Jumat, 03 November 2017

STSD 07_17

Kesempatan itu ternyata juga telah dipergunakan oleh Ki Jayaraga dengan sebaik-baiknya. Guru Glagah Putih itu pun kemudian segera melakukan hal yang sama, duduk bersila dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Ternyata Ki Jayaraga hanya memerlukan waktu sekejap karena dia telah melakukan sebelumnya. Kekuatan tubuhnya telah pulih kembali walaupun tidak seperti sediakala. Tubuhnya tetap saja memerlukan waktu yang cukup untuk kembali pulih.

Ketika Ki Jayaraga sedang merenungi Ki Bango Lamatan yang sedang tenggelam dalam samadinya, tiba-tiba pendengarannya yang tajam telah mendengar suara riuh rendah serta sorak sorai dari arah pintu gerbang.

Sejenak Ki Jayaraga mengerutkan keningnya dalam-dalam. Suara sorak-sorai itu ditingkah dengan suara desingan anak panah yang terlepas dari busurnya.

“Padepokan ini kelihatannya sedang diserbu,” desis Ki Jayaraga sambil tetap mengerutkan keningnya.

Tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar teriakan-teriakan yang dapat memberinya sedikit petunjuk.

“Hidup perdikan Matesih! Hidup Ki Gede Matesih..!”

“Hancurkan sarang Trah Sekar Seda Lepen..! Hancurkan padepokan Sapta Dhahana..!”

Demikian teriakan-teriakan itu terdengar di antara riuhnya suara sorak sorai serta desingan anak-anak  panah.

“Ternyata Ki Gede Matesih dan pasukan pengawalnya yang  datang,” desis Ki Jayaraga kemudian sambil mengangguk-angguk.

“Mungkin ada seseorang yang telah menghubungi Ki Gede dan memberitahukan keadaan di padepokan ini,” berkata Ki Jayaraga dalam hati selanjutnya, “Memang padepokan ini sebaiknya sekalian dihancurkan dari pada kelak kemudian hari akan tumbuh kembali menjadi penghalang bagi tegaknya Mataram.”

Untuk beberapa saat Ki Jayaraga masih merenungi suara sorak sorai yang semakin membahana. Kini para cantrik padepokan pun telah ikut bersorak sorai untuk membangkitkan semangat mereka.

“Hancurkan Matesih..! Hancurkan orang-orang pendukung Mataram..!”

“Jangan biarkan mereka mendekati gerbang..!”

“Bunuh semua pengikut Mataram..!”

“Hidup Trah Sekar Seda Lepen..!”

“Bangun kembali kejayaan Demak lama..!”

“Kembalikan tahta kepada Trah Sekar Seda Lepen..!”

Suara teriakan-teriakan itu terdnegar tumpang tidih dan wor suh menjadi satu dengan desing anak-anak panah yang terlepas dari busurnya. Beberapa saat kemudian di beberapa tempat mulai terdengar jerit kesakitan beberapa orang yang mulai tersentuh anak panah.

“Sampai kapan perang anak panah itu akan berakhir?” bertanya Ki Jayaraga dalam hati.

Tanpa sadar dia kemudian mendongakkan kepalanya ke langit. Sinar Matahari memang telah semakin cerah menembus lebatnya pepohonan yang tumbuh rapat berjajar-jajar di halaman sebelah barat padepokan itu.

“Bagaimanakah pertempuran Ki Rangga, Ki Waskita dan Glagah Putih?” tiba-tiba terbersit sebuah pertanyaan di dalam dada orang tua itu.

Tiba-tiba jantungnya berdesir tajam. Sudah sejauh ini dia belum melihat mereka bertiga. Berbagai dugaan pun telah muncul dalam benaknya.

“Semoga mereka bertiga dapat mengatasi lawan masing-masing,” berkata Ki Jayaraga kemudian dalam hati. Namun tak urung debar di jantungnya menjadi semakin keras.

“Aku harus segera melihat keadaan mereka,” tiba-tiba terbersit keinginan untuk melihat-lihat keadaan di sekitar padepokan sambil mencari keberadaan ketiga orang itu.

Namun ketika dia sudah memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, hatinya menjadi ragu-ragu ketika terpandang olehnya Ki Bango Lamatan yang masih tenggelam dalam samadinya.

“Ah, aku tidak mungkin meninggalkan Ki Bango Lamatan dalam keadaan seperti ini,” keluh Ki Jayaraga sambil menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya kuat-kuat. Seolah-olah ingin dibuangnya segala kegalauan dari dalam dadanya.

Kembali Ki Jayaraga terpekur. Sementara sorak sorai dari regol depan terdengar semakin membahana seiring dengan suara benturan yang terdengar sangat keras berkali-kali. Suara itu mirip dengan suara gedoran pada sebuah pintu, namun yang terdengar sangat keras sekali.

“Agaknya Ki Gede dan pasukan pengawalnya berusaha mendobrak pintu gerbang padepokan,” gumam Ki Jayaraga perlahan sambil berpaling sekilas ke arah Ki Bango Lamatan. Namun Ki Bango Lamatan masih tetap pada sikapnya semula.

“Aku harus menolong Ki Gede dan pasukannya sebelum korban semakin banyak berjatuhan,” berkata Ki Jayaraga kemudian dalam hati ketika mendengar suara jerit kesakitan yang semakin sering, “Aku dapat merayap sepanjang dinding padepokan ini menuju ke regol depan. Sampainya di depan sana, aku dapat meloncat dengan serta merta untuk menggapai selarak pintu gerbang dan kemudian membukanya. Atau sekalian aku dapat mematahkan selarak itu.”

Namun semua angan-angannya itu segera lenyap bagaikan asap yang tertiup angin begitu terpandang olehnya keadaan Ki Bango Lamatan yang masih tetap sebagaimana semula.

Tiba-tiba pendengaran Ki Jayaraga yang tajam telah mendengar suara teriakan bersahut-sahutan dari arah belakang padepokan.

Sejenak kemudian terdengar langkah orang berlari-larian mengarah ke tempat Ki Jayaraga dan.Ki Bango Lamatan bersembunyi.

Dada Ki Jayaraga berdesir. Dengan sangat hati-hati Ki Jayaraga pun kemudian beringsut menerobos beberapa gerumbul di hadapannya untuk mengetahui apa sebenarnya yang sedang terjadi.

Ketika Ki Jayaraga kemudian mencoba mengintip dari sela-sela dedaunan dan ranting-ranting perdu, hatinya terkesiap. Berpuluh cantrik tampak berlari dengan tergesa-gesa sambil menggegam senjata masing-masing.

“Cepat..! Kita bantu kawan-kawan kita yang berada di regol depan..!” terdengar suara seseorang berteriak lantang.

“Bagaimana dengan kera itu, kakang?” terdengar suara seseorang bertanya di antara derap langkah menuju ke regol depan.

“Persetan!” terdengar orang yang dipanggil kakang itu mengumpat keras, “Jangan hiraukan monyet itu. Padepokan kita sedang diserbu musuh..!”

Orang-orang yang berlari-larian itu hanya berjarak tiga empat langkah dari tempat Ki Jayaraga bersembunyi sehingga Ki Jayaraga dapat mendengar percakapan mereka dengan jelas.

“Ada apa dengan kera?” desis Ki Jayaraga dalam hati dengan terheran-heran.

“Kakang..!” tiba-tiba terdengar seseorang yang masih tertinggal beberapa langkah di belakang berteriak, “Kedua orang lawan Ki Brukut dan Ki Kebo Mengo telah lenyap..!”

 “He..?!” orang yang dipanggil kakang itu dengan segera telah menghentikan langkahnya justru tepat di hadapan gerumbul tempat Ki Jayaraga bersembunyi.


Serentak orang-orang yang lain pun telah ikut  berhenti.

30 komentar :

  1. Walah ono sarapan dobelan rontal tibakne....
    Suwun kyaine...

    BalasHapus
  2. Matur nuwun wedaranipun mbah man 😊

    BalasHapus
  3. slamet slamet slamet . . . untung sempat tiarap.
    Makasih Mbah Man

    BalasHapus
  4. Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan masih dalam masa pemulihan. Semoga segera pulih dan dapat membantu Ki Gede Matesih beserta pasukannya dalam menumpas sarang Perguruan Sapta Dahana.

    BalasHapus
  5. Pilihan yg sulit bagi Ki Jayaraga... Kedua2nyq berkaitan dg nyawa seseorang...
    Semoga kedua orang di depan gerumbul itu segera ke gerbang depan padepokan membantu kawannya, sehingga Ki Jayaraga bisa meninggalkan Ki Bango Lamatan untuk membantu pasukan Perdikan Matesih dengan membuka pintu gerbang dari dalam.
    Tambah seru... Matur nueun Panembahan...

    BalasHapus
  6. Matur nuwun Mbah Man, ternyata Jumat Barakah kemarin ada dobelan ..... tetap semangat!

    BalasHapus
  7. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  8. matur nuwun dobelan wedaranipun MBah man .... sedeeepppp ......

    BalasHapus
  9. "Sore-sore pomide'an ndisik" hehehe

    BalasHapus
  10. sugeng siang .... jangan lupa dahar siang ... siapa tahu ada wedaran lewat selesai istirahat siang ....

    BalasHapus
    Balasan
    1. wedarane jumat ki .... nripple

      Hapus
    2. hehehehe namanya juga usaha Ki .... aamiiinnn mudah mudahan ada triple wedaran jumat besok .... hehehehehe siapa tahu sebelum nripple jumat .. hari ini ndoble dulu ...

      Hapus
  11. Ada atopun tidak wedaran rontal, ttp koment deh, hehehe

    BalasHapus
  12. Pulang dari sawah lalu mampir ke taman. Masih tetap di 17 ternyata. Semoga produsernya dalam keadaan sehat wal-'afiat... sehingga terus berkarya dan berjaya... serta barokah. Permisi... pamit mundur.

    BalasHapus
  13. Wedaran sebentar lagi....
    Sebentar lagi wedaran...
    Wedaran kok sebentar...
    sebentar-sebentar wedaran...
    sebentar-sebentar wedaran...
    ������

    BalasHapus
  14. Hmmmm....
    Gumam ki EH.
    Ternyata terjadi lg mbah mandrake mengeluarkan aji lontar dobelen rontal.
    Akankah berulang?
    Ataukah bahkan tripelan?
    Atau bahkan kruntelan?
    Kita nanti bersama.
    Btw. Thanks berat mbah mandrake atas wedarannya
    Trs sdg pd sibukkah ki DH & ki RAS Next Genre?
    Mugi sami sehat.

    BalasHapus
  15. Selamat hari pahlawan, mari trus berkarya

    BalasHapus
  16. Bangsa yang besar adalah Bangsa yang menghargai jasa Pahlawannya. Pembaca yang benar adalah pembaca yang rindu pada karya penulisnya. Semangat berkarya Mbah_Man.🤗

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.