Sabtu, 25 November 2017

STSD 07_20

“Sudahlah, Menik,” berkata Pangeran Pati kemudian, “Pergilah ke bilik Rara Anjani. Beritahu dia untuk menghadap sekarang juga.”

Terasa sebuah desir yang tajam kembali menusuk jantung emban Menik. Pagi-pagi tadi Jajar Kawung memang telah memberitahunya bahwa semalam usaha mereka melenyapkan selir Pangeran itu telah gagal.

Menurut perhitungan calon suaminya itu, ada beberapa kemungkinan yang telah terjadi dan kemungkinan yang sangat mengerikan adalah jika Rara Anjani itu justru sekarang ini telah berada di dalam bilik Pangeran Pati. Namun ternyata dugaan itu  tidak sesuai dengan kenyataan. Semenjak emban Menik tadi menghadap, belum terlihat bayangan selir itu. Bahkan kini Pangeran Pati telah menjatuhkan titah untuk memanggil Selir itu menghadap.

“Kami semalam telah menyerbu bilik selir itu,” demikian pagi-pagi tadi sebelum Matahari terbit Jajar Kawung telah menemuinya di tempat biasanya mereka berdua bertemu, “Ada kesan selir itu telah meninggalkan biliknya dengan tergesa-gesa menilik pintu geledhek tempat pakaiannya terbuka dan tumpukan pakaiannya terlihat berserakan. Sepertinya dia telah mengambil beberapa lembar pakaiannya dengan tergesa-gesa.”

Sejenak emban Menik tidak dapat berkata-kata. Berbagai dugaan telah muncul dalam benaknya. Namun semua dugaan itu berakhir dengan kemungkinan yang sangat mengerikan bagi dia dan calon suaminya itu.

“Kakang,” rengek emban Menik kemudian sambil mengguncang-guncang lengan Jajar Kawung, “Aku takut, kakang. Bagaimana kalau sekarang ini selir itu justru sedang berada di bilik Pangeran? Aku tidak mau dihukum gantung, kakang.”

Emban Menik mulai terisak, namun dengan cepat Jajar Kawung mencoba menenangkannya. Katanya kemudian, “Menik, diamlah. Jangan turuti angan-anganmu yang belum tentu terjadi itu. Jika memang selir itu sekarang sedang berada di bilik Pangeran, mengapa dia membongkar tumpukan pakaiannya dengan tergesa-gesa? Jika dia memang hanya berganti baju untuk keperluan menghadap Pangeran malam tadi, tentu dia mempunyai banyak waktu hanya untuk sekedar merapikan tumpukan bajunya saja serta menutup pintu geledhek.”

Mendengar keterangan calon suaminya itu, hati emban Menik agak sedikit tenang. Namun tak urung jantungnya tetap saja berdegup kencang.

“Menik,” tiba-tiba terdengar suara Pangeran Pati membuyarkan lamunannya, “Apakah engkau mendengar perintahku?”

“Ampun Pangeran,” dengan serta merta emban Menik pun tersungkur sambil menyembah. Terdengar suaranya terbata-bata menahan rasa ketakutan yang sangat atas tindak deksuranya, “Hamba mohon ampun. Bukan maksud hamba mengabaikan perintah Pangeran. Namun sakit di tenggorokan hamba ini rupa-rupanya telah mempengaruhi pendengaran hamba juga. Mohon beribu ampun Pangeran.”

Pangeran Pati hanya dapat menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Panggraita Pangeran yang luhur ing budi itu memang telah menangkap sesuatu yang tidak wajar dengan emban kesayangannya itu. Namun Pangeran Pati belum mampu untuk menduganya.

“Pergilah, Menik,” titah pangeran Pati kemudian, “Sementara engkau juga segera bersiap untuk ikut ke Istana Ayahanda Prabu.”

Tanpa membuang waktu lagi, emban Menik segera menyembah dan kemudian melangkah surut dengan berjalan jongkok untuk mengundurkan diri dari bilik Pangeran Pati.

Sepeninggal emban Menik, untuk beberapa saat Pangeran Pati masih termenung. Laporan Rara Anjani semalam sedikit banyak mulai menyentuh hatinya begitu melihat dengan mata kepala sendiri sikap emban Menik yang aneh dan tidak seperti biasanya.

Dalam pada itu, emban Menik yang telah keluar dari bilik Pangeran Pati dengan tergesa-gesa segera menuju ke bilik Rara Anjani yang terletak di dekat taman dalam ndalem Kapangeranan. Setibanya di depan pintu bilik, dengan perlahan-lahan diketuknya daun pintu itu.

“Rara, ” berkata emban Menik kemudian di sela-sela ketukannya di daun pintu bilik, "Perkenankan hamba, emban Menik untuk menghadap."

Namun tidak terdengar jawaban sama sekali dari dalam bilik. Ketika emban Menik kemudian mengulanginya sekali lagi, tetap saja tidak ada jawaban.

“Mungkin benar dugaan kakang Jajar Kawung,” berkata emban Menik dalam hati sambil mendorong pintu bilik yang tidak diselarak itu perlahan, “Selir itu memilih meninggalkan ndalem Kapangeranan. Namun untuk tujuan apa?”

Ketika daun pintu bilik itu telah terbuka lebar, dengan jelas emban Menik dapat melihat ruang bilik yang rapi namun kosong melompong. Tidak terlihat bayangan selir Pangeran itu di dalam bilik.

“Rara?” tanpa sadar bibirnya berdesis perlahan, “Di manakah Rara? Hamba ingin menghadap.”

Namun sama sekali tidak terdengar suara jawaban dari dalam bilik yang kosong itu. Ketika dengan langkah ragu-ragu emban Menik kemudian melangkahkan kakinya memasuki bilik itu, tiba-tiba terdengar seseorang bergumam hanya selangkah saja di belakangnya.

Dengan cepat emban Menik segera memutar tubuhnya. Namun  alangkah terkejutnya calon istri jajar Kawung itu begitu menyadari yang berdiri di hadapannya adalah Pangeran Pati itu sendiri.

“Ampun Pangeran,” desis emban Menik hampir tak terdengar. Dengan cepat dia segera menjatuhkan diri bersimpuh di hadapan Pangeran Pati sambil menyembah dalam-dalam.

Pangeran Pati tertegun sejenak menanggapi sikap emban Menik itu. Namun tanpa mengucapkan sepatah katapun Pangeran yang semasa mudanya bernama Raden Mas Rangsang itu segera melangkahkan kakinya memasuki bilik.

Untuk beberapa saat Pangeran Pati  berjalan memutari ruangan yang cukup luas itu. Disentuhnya pembaringan yang terlihat rapi perlahan seolah ingin meyakinkan bahwa pembaringan itu semalam memang tidak dipergunakan.

Selesai dari pembaringan, Pangeran Pati kemudian menuju ke geledhek yang terbuat dari kayu jati berukir indah dan rumit. Dengan perlahan  di bukanya pintu geledhek itu untuk melongok isinya.

Sejenak terlihat kerut-merut di dahi calon pewaris tahta Mataram itu. Pandangannya yang tajam serta panggraitanya yang melebihi orang kebanyakan segera meraba sesuatu yang janggal telah terjadi di dalam bilik selir terkasihnya itu.

Pangeran Pati  menarik nafas dalam-dalam sambil perlahan menutup pintu geledhek. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, dia pun kemudian berjalan menjauhi geledhek itu.

“Mengapa engkau pergi tanpa pamit, Rara Anjani,” keluh Pangeran Pati dalam hati sambil berjalan menuju ke pintu, “Agaknya engkau tidak ingin mempunyai kenangan sedikit pun dengan istana Kapangeranan ini menilik tidak ada selembar pakaianpun yang berasal dari hadiahku yang engkau bawa. Engkau hanya membawa pakaianmu sendiri untuk menyingkir,” sejenak Pangeran Pati itu berhenti  di dekat ujung pembaringan. Sambil melangkahkan kakinya Pangeran Pati itu pun kemudian kembali berangan-angan, “Hanya ada dua kemungkinan kemana tujuan kepergianmu, ke Menoreh atau ke gunung Kendalisada.”

Namun Pangeran Pati itu agaknya lebih cenderung menduga selirnya itu pergi ke gunung Kendalisada.

“Tidak mungki Rara Anjani ke Menoreh,” berkata Pangeran pati kemudian dalam hati, “Dia pasti berusaha merahasiakan kepergiannya dari ndalem Kapangeranan ini. Apa kata orang-orang Menoreh jika dia muncul disana? Kemungkinan terbesar dia pergi ke gunung Kendalisada.”

Ketika tampak oleh Pangeran Pati itu emban Menik yang masih bersimpuh di dekat pintu bilik, Pangeran Pati pun kemudian berkata, “Menik, jangan pikirkan kemana perginya bendaramu. Sekarang juga berkemaslah. Ajak calon suamimu ikut serta dalam rombongan ndalem Kapangeranan. Sebelum Matahari sepenggalah, kita sudah harus sampai di Istana Ayahanda Prabu.”

Emban Menik tidak menjawab, hanya menyembah sampai hidungnya hampir menyentuh lantai.

Dalam pada itu di halaman belakang kediaman Ki Gede Matesih, cantrik Gatra Bumi tampak sedang menimba di perigi untuk mengisi Pakiwan. Derit senggot terdengar teratur bersamaan dengan naik turunnya pelepah daun jambe yang dipergunakan untuk menampung air dari perigi.

Memang sudah menjadi kebiasaan cantrik Gatra Bumi untuk mengisi pakiwan di pagi hari. Selepas menunaikan kewajibannya kepada Yang Maha Agung bersama Ki Ajar dan beberapa penghuni kediaman Ki Gede, cantrik Gatra Bumi pun memerlukan waktu untuk mengisi  Pakiwan di halaman belakang. Sementara Ki Ajar duduk kembali di pendapa dengan semangkuk minuman hangat dan beberapa penganan.

Cantrik Gatra Bumi begitu asyiknya mengisi Pakiwan sehingga tanpa menyadari bahwa tiga orang laki-laki telah meloncati dinding belakang rumah Ki Gede.

“Ki Jagabaya, ada orang sedang di perigi,” terdengar salah seorang yang berperawakan tinggi kurus berdesis perlahan.

Ki Jagabaya mengerutkan keningnya sambil mengarahkan pandangan matanya ke arah perigi. Tampak seorang anak muda dengan asyiknya sedang mengambil air.

“Apa peduli kita?” geram yang lain. Suaranya terdengar mirip suara burung hantu.

Sejenak Ki Jayabaya berpikir. Namun akhirnya dia pun berkata, “Bengkring, bungkam anak muda itu agar tidak mengganggu tugas kita.”

Tanpa menunggu perintah itu diulangi, orang tinggi kurus yang dipanggil Bengkring itu dengan langkah lebar segera menuju ke perigi.

“Kita langsung memasuki rumah induk lewat dapur,” berkata Ki Jagabaya kemudian sepeninggal Bengkring, “Jangan segan-segan melumpuhkan setiap orang yang ingin menghalangi usaha kita. Kita langsung ke ruang dalam. Bilik Ratri berada di ruang dalam berseberangan dengan bilik Ki Gede. Usahakan kita dapat membawa Ratri tanpa sepengetahuan pemomongnya. Semakin cepat gerakan kita akan semakin baik agar para pengawal di regol depan tidak menyadari apa yang sedang terjadi.”

“Bagaimana dengan perempuan-perempuan yang ada di dapur?” bertanya orang yang suaranya mirip burung hantu itu.

“Buat mereka pingsan tanpa menimbulkan suara,” jawab Ki Jagabaya kemudian sambil melangkah mendekati pintu dapur yang terlihat tertutup.

Ketika pintu dapur itu tinggal tiga langkah saja, tanpa sadar Ki Jagabaya berpaling ke belakang, ke arah perigi.

Namun alangkah terkejutnya Ki Jagabaya. Dari tempatnya berdiri Ki Jagabaya dengan jelas melihat anak muda itu tetap dengan asyiknya mengambil air dari perigi dan kemudian menuangkannya ke saluran yang menghubungkan ke pakiwan. Sementara orang yang bernama Bengkring itu sama sekali tidak tampak batang hidungnya.

“Gila!” geram Ki Jagabaya sambil memutar tubuhnya, “Kemana perginya si Bengkring?”

Kawan Ki Jagabaya yang suaranya mirip burung hantu itu menjadi heran melihat kelakuan Ki Jagabaya. Tanpa sadar dia ikut berpaling ke belakang mengikuti arah pandang Ki Jagabaya.

“He?!” seru orang itu dengan suara tertahan sambil memutar tubuhnya, “Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Mengapa Bengkring tidak jadi membungkam anak muda itu?”

“Marilah!” geram Ki Jagabaya kemudian sambil melangkah menuju perigi, “Agaknya Bengkring terlalu menganggap remeh anak muda itu. Menilik bentuk tubuhnya serta otot-otot yang menonjol di sepanjang lengannya, anak muda itu tidak boleh dianggap enteng!”

Kawan Ki Jagabaya itu sejenak mengerutkan keningnya sambil memandang ke sekeliling perigi. Tiba-tiba saja pandangan matanya yang tajam telah menangkap bayangan sepasang telapak kaki yang tampak  tersembul di antara lebatnya semak-semak di dekat perigi.

“Syetaan..!” serunya sambil meloncat mendahului Ki Jagabaya, “Anak muda itu telah mencederai Bengkring!”

Ki Jagabaya terkejut mendengar seruan kawannya. Tanpa berpikir panjang dia pun segera berlari menyusul kawannya itu.

Namun alangkah herannya Ki Jagabaya dan kawannya itu. Sesampainya mereka berdua di depan perigi, anak muda itu tetap saja dengan asyiknya menimba air tanpa memperdulikan kehadiran kedua orang itu.

“Iblis.!” Geram Ki Jagabaya kemudian sambil bertolak pinggang, “Siapa kau sebenarnya, he?!”

Anak muda itu sejenak menghentikan pekerjaannya. Sambil mengangguk hormat dia pun kemudian menjawab, “Namaku cantrik Gatra Bumi. Aku adalah tamu di rumah ini, namun sudah menjadi kebiasaanku untuk membantu mengisi Pakiwan di mana pun aku menginap. Jika Ki Sanak berdua ingin menggantikan pekerjaanku, lebih baik tidak usah saja. Ki Sanak dapat bergantian mandi di Pakiwan tanpa harus mengisinya.”

Ki Jagabaya dan kawannya itu sejenak bagaikan membeku di tempatnya. Mereka sama sekali tidak menyangka jika anak muda itu dengan sangat tenangnya menjawab pertanyaan Ki Jagabaya. Bahkan terkesan meremehkan keberadaan mereka berdua.

Namun suasana itu tidak berlangsung lama. Kawan Ki Jagabaya yang bersuara mirip burung hantu itu dengan teriakan menggelegar telah meloncat menerjang anak muda itu dengan tumit terjulur mengarah dada.

Ki Jagabaya terkejut melihat kawannya itu begitu saja  meloncat menerjang ke arah cantrik Gatra Bumi. Padahal di antara keduanya terpisah oleh sebuah perigi yang cukup dalam. Jika anak muda yang mengaku bernama cantrik Gatra Bumi itu berani mengadu kekuatan dengan membenturkan kekuatannya melawan serangan lawannya, tentu akibatnya dapat mencelakakan orang itu sendiri.

Ternyata apa yang menjadi kekhawatiran Ki Jagabaya itu terjadi. Sambil melepaskan tali senggot di tangannya, cantrik Gatra Bumi segera melangkah surut sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Siap membenturkan kekuatannya dengan kekuatan serangan lawan.

Yang terjadi kemudian adalah sangat diluar dugaan kawan Ki Jagabaya itu. Tumit kaki kanannya bagaikan membentur dinding batu setebal satu depa sehingga kekuatan serangannya pun membalik dan melontarkannya ke belakang.

Ketika tubuh itu terpental ke belakang, tanpa dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, tubuh kawan Ki Jagabaya itu justru telah meluncur ke dalam perigi.

Untunglah Ki Jagabaya tanggap dan sudah menduga kemungkinan terburuk yang dapat terjadi dengan kawannya itu. Secepat kilat Ki Jagabaya segera menyambar lengannya dan menariknya ke belakang.

Karena keadaan yang tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan yang matang, tubuh kawan Ki Jagabaya itu akhirnya justru telah terlontar ke belakang beberapa langkah sebelum akhirnya jatuh terjerembab di atas tanah. Ternyata Ki Jagabaya terlalu kuat menariknya sehingga kawannya itu bagaikan dihentakkan ke belakang tanpa mampu menguasai keseimbangannya.

“Syetaan.., ibliiss..,gendruwo..,tetekan..!!” umpat kawan Ki Jagabaya itu berulang-ulang sambil merangkak bangun. Diusapnya wajahnya yang penuh  debu itu dengan ujung lengan bajunya.

Sejenak Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Sebagai orang yang telah lama berkecimpung dalam dunia olah kanuragan, dia segera maklum bahwa anak muda yang berada di hadapannya itu sedikit banyak telah memiliki bekal olah kanuragan yang cukup.

“Dengan mundur selangkah dia berusaha mengurangi kekuatan yang tersimpan dalam serangan lawannya,” demikian Ki Jagabaya berkata dalam hati sambil sepasang matanya tak lepas mengawasi anak muda itu, “Benar-benar sebuah perhitungan yang cerdik. Jika kekuatan mereka berdua pun seimbang, tetap saja Panut akan terlempar masuk ke dalam perigi.”

Namun kawan Ki Jagabaya yang bernama Panut itu ternyata tidak menyadari kesalahannya. Dengan muka yang merah padam menahan kemarahan yang sudah mencapai ubun-ubun, dia segera berteriak lantang, “Anak gila! Kemarilah! Jangan bertempur dengan berlindung  di belakang perigi! Aku tantang engkau berperang tanding di halaman belakang ini!”


Namun belum sempat cantrik Gatra Bumi itu menjawab, mereka bertiga telah dikejutkan oleh suara derit pintu dapur yang terbuka. Serentak ketiga orang itupun segera  berpaling.

Di tengah-tengah pintu dapur yang terbuka lebar itu tampak berdiri termangu-mangu seorang gadis yang cantik putri satu-satunya kepala Tanah Perdikan Matesih, Ratri.

bersambung ke jilid 8

34 komentar :

  1. Di belakangnya Ki DH, matur nuwun Mbah_Man. Senang bertemu dg Gatra Bumi yg kini tdk bermain pliridan lagi. Oh.. ada Ratri di tengah-tengah pintu dapur?

    BalasHapus
  2. Matur nuwun mbah Man.... Kira2 apa yg dipikirkan Ratri mrlihat Gatra Bumi?

    BalasHapus
  3. Matur sembah nuwun sanget Panembahan.

    BalasHapus
  4. matur nuwun mbah man .... wedaran penutup jilid 7 .... menunggu jilid 8 keluar .. makin seru makin buat penasaran ...

    BalasHapus
  5. Matur nuwun mbah man wedaran week end

    BalasHapus
  6. Sungguh luar biasa......ternyata wedaral perdana STSD jilid 8 sudah diwedar di gandok sebelah......

    Inilah cuplikannya.....

    ........Dalam pada itu , cantrik Gatra Bumi yang melihat kemunculan Ratri menjadi ……deg deg-an menunggu kiriman rontal STSD Jilid 8 satu jilid penuh dari Mbah_Man………via email.

    ...kepareng derek daftar Mbah_Man......email kula mboten katut kacaplok ki Wanacray nggih...???

    ……hehehe……matur nuwun sanget Mbah_Man

    Salam hormat.

    BalasHapus
  7. Sungguh luar biasa......ternyata wedaran perdana STSD jilid 8 sudah diwedar di gandok sebelah......

    Inilah cuplikannya.....

    ........Dalam pada itu , cantrik Gatra Bumi yang melihat kemunculan Ratri menjadi ……deg deg-an menunggu kiriman rontal STSD Jilid 8 satu jilid penuh dari Mbah_Man………via email.

    ...kepareng derek daftar Mbah_Man......email kula mboten katut kacaplok ki Wanacray nggih...???

    ……hehehe……matur nuwun sanget Mbah_Man

    Salam hormat.

    BalasHapus
  8. Ki Dik Har ini kategori provokasi apa provogandanisasi ya?
    Kok pake dobel komen
    Ting.... ^_°

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar sekali Ki EH. Ya srategi, provokasi, provogandanisasi dan sekaligus sekaligus promosi .

      Mohon disimak dengan teliti komentar Mbah_Man di STSD 7 halaman terakhir.......surat untuk sahabat Ki Sorland.......

      .....Hehehe.........

      Hapus
    2. .......On 27/11/2017 at 07:30 mbah_man said:

      sami2 Ki Sorland. Jilid 8 nanti dikirim lewat email langsung 1 buku lengkap. Silahkan menunggu dengan sabar.

      matur suwun

      salam,
      mbah man

      ......ngapuntene Mbah_Man.....

      Salam hotmat.

      Mang Ojak

      Hapus
    3. Ooo.... seperti itu
      C7 bingitz Ki DH
      Btw thanks berat atas kreatifitasnya
      Besar harapan, cita cita para canmen terealisasi dg lancar
      Om & tante pirus maupun ki Spam sdh pamilier

      Hapus
    4. Ooo.... seperti itu
      C7 bingitz Ki DH
      Btw thanks berat atas kreatifitasnya
      Besar harapan, cita cita para canmen terealisasi dg lancar
      Om & tante pirus maupun ki Spam sdh pamilier

      Hapus
  9. Ngintip.....
    he he he ....

    Selamat siang ....

    BalasHapus
  10. Setelah saya cermati, ternyata dobel komen dpt terjadi saat pake android trs selesai publikasi komen, mejet tombol/kunci "back"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin terkontaminasi ilmunya Ki Waskita yg bisa menciptakan ujud semu. Tadinya saya juga sering dobelan komen. Tapi, sekarang tidak lagi...

      Hapus
    2. .......Kalau saya tidak punya ilmu penggandaan ujud semu....jadinya ya sengaja nulis doble, publikasi dan promosi tetapi bukan provokasi......
      ....hehehe.......(.silakan ndaftar untuk jidid 8 )

      Met sore.

      Hapus
    3. ...kalau saya sebenarnya oengin ndouble...tpi siji wae durung ketemu2....piye jal

      Hapus
    4. Ouwh....
      Den Mas Aryo ni masih boejang Ting-Ting ya...
      tp boekan anggota Jones & BoeBi ya to... ya to...

      Hapus
  11. Jum'at barokah. Semoga para canmen tidak kebanjiran. Kalau kebanjiran rizki... alhamdulillah.#wedaranjumat.com🤓😉

    BalasHapus
  12. Sudah bbrp saat balik ke gandok utama, tokoh-tokoh lama diantaranya ki punakawan, ki gembleh, nyi rien dll blm pada balik berkontribusi komen ya

    BalasHapus
  13. Akh....
    ir....
    Libur panjang
    Ketemu
    Emban
    Menik
    maning

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.