Dengan bergegas Ki Jayaraga segera
bangkit berdiri dan berjalan mendekat ke tempat Ki Bango Lamatan tergeletak.
Ketika langkah Ki Jayaraga semakin dekat, tampak tubuh orang yang pernah
menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu mulai bergerak-gerak.
Dalam pada itu, Ki Gede
Matesih bersama Ki Kamituwa dan para pemimpin kelompok pasukan pengawalnya
sedang berunding. Mereka mencoba mencari cara untuk menembus pintu gerbang yang
terlihat sangat kuat dan kokoh itu.
“Apakah tidak sebaiknya kita
kembali ke rencana semula, Ki Gede? Menggunakan
sebatang pohon untuk mendobrak pintu gerbang itu?” bertanya Ki Kamituwa.
“Apakah perisai kita
mencukupi untuk melindungi mereka yang memanggul batang kayu itu nantinya?” Ki
Gede balik bertanya.
“Aku kira cukup, Ki Gede,”
jawab salah seorang pemimpin kelompok pengawal yang berkumis tipis, “Selain
itu, pasukan pemanah kita juga akan membantu mengurangi tekanan serangan mereka
dengan cara membalas serangan anak panah dan lembing yang datang dari atas
dinding.”
“Bagaimana dengan para
pemanah itu sendiri?” bertanya Ki Kamituwa kemudian, “Apakah masih cukup perisai untuk
melindungi mereka?”
Pemimpin kelompok pengawal
yang berkumis tipis itu tampak sejenak terdiam. Jika para pengawal yang membawa
perisai dikerahkan untuk melindungi para pengawal yang memanggul batang pohon
itu, tentu masih diperlukan beberapa perisai lagi untuk melindungi pasukan
pemanah.
Di saat pemimpin kelompok pengawal itu sedang kebingungan menjawab
pertanyaan Ki Kamituwa, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh suara sorak
sorai yang lamat-lamat terdengar dari arah kaki bukit.
Serentak pandangan mata mereka pun segera tertuju kepada
serombongan pasukan pengawal yang berjumlah cukup besar sedang menaiki lereng bukit. Walaupun masih cukup
jauh, mereka segera mengenali pasukan itu adalah pasukan pengawal dari Tanah
perdikan Matesih.
Pasukan pengawal itu
tampaknya dipimpin sendiri oleh pemimpin pengawal perdikan Matesih, Ki Wiyaga.
“Syukurlah,” desis Ki Gede
tanpa sadar sambil mengangguk-anggukkan kepalanya begitu melihat pasukan pengawal yang dipimpin oleh Ki Wiyaga itu
semakin dekat.
“Mereka membawa perisai yang
cukup banyak Ki Gede,” bisik Ki Kamituwa dengan suara bergetar. Menahan
perasaan suka cita yang tiada taranya.
Ki Gede tidak menyahut.
Hanya tampak sebuah senyum menghiasi bibirnya.
Ketika pasukan pengawal yang
dipimpin oleh Ki Wiyaga itu kemudian telah bergabung dengan kawan-kawan mereka, Ki
Wiyaga selaku pemimpin pengawal segera menghadap Ki Gede.
“Ki Gede,” berkata Ki Wiyaga
kemudian sambil mengangguk hormat, “Tugas membawa Nyi Gede ke Matesih telah
selesai dilaksanakan dengan selamat. Selanjutnya kami beserta pengawal perdikan
Matesih yang masih tersisa, telah siap bergabung untuk membantu pasukan Ki Gede.”
“Terima kasih, ki Wiyaga,”
jawab Ki Gede dengan raut wajah penuh syukur, “Semoga semua ini adalah awal
dari kebangkitan perdikan Matesih yang selama ini di bawah cengkeraman bayang-bayang
orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu.”
Yang mendengar kata-kata Ki
Gede terlihat mengangguk-anggukkan kepala.
“Nah,” berkata Ki Gede
selanjutnya, “Beberapa pengawal segera memotong pohon yang cukup besar.
Selebihnya yang lain mempersiapkan perisai serta pasukan pemanah untuk mengimbangi
serangan orang-orang padepokan pada nantinya.”
Ki Wiyaga selaku pemimpin
pengawal segera tanggap. Segera diperintahkan beberapa pengawal untuk menebang
sebuah pohon di sekitar tempat itu yang sekiranya memadai digunakan sebagai
alat untuk mendobrak pintu gerbang padepokan.
Dalam pada itu, Ki Jayaraga
telah berhasil membantu Ki Bango Lamatan untuk segera menemukan kesadarannya
kembali. Dengan memegangi lambung kanannya yang bagaikan hancur, Ki Bango
Lamatan pun kemudian mengikuti Ki Jayaraga bergeser ke balik lebatnya gerumbul
perdu dan pohon-pohon yang banyak tumbuh di halaman sebelah barat padepokan.
“Marilah Ki Bango Lamatan,”
bisik Ki Jayaraga sambil membantu memapah Ki Bango Lamatan selangkah dua
langkah, “Luka dalam Ki Bango Lamatan agaknya cukup parah. Memang aku tidak melihat setetes darah pun. Namun aku khawatir mungkin ada tulang rusuk yang patah," Ki Jayaraga berhenti sejenak sambil mengamati lambung kanan Ki Bango Lamatan yang tampak biru lebam. Lanjutnya kemudian, "Apakah Ki Bango
Lamatan membutuhkan waktu sejenak untuk mencoba memperbaiki tata letak urat dan
aliran darah di dalam tubuh?”
Ki Bango Lamatan tidak
menjawab hanya mengangguk kecil. Ketika Ki Jayaraga kemudian dengan perlahan
membantu Ki Bango Lamatan duduk di balik sebuah gerumbul lebat, betapa wajah
orang yang pernah menjadi kepercayaan Panembahan Cahya Warastra itu terlihat
sangat pucat.
“Gila!” geram Ki Bango
Lamatan dalam hati sambil berusaha untuk duduk dengan nyaman walaupun lambung
kanannya rasa-rasanya bagaikan dihujam berpuluh pisau belati, “Orang itu
benar-benar gila! Adalah kesalahanku sendiri yang memutuskan untuk membenturkan
ilmuku dengan aji mahesa kurda tadi. Dia benar-benar telah bersiap untuk mati sampyuh. Seandainya aku tadi memilih
melindungi kedua lambungku, tentu dadakulah yang hancur menerima srudukan
kepala kerbau gila itu.”
Sambil meringis menahan rasa
sakit yang luar biasa, Ki Bango Lamatan pun kemudian berusaha duduk bersila dan
menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Sejenak kemudian, orang yang
kini telah menjadi kepercayaan Pangeran Pati di Mataram itu segera tenggelam dalam
samadinya.
Alhamdulillah. Matur nuwun Mbah
BalasHapusMatur nuwun Panembahan.
BalasHapusSemoga senantiasa diberi kesehatan.
Aamiin
Terima Kasih Mbah Man
BalasHapusMatur nuwun sanget, Mbah_Man.
BalasHapusAlhamdulillaah. Matur nuwun Mbah Man.
BalasHapusTercatat 3 orang tokoh sakti telah tumbang di Pihak Perguruan Sapta Dhahana. Adapun Pengawal Perdikan Matesih telah bertambah kekuatannya dengan kedatangan pengawal yg dipimpin Ki Wiyaga. Sepertinya perguruan di Lereng Tidar itu akan segera runtuh... Hemh... Tapi dimana Ki Rangga sekarang ya?
Matur sembah nuwun wedaranipun mbah Man
BalasHapus7
BalasHapusSupaya komen berjumlah ganjil
^_°