“Sudahlah, Menik,” berkata
Pangeran Pati kemudian, “Pergilah ke bilik Rara Anjani. Beritahu dia untuk menghadap
sekarang juga.”
Terasa sebuah desir yang
tajam kembali menusuk jantung emban Menik. Pagi-pagi tadi Jajar Kawung memang telah
memberitahunya bahwa semalam usaha mereka melenyapkan selir Pangeran itu telah
gagal.
Menurut perhitungan calon suaminya itu, ada beberapa kemungkinan yang telah terjadi dan kemungkinan yang sangat mengerikan
adalah jika Rara Anjani itu justru sekarang ini telah berada di dalam bilik
Pangeran Pati. Namun ternyata dugaan itu
tidak sesuai dengan kenyataan. Semenjak emban Menik tadi menghadap,
belum terlihat bayangan selir itu. Bahkan kini Pangeran Pati telah menjatuhkan
titah untuk memanggil Selir itu menghadap.
“Kami semalam telah menyerbu
bilik selir itu,” demikian pagi-pagi tadi sebelum Matahari terbit Jajar Kawung telah
menemuinya di tempat biasanya mereka berdua bertemu, “Ada kesan selir itu telah
meninggalkan biliknya dengan tergesa-gesa menilik pintu geledhek tempat
pakaiannya terbuka dan tumpukan pakaiannya terlihat berserakan. Sepertinya dia
telah mengambil beberapa lembar pakaiannya dengan tergesa-gesa.”
Sejenak emban Menik tidak
dapat berkata-kata. Berbagai dugaan telah muncul dalam benaknya. Namun semua
dugaan itu berakhir dengan kemungkinan yang sangat mengerikan bagi dia dan
calon suaminya itu.
“Kakang,” rengek emban Menik
kemudian sambil mengguncang-guncang lengan Jajar Kawung, “Aku takut, kakang.
Bagaimana kalau sekarang ini selir itu justru sedang berada di bilik Pangeran?
Aku tidak mau dihukum gantung, kakang.”
Emban Menik mulai terisak,
namun dengan cepat Jajar Kawung mencoba menenangkannya. Katanya kemudian,
“Menik, diamlah. Jangan turuti angan-anganmu yang belum tentu terjadi itu. Jika
memang selir itu sekarang sedang berada di bilik Pangeran, mengapa dia
membongkar tumpukan pakaiannya dengan tergesa-gesa? Jika dia memang hanya
berganti baju untuk keperluan menghadap Pangeran malam tadi, tentu dia
mempunyai banyak waktu hanya untuk sekedar merapikan tumpukan bajunya saja
serta menutup pintu geledhek.”
Mendengar keterangan calon
suaminya itu, hati emban Menik agak sedikit tenang. Namun tak urung jantungnya
tetap saja berdegup kencang.
“Menik,” tiba-tiba terdengar
suara Pangeran Pati membuyarkan lamunannya, “Apakah engkau mendengar
perintahku?”
“Ampun Pangeran,” dengan
serta merta emban Menik pun tersungkur sambil menyembah. Terdengar suaranya
terbata-bata menahan rasa ketakutan yang sangat atas tindak deksuranya, “Hamba
mohon ampun. Bukan maksud hamba mengabaikan perintah Pangeran. Namun sakit di tenggorokan
hamba ini rupa-rupanya telah mempengaruhi pendengaran hamba juga. Mohon beribu
ampun Pangeran.”
Pangeran Pati hanya dapat
menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Panggraita
Pangeran yang luhur ing budi itu
memang telah menangkap sesuatu yang tidak wajar dengan emban kesayangannya itu.
Namun Pangeran Pati belum mampu untuk menduganya.
“Pergilah, Menik,” titah
pangeran Pati kemudian, “Sementara engkau juga segera bersiap untuk ikut ke
Istana Ayahanda Prabu.”
Tanpa membuang waktu lagi, emban
Menik segera menyembah dan kemudian melangkah surut dengan berjalan jongkok
untuk mengundurkan diri dari bilik Pangeran Pati.
Sepeninggal emban Menik,
untuk beberapa saat Pangeran Pati masih termenung. Laporan Rara Anjani semalam
sedikit banyak mulai menyentuh hatinya begitu melihat dengan mata kepala
sendiri sikap emban Menik yang aneh dan tidak seperti biasanya.
Dalam pada itu, emban Menik
yang telah keluar dari bilik Pangeran Pati dengan tergesa-gesa segera menuju ke
bilik Rara Anjani yang terletak di dekat taman dalam ndalem Kapangeranan.
Setibanya di depan pintu bilik, dengan perlahan-lahan diketuknya daun pintu
itu.
“Rara, ” berkata emban Menik kemudian di sela-sela ketukannya di
daun pintu bilik, "Perkenankan hamba, emban Menik untuk menghadap."
Namun tidak terdengar
jawaban sama sekali dari dalam bilik. Ketika emban Menik kemudian mengulanginya
sekali lagi, tetap saja tidak ada jawaban.
“Mungkin benar dugaan kakang
Jajar Kawung,” berkata emban Menik dalam hati sambil mendorong pintu bilik yang
tidak diselarak itu perlahan, “Selir itu memilih meninggalkan ndalem
Kapangeranan. Namun untuk tujuan apa?”
Ketika daun pintu bilik itu
telah terbuka lebar, dengan jelas emban Menik dapat melihat ruang bilik yang
rapi namun kosong melompong. Tidak terlihat bayangan selir Pangeran itu di
dalam bilik.
“Rara?” tanpa sadar bibirnya
berdesis perlahan, “Di manakah Rara? Hamba ingin menghadap.”
Namun sama sekali tidak terdengar
suara jawaban dari dalam bilik yang kosong itu. Ketika dengan langkah ragu-ragu
emban Menik kemudian melangkahkan kakinya memasuki bilik itu, tiba-tiba
terdengar seseorang bergumam hanya selangkah saja di belakangnya.
Dengan cepat emban Menik segera
memutar tubuhnya. Namun alangkah
terkejutnya calon istri jajar Kawung itu begitu menyadari yang berdiri di
hadapannya adalah Pangeran Pati itu sendiri.
“Ampun Pangeran,” desis
emban Menik hampir tak terdengar. Dengan cepat dia segera menjatuhkan diri
bersimpuh di hadapan Pangeran Pati sambil menyembah dalam-dalam.
Pangeran Pati tertegun
sejenak menanggapi sikap emban Menik itu. Namun tanpa mengucapkan sepatah
katapun Pangeran yang semasa mudanya bernama Raden Mas Rangsang itu segera melangkahkan
kakinya memasuki bilik.
Untuk beberapa saat Pangeran
Pati berjalan memutari ruangan yang
cukup luas itu. Disentuhnya pembaringan yang terlihat rapi perlahan seolah
ingin meyakinkan bahwa pembaringan itu semalam memang tidak dipergunakan.
Selesai dari pembaringan,
Pangeran Pati kemudian menuju ke geledhek yang terbuat dari kayu jati berukir
indah dan rumit. Dengan perlahan di
bukanya pintu geledhek itu untuk melongok isinya.
Sejenak terlihat kerut-merut
di dahi calon pewaris tahta Mataram itu. Pandangannya yang tajam serta
panggraitanya yang melebihi orang kebanyakan segera meraba sesuatu yang janggal
telah terjadi di dalam bilik selir terkasihnya itu.
Pangeran Pati menarik nafas dalam-dalam sambil perlahan
menutup pintu geledhek. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, dia pun kemudian
berjalan menjauhi geledhek itu.
“Mengapa engkau pergi tanpa
pamit, Rara Anjani,” keluh Pangeran Pati dalam hati sambil berjalan menuju ke
pintu, “Agaknya engkau tidak ingin mempunyai kenangan sedikit pun dengan istana
Kapangeranan ini menilik tidak ada selembar pakaianpun yang berasal dari
hadiahku yang engkau bawa. Engkau hanya membawa pakaianmu sendiri untuk
menyingkir,” sejenak Pangeran Pati itu berhenti
di dekat ujung pembaringan. Sambil melangkahkan kakinya Pangeran Pati
itu pun kemudian kembali berangan-angan, “Hanya ada dua kemungkinan kemana tujuan
kepergianmu, ke Menoreh atau ke gunung Kendalisada.”
Namun Pangeran Pati itu
agaknya lebih cenderung menduga selirnya itu pergi ke gunung Kendalisada.
“Tidak mungki Rara Anjani ke
Menoreh,” berkata Pangeran pati kemudian dalam hati, “Dia pasti berusaha
merahasiakan kepergiannya dari ndalem Kapangeranan ini. Apa kata orang-orang
Menoreh jika dia muncul disana? Kemungkinan terbesar dia pergi ke gunung
Kendalisada.”
Ketika tampak oleh Pangeran
Pati itu emban Menik yang masih bersimpuh di dekat pintu bilik, Pangeran Pati
pun kemudian berkata, “Menik, jangan pikirkan kemana perginya bendaramu.
Sekarang juga berkemaslah. Ajak calon suamimu ikut serta dalam rombongan ndalem
Kapangeranan. Sebelum Matahari sepenggalah, kita sudah harus sampai di Istana
Ayahanda Prabu.”
Emban Menik tidak menjawab,
hanya menyembah sampai hidungnya hampir menyentuh lantai.
Dalam pada itu di halaman
belakang kediaman Ki Gede Matesih, cantrik Gatra Bumi tampak sedang menimba di
perigi untuk mengisi Pakiwan. Derit senggot terdengar teratur bersamaan dengan
naik turunnya pelepah daun jambe yang dipergunakan untuk menampung air dari perigi.
Memang sudah menjadi
kebiasaan cantrik Gatra Bumi untuk mengisi pakiwan di pagi hari. Selepas
menunaikan kewajibannya kepada Yang Maha Agung bersama Ki Ajar dan beberapa
penghuni kediaman Ki Gede, cantrik Gatra Bumi pun memerlukan waktu untuk mengisi Pakiwan di halaman belakang.
Sementara Ki Ajar duduk kembali di pendapa dengan semangkuk minuman hangat dan beberapa penganan.
Cantrik Gatra Bumi begitu
asyiknya mengisi Pakiwan sehingga tanpa menyadari bahwa tiga orang laki-laki telah meloncati
dinding belakang rumah Ki Gede.
“Ki Jagabaya, ada orang
sedang di perigi,” terdengar salah seorang yang berperawakan tinggi kurus
berdesis perlahan.
Ki Jagabaya mengerutkan
keningnya sambil mengarahkan pandangan matanya ke arah perigi. Tampak seorang
anak muda dengan asyiknya sedang mengambil air.
“Apa peduli kita?” geram
yang lain. Suaranya terdengar mirip suara burung hantu.
Sejenak Ki Jayabaya
berpikir. Namun akhirnya dia pun berkata, “Bengkring, bungkam anak muda itu
agar tidak mengganggu tugas kita.”
Tanpa menunggu perintah itu
diulangi, orang tinggi kurus yang dipanggil Bengkring itu dengan langkah lebar
segera menuju ke perigi.
“Kita langsung memasuki
rumah induk lewat dapur,” berkata Ki Jagabaya kemudian sepeninggal Bengkring,
“Jangan segan-segan melumpuhkan setiap orang yang ingin menghalangi usaha kita.
Kita langsung ke ruang dalam. Bilik Ratri berada di ruang dalam berseberangan
dengan bilik Ki Gede. Usahakan kita dapat membawa Ratri tanpa sepengetahuan
pemomongnya. Semakin cepat gerakan kita akan semakin baik agar para pengawal di
regol depan tidak menyadari apa yang sedang terjadi.”
“Bagaimana dengan
perempuan-perempuan yang ada di dapur?” bertanya orang yang suaranya mirip
burung hantu itu.
“Buat mereka pingsan tanpa
menimbulkan suara,” jawab Ki Jagabaya kemudian sambil melangkah mendekati pintu
dapur yang terlihat tertutup.
Ketika pintu dapur itu
tinggal tiga langkah saja, tanpa sadar Ki Jagabaya berpaling ke belakang, ke
arah perigi.
Namun alangkah terkejutnya
Ki Jagabaya. Dari tempatnya berdiri Ki Jagabaya dengan jelas melihat anak muda
itu tetap dengan asyiknya mengambil air dari perigi dan kemudian menuangkannya
ke saluran yang menghubungkan ke pakiwan. Sementara orang yang bernama
Bengkring itu sama sekali tidak tampak batang hidungnya.
“Gila!” geram Ki Jagabaya
sambil memutar tubuhnya, “Kemana perginya si Bengkring?”
Kawan Ki Jagabaya yang
suaranya mirip burung hantu itu menjadi heran melihat kelakuan Ki Jagabaya.
Tanpa sadar dia ikut berpaling ke belakang mengikuti arah pandang Ki Jagabaya.
“He?!” seru orang itu dengan
suara tertahan sambil memutar tubuhnya, “Apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Mengapa Bengkring tidak jadi membungkam anak muda itu?”
“Marilah!” geram Ki Jagabaya
kemudian sambil melangkah menuju perigi, “Agaknya Bengkring terlalu menganggap
remeh anak muda itu. Menilik bentuk tubuhnya serta otot-otot yang menonjol di
sepanjang lengannya, anak muda itu tidak boleh dianggap enteng!”
Kawan Ki Jagabaya itu
sejenak mengerutkan keningnya sambil memandang ke sekeliling perigi. Tiba-tiba
saja pandangan matanya yang tajam telah menangkap bayangan sepasang telapak
kaki yang tampak tersembul di antara
lebatnya semak-semak di dekat perigi.
“Syetaan..!” serunya sambil
meloncat mendahului Ki Jagabaya, “Anak muda itu telah mencederai Bengkring!”
Ki Jagabaya terkejut
mendengar seruan kawannya. Tanpa berpikir panjang dia pun segera berlari menyusul
kawannya itu.
Namun alangkah herannya Ki
Jagabaya dan kawannya itu. Sesampainya mereka berdua di depan perigi, anak muda
itu tetap saja dengan asyiknya menimba air tanpa memperdulikan kehadiran kedua
orang itu.
“Iblis.!” Geram Ki Jagabaya
kemudian sambil bertolak pinggang, “Siapa kau sebenarnya, he?!”
Anak muda itu sejenak
menghentikan pekerjaannya. Sambil mengangguk hormat dia pun kemudian menjawab,
“Namaku cantrik Gatra Bumi. Aku adalah tamu di rumah ini, namun sudah menjadi
kebiasaanku untuk membantu mengisi Pakiwan di mana pun aku menginap. Jika Ki
Sanak berdua ingin menggantikan pekerjaanku, lebih baik tidak usah saja. Ki
Sanak dapat bergantian mandi di Pakiwan tanpa harus mengisinya.”
Ki Jagabaya dan kawannya itu
sejenak bagaikan membeku di tempatnya. Mereka sama sekali tidak menyangka jika
anak muda itu dengan sangat tenangnya menjawab pertanyaan Ki Jagabaya. Bahkan
terkesan meremehkan keberadaan mereka berdua.
Namun suasana itu tidak
berlangsung lama. Kawan Ki Jagabaya yang bersuara mirip burung hantu itu dengan
teriakan menggelegar telah meloncat menerjang anak muda itu dengan
tumit terjulur mengarah dada.
Ki Jagabaya terkejut melihat
kawannya itu begitu saja meloncat
menerjang ke arah cantrik Gatra Bumi. Padahal di antara keduanya terpisah oleh
sebuah perigi yang cukup dalam. Jika anak muda yang mengaku bernama cantrik Gatra
Bumi itu berani mengadu kekuatan dengan membenturkan kekuatannya melawan serangan
lawannya, tentu akibatnya dapat mencelakakan orang itu sendiri.
Ternyata apa yang menjadi
kekhawatiran Ki Jagabaya itu terjadi. Sambil melepaskan tali senggot di
tangannya, cantrik Gatra Bumi segera melangkah surut sambil menyilangkan kedua
tangannya di depan dada. Siap membenturkan kekuatannya dengan kekuatan serangan
lawan.
Yang terjadi kemudian adalah
sangat diluar dugaan kawan Ki Jagabaya itu. Tumit kaki kanannya bagaikan
membentur dinding batu setebal satu depa sehingga kekuatan serangannya pun
membalik dan melontarkannya ke belakang.
Ketika tubuh itu terpental
ke belakang, tanpa dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, tubuh kawan Ki Jagabaya
itu justru telah meluncur ke dalam perigi.
Untunglah Ki Jagabaya
tanggap dan sudah menduga kemungkinan terburuk yang dapat terjadi dengan kawannya
itu. Secepat kilat Ki Jagabaya segera menyambar lengannya dan menariknya ke belakang.
Karena keadaan yang
tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan yang matang, tubuh kawan Ki Jagabaya itu
akhirnya justru telah terlontar ke belakang beberapa langkah sebelum akhirnya jatuh
terjerembab di atas tanah. Ternyata Ki Jagabaya terlalu kuat menariknya
sehingga kawannya itu bagaikan dihentakkan ke belakang tanpa mampu menguasai
keseimbangannya.
“Syetaan.., ibliiss..,gendruwo..,tetekan..!!”
umpat kawan Ki Jagabaya itu berulang-ulang sambil merangkak bangun. Diusapnya wajahnya
yang penuh debu itu dengan ujung lengan bajunya.
Sejenak Ki Jagabaya
mengerutkan keningnya. Sebagai orang yang telah lama berkecimpung dalam dunia
olah kanuragan, dia segera maklum bahwa anak muda yang berada di hadapannya itu
sedikit banyak telah memiliki bekal olah kanuragan yang cukup.
“Dengan mundur selangkah dia
berusaha mengurangi kekuatan yang tersimpan dalam serangan lawannya,” demikian
Ki Jagabaya berkata dalam hati sambil sepasang matanya tak lepas mengawasi anak muda itu,
“Benar-benar sebuah perhitungan yang cerdik. Jika kekuatan mereka berdua pun
seimbang, tetap saja Panut akan terlempar masuk ke dalam perigi.”
Namun kawan Ki Jagabaya yang
bernama Panut itu ternyata tidak menyadari kesalahannya. Dengan muka yang merah
padam menahan kemarahan yang sudah mencapai ubun-ubun, dia segera berteriak
lantang, “Anak gila! Kemarilah! Jangan bertempur dengan berlindung di belakang perigi! Aku tantang engkau
berperang tanding di halaman belakang ini!”
Namun belum sempat cantrik
Gatra Bumi itu menjawab, mereka bertiga telah dikejutkan oleh suara derit pintu
dapur yang terbuka. Serentak ketiga orang itupun segera berpaling.
Di tengah-tengah pintu dapur yang
terbuka lebar itu tampak berdiri termangu-mangu seorang gadis yang cantik putri satu-satunya kepala Tanah Perdikan Matesih, Ratri.
bersambung ke jilid 8
Matur nuwun Mbah_Man.
BalasHapusSalam
Di belakangnya Ki DH, matur nuwun Mbah_Man. Senang bertemu dg Gatra Bumi yg kini tdk bermain pliridan lagi. Oh.. ada Ratri di tengah-tengah pintu dapur?
BalasHapusMatur nuwun mbah Man.... Kira2 apa yg dipikirkan Ratri mrlihat Gatra Bumi?
BalasHapusMatur nuwun Panembahan...
BalasHapusSuwun mbah
BalasHapusSuksema Mbah Man Sampun Diwedar
BalasHapusMatur sembah nuwun sanget Panembahan.
BalasHapusTerima kasih mbah Man
BalasHapusJuosss Guandhosss kyaine....
BalasHapusTerima Kasih Mbah Man
BalasHapusmatur nuwun mbah man .... wedaran penutup jilid 7 .... menunggu jilid 8 keluar .. makin seru makin buat penasaran ...
BalasHapusMatur nuwun mbah man wedaran week end
BalasHapusSungguh luar biasa......ternyata wedaral perdana STSD jilid 8 sudah diwedar di gandok sebelah......
BalasHapusInilah cuplikannya.....
........Dalam pada itu , cantrik Gatra Bumi yang melihat kemunculan Ratri menjadi ……deg deg-an menunggu kiriman rontal STSD Jilid 8 satu jilid penuh dari Mbah_Man………via email.
...kepareng derek daftar Mbah_Man......email kula mboten katut kacaplok ki Wanacray nggih...???
……hehehe……matur nuwun sanget Mbah_Man
Salam hormat.
Sungguh luar biasa......ternyata wedaran perdana STSD jilid 8 sudah diwedar di gandok sebelah......
BalasHapusInilah cuplikannya.....
........Dalam pada itu , cantrik Gatra Bumi yang melihat kemunculan Ratri menjadi ……deg deg-an menunggu kiriman rontal STSD Jilid 8 satu jilid penuh dari Mbah_Man………via email.
...kepareng derek daftar Mbah_Man......email kula mboten katut kacaplok ki Wanacray nggih...???
……hehehe……matur nuwun sanget Mbah_Man
Salam hormat.
Ki Dik Har ini kategori provokasi apa provogandanisasi ya?
BalasHapusKok pake dobel komen
Ting.... ^_°
Benar sekali Ki EH. Ya srategi, provokasi, provogandanisasi dan sekaligus sekaligus promosi .
HapusMohon disimak dengan teliti komentar Mbah_Man di STSD 7 halaman terakhir.......surat untuk sahabat Ki Sorland.......
.....Hehehe.........
.......On 27/11/2017 at 07:30 mbah_man said:
Hapussami2 Ki Sorland. Jilid 8 nanti dikirim lewat email langsung 1 buku lengkap. Silahkan menunggu dengan sabar.
matur suwun
salam,
mbah man
......ngapuntene Mbah_Man.....
Salam hotmat.
Mang Ojak
Ooo.... seperti itu
HapusC7 bingitz Ki DH
Btw thanks berat atas kreatifitasnya
Besar harapan, cita cita para canmen terealisasi dg lancar
Om & tante pirus maupun ki Spam sdh pamilier
Ooo.... seperti itu
HapusC7 bingitz Ki DH
Btw thanks berat atas kreatifitasnya
Besar harapan, cita cita para canmen terealisasi dg lancar
Om & tante pirus maupun ki Spam sdh pamilier
Ngintip.....
BalasHapushe he he ....
Selamat siang ....
Maturnuwun.
BalasHapusSetelah saya cermati, ternyata dobel komen dpt terjadi saat pake android trs selesai publikasi komen, mejet tombol/kunci "back"
BalasHapusMungkin terkontaminasi ilmunya Ki Waskita yg bisa menciptakan ujud semu. Tadinya saya juga sering dobelan komen. Tapi, sekarang tidak lagi...
Hapus.......Kalau saya tidak punya ilmu penggandaan ujud semu....jadinya ya sengaja nulis doble, publikasi dan promosi tetapi bukan provokasi......
Hapus....hehehe.......(.silakan ndaftar untuk jidid 8 )
Met sore.
...kalau saya sebenarnya oengin ndouble...tpi siji wae durung ketemu2....piye jal
Hapushilih...hiliih...
HapusOuwh....
HapusDen Mas Aryo ni masih boejang Ting-Ting ya...
tp boekan anggota Jones & BoeBi ya to... ya to...
Jum'at barokah. Semoga para canmen tidak kebanjiran. Kalau kebanjiran rizki... alhamdulillah.#wedaranjumat.com🤓😉
BalasHapusKi ZY nopo dèrèng nampi kiriman?
HapusNganti saiki déréng, Ki.
HapusSudah bbrp saat balik ke gandok utama, tokoh-tokoh lama diantaranya ki punakawan, ki gembleh, nyi rien dll blm pada balik berkontribusi komen ya
BalasHapusAkh....
BalasHapusir....
Libur panjang
Ketemu
Emban
Menik
maning
Kowe siji aku siji
BalasHapusKesuwun
Hapus