Kedua orang tua itu
sejenak terdiam sambil menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Waskita masih
tetap pada pendiriannya untuk tidak membuka jati diri orang berkerudung itu.
Berbagai dugaan pun hilir mudik dalam benak mereka. Namun sesungguhnya, mereka
berdua walaupun tidak terucapkan telah menebak sebuah nama, terutama Ki Jayaraga.
“Nah,” berkata Ki Waskita
kemudian begitu melihat kedua sahabatnya itu sepertinya telah dapat menerima
penjelasan serta alasan-alasan yang dikemukakannya, “Aku kira penjelasanku
tentang orang berkerudung itu sudah cukup. Aku tidak perlu mengungkap jati diri
orang berkerudung itu dengan sebenar-benarnya. Aku juga tidak perlu menyebut
sebuah nama ataupun gelar. Kalian berdua bebas untuk menebaknya.”
“Ki Waskita,’”
tiba-tiba Ki Bango Lamatan menyela, “Sebenarnyalah aku tidak mempunyai gambaran
yang pasti tentang orang berkerudung itu,” Ki Bango Lamatan berhenti sejenak
untuk sekedar menarik nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun menurut panggraitaku,
orang berkerudung itu pasti dari golongan angkatan tua yang masih tersisa
dengan kemampuan ilmu yang ngedab-edabi. Aku kira hanya tinggal beberapa orang
saja saat ini.”
“Sejauh manakah Ki
Bango Lamatan mengenal golongan yang disebut angkatan tua itu?” sahut Ki Jayaraga
kemudian. Sementara Ki Waskita hanya dapat menahan nafas mendengar pertanyaan
Ki Jayaraga.
Sejenak Ki Bango Lamatan
termenung. Berbagai kenangan hilir mudik dalam benaknya. Kenangan masa-masa
muda yang penuh dengan tantangan namun mengandung harapan setinggi langit.
“Bagaiman Ki Bango Lamatan?”
desak Ki Jayaraga membangunkan lamunan orang
yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu.
Ki Bango Lamatan
tersenyum mendengar pertanyaan Ki Jayaraga yang terkesan sedikit penasaran.
Sambil tetap tersenyum Ki Bango Lamatanpun kemudian menjawab, “Sampai saat ini,
aku masih mengenal beberapa orang yang
dapat dikatakan sebagi golongan angkatan tua itu.”
Hampir bersamaan Ki
Waskita dan Ki Jayaraga mengerutkan kening mereka dalam-dalam. Ki Waskita lah
yang kemudian mengajukan pertanyaan, “Siapakah yang Ki Bango Lamatan maksud?”
Kembali Ki Bango
Lamatan terseyum penuh arti. Jawabnya kemudian, “Di antara golongan angkatan
tua yang masih ada itu sekarang ada di sini, walaupun sudah cukup sepuh, akan
tetapi masih menyimpan ilmu yang pilih tanding dan dahsyat tiada taranya.”
Kembali kedua orang
tua itu mengerutkan keningnya. Namun Ki Jayaraga yang memang senang bergurau
itu akhirnya menimpali, “Ya, aku juga mengenali mereka. Salah satunya sekarang
sudah benar-benar tua bangka. Tergeletak di atas amben tak berdaya. Dengan penyakit
tua yang mulai menggerogoti usianya. Tinggal menunggu kapan waktunya tiba.
Dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa.”
“Ah!” Ki Bango
Lamatan dan Ki Waskita pun tidak mampu menahan tawa mereka.
“Lain halnya dengan
Ki Waskita,” lanjut Ki Jayaraga kemudian sambil memandang Ki Waskita dengan
sebuah senyuman yang menggoda, “Ki Waskita adalah salah satu angkatan tua yang
sampai sekarang masih mampu menjaga kebugaran tubuhnya. Itu terbukti di usianya
yang sudah senja, masih mampu mengawini dan membahagiakan seorang janda.”
“Ah!” kali ini tawa
ketiga orang tua itu begitu kerasnya sehingga sampai terdengar di regol depan
banjar padukuhan induk.
Para pengawal yang
sedang bertugas jaga pun menjadi saling pandang sejenak. Namun merekapun segera
tersenyum sambil mengangguk-angguk.
“Orang-orang aneh,”
salah satu pengawal menyelutuk, “Bukannya tidur, mereka malah bergurau. Apakah
orang-orang tua itu tidak merasa lelah atau mengantuk setelah berkeliaran
hampir sepanjang malam?”
“Tentu tidak,”
seorang yang berperawakan kurus menyahut, “Mereka orang-orang luar biasa. Tentu
mereka sudah kalis dari segala rasa
payah dan kantuk yang biasa menghinggapi orang-orang kebanyakan seperti kita
ini.”
Pengawal yang lain
tidak menanggapi. Namun tampak kepala mereka saja yang terangguk-angguk.
Namun tiba-tiba
seorang pengawal yang lain berdesis perlahan, “Tentu mereka sedang mengenang
masa-masa muda mereka yang gemilang. Menjelajahi Tanah ini dari ujung ke ujung.
Dengan berbekal kemampuan ilmu yang
tinggi, memungkinkan mereka untuk berbuat apa saja menurut sekehendak hati
mereka.”
“Ah, tentu tidak,” pengawal
yang berperawakan kurus itu kembali menyahut, “Mereka tentu berasal dari
perguruan yang beraliran putih. Pantang bagi mereka untuk berbuat sewenang
wenang dengan mengandalkan ketinggian ilmu mereka. Aku justru yakin mereka itu
orang-orang yang senang tapa ngrame, mendarma
baktikan ilmu mereka kepada sesama dengan tanpa pamrih. Sehingga apa yang telah
mereka perbuat di masa lalu, masih dapat kita rasakan sampai saat ini.”
“Engkau benar,” sela
pemimpin pengawal jaga yang bertubuh tinggi besar dan sedikit berewokkan,
“Mereka telah membantu Perdikan Matesih menghancurkan Padepokan Sapta Dhahana.
Mereka membantu kita benar-benar dengan tanpa pamrih. Itu terlihat dari cara
mereka bersikap dan berbicara kepada kita. Mereka orang-orang yang berilmu
tinggi dan sangat berjasa terhadap Perdikan Matesih. Namun mereka berbicara dan
bersikap kepada kita sebagaimana apa adanya. Tidak mau menunjukkan bahwa mereka
mempunyai kelebihan dari kita, baik dari segi kemampuan maupun jasa yang telah
mereka perbuat.”
Kembali tampak kepala
para pengawal jaga itu terangguk-angguk. Dalam hati, mereka tak henti-hentinya
mengagumi sepak terjang orang-orang tua itu.
Matur suwun, mbah.
BalasHapusmatur suwun....... mangke kulo bendele mBah
BalasHapushal. 67 dereng wonten mBah
matur-nuwun mBahMan. semoga lancar sedoyonipun.Aamiin.
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man, mugi tansah winantu ing karaharjan ugi pinaringan gangsar anggenipun badhe kagungan damel ...
BalasHapusManteps... Matur nuwun Panembahan. Semakin membuat penasaran...
BalasHapusTerima kasih mbah Man. makin penasaran.....
BalasHapusMatur sembah nuwun Mbah Man, semoga selalu di kasih kesehatan dan terus berkarya aamiin,,,
BalasHapusTrimakasih mbah man..
BalasHapusMatur suwun mbah Man...
BalasHapusMatur nuwun mbah
BalasHapusMatur nuwun mbah
BalasHapusAlhamdulillah
BalasHapusMatur nuwun Mbah Man