengawal yang berperawakan kurus itu kembali menyahut, “Mereka tentu berasal dari perguruan yang beraliran putih. Pantang bagi mereka untuk berbuat sewenang wenang dengan mengandalkan ketinggian ilmu mereka. Aku justru yakin mereka itu orang-orang yang senang tapa ngrame, mendarma baktikan ilmu mereka kepada sesama dengan tanpa pamrih. Sehingga apa yang telah mereka perbuat di masa lalu, masih dapat kita rasakan sampai saat ini.”
“Engkau benar,” sela pemimpin pengawal jaga yang bertubuh tinggi besar dan sedikit berewokkan, “Mereka telah membantu Perdikan Matesih menghancurkan Padepokan Sapta Dhahana. Mereka membantu kita benar-benar dengan tanpa pamrih. Itu terlihat dari cara mereka bersikap dan berbicara kepada kita. Mereka orang-orang yang berilmu tinggi dan sangat berjasa terhadap Perdikan Matesih. Namun mereka berbicara dan bersikap kepada kita sebagaimana apa adanya. Tidak mau menunjukkan bahwa mereka mempunyai kelebihan dari kita, baik dari segi kemampuan maupun jasa yang telah mereka perbuat.”

Kembali tampak kepala para pengawal jaga itu terangguk-angguk. Dalam hati, mereka tak henti-hentinya mengagumi sepak terjang orang-orang tua itu.

12 komentar :

  1. matur suwun....... mangke kulo bendele mBah
    hal. 67 dereng wonten mBah

    BalasHapus
  2. matur-nuwun mBahMan. semoga lancar sedoyonipun.Aamiin.

    BalasHapus
  3. Matur nuwun Mbah Man, mugi tansah winantu ing karaharjan ugi pinaringan gangsar anggenipun badhe kagungan damel ...

    BalasHapus
  4. Manteps... Matur nuwun Panembahan. Semakin membuat penasaran...

    BalasHapus
  5. Terima kasih mbah Man. makin penasaran.....

    BalasHapus
  6. Matur sembah nuwun Mbah Man, semoga selalu di kasih kesehatan dan terus berkarya aamiin,,,

    BalasHapus
  7. Alhamdulillah
    Matur nuwun Mbah Man

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.